CAHAYA KEMULIAAN...


Perasaanku siang ini meruah. Membayangkan besok adalah puasa pertama. Artinya, nanti malam adalah tarawih pertama. Hatiku sangat siap menghadapi Bulan Ramadan. Bulan kemuliaan yang sangat kunanti-nantikan sejak beberapa hari lalu. Apalagi Jumat terakhir di bulan sya’ban kemarin, aku mendapatkan pencerahan dari khotib mengenai keutamaan ramadan. Mengulang lagi kemuliaan dan keutamaan ramadan setelah tahun kemarin aku sempat beberapa hari tidak menjalankan puasa karena sakit. Secara kebetulan nanti malam aku tidak shift sore. Sebagai operator di SPBU, aku memang tak kuasa mengatur jadwal bertugas. Sudah ada pembagian tugas yang dibuat oleh personalia SPBU tempat aku bekerja.
           
Menjelang pulang pukul 4 sore, ada pengumuman dari supervisor. Kami diminta berkumpul sebentar. Ada pengumuman dari manajemen SPBU. Bagi yang sedang bertugas tetap bekerja seperti biasa. Kami lalu berkumpul di musala SPBU, satu-satunya tempat yang sering dipakai apabila manajemen hendak memberikan pemberitahuan. Setelah beberapa teman yang bekerja shift pagi berkumpul di musala, tak lama kemudian Pak Dalijun masuk. Ia langsung mengucapkan salam dan langsung menjelaskan maksud kami dikumpulkan sore ini.
            Rupanya Pak Dalijun mengumumkan kalau mulai besok, pada saat puasa pertama berlangsung, jam operasional SPBU menjadi 24 jam. Mendengar penjelasan wakil manajemen SPBU ini, aku hanya bisa menghela nafas. Diperpanjangnya jam operasional artinya, jam kerja kami juga pasti akan bertambah. Ada insentif tambahan memang.  Untukku, justru inginnya tidak ada penambahan jam operasional. Aku sangat ingin sekali bisa menikmati ramadan dengan memperbanyak ibadah malam. Dengan hanya ada 15 operator plus 2 supervisor lapangan, otomatis pembagian jam kerja pastinya akan ketat.
            “Ada pertanyaan mengenai jam operasional?” tanya Pak Dalijun. Semua yang hadir diam. Serentak kepala teman-temanku menggeleng. Aku yang sebetulnya agak keberatan ikut menggelengkan kepala juga, akhirnya.
            “Terima kasih kehadirannya. Jadwal dan pembagian tugas, besok bisa dilihat di kantor,” ujar Pak Dalijun sembari berdiri dan berpamitan. Semua yang hadir ikutan berdiri dan langsung berkemas pulang. Entah apa yang ada dalam benak masing-masing. Tak ada pilihan lagi. Inilah pekerjaan kami operator SPBU. Dan inilah pekerjaan yang bisa kuperoleh setelah lulusan SMA.
            Aku mengambil sepeda onthel milikku dan segera melaju pulang. Kukayuh sepeda pelan-pelan seraya menikmati udara sore yang masih ditimpa cahaya mentari agak menyengat. Begitu berbelok di sebuah tugu dekat SPBU, mulai dari situlah aku harus mengayuh sepedaku sejauh 5 kilometer. Tiap hari untuk pulang-pergi aku harus menggenjot sepedaku sejauh 10 kilometer. Alhamdulillah jalan desa yang kulalui sudah beraspal dan dipenuhi terang lampu jalanan sehingga aku tidak terlalu waswas ketika harus pulang malam hari. Namun jika harus pulang tengah malam apabila aku kebagian shift terakhir nanti? Hufff, aku enggan memikirkan dulu sebelum tiba di rumah.
            Deritan si othel terdengar mengiringi lajuku menuju Dusun Kemangi, rumah tinggalku.
            Setengah jam lagi azan maghrib berkumandang. Aku merantai sepeda onthel di dekat kandang sapi yang sapi-sapinya sudah terkunci di dalam. Kedatanganku membuat mereka melenguh panjang, membuat kakekku datang menghampiri kandang.
            “Oh putuku uwis balik tho…,” sahut kakek begitu melihatku. Aku tersenyum kemudian mencium punggung tangannya.
            “Cepetan mandi sana! Bak mandi wis kebak. Tadi adikmu yang nimba.” Dalam hati aku bersorak karena tak perlu mengisi bak sebelum mandi. Sejak aku dan adikku tinggal bersama kakek dan nenek, adalah tugas kami untuk mengisi bak mandi setiap hari. Bergantian….
            Sejak orang tua kami mengalami kecelakaan, aku memutuskan tinggal bersama kakek dan nenek. Saat itu aku masih kelas 1 SMA. Masih awal-awal bersekolah. Adikku masih kelas 2 SMP. Berbekal uang santunan dan sedikit warisan ayah, aku meneruskan kehidupanku bersama adikku. Kakek dari ayah juga ikutan membantu kehidupan kami sesudahnya. Ada toko kelontong milik mereka yang lumayan ramai di dusun kami tinggal. Sebagai balas jasa sudah merawat kami, adikku sepulang sekolah selalu membantu di toko kelontong. Akan tetapi, aku sudah mengingatkan adikku supaya tetap belajar rajin dan sekolah setinggi mungkin. Aku yang akan membiayainya. Oleh karena itulah aku berkorban tidak meneruskan sekolah. Tidak berkeinginan untuk kuliah.  
            “Rintooo..,” sayup-sayup terdengar kakek memanggil namaku. Saat itu aku sedang mengguyur tubuhku dengan air bak yang bening dan jernih. Sebelum aku menyahut, kakek melanjutkan, “Nanti tarawih pertama di musala, kamu diminta mengisi ceramah tarawih. Ustadz Saidun diminta mengisi ceramah tarawih di Dusun Sumekar.”  Dusun Semekar adalah dusun tetangga kami.
            “Iya Kek..,” teriakku. Dan suara kakek sudah tak terdengar lagi. Byur-byur yang kemudian meramaikan kolah tempatku mandi sore itu.
            Segar banget mandiku. Sedang menggosok badan dengan handuk, adikku gantian memanggil, mengingatkanku kalau sudah mau azan maghrib. “Ini sudah selesai handuk-an kok!” jawabku.
***
            Musala yang tak begitu besar, malam itu sesak. Penuh berisi para warga muslim menyambut tarawih pertama. Muda-mudi dusun yang muslim memasang terpal di luar musala. Cuaca cerah sehingga mereka berani menggelar terpal untuk salat maghrib, isya dilanjutkan tarawih. Sound system sumbangan mahasiswa yang pernah KKN sudah terpasang dan suaranya terdengar nyaring. Salat maghrib tadi sudah membuktikan keampuhan sound system itu. Ramadan di dusun kakekku memang selalu ramai dan meriah. Warga muslim menyambutnya penuh suka-cita.
            Takmir musala memberikan sambutan menyambut Bulan Ramadan. Mereka menjelaskan secara singkat kegiatan-kegiatan ramadan yang akan dilaksanakan di musala. “Kegiatan keseluruhan ramadan bisa jama’ah baca di papan pengumuman depan musala,” begitu kata Ketua Takmir.
            “Karena malam hari ini Ustadz Saidun diminta mengisi ceramah tarawih di dusun sebelah,  ceramah tarawih di Musala Al Falaq akan disampaikan Mas Rinto Ubaidhi. Kepada Mas Rinto dipersilakan untuk menyampaikan ceramahnya.” Aku bergegas berdiri ketika sudah dipersilakan.
            Sejujurnya, aku tidak siap materi untuk ceramah karena pemberitahuannya mendadak. Tapi berhubung siang tadi aku mendapat broadcast dari grup whatsapp yang kuikuti, dan kebetulan mengenai ramadan, topik itulah yang aku angkat sebagai ceramah tarawih. Surat Al Baqarah: 183. “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana orang-orang sebelum kamu supaya bertakwa.”
            Iman dan takwa. Sebelumnya, sebelum puasa ramadan tiba, aku sempat membaca artikel tentang iman dan takwa. Itu saja yang kubagikan, menjalinkan dengan situasi ramadan, dan harus disampaikan dengan bahasa yang bisa diterima warga pendusunan. Tidak usah bahasa yang muluk-muluk. Hasilnya, semua warga yang mendengarkan ceramahku manggut-manggut. Semoga itu adalah anggukan paham dan mengerti. Selesai ceramah tarawih aku langsung mengimami salat tarawih. Dan begitu selesai semuanya, perasaanku luar biasa gembira. Marhaban ya Ramadan, bisikku lirih sebelum kupejamkan mata.
***
            Hari pertama puasa, aku kebagian shift siang. Otomatis tak bisa melaksanakan tarawih di rumah. Apapun yang terjadi, bagaimana pun jadwal bertugas, aku tidak akan meninggalkan tarawih dan ibadah malam lainnya. Aku tak bakalan menyiakan perjumpaan dengan ramadan tahun ini. Apalagi setelah membaca jadwal tugasku, aku sering kebagian shift siang bahkan ada yang shift sore. Operator perempuan sengaja ditugaskan pagi atau siang. Ini dilakukan supaya mereka pulangnya tidak kemalaman. Operator prialah yang dikorbankan bertugas pada shift-shift sore dan malam.
            Dan malam ini, sesudah bertugas aku melaksanakan salat tarawih di musala SPBU. Ada beberapa pengunjung SPBU dan teman-teman muslim yang kuajak salat bareng. Walhasil, musala yang tidak terlalu luas namun nyaman, dipenuhi jama’ah  tarawih. Oleh karena sudah pukul 9 malam, hanya salat tarawih yang kami tegakkan. Pihak manajemen mempersilakan kami ikut menyemarakkan bulan ramadan meskipun ada keterbatasan tempat beribadah. Aku bertekad dalam hati, sebisa mungkin akan menghidupkan ibadah tarawih komplit. Apalagi banyak teman-teman yang mendukung tekadku ini. In sha allah ….
            Jam 10 malam aku mengayuh pelan sepeda onthel-ku menyusuri jalan desa yang menyepi. Kerlip kunang-kunang mengudar di atas persawahan yang kulewati. Diiringi deritan onthel yang menyalak kentara, sayup-sayup lantunan ayat-ayat suci mengumandang di angkasa. Membahana di atas persawahan ditemani tarian-tarian riang kunang-kunang.
***
            Ada sedikit kesedihan dihatiku karena hampir separuh ramadanku harus kuhabiskan di SPBU. Melaksanakan tarawih di musala SPBU bersama orang-orang lain yang bukan kerabat maupun tetangga. Jika sudah begini, aku benar-benar merindukan suasana hangat dan meriahnya tarawih dan tadarus di musala dusun. Namun tuntutan pekerjaan sebagai operator SPBU ternyata tidak memungkinkan diriku menjalankan ibadah malam di lingkunganku. 
            Kunikmati ibadah puasa bersama ibadah-ibadah pendukungnya hari per hari dengan ikhlas dan khusyuk. Hanya berharap ridha-Nya semata. Sehingga tanpa terasa ujung ramadan menjelang juga. Hmmm ….
            Tanpa terasa 10 hari terakhir ramadan mulai bergulir. Aku sudah minta izin kakek apabila mendapat tugas malam tidak akan pulang. Mau menginap di SPBU supaya bisa melaksanakan i’tikaf. Kakek pun mengizinkan. Dan memang jadwalku di 10 hari terakhir justru sering bertugas malam. Kembali aku bertekad untuk menghidupkan malam-malam di sepuluh hari terakhir ramadan apa pun cara dan bentuknya.
            Jelang akhir ramadan, jalan raya di depan SPBU mulai meningkat volume kendaraan yang lalu-lalang. Ini karena jalan raya depan SPBU merupakan jalan alternatif menuju kota-kota lain. Jalan raya ini juga sudah beraspal mulus sehingga para pemudik sering memanfaatkan jalan alternatif ini. Berlimpahnya kendaraan yang lewat memberi berkah bagi SPBU tempatku bekerja. Banyak pemudik yang mampir dan membeli bahan bakar.
            Malam ini, malam kedua puluh tujuh. Sudah dua hari persediaan pertalite dan pertamax menipis. Tepat jam 11 malam, kedua bahan bakar itu benar-benar habis. Sementara truk pembawa bahan bakar tambahan, katanya terjebak kemacetan di daerah pinggiran. Banyak pemudik yang kecewa tidak memperoleh bahan bakar yang mereka inginkan. Supaya tidak menambah kekecewaan, lampu-lampu penerang SPBU sengaja dimatikan dan hanya menyala di tempat pengisian premium dan bio-solar yang stoknya masih memadai. Oleh karena ketiadaan kedua bahan bakar tersebut, ada di antara kami yang menganggur, termasuk aku. Beberapa temanku ada yang mengerubungi teman yang lain, bergantian melayani pembelian premium atau bio-solar. Tapi ada juga yang melakukan hal yang sama denganku. Berdiam diri di musala SPBU.
            Aku benar-benar memanfaatkan ketiadaan bahan bakar yang habis tadi dengan melakukan ibadah malam. Malam itu, hanya aku yang masih berada di musala. Beberapa lampu musala sengaja aku buat temaram agar suasana syahdu tercipta. Mulailah aku melaksanakan salat tarawih dan witir, kemudian bertadarus Alquran. Sampai aku mengakhiri surat Al An’aam, setelah sebelumnya membaca surat Al Maa-idah, truk pembawa bahan bakar tambahan tetap juga belum merapat di SPBU. Teman-teman juga tak ada yang mengusik aku di musala. Hanya nyamuk-nyamuk genit yang mengerayangi tubuhku namun tak kuhiraukan sama sekali. Berdiam diriku di musala kupungkasi dengan bersalawat atas Nabi SAW. Aamiin….
            Dan ketika mengucapkan ‘aamiin’ hatiku terasa plong. Legaaa.., dan aku merasakan rongga dadaku longgar serta paru-paruku mengembang-mengempis mengisi oksigen dengan lancarnya. Aku juga merasakan rongga kepalaku bersinar, sehingga saat memejamkan mata, aku bisa melihat isi kepalaku sendiri yang terdiri banyak sel. Hmmm… Puncak dari perasaanku itu, tiba-tiba aku melihat bangunan seperti Ka’bah. Namun belum aku benar-benar memerhatikan, bangunan mirip Ka’bah itu sirna. Dan aku tak merasakan lagi rongga kepalaku bersinar.
***
            Hari ini merupakan puasa terakhir ramadan. Alhamdulillah…. Aku kebagian shift pagi. Selesai subuhan kukayuh onthel menuju SPBU. Jam 6 pagi aku  harus mulai mengalirkan bensin-bensin ke berbagai kendaraan yang singgah. Mengganti tugas teman-temanku yang shift sore.
            Perasaanku riang. Hatiku gumbira. Terlebih lagi udara pagi masih dingin. Udara sedikit berkabut sehingga cahya mentari masih merayap malu di ufuk. Kicauan burung-burung menyemarakkan suasana pedesaan. Petani-petani desa juga mulai terlihat berkubang di sawah-sawah. Menggarap sawah sebelum nanti dibiarkan teronggok selama lebaran. Belum semua sawah menguning dan siap dipanen.
            Seraya mengayuh santai dan pelan, sembari menikmati kriyitan onthel aku bersalawat atas nabiku, juga melafalkan Laa Illaha Illahu. Tak terasa tugu dekat SPBU mulai tampak. Sebentar lagi aku sampai. Masih setengah enam lebih lima menit, jam ditanganku menunjukkan. Kayuhan onthel tetap kulakukan santai-santai saja. Semakin mendekati tugu, semakin terlihat keramaian di jalan raya. Besok idul fitri. Semua berlomba segera tiba di tempat tujuan. Kampung halaman masing-masing.
            Antrian pembeli bensin agak mengular ketika onthel-ku memasuki SPBU. Hatiku yang riang sejak dari rumah tadi, masih terasa berenergi. Bahkan aku merasakan sebuah energi yang menggelegak. Semangatku menyala. Mungkin karna aku menikmati ramadanku dengan ikhlas. In sha Allah… Kuparkir onthel serta bergegas menuju kantor untuk absensi. Tepat 05.47, tertera absensiku hari terakahir ramadan. Bismillah, aku kenakan topi dan menuju mesin pengisian bahan bakar.
            Lagi-lagi energi ditubuhku menggelegak. Penuh semangat seperti pagi tadi kala tiba di SPBU. Tak ada sedikit pun aku merasa capek dan lelah. Tubuhku bagai disetrumi aliran listrik sehingga tidak sempat lunglai. Ketika aku berjalan menuju kantor hendak menukarkan uang receh sekaligus setor, kuingat lagi makan sahurku. Tak ada yang aneh dengan makan sahurku. Aku justru pagi tadi hanya sahur sekenanya. Namun coklat panas bikinan nenek selalu tak pernah terlewatkan. Sesudahnya aku hanya menyantap cap cay kuah yang pagi tadi langsung dimasak nenek. Bahkan nasi yang ditawarkan nenek pun kutolak. Aku benar-benar hanya sahur dengan memakan cap cay serta minum coklat panas. Tak lupa juga beberapa gelas air putih dalam kendi. Dan itu terbukti menguatkanku hingga siang.
            Di depan kantor, Mas Triatno, satpam SPBU menyapaku. Sebelum menyapaku, ia asyik melihat ponselnya. Di dalam kantor ada Pak Dalijun dan Mbak Retnasih yang keduanya juga sedang melihat ponsel masing-masing. Mbak Retnasih menghentikan pekerjaannya menghitung uang setoran. Matanya tertuju pada ponselnya. Melihat aku datang, Pak Dalijun menyapaku.
            “Sudah lihat SPBU kita jadi viral di medsos?” Aku menarik sedikit ke belakang, kepalaku. Belum mengerti benar apa maksud perkataan Pak Dalijun.     
            Melihat aku tidak langsung tanggap, Pak Dalijun berkata lagi. “Belum lihat dan belum tahu viral di medsos?” Ia menanyakan pertanyaan yang sama padaku. Setelah ia menyorongkan ponselnya, memaksa aku melihat, barulah aku mengerti. Dalam foto yang diunggah di medsos, terlihat ada seberkas sinar berbentuk matahari di atas musala SPBU. Kejadiannya malam hari.
            “Pengirim foto itu, katanya melihat sendiri saat ia mengisi bensin di SPBU kita. Begitu melihat ia langsung memotret dan dikirimkan ke fesbuknya,” Pak Dalijun menjelaskan padaku yang masih tak percaya. Mbak Retnasih yang sedari tadi asyik dengan ponselnya lantas mengirimkan foto itu ke ponselku. “Sudah aku kirimkan ke ponselmu. Coba lihat sendiri!” Aku mengangguk. Uang setoran yang kupegang nyaris belum berpindah tangan.
            “Mbak, ini uang setoran pagi tadi, pas aku jaga,” kataku seraya menyerahkan uang setoran pada Mbak Retnasih. Ia mengangguk dan langsung menghitungnya. Sebelum kembali ke tempat kerja, aku sempatkan membanting tubuhku di sofa dekat Pak Dalijun. Melihat foto yang dikirimkan tadi.
            Benar itu musala SPBU. Kejadiannya malam. Dan benar di atas musala SPBU terdapat seberkas sinar berbentuk matahari. Saat itu lampu-lampu di SPBU memang sengaja dipadamkan sebagian sehingga sinar yang memayungi musala terlihat. Mungkin karena melihat sesuatu yang unik, pembeli bensin itu kemudian mengabadikannya menggunakan kamera ponsel atau kamera apapun. Tak ada seorang pun yang tahu. Khalayak mengetahui setelah foto itu diunggah ke medsos dan menjadi pembicaraan di dunia maya. Hampir semua berkomentar melihat foto itu. Entah kenapa, tiba-tiba jantungku berdebar kencang. Efek dari debaran itu membuat tanganku agak bergetar. Namun sebelum Pak Dalijun atau Mbak Retnasih menanyakan, aku segera meninggalkan ruangan kantor. Kembali melanjutkan pekerjaanku.
            “Wah.., SPBU kita jadi ngetop nih,” ucap Mas Triatno entah disampaikan kepada siapa pernyataan itu. Namun berhubung yang ada di situ cuma aku dan mata Mas Triatno mengarah padaku, kurasa ia menyampaikan kegembiraannya itu padaku. Aku hanya mengangguk dan terus berjalan menuju tempat kerja.  Deburan jantungku belum berhenti menggedor dalam rongga dadaku.
            Otakku lantas merespon kejadian dalam foto itu. Ingatanku tertuju pada kejadiaan saat SPBU kehabisan pertalite dan pertamax. Malam itu, lampu-lampu sengaja kami matikan sebagian. Menyisakan lampu menyala di tempat mesin pengisian  premium dan bio solar yang persediaanya masih ada. Dan malam itu, malam kedua puluh tujuh. Dan malam itu, aku hanya terpekur sendirian di musala SPBU. Benar-benar sendirian malam itu. Adapun teman-temanku yang bertugas, semuanya berada di luar musala. Ya Allah…, aku mendesis lirih. Ya Allah… Ya Allah….
***
            Sejak foto musala SPBU dinaungi sinar  beredar di dunia maya, SPBU tempatku bekerja kian ramai saja. Banyak yang mengunjungi sekedar melihat musala SPBU, yang sampai kini tidak bernama. Mereka berfoto di situ.  Berlatarkan musala kecil yang secara fotografi tidaklah menarik sebagai objek foto. Kemudian, pasti mengunggahnya ke medsos masing-masing.
            Sebagai SPBU, tempat pembelian bahan bakar, tentunya ramai dikunjungi konsumen. Namun dampak viral “seberkas sinar SPBU” di medsos benar-benar mendongkrak order bbm kepada Pertamina. Aku sempat melihat lonjakan order tersebut. Alhamdulillah… Semuanya bersuka-cita karenanya. Kami ikut terciprati rejekinya. Bahkan, baru tahun ini 1 syawal diliburkan. Kami semua, para karyawan, diliburkan sehari agar dapat berkumpul merayakan hari kemenangan bersama keluarga. Amazing…alhamdulillah.
            Dan seminggu setelah 1 syawal, kami dikumpulkan semua di musala kecil tersebut. Pemilik SPBU, Pak Johannes Pablo Romula, menggelar syawalan kecil-kecilan. Ruang musala yang tak luas, disulap sedemikian rupa menjadi tempat berhalal bihalal. Kami semua duduk lesehan menyesuaikan ruangan yang tak luas itu. Ada konsumsi juga yang menyertai. Semua karyawan bergantian menikmatinya. Karena saat itu SPBU tetap beroperasi normal.
            “Saya atas nama manajemen SPBU 70.2608.97. mengucapkan selamat idul fitri kepada semua yang merayakan. Maaf lahir batin apabila selama kami mengelola SPBU banyak kekurangan. Tapi kami berjanji, untuk kedepan, pelan-pelan kami ingin membuat SPBU ini tidak hanya nyaman bagi pembeli tapi juga nyaman untuk semua yang bekerja di sini.” Riuh tepuk tangan ketika mendengar perkataan Pak Johannes Pablo.
            Pak Pablo juga menyinggung soal “seberkas sinar SPBU” yang sempat heboh dan menjadi viral di medsos. “Kami benar-benar tidak menyangka foto “seberkas sinar SPBU” ternyata adalah SPBU tempat kita mencari rejeki. Benar-benar tidak menyangka sama sekali. Gara-gara foto itu, SPBU kita menjadi terkenal. Dikunjungi banyak orang yang selain untuk membeli bensin juga berfoto di depan musala kecil kita ini.” Sejenak Pak Pablo diam sebelum melanjutkan kata-katanya. Matanya mengedar ke semua yang hadir. Satu per satu ditatapnya dengan pancaran lembut. Terlihat ia menarik nafas sebelum melanjutkan kata-katanya.
            “Setelah saya pikir dalam-dalam. Setelah melihat sendiri keadaan musala. Setelah melihat unggahan foto ‘seberkas sinar SPBU’, tampaknya saya harus berbuat sesuatu.” Pak Pablo kembali terdiam. Wajahnya tetap tenang seraya ia menarik nafas perlahan lagi.
            “Hari ini, detik ini, saya Johannes Pablo Ramulo menyatakan hendak membangun musala kecil ini menjadi masjid. Parkiran motor karyawan yang masih agak luas akan saya pakai membangun masjid menggantikan musala ini.” Suara dalam musala hening. Namun tak berapa lama terdengar ucapan alhamdulillah berulang kali. Tiba-tiba Pak Pablo mengangkat tangannya. Semua yang sedang berkata-kata langsung diam.
            “Dengan mengucap ‘bismillah’ saya ikrarkan memperluas musala kita ini.” Musala yang hening hiruk-pikuk lagi dengan celotehan yang hadir. Kembali lagi lafal ‘alhamdulillah’ terdengar.
            “Tapi maaf,” sekonyong-konyong suara Pak Pablo memecahkan keriangan musala. Semua melihat lagi padanya.
            “Tadi saya mengucapkan ‘bismillah’ tidak apa-apa, kan?’ tanyanya dengan mimik serius.
            “Karena saya katholik.” Semua terdiam. Tak ada kata-kata menyemburat menanggapi kata-kata Pak Pablo.
            “Tidak apa-apa, Pak! In sha allah, itu ucapan bermakna dan baik untuk kita semua. Terima kasih sudah memberikan hadiah lebaran yang luar biasa untuk kami di sini,” kataku memberanikan diri menjawabnya. Mata Pak Pablo mengarah padaku. Ia tersenyum.
            “Menurut cerita yang saya dapat. Pada saat ‘seberkas sinar’ muncul kamu sedang berada di musala ini. Benar begitu, Rinto? Kamu Rinto, kan?” tanya Pak Pablo. Aku tersenyum serta menganggukkan kepala. Pak Pablo kemudian memintaku mendekat ke sampingnya. Ia merangkul pundakku.
            “Saya lihat juga, musala kita ini belum ada namanya. Menurutmu, sebaiknya musala ini dinamai apa?” tanya Pak Pablo padaku. Ditodong begitu, aku kaget. Namun tak urung juga keluar satu nama dari  mulutku.
            “Bagaimana kalau dinamai Al Qadr, Pak?” Masjid Al Qadr,” katakku mantap.
            “Bagaimana yang lain? Sudah setuju saja yang dikatakan Rinto. Namanya bagus! Artinya kemuliaan, kan? Saya keseringan baca koran mengenai ramadan jadi tahu arti Al Qadr.” Terdengar kekehan tawa Pak Pablo kemudian.
            Akhirnya, disepakati nama musala adalah Musala Al Qadr. Dan ketika nanti menjadi masjid, namanya menjadi Masjid Al Qadr. Benar-benar hadiah lebaran yang menggembirakan tahun ini bagi semua muslim di SPBU 70.2608.97. Pundakku masih dirangkul Pak Pablo. Ia seolah belum mau melepaskan pegangannya.
            “Ohya, satu hal lagi. Sebelum saya kelupaan. Mulai tahun ini, lanjut tahun-tahun berikutnya. Saya berencana memberikan umroh gratis setiap tahun kepada 1 orang yang berprestasi dan rajin beribadah. Saya juga sudah bernegosiasi dengan pemilik tanah di sebelah SPBU kita ini. Jika terjadi kecocokan harga, saya akan memperluas SPBU kita ini.” Kami terkejut mendengar penjelasan Pak Pablo. Dan sebelum terkejut kami usai, Pak Pablo sudah menambah kata-katanya lagi.
            “Dan yang berhak umroh tahun ini -nanti teknis waktunya kita atur lagi, adalah Rinto Ubaidhi.” Mendengar namaku disebutkan untuk pergi umroh, seketika itu juga meleleh air mataku. Tak putus-putusnya aku mengucapkan syukur alhamdulillah. Ya Allah inikah jawaban atas doa-doaku pada-Mu selama ini? Ya Allah, ternyata gambaran Ka’bah yang kemudian sirna adalah keinginan-Mu supaya aku ke sana. Terima kasih ya Allah…. Pak Pablo melepaskan rangkulannya. Ia menepuk pundakku seraya mengucapkan selamat.
            “Rinto…. Kamu boleh ajak adikmu umroh bersamamu. Saya dengar kamu sudah yatim piatu dan hanya tinggal bersama adikmu. Bolehkan saya berbagi kebahagiaan di hari lebaran ini?” Bendungan air mataku akhirnya jebol. Aku sesenggukan mendengar perkataan Pak Pablo yang memperbolehkan aku mengajak adik ke tanah suci. Ya Allah, karsa-Mu sungguh tak terduga. Sangat luar biasa memberikan keindahan bagi umat-Mu, bisikku lirih.
            Kami pun semua bergembira siang itu menikmati kudapan dan makanan yang disiapkan Pak Pablo. Makanan yang mungkin harus merogoh kantong kami dalam-dalam ketika menikmatinya. Dan siang itu, kami makan gratis sampai kenyang. Makanan yang disiapkan berlimpah. Semua takkan kekurangan. Aku sudah mendengar kasak-kusuk dari Mbak Retnasih.
            “Nanti kalau masih sisa, dibungkus saja makanannya,” katanya begitu.
            Ketika semua teman makan di luar. Aku masuk ke dalam musala. Duduk di tempat favoritku jika membaca Quran. Sambil menyuapi makanan yang ada dalam piring, aku mengingat lagi ramadanku kemarin. Mengingat banyak hal yang aku lakukan di musala SPBU maupun di masjid dusun. Aku mengunyah daging nan empuk perlahan. Sebuah bisikan terdengar di kupingku,       Lailatul Qadr untukmu…. Aku terkejut. Tak ada siapa-siapa dalam musala.

            Seseorang tiba-tiba masuk. Tersenyum padaku, kemudian ia langsung melakukan salat. Belum masuk waktu salat memang. Mungkin ia melakukan salat tahiyatul masjid. Ia berbaju putih. Wajahnya seperti memancarkan cahya terang namun tak menyilaukan mata. Sambil memegang piring dan sendok, mataku menatap pria yang sedang salat itu. Dan tiba-tiba, tidak hanya wajahnya yang bercahya namun sekujur tubuhnya mengeluarkan cahya nan lembut dimataku. Entah kenapa, mataku melihatnya bagai sebuah tulisan kaligrafi yang bertuliskan Laa Illaha Illahu….

*) cerita edisi ramadan 1438 H

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PIYAMBAKAN

SENGAJA DATANG KE KOTAMU

KIRIMI AKU SURAT CINTA