PIYAMBAKAN

Hari itu belum beranjak siang. Masih pagi. Masih juga jam 9 lebih sedikit. Tapi rasanya ubun2 kepalaku terasa panas gara-gara sengatan matahari pagi seperti sengatan tengah hari bolong. Begitu berada dalam taksi, barulah terasa kepala mendingin. Untung saja pendingin dalam taksi joss. Maksimal dinginnya. Sementara mama yang pagi itu kuantarkan, terlihat tenang bahkan terkantuk-kantuk merasakan semilir angin buatan dalam taksi. Pagi ini aku mengantarkan mama kontrol matanya setelah minggu kemarin dioperasi kataraknya.
Entah jam berapa mama akan dipanggil. Nomor urut yang kertasnya kupegang bernomor 30, sementara nomor urut yang dipanggil baru berhenti diangka 5. Satu pasien di dalam ruang periksa makan waktu setengah jam. Jadi, mama masih lama dipanggilnya. Waktu terasa lambat menunggu panggilan, akhirnya HP yang jadi pelampiasan. Segala game yang ada di HP aku coba mainkan hingga aku bosan. Mama yang ada disebelahku matanya merem-melek, terkantuk-kantuk. Kebetulan ruang tunggu rumah sakit mata memang sejuk dan nyaman. Aku sudah kehabisan cara mau ngapain lagi.
“Saweg berobat, Mbak?” Tiba-tiba seorang bapak, mungkin seumuran mama, mengajak aku bicara. Beliau mulai obrolan dengan bahasa jawa. Mendengar kata ‘berobat’ kira-kira menurutku pasti si bapak menanyakan apakah aku sedang berobat? Kujawab dengan anggukan kepala serta mengucapkan ‘inggih’. Aku memainkan HP untuk menutupi rasa khawatirku. Khawatir beliau akan mengajukan pertanyaan lain dalam bahasa jawa. Jujur, penguasaan bahasa jawaku minim. Meskipun terlahir sebagai orang jawa, namun aku besar di Jakarta. Bahasa Indonesia-lah bahasa ibuku sehari-hari. Mama yang ada di sebelahku, kali ini matanya sudah tidak merem-melek. Matanya mengatup rapat. Aku hanya bisa mendesah melihat mama terlelap. Jari-jariku mulai bermain di HP, mencari game apa saja dengan tujuan aku terlihat sibuk dan si bapak menghentikan obrolan jawanya denganku.
“Pikantuk angka urutan nomor pinten, Mbak?” Alamakkkk! Akal bulusku memainkan HP tidak mempan untuk si bapak. Beliau tetap saja mengajukan pertanyaan kepadaku, tetap dengan bahasa jawa halusnya. Hanya karena aku mendengar ‘urutan’ dan ‘nomor’, otakku masih bisa mencerna pertanyaan si bapak. Sambil menjawab dalam bahasa Indonesia, kutunjukkan kertas nomor urutan mama periksa. Si Bapak tersenyum sembari mengangguk-anggukkan kepalanya. Aman, aman, kataku lirih. Namun tetap belum yakin si bapak tidak akan bertanya lagi.
Sebentar lagi si bapak itu akan dipanggil karena nomor urutan periksanya lebih kecil dari kepunyaan mama. 3 nomor lagi namanya akan dipanggil perawat yang bertugas. Tampaknya hanya menunggu 3 pasien lagi, nyatanya hal ini sempat membuatku berdebar-debar. Betapa tidak? Si Bapak itu tidak berhenti mengobrol denganku juga bercerita dalam bahasa jawa? Akhirnya kukeluarkan jurus andalanku berbahasa jawa: inggih, mboten, sampun, saged, dan matur nuwun. Entahlah apa yang ada dalam benak si bapak jika mendengar jawaban-jawabanku itu.
Aku berucap syukur ketika nomor urutan si bapak dipanggil. Sebelum melangkah meninggalkanku, si bapak bertanya sekali lagi, “Piyambakan, Mbak?” Pertanyaan pamungkas, kira-kira begitu menurutku. Sembari ia berdiri hendak berpamitan, buru-buru kujawab pertanyaan ‘piyambak’-nya itu.
“Inggih, Pak, piyambakan,” kataku gagah dan yakin. Padahal suer, aku tidak tahu arti kata ‘piyambak’.
“Kula rumiyin nggih, Mbak….” kata si bapak, santun. Kujawab, “Inggih, Pak…!” Dan kutambahi kata-kata ‘ngatos-atos’ sesudahnya. Si bapak berbalik badan dan mata kami saling bertatapan. Pria dengan guratan ketampanan masa muda yang masih tampak.
Setelah si bapak berlalu, mama menggoyangkan badannya. Masih dengan mata terpejam mama berkata, “Kamu anggap siapa mama ini?” Aku yang ditanya begitu tidak langsung menjawab pertanyaan mama. Dahiku mengernyit.
“Kamu pikir mama tidur, ya?” Aku mengangguk pelan. Dan tetap belum menjawab pertanyaan mama.
“Emang kamu tahu apa yang diceritakan si bapak tadi?” tanya mama lugas.
“Nggak tahu,” jawabku cepat.
“Kenapa juga jawab inggih dan mboten?” Mama bertanya sambil tertawa. Kali ini matanya terbuka, dan badannya disandarkan di kursinya. Aku menjawab begitu karena memang tidak tahu apa yang diceritakan si bapak. Jawabanku sekenanya saja, dan hanya ‘inggih dan mboten’ yang paling gampang.
“Lha kok bisa-bisanya kamu jawab ‘inggih’ saat si bapak tanya ‘piyambakan’? Tahu nggak artinya?” Mama bertanya lagi. Aku menggeleng.
“Bapak tadi bertanya ke kamu. Sendirian? Kok kamu jawab ‘inggih’. Lantas yang kamu temani dan kamu antarkan siapa, Fia?” Mama terlihat gemes melihatku.

“Hahaha,” aku hanya bisa menertawai diriku sendiri karena ketidaktahuan arti kata jawa: piyambak. Sekali lagi mama menggelengkan kepalanya. Matanya tampak menyorot, lebar, dan membesar. Dan sepertinya tidak mengantuk lagi gara-gara si piyambak.

Komentar

  1. Makasih untuk Fia yang sudah berbagi cerita. Nggak sulit kan menulis cerita itu. Caranya, ya mulai saja menulis. Selamat mencoba......

    BalasHapus
  2. hahahahahaaaaa....
    thx mas atas support nya

    BalasHapus
  3. Piyambak bs jd tulisan indah 👍

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

SENGAJA DATANG KE KOTAMU

KIRIMI AKU SURAT CINTA