SENGAJA DATANG KE KOTAMU


Selasa siang. Begitu SPPD tergeletak di meja kerjanya, Tofan tersenyum lega. Itu tanda Pak Balaraja, atasannya, sudah menandatangani rencana perjalanan dinasnya ke Jogja. Ada workshop mengenai legalitas di UGM yang hendak diikutinya. Dan tanpa membaca detil SPPD lagi, Tofan langsung mengetikkan pesan kepada Parmin, teman SD-nya, yang kini mukim di Kota Gudeg tersebut.
Sambil mengetikkan pesan yang mengatakan ia hendak ke Jogja, Tofan tersenyum mengingat permintaan Parmin untuk tak memanggilnya “Min atau Parmin” lagi. Parmin minta dipanggil Mono atau Laksmono. Nama panggilan yang mulai dipakainya sejak di SMP. Nama lengkapnya Suparmin Projo Laksmono. Meskipun demikian, masih saja ada teman SD yang lupa dan tetap memanggilnya Parmin atau Min. Bahkan ada yang iseng-iseng panggil SPL atau Supel.
            Min, aku melu workshop nang UGM, nanging aku pingin nginep nang Hotel 101 cedhak Tugu. Kowe kudu ketemuan karo aku yoo... Aku telung dina nang Jogja. Kemis, Jumuah, Setu. Balik Lampung setu mbengi. Deal yoo!! Segitu panjang Tofan ngecipris lewat WA, hanya dijawab singkat YA oleh Parmin. Namun selang beberapa menit kemudian terdengar dering telpon di ponsel Tofan. Parmin menelponnya. Dua sahabat itu pun lantas saling ngudar rasa.
            *Arsyita kelihatan jengkel. Nada sambung terdengar putus-putus terus ketika ia menghubungi Parmin. WA yang berulang kali dikirimkan juga tidak ditanggapi Parmin. Sambil menunggu bisa menelpon lagi, Arsyita melanjutkan pekerjaannya. Ia akhirnya tenggelam dalam pekerjaan yang tiada habis-habis mendera kesehariannya. Sebagai Staf Dinas Pariwisata, tugasnya harus keliling ke semua objek wisata yang ada di Kabupaten Serang, mengikuti rapat atau mewakili atasannya ke pelbagai acara. Jelang pulang kantor, ketika mengecek pesan masuk, didapatinya jawaban Parmin: YA. Arsyi seketika itu juga menelpon Parmin. Namun sebelum mulai menelpon, ia tutup pintu ruang kerjanya. Terlihat olehnya masih banyak karyawan yang bersliweran atau masih duduk di kursi masing-masing.
            Lima menit lamanya Arsyi menelpon Parmin. Ia mengatakan kalau hari Senin, minggu depan, ia bersama atasannya akan mengikuti rapat kerja di Gedung Kepatihan Jogja. “Aku akan rapat kerja selama 2 hari, senin dan selasa. Tapi jumat sore aku akan duluan terbang ke Jogja. Aku pingin santai-santai sebelum rapat. Capek kerja melulu. Kalau nggak dipaksa kayak begini, kapan lagi, kan?” Suara Arsyi terdengar semangat.
“Bisa jemput aku di Bandara Adisucipto jumat sore nanti? Kukabari lagi aku naik pesawat apa!” Begitu Parmin menyanggupi, Arsyi pun tambah semangat dan mengakhiri teleponnya, “Aku nggak sabar ketemu Mas Mono, juga pingin jalan-jalan kayak dulu lagi. Temani aku selama di Jogja pokoknya, ya..” Kata insyaallah Parmin menyudahi pembicaraan sore itu. Dahi Parmin mendadak mengernyit mendengar rencana Arsyi.
Kamis pagi, Tofan menghubungi Parmin, “Maaf Mon, semalam aku nggak telpon kamu. Kemalaman sampai Jogja dan langsung ke 101 trus ngorok. Pagi ini udah di tempat acara. Aku di UC UGM. Kalau siang sempat ke sini, mampir wae yoo...” Tofan berharap bisa ketemu Parmin setelah hampir 30 tahun mereka tak pernah jumpa. Bertatapan melalui video call WA tak cukup menghapus rasa kangennya.
Kenyataannya, dan ternyata, acara Tofan sangat padat dan rapat. Siang pun Parmin tak bisa menemuinya. Dan baru kamis malam kedua sahabat itu bertemu di Hotel 101. Saking penat dan lelahnya, ajakan Parmin untuk jalan-jalan ditolak Tofan. Sebagai gantinya,  akhirnya mereka hanya duduk di pinggiran kolam renang seraya ngobrol dan bernostalgia. Makanan dan minuman ringan dipesan Tofan untuk sahabat dan dirinya. “Jumat malam kita keliling Jogja terus ngiras di Bakmi Mbah Mo, yoo..,” ajak Tofan. Parmin mengangguk ragu namun keraguannya tak tampak Tofan. Pikiran Parmin mengelana tetiba, mengingat janjinya menjemput Arsyita. Supaya sahabatnya tak berpikiran macam-macam, Parmin tetap mengembangkan senyumannya.
Sebelum pamit pulang, Parmin mengajak lagi Tofan ke luar. “Cuma ke Tugu Pal Putih. Kan dekat. Kita foto-foto sebentarlah,” pinta Parmin yang akhirnya diangguki Tofan. Matanya yang memerah karena mengantuk, memaksa dirinya ke toilet untuk membasuh mata dan wajahnya.  
*Seperti tersambung pikirannya, selesai salat jumat dan saat Parmin melangkahkan kakinya menuju parkiran motor, Arsyi menelpon. Ia mengabarkan kalau pesawatnya akan mendarat sekitar pukul 7 malam. “Aku menginap di Hotel 101, dekat Tugu. Ada teman yang memberi voucher menginap di situ. Nanti setelah dari bandara antarkan ke hotel ya,” suara Arsyi setengah merajuk. Alamakjan, pekik Parmin. Kenapa juga satu hotel dengan Tofan?
“Aku sampai minggu siang di 101. Setelah itu pindah ke Hotel Ibis Malioboro bareng atasanku.” Parmin mengiyakan keinginan Arsyi meskipun pikirannya berkecamuk. Ia pun segera mengambil motor dan kembali ke kantor.
Pesan dari OB kantor lewat SMS: Pak, maksi pesanan bapak sudah saya letakkan meja. Keburu dingin makanannya. Nasi ayam geprek cabe hijau, lalapan plus sayur asem, menutupi sebagian pandangan matanya yang sedang konsentrasi mengendarai NMAX merahnya. Sesaat Parmin melupakan sementara urusan Tofan dan penjemputan Arsyi nanti malam.
Ketika hendak berkemas pukul 5 sore, mendadak telepon di meja kerjanya berdering. “Jangan pulang dulu. Tolong segera ke ruang meeting kecil,” perintah Kepala Redaksi. Karena  tak banyak yang mesti dikemasi kecuali sebuah tas ransel sedang, Parmin bergegas memenuhi panggilan kepala redaksinya. Pintu ruang meeting terbuka sedikit. Parmin langsung menerobos masuk sesudah mengucapkan ‘assalamualaikum’. Hanya ada 3 orang, menjadi 4 orang ketika dirinya datang.
“Tutup pintunya! Kita mulai diskusi desain ini.” Sang kepala redaksi mengacungkan kertas ke arah Parmin. Tahulah Parmin maksud kepala redaksi mengundangnya rapat. Pasti berkaitan hasil desain yang kemarin dibuatnya. Namun sebelum mulai rapat, Parmin sudah mohon izin tidak bisa lama karena harus ke bandara menjemput kerabatnya. Sengaja ia mengatakan menjemput kerabat bukan menjemput Arsyita, seorang perempuan.
“Nggak masalah, Pak Mono,” ujar Kepala Redaksi untuk izin pulang cepatnya. “Yang penting, jelaskan secara cepat hasil desain yang sudah Pak Mono buat ini. Supaya teman-teman redaksi tahu apa yang telah digambar oleh Pak Mono.” Parmin pun mengangguk setuju. Diskusi pun dimulai.
Alarm azan di ponsel kepala redaksi menyala. Seketika itu juga ia menyudahi rapat dan mengajak ketiganya menunaikan salat maghrib terlebih dulu. Musala kantor yang mungil sudah dihuni 3 orang karyawan lain yang belum pulang. Bersama-sama, mereka siap untuk melaksanakan salat maghrib berjamaah. Seraya mengecilkan volume ponselnya, Parmin membaca pesan masuk Tofan. “ Penutupan workshop molor, Mon! Ada acara ramah tamah dengan Pak Rektor. Mungkin jam 8, jam 9-an aku baru nyampe hotel. Ke Mbah Mo, tetap lho! Ben wae mbengi sisan mrono-ne.”  Membaca WA Tofan hati Parmin lega. Masih ada kesempatan untuk menjemput dan menemui Arsyi malam nanti. Parmin lantas membalas singkat “OK” kepada Tofan. Ia juga menambahkan pesan kepada Tofan kalau saat ini sedang mengikuti rapat bersama kepala redaksinya.
Parmin sudah bersepakat sendiri, pukul setengah tujuh malam ia pamit pulang. Khawatir Arsyi menunggu di bandara. Butuh waktu 15 menit naik motor menuju bandara dari kantornya. Ketika berjalan menuju ruang meeting, ponselnya bunyi. Rupanya Arsyi yang mengirimkan whatsapp: Pesawat delay. Rencana terbang setengah tujuh. Nanti aku kabari kalau mau take-off. Sampai nanti ya... Gegara pesan Arsyi, Parmin mengundurkan waktu kepulangannya. Ia masih bisa mengikuti rapat sampai maksimal pukul tujuh malam.
Dan ternyata, delay pesawat Arsyi bertambah. Pukul 18.47 pesan Arsyi singgah lagi di ponsel Parmin. Ia mengatakan pesawat hendak take-off dan ponsel pun dimatikan. Karena sudah pamit pukul 7 mau pulang, Kepala Redaksi mengingatkan Parmin. “Lanjut sedikit lagi, nggak apa-apa, Pak! Ini pesawat saudara juga delay dari Soetta-nya.” Sang Kared tersenyum mendengar jawaban Parmin. Ia mengangguk. Diskusi desain berlanjut lagi. Namun ketika Kared menawarkan makan malam, Parmin menolak. “Nanti mau diajak makan bakmi Mbah Mo,” tutur Parmin sambil tersenyum.
“Enak tuh! Mantap sekalii...” Serempak bertiga berpadu suara.
Diskusi berempat sangat hangat meskipun keputusan final belum dicetuskan. Lagi-lagi Sang Kepala Redaksi mengingatkan Parmin untuk segera pulang. “Pak Mono, sudah waktunya pulang dan menjemput saudaranya di bandara.” Diingatkan begitu, Parmin tertawa kecil. Ia pun berkemas sekaligus berpamitan kepada semuanya di ruangan tersebut. Ketiga temannya sedang menunggu makan malam yang sudah dipesankan. Tepat pukul 19.20 Parmin keluar kantor dan langsung menuju Bandara Adisucipto. Ia tak lupa meminjam helm milik penjaga malam kantor.
Parmin sengaja menunggu kedatangan Arsyi dari anjungan. Dari anjungan ia bisa melihat pesawat lepas landas. Malam itu, Bandara Adisucipto tampak sibuk dan ramai. Suara pemberitahuan pergi dan datang juga ikut menimpali bisingnya suara pesawat yang mendekati apron. Sorot terang dari barat tampak semakin membesar dan mendekati landasan pacu. Bersamaan pesawat meluncur di landasan, suara pemberitahuan kedatangan menyambutnya. Parmin berdiri mendekati pinggiran teralis pembatas untuk melihat secara jelas. Deru pesawat terdengar keras mendekati apron. Pesawat kemudian parkir di apron sesuai petunjuk pengawas bandara.
Pintu pesawat terbuka. Penumpang mulai berhamburan turun. Anjungan tempat Parmin menunggu tidak terlalu jauh dari parkir pesawat. Jarak pandang pun tak terhalang apa pun sehingga Parmin bisa memantau pergerakan Arsyi yang turun. Ia telah melihat perempuan itu turun dari pesawat. Hanya sebuah suit-case kecil dan tas tangan yang dibawa Arsyi. Mendadak ponsel Parmin berbunyi. Terbaca nama Tofan. Parmin tak mau bicara langsung atau pun menolak panggilan. Ia biarkan dering itu berhenti sendiri. Dan sebelum menuliskan pesan kepada Tofan, Parmin melihat sekali lagi pergerakan Arsyi. Cukup baginya mengetikkan pesan untuk Tofan dan setelahnya menyambut Arsyi di pintu keluar kedatangan.
Sorry bro, aku masih meeting, tulis Parmin dalam pesannya. Ada kabar terbarukah? Tanya Parmin berlanjut. Dan tak lama kemudian Tofan menuliskan pesannya: Ampun deh ramah-tamahnya bakalan molor. Nih Pak Rektor masih akan memberikan beberapa paparan. Kemungkinan aku baru sampai hotel jam sepuluhan. Gpp kan? Lanjutkan meeting-mu, hehehe... Kita tetap ke Mbah Mo, ya! Membaca pesan Tofan, Parmin menarik nafas lega. Matanya langsung tertuju ke arah para penumpang yang keluar dari pesawat. Arsyi sudah tak tampak berjalan. Parmin bergegas menuruni anjungan dan menuju pintu keluar kedatangan. Ponselnya berdering. Arsyi yang menelpon karena tidak melihat dirinya ada di pintu keluar. Parmin mendiamkan ponselnya namun terus melangkah mendekati pintu keluar. Ia telah melihat Arsyi yang sibuk menelpon sambil matanya clingak-clinguk ke semua arah luar. Begitu Arsyi sudah di luar terminal kedatangan, Parmin mengejutkannya dari belakang.
Arsyi yang terkejut lantas memukul lengan Parmin sambil tertawa puas. Mereka berjalan santai menuju parkiran motor. Basa-basi Parmin meluncur, “Naik motor ajjah nggak apa-apa, kan?” Mendengar Parmin berucap begitu, gantian Arsyi membalasnya, “Emang sudah beli mobil baru?” Keduanya tertawa-tawa. “Di Jogja mah enaknya naik motor daripada naik mobil,” ujar Arsyi menambahkan. Parmin mengangguk setuju.
 Karena tidak tergesa-gesa, Parmin melajukan motornya santai-santai saja, tidak juga mengebut. Ia sengaja membiarkan Arsyi menikmati perjalanan dari bandara menuju Hotel 101. “Amplaz jadi keren euy sekarang!” seru Arsyi ketika motor melewati Ambarukmo Plaza. Tanpa sengaja mata awas Arsyi melihat sebuah spanduk besar terbentang di sekitaran Amplaz. Spanduk yang bertuliskan: FEB WOW CARNIVAL 2019 menampilkan Sal Priadi dan Putra Timur. Mendadak Arsyi minta Parmin berhenti sebentar. “Aku pingin baca tulisan di spanduk itu,” pinta Arsyi seraya telunjuknya mengarah ke spanduk yang terbentang di parkiran depan Hotel Royal Ambarukmo. Setelah Parmin menepikan motor, Arsyi gegas turun dari motor dan membaca promo even tersebut. Kepalanya mengangguk-angguk paham. “Sabtu malam kita ke sini ya,” ajaknya pada Parmin. “Mumpung di Jogja, jangan tanggung refreshing-ku! Kapan lagi coba?” Parmin tersenyum dan mengangguk. Dalam benaknya berkata, “Untung Tofan pulang ke Lampung sabtu malam.” Sesudah puas memandangi Amplaz juga membaca spanduk even musik, mereka melanjutkan perjalanan menuju hotel.
“Wah, sekarang ada jembatan penyeberangannya juga menuju Amplaz,” teriak girang Arsyi. Parmin mengatakan kalau jembatan itu sudah lama diresmikan. “Kalau begitu, aku yang sudah lama nggak ke Jogja. Terakhir waktu aku menginap di Hotel Utara menemani Bu Bos. Lama juga, ya?” Sesaat Arsyi terdiam.
“KLa memang benar, selalu ada setangkup rindu di Jogja. Aku bisa merasakannya!” Mendengar penuturan Arsyi, kepala Parmin mengangguk. Bibirnya tersenyum penuh arti tanpa Arsyi melihatnya.
Ketika mereka melewati Mal Lippo Plaza, Parmin sengaja menghentikan motornya. Ia lantas membiarkan Arsyi melihat serta berkomentar. “Bener Mas, aku memang sudah lama nggak ke Jogja. KLa lagi-lagi berkata benar: Jogja penuh selaksa makna di dalamnya.” Sesudah berkomentar begitu, Arsyi tertawa ringan. Lanjutnya kemudian, “Kayaknya, aku harus cuti lama dan keliling Daerah Istimewa Jogja.” Parmin tersenyum melihat Arsyi juga komentarnya. “Yang betul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Ibuuu... Tapi mana tahan cuti lama?”  sergah Parmin, “Mana dikasih cuti lama sama Bu Bos,” lanjutnya. Keduanya lantas tertawa. Arsyi berucap, “Betul...betul..betul,” kayak ucapan khas Upin dan Ipin.
Dan saat melintasi Jembatan Gondolayu, lagi-lagi Arsyi minta Parmin menghentikan motornya. Ia segera turun, menepi dan melihat ke bawah jembatan. Matanya membelalak. Rona wajahnya kagum sekaligus takjub. Komentar singkatnya, “ Kalau Merapi hujan deras, Kali Code banjiri kampung bawah sini dong!” Parmin mengangguk sembari memberi penjelasan tambahan, “Banjir tetap tapi sudah di talud tinggi jadi banjir bisa diminimalkan.” Tetiba Arsyi minta Parmin mengambil foto dirinya dekat Jembatan Gondolayu. Sesudah mengambil beberapa pose, Arsyi mengajak Parmin ber-selfie. Arsyi merangkul pundak Parmin. Memasang tampang serta senyum manisnya, dan cekrek.... Jadilah selfie mereka berdua di atas Jembatan Gondolayu malam itu.
Mendekati Tugu Pal Putih, dan ketika akan masuk ke Jalan Margo Utomo, kembali Arsyi berucap, “Habis taruh tas di hotel, kita foto-foto di Tugu ya? Kapan lagi mau selfie, juga foto sama pocong itu!” Telunjuk Arsyi mengarah ke sosok penghuni kuburan yang tampak. Di Tugu, selain ada pasukan kraton, juga sering tampak penghuni kuburan, si Pocong yang kadang-kadang membawa “pasukannya”. Parmin tersenyum saja. Dan kepalanya hanya bisa mengangguk-angguk ringan. Sesudah menurunkan Arsyi di lobby hotel, Parmin segera memarkirkan motornya. “Aku tunggu di dalam, ya,” teriak Arsyi sambil melangkah ke dalam. Senyum sopan petugas hotel menyambut kedatangan Arsyi malam itu.
 Parmin terkejut. Arsyi mengatakan kamarnya 401. Namun terkejutnya tak ditampakkan di hadapan Arsyi. Hanya keluar kalimat, “Asyik dong jadi bisa lihat Jogja dari atas, hehehe..” Sesudah itu, ia ikut mengantarkan Arsyi ke kamar sambil membawakan suit-case-nya. Di dalam lift menuju lantai 4, Parmin berharap tak berjumpa Tofan nantinya. Selayaknya ia terkejut karena kamar Tofan 405. Sebelum pintu lift terbuka Arsyi mengatakan pingin mandi dulu. “Gerah banget badanku! Ntar Mas Mono tunggu saja di kamar selama aku mandi.” Parmin tersenyum. “Aku tunggu di lobby setelah mengantarkan tas ini,” ia mengangkat suit-case Arsyi, “Dan pemilik tas-nya.” Dari mulut Arsyi keluar kata-kata, “oke..oke..oke, kalau itu maunya Mas Mono. Beneran mau nunggu di bawah?” Mata Arsyi berkedip-kedip seraya bibirnya mecucu. Suara “ting” dan pintu lift pun terbuka. Parmin berjalan mengikuti Arsyi. Meskipun tahu Tofan belum sampai hotel, perasaannya tetap waswas. Parmin masuk kamar sebentar. Suit-case diletakkan dekat ranjang. Sesudah itu, ia segera keluar kamar. Sebelum menutup pintu kamar, Arsyi mengingatkan lagi untuk pergi ke Tugu Pal Putih. “Ohya Mas, habis dari Tugu kita makan di depan KR ya..,” tambahnya. Parmin menjawab dengan acungan dua jempol. Ia melangkah gesit menuju lift untuk turun ke lobby hotel.
Sambil menunggu Arsyi selesai mandi, Parmin mengambil koran. Sengaja koran tersebut menghalangi wajahnya supaya kalau tetiba Tofan datang tak melihatnya. Agar yakin Tofan belum meluncur ke hotel, ia mengirimkan pesan singkat via WA. Hatinya lega karena Tofan masih berada di UC UGM. Ancar-ancar balik ke hotel pukul 10, masih dikatakannya ‘semoga’.  Parmin menarik nafas panjang yang terasa longgar dan melegakan dadanya. Ia kemudian iseng mengirimkan pesan singkat kepada Arsyi: Mandinya udah belum? Aku masih ada janji lagi jam 10-an ini. Pesan hanya dibaca tanpa dibalas. Parmin berlagak lagi membaca koran yang sesungguhnya hanya untuk menutupi wajahnya.
Sebuah tinju kecil menjatuhkan koran ke wajahnya. Parmin kaget. Belum sempat memastikan siapa yang meninju korannya, suara cerewet terdengar, “Emang janjian sama siapa sih jam 10 malam?” Rupanya Arsyi yang datang. Parmin lalu memintanya duduk dulu.
“Aku ada date-line desain. Tadi sebelum jemput kamu sedang ikutan rapat. Oleh Pak Kepala Redaksi aku dibolehkan keluar dulu untuk menjemputmu di bandara.” Parmin terpaksa berbohong untuk jam 10 malam. Mengenai rapatnya, ia sama sekali tak membohongi Arsyi. Karena sudah janjian dengan Tofan, jadi apa boleh buat ada sebuah drama yang kudu dilakoninya. Raut wajah Arsyi agak menampakkan kecewa.
“Aku pingin mengulang kembali jalan-jalan santai dari Tugu sampai NOL kilometer, seperti yang dulu pernah kita lakukan.” Rona kecewa masih tampak diwajah Arsyi. Parmin tak bisa berkata banyak kecuali, “Eh, sabtu malam, sehabis lihat Sal Priadi dan Putra Timur, kan kita masih bisa mengulang kembali jalan-jalan santai itu!”
Mata Arsyi terpejam sebentar, membuka perlahan, lalu sebuah senyuman mengembang dibibirnya. “Aku masih sampai hari minggu di sini kenapa bisa lupa ya?” Kali ini kepalanya bergoyang-goyang menimpali senyuman yang sudah tampak lagi. “Ayolah, kita ke Tugu, foto-foto terus lesehan di depan KR,” ajak Arsyi seraya menarik tangan Parmin. Mereka pun bergegas keluar dari Hotel 101 menuju Tugu Pal Putih.

Mereka tak lama berfoto-foto di Tugu. Arsyi kembali menarik Parmin menuju lesehan depan KR. Lesehan angkringan sudah ramai pengunjung. Sambil mengambil makanan, Parmin mencari posisi duduk yang tidak menyolok. Biar bagaimana pun, ia harus tidak terlihat vulgar malam itu. Sebuah pojokan agak temaram masih menyisakan tikar kosong untuk diduduki mereka. Di atas tikar itu mengalirlah banyak cerita dari mulut Arsyi. Live music pengamen yang sedang mengamen, langsung diminta Arsyi untuk menyanyikan lagu legendaris KLa,  “Tak Bisa Ke Lain Hati” juga lagu lawas Teti Kadi, “Sepanjang Jalan Kenangan”. 
Mata Arsyi menerawang ketika pengamen jalanan menyanyikan kedua lagu  tersebut. Seraya menikmati lagu-lagu, mulutnya terus mengunyah makanan yang tadi dipilih. Dalam sebuah kesempatan, Arsyi membisiki Parmin, “Banyak cerita yang belum terungkap.” Parmin tak mengerti maksud bisikan Arsyi karena gelisah melanda saat itu. Tofan sudah menanyakan kenapa ia belum sampai di hotel. Untung tanpa diminta Arsyi tahu kalau Parmin harus segera kembali ke kantornya. “Sudah jam 10 lebih. Jadi ke kantor lagi kan?” Arsyi pun mengajak kembali ke hotel.
Aku dalam perjalanan menuju hotel. Tunggu di kamar, nanti aku naik ke atas, tulis Parmin dalam pesan singkatnya kepada Tofan. Dan muncul OK di ponsel Parmin. Terpaksa Parmin buru-buru mengirimkan pesan khawatir Tofan menunggunya di lobby bawah. “Aku nggak antar sampai ke atas ya,” kata Parmin. Arsyi mengangguk. Sebelum berpisah Arsyi mengingatkan Parmin sesuatu, “Besok kita ketemu setelah jam 2 siang ya. Aku ada tugas dari Bu Bos untuk menemui seseorang di Kantor DPRD.” Tawaran basa-basi untuk mengantarkan  ditolak Arsyi. “Kan gedung DPRD nggak jauh dari hotel ini,” ujar Arsyi. Parmin pun hanya senyum. Ia melihat Arsyi telah menghilang ke dalam lift. Sesegera mungkin Parmin menuju tangga darurat untuk kemudian menuju kamar Tofan. Ia tak mau ambil risiko bertemu Arsyi di lantai 4. Namun baru beberapa undakan naik, Parmin berubah pikiran. Kenapa aku nggak suruh Tofan turun ke lobby saja? Batinnya. Parmin langsung mengurungkan naik dan kembali ke lobby. Sebelum duduk, ia kirim pesan singkat pada Tofan: aku tunggu di lobby. Biar aku nggak usah naik-turun.
Mata Parmin mengawasi lift. Khawatir jika Arsyi yang keluar. Sembari menunggu Tofan datang, iseng-iseng Parmin mengirimi Arsyi pesan singkat. Bukan jawaban yang diterimanya melainkan sebuah panggilan video call. Parmin buru-buru me-reject video call Arsyi, sekaligus memberitahu sikonnya: aku lagi rapat nih... Tak lama berselang, Arsyi malah mengiriminya sebuah foto. Fotonya sedang tiduran... Ahaaaiii... Sebuah sapaan mengagetkan Parmin yang sedang memandangi foto kiriman Arsyi. “Minnnnn.., eh Monnnn!”
Parmin melihat sosok yang barusan meneriaki namanya. Dia langsung berdiri, memandang sesaat, lalu menghambur saling ber-teletubies. Meskipun sering video-call-an dengan Tofan, bertemu langsung setelah tak jumpa 30 tahun, rasanya berbeda. Keduanya langsung buru-buru melepaskan pelukannya dan duduk. Khawatir menjadi pusat perhatian tamu lain yang masih wirawiri di lobby hotel. “Ngobrolnya di Bakmi Mbah Mo wae yuk,” ajak Tofan. Dua pria dewasa beriringan keluar hotel. Waktu ikut mengiringi mereka jelang tengah malam: 11.15...
Warung Bakmi Mbah Mo semakin malam bukannya surut pengunjung malah masih terlihat ramai. Beruntung Tofan dan Parmin  beroleh tempat duduk yang nyaman untuk melepas penat, kangen, dan reuni kecil. Tofan benar-benar menikmati suasana warung. Dia memesan bakmi godhog komplit. Semua isi perut ayam dicampurkan ke dalam bakmi godhognya. Ada ati rempolo, uritan, sampai balung ayamnya. Tak lupa telur. Dua gelas wedang jahe juga menemani malam pertemuan dua sahabat yang sudah lama tak jumpa. Parmin memesan bakmi goreng biasa. Perutnya ‘begah’ kekenyangan sewaktu makan di angkringan depan KR menemani Arsyi tadi.
Cerita lama, cerita baru, kisah ini, kisah itu, mengingat teman, mengingat guru, serta mengingat pengalaman konyol, mengalir begitu saja dalam obrolan malam mereka. Layaknya anak muda gaul, selfie tak ketinggalan ditorehkan. Bahkan bakmi godhog Tofan yang sehuah-huah dijadikan objek foto dan distatuskan di fesbuk dan instagram Tofan. Obrolan dua sahabat tersebut bagai tanpa ujung maupun akhir. Namun obrolan itu terusik mana kala sang pemilik warung bakmi mulai berkemas hendak tutup. Jam kusam yang menempel di tembok nyaris menunjuk angka 2 teng. Dan sebelum mereka diusir, Tofan buru-buru membayar makanan dan minuman yang telah dilahapnya bersama Parmin. Makanan dan minuman serba panas menambah suhu tubuh, sementara hawa luar juga terasa gerah. Mata keduanya memerah pertanda harus segera dikatupkan. “Masih bisa fokus bawa motor, Mon?” tanya Tofan. Parmin mengangguk. “Kalau ngantuk, ntar mata satu melek, yang satunya biar taksuruh tidur!” Spontan Tofan memukul helm Parmin sambil berkata,”Edyan, asem kowe.” Parmin ngekek ketawanya.
Jogja memang ngangeni bagi yang pernah hidup di dalamnya. Kota yang selalu terjaga selama 24 jam. Seperti halnya Tugu Jogja. Saat kedua sahabat melewati seputaran Tugu ternyata di situ masih menyisakan kerumunan orang. Masih banyak yang ingin mengabadikan dirinya berlatar Tugu Pal Putih maupun jalanan yang menuju Stasiun Keretapi dan Malioboro. Bagi yang waskita, pasti mereka dapat merasakan suasana mistis garis imajiner Pantai Selatan-Panggung Krapyak-Kraton Jogja-Tugu Pal Putih hingga ke Gunung Merapi.
Bagi Tofan, waktu tak merambat pelan selama di Jogja. Cenderung cepat berjalannya. Tahu-tahu ia telah diantarkan ke hotel oleh sahabatnya. Dini hari itu alarm ponselnya bernyanyi  “Dengan Nafas-Mu, milik Ungu,” begitu mereka tiba di depan hotel. Tofan sadar waktu sudah pukul 3 dini hari, seperti dirinya selalu membunyikan alarm pada ponselnya tepat pukul 03.00. “Ohya Mon, aku belum bilang,” kata Tofan setelah turun dari motor dan menyerahkan helm, “Kepulanganku harus kumajukan. Pesawatku terbang jam 4 sore, transit Soetta dulu. Dan pesawat ke Lampung, penerbangan terakhir hanya jam 7 malam. Jadi kita masih sempat kliling-kliling Jogja sebelum aku ke bandara. Temani aku cari oleh-oleh,” pinta Tofan yang diyakini takkan ditolak Parmin. Adapun bagi Parmin, berita yang barusan meluncur dari mulut Tofan sangat melegakannya. “Aku juga baru mau bilang kalau jam 2 siang, ada saudara dari Tangerang datang. Biasalah, disuruh kawal sana-sini. Maklum wadon, hehehe... Dalam hati Parmin meneriakkan nama wadon itu: Arsyiiii... Selintas pikiran Parmin berkelebat di kamar 401.
“Meskipun cukup singkat perjumpaan kita, aku senang bisa ketemu kamu lagi, Mon,” ucap Tofan sambil tersenyum. Pundak Parmin pun ditepuk-tepuknya. Gantian Parmin yang menganggukkan kepala. “Besok pagi aku jemput sekitar jam 9, jam 10, ya! Mau molor sebentar sehabis subuhan. Ngantuk broo!”  Tofan juga menimpali “setuju” sekaligus berpamitan hendak ke kamarnya. Dan tanpa menengok lagi, Tofan langsung masuk ke dalam lift. Deru mesin motor menyala lantas terdengar. Parmin siap melaju pulang. Namun sebelum berlalu dari depan hotel, Parmin sengaja menengok ponselnya. Matanya tertuju kepada nama Arsyita yang ada dalam deretan teratas pesan masuk whatsapp-nya. Arsyi menuliskan pesan: terjaga, 1.27. Sempat terdiam sebentar, Parmin lalu keluar dari whatsapp dan segera memutar tuas gas NMAX merahnya, pulang ke rumah.
Sebuah foto wajah dengan mata setengah merem, dengan tulisan: terjaga juga?3.38, akan terbaca oleh penerima pesan saat ia membuka whatsapp-nya.
Parmin baru membuka ponsel dan membaca pesan-pesan masuk sesudah bangun tidur. Sehabis subuhan ia memang tidur lagi. Meskipun tidur malamnya kesubuhan, ia tak pernah terbiasa tidur berkepanjangan sesudahnya. Nyatanya, pukul 7 pagi ia sudah menyeduh lemon madu panas sembari membaca pesan masuk di ponselnya. Niatnya mau bertanya ke Tofan dan Arsyi. Wajahnya justru tersenyum melihat foto wajah Arsyi yang dikirimkan pukul 3.38 tadi. Dijawabnya singkat juga: iya terjaga tapi trus molor lagi.
Tak dinyana, Arsyi membalas pesannya dengan menuliskan ayo ke sini, nemani aku berenang hehehe.  Dijawab lagi oleh Parmin: lagi meriksa desain hasil rapat semalam, mau dikirimkan balik ke kantor. Dan sebelum Arsyi membalas pesannya, Parmin menambahkan tulisan: celana renangku bolong dua dibagian belakangnya, malu ahh kalau nemani kamu berenang, hahahaha... Arsyi yang sempat mengetikkan pesan tetiba berhenti mengetik. Dan ketika Parmin menyeruput lemon madunyanya, Arsyi kembali mengetik. Pesannya masuk kemudian, asal bokongnya nggak burikan, gak apa-apalah, hihihihi... aku nyemplung dulu ya.
Sebelum mengirimkan pesan pada Tofan, Parmin bertanya lagi pada Arsyi. Ia ingin memastikan apakah Arsyi jadi berkunjung ke Kantor DPRD? Karena lama tak ada jawaban, Parmin bergegas mandi setelah lemon madunya tandas. Sebuah video call masuk ke ponsel Parmin. Sementara si pemilik ponsel asyik bersenandung dalam kamar mandi dan tak mendengar panggilan masuk.
Kita ketemu jam 2-an di hotel. Nanti setelah urusan desain kelar aku ke sana. Mudahan urusan di DPRD lancar dan bisa ketemu orang yang dicari, jawaban Parmin.  Berhubung video call yang dilakukan Arsyi tak tersambung tadi, ia menjawab pertanyaan Parmin via WA. Clear urusan dengan Arsyi, batin Parmin, yang kemudian menghubungi sahabat SD-nya. Parmin hanya mengabarkan pada Tofan kalau ia sudah selesai mandi serta bersiap meluncur ke hotel. Jatah sarapan sampai jam 10. Yuk sarapan di hotel bareng aku, ajak Tofan membalas WA Parmin. Dan Parmin mengiyakan ajakan sahabatnya tersebut. Begitu selesai memanaskan mesin NMAX merahnya, Parmin segera tancap ke Hotel 101.
Setibanya di hotel, Parmin langsung berinisiatif pergi ke kamar Tofan. Sempat ia khawatir akan bertemu Arsyi mengingat kamar keduanya sangat dekat. Namun hatinya merasa lega setelah Arsyi mengatakan akan pergi ke DPRD lebih pagi. Aku harus mencegat orang tersebut sebelum ia keluar kantor DPRD, itu yang dikatakan Arsyi tadi lewat WA. Saat mengetuk kamar Tofan, Parmin sempat menengok lagi memastikan kamar Arsyi sudah kosong. Bahkan tadi, sebelum mengetuk pintu kamar Tofan, Parmin secara mengendap mendekati kamar Arsyi. Kupingnya mencoba mendengarkan suara-suara dari dalam kamar 401. Nihil suara dari dalam kamar.
“Kenapa nggak tunggu di bawah ajjah?” tanya Tofan begitu tahu yang mengetuk pintu kamar, Parmin. Tanpa banyak omong, Parmin langsung menerobos pintu kamar. Alasan kebelet pipis yang dikemukakan Parmin hanya membuat Tofan geleng-geleng kepala. “Kan di bawah juga ada toilet, Mon!” teriak Tofan saat Parmin langsung masuk kamar mandinya. Ia lalu meneruskan lagi mengepaki barang-barangnya. Ada satu tas kosong dibiarkan tetap kosong. Rencananya, tas kosong tersebut untuk menempatkan oleh-oleh yang mau dibelinya bersama Parmin. Bersamaan Parmin selesai dari kamar mandi, Tofan pun selesai membereskan tas koper jinjingnya. Mereka pun bersiap keluar kamar untuk sarapan di bawah.
Tofan membuka pintu kamar bersiap melangkah keluar. Parmin masih di depan cermin menyisir sedikit rambutnya yang agak acak-acakan. Tetiba Tofan mendadak berhenti melangkah. Ia terdiam di tengah pintu. Tampaknya ia terkejut ada seseorang yang melintas di depan kamarnya tanpa ia sadari sebelumnya. “Ngapain kamu di sini? Mau memata-mataiku ya? Nggak puas sudah mengganggu hidupku dan membohongiku?” Dari dalam kamar Parmin mendengar suara meninggi, suara perempuan yang marah dan kesal. Pintu yang hampir terbuka lebar oleh Tofan buru-buru dirapatkan lagi. Agaknya, Tofan tak ingin Parmin mengetahui siapa yang sedang berkata-kata di depan kamarnya. Suara perempuan yang sedang kesal dan marah itu, tak asing ditelinga Parmin. Arsyi, gumam Parmin lirih. Kenapa Arsyi memarahi Tofan? Apa mereka saling kenal? Parmin menerka-nerka sambil tetap menguping. Tetiba Parmin kaget. Kepala Tofan nongol dari balik pintu. “Kamu tunggu di sini  sebentar ya. Aku mau ketemu seseorang,” suaranya terdengar gugup. Senyum yang terumbar tampak dipaksakan. Tofan buru-buru keluar lagi dan menutup pintu kamarnya. Parmin hanya menghela nafas begitu pintu kamar ditutup Tofan. Terbesik pikirannya untuk mencoba menanyai Arsyi. Sudah ketemu yang dicari di DPRD? Tanya Parmin lewat WA.  Arsyi hanya membaca pesan yang dikirimkan Parmin tanpa memberi jawaban. Ini membuatnya penasaran lalu menjajal menelpon Arsyi. Tak tersambung juga. Sempat terlintas ia hendak keluar kamar dan mengikuti Tofan. Ini pun akhirnya hanya tertahan di pintu kamar. Parmin memutuskan menunggu saja, membiarkan Tofan menyelesaikan masalahnya dengan perempuan yang Parmin terka adalah Arsyi. Dalam lamunan dan menerka-nerka, teleponnya berdering. “Arsyi,” pekik Parmin begitu melihat siapa yang menelpon. Belum bertanya lebih lanjut, Arsyi sudah omong. Suaranya setengah berbisik. Lirih malahan. “Mas Mono, aku ketemuan dulu sama yang kucari. Nanti kukabari lagi ya!” Hanya kata-kata ‘ohya’, ‘oke’ yang keluar dari mulut Parmin. Selang beberapa menit kemudian, Parmin menelpon Tofan. Sambungan telponnya langsung dijawab Tofan. Katanya, Parmin diminta menunggu sebentar. “Aku sudah lama mencari orang ini. Biar aku selesaikan dulu urusanku dengannya,” suara Tofan juga lirih. Persis ketika Arsyi menelpon tadi. Hemmmm...
Bingung harus mengerjakan apa selama menunggu Tofan, akhirnya Parmin menyetel tivi. Dipilihnya kanal musik yang pagi-pagi menyiarkan lagu-lagu lawas. Secara kebetulan yang ditayangkan lagu ‘Sepanjang Jalan Kenangan’ yang pernah dipopulerkan Tetty Kadi. Seketika Parmin ingat. Semalam Arsyi minta lagu ini dinyanyikan pengamen jalanan ketika mereka lesehan di angkringan depan KR. Sambil menyaksikan acara musik lawasan itu, otak Parmin memikirkan keterkaitan antara Tofan, Arsyi, dan lagu SPJ. Lamunan Parmin dikagetkan suara whatsapp masuk. Rupanya Tofan memintanya segera datang ke restoran hotel untuk sarapan. Parmin pun segera mematikan tivi dan menyusul Tofan.
 Insiden di depan pintu kamar tadi membuat suasana sarapan sedikit senyap. Tofan yang biasanya over bicara  kali ini mengunci bibirnya. Hanya ketika suapan harus masuk ke dalam mulutnya, bibir terkunci tadi terbuka secukupnya. Alhasil, Parmin yang harus mulai bicara. Namun ia cukup tahu diri untuk tidak menanyakan soal di depan pintu kamar tadi. Parmin sudah meyakinkan dirinya sendiri. Kalau Tofan tak bercerita, ia takkan menanyakan apapun. Ajakan untuk menambah sarapan ditolak Parmin. Sesekali terdengar helaan nafas Tofan. Sesudah ajakan menambah sarapan ditolak, Tofan langsung buru-buru mengajak Parmin pergi dari hotel. “Maaf untuk kejadian tadi,” akhirnya Tofan buka suara. Berulang kali Parmin berucap: alhamdulillah, sekaligus menganggukkan kepala.
“Kamu mau cari oleh-oleh apa? Bakpia? Gudeg? Atau yang lainnya?” tanya Parmin saat jalan beriringan menuju parkiran. Tofan hanya berkata ‘manut’ ketika memberi jawaban. Parmin menggaruk kepalanya meskipun tak gatal. Sampai di parkiran, naik motor, dan berkendara, Tofan tetap mengunci mulutnya. Diam-diam Parmin memperhatikannya dari kedua spion. Hasrat Parmin  menggebu untuk bertanya siapa perempuan tadi! Namun keyakinannya tak terbantahkan. Perempuan itu adalah Arsyita. Meskipun yakin itu Arsyita, Parmin enggan bertanya, terlebih melihat gelagat Tofan yang tampaknya tak mau ditanyai. Parmin mengarahkan motor ke Sentra Bakpia di Patuk. Ia sampai tak perlu bertanya lagi pada Tofan, mau beli bakpia apa dan di toko apa? Kesukaan Parmin pada satu merk bakpia mengantarkan mereka berhenti di Toko Bakpia 75. Tofan tanpa berkomentar, langsung ikut masuk dan berbelanja oleh-oleh.  Di bakpia 75 itu Tofan menawarkan Parmin membeli bakpia. “Ambillah, berikan untuk orang rumah,” ujar Tofan, “Apalagi kemarin aku nggak bawa apa-apa dari Lampung.” Supaya suasana hangat lagi, padahal cuaca di luar mulai panas, Parmin menampik tawaran mengambil bakpia. Ia malah minta pada Tofan boleh mengambil selain bakpia. “Aku minta selain bakpia, boleh nggak?” Sesungguhnya, Parmin tidak bersungguh-sungguh minta. Itu adalah triknya supaya Tofan tak diam saja. Mendengar penuturan sahabatnya, Tofan pun tertantang. “Sok atuh, mau apa pun silakan comot, silakan ambil. Atau nggak harus bakpia di sini!”
“Aku bercanda, Bro,” itu jawaban santai Parmin. Kini gantian Tofan yang memaksa. “Beneran lho... Katakan saja, Mon. Kan kita sudah lama nggak ketemu! Masa aku tak boleh traktir dirimu?” Suasana makin mencair. Mulut Tofan mulai sobek gegara hasrat untuk berkata mulai muncul lagi. “Atau barangkali kamu mau belikan ayam goreng untuk orang rumah!” Lagi-lagi Tofan memberikan alternatif pilihan yang dibeli. Parmin hanya tersenyum sekaligus menganggukkan kepalanya setuju membeli ayam goreng. Ia lantas ingat ayam goreng Bu Tini yang disukai seluruh orang di rumahnya. “Nanti kita ke restoran ayam goreng Bu Tini. Kali saja kamu tertarik membawa pulang ayam goreng Bu Tini ke Lampung!” Dijawab pendek Tofan, “Kita lihat nanti.” Dan setelah belanja bakpia, mereka pun bergerak menuju Restoran Ayam Goreng Bu Tini.
“Masa hanya beli satu ekor ayamnya?” tanya Tofan sambil memaksa Parmin jangan hanya membeli satu ekor. “Dua ekor ya?” paksa Tofan lagi. Sebelum Parmin menjawab apapun, Tofan telah menyuruh kru resto untuk membungkuskan dua ekor ayam goreng utuh. Komplit, plit... Seakan lupa sudah sarapan yang kesiangan tadi, Tofan lantas mengajak Parmin makan di situ. Parmin tak kuasa menolak ajakan Tofan. Mereka pun duduk dan memesan. Dan selama makan di situ, tak sekali pun Parmin menanyakan perihal insiden depan kamar tadi. “Ohya Mon, aku dititipi istriku cari batik. Antar sekalian beli batik ya!” Parmin mengangguk. Ia pun segera merampungkan makannya. Menyeruput cepat es jeruk peras pesanannya.
Parmin sengaja tidak membawa Tofan ke Mirota Batik di Malioboro. Ia justru mengajak ke toko batik dan oleh-oleh milik Baim Wong di Jalan HOS Cokroaminoto. “Ini toko milik Baim. Belum lama bukanya. Selain batik juga ada oleh-oleh. Kali ajjah mau nambah beli oleh-oleh,” Parmin menjelaskan singkat toko milik pesohor kondang itu. “Dibayar berapa kamu Mon sama si Baim?” Keduanya tertawa. Suasana cair dan bersahabat kembali hadir. Suasana luar yang panas langsung terasa maknyess ketika berada di dalam toko. Aroma khas batik juga menyeruak. Parmin membiarkan Tofan berkeliling melihat-lihat koleksi batik di toko itu. Ia sendiri mengitari area toko sekenanya dan sesukanya. Dan ketika Tofan asyik mencari pesanan isterinya, Parmin mengeluarkan ponsel dan menghubungi Arsyi via WA. Sudah selesai urusannya di DPRD? Sekarang lagi dimana? Tulis Parmin cepat. Sambil menunggu jawaban Arsyi, Parmin mendekati Tofan, ikutan nimbrung melihat batik. Tampak Tofan sudah mendapatkan apa yang dicarinya. Ia membeli 2 bahan batik tulis, juga 2 daster. Dilihatnya juga, sebelum tadi memilih batik-batik itu, ia memotret. Barangkali ingin memastikan pada isterinya bahwa yang dibeli sesuai pesanan.
Setelah membayar semua belanjaannya, mereka tak langsung pulang. Ada area tempat berfoto. Tofan pun bak remaja gaul. Ia mengajak Parmin selfie di situ. Hawa yang panas membuat dahaga terus membumbung. Tofan mencari minuman dingin dan menawarkan juga kepada Parmin. Sambil duduk menyeruput minuman dingin, Tofan akhirnya bercerita sedikit tentang perempuan yang heboh di depan kamarnya. “Aku mengenal dia di pesawat saat kami terbang dari Jakarta ke Palembang. Di pesawat kami duduk bersebelahan. Dan sejak pertemuan itu kami berteman.” Parmin menyimak cerita Tofan seksama dan tak menyela sedikit pun. “Ia bekerja di Dinas Pariwisata Kabupaten Serang,” tambah Tofan. Heemmm, tak salah lagi, batin Parmin. Itu Arsyi! Oleh karena Tofan tak meneruskan ceritanya, Parmin juga tak bertanya lebih lanjut. Justru Tofan tetiba mengatakan ingin pulang ke hotel naik Go-Car saja. “Bawaanku terlalu banyak, Mon. Kasihan kamu ntar keberatan. Biar aku naik Go-car saja. Aku juga langsung mau check-out trus ke bandara.”
“Beneran nggak mau aku antar ke hotel nih?”
“Makasih Mon, nggak usah. Beneran nggak apa-apa. Pokoknya aku senang akhirnya bisa jumpa denganmu meskipun waktu kita terbatas. Lain kali aku ke Jogja lagi. Janji aku!” Dipaksa bagaimana pun juga Tofan nggak mau, akhirnya Parmin setuju dan memesankan Go-Car untuk sahabatnya. “Kamu nggak usah ke hotel. Katanya kamu mau antarkan saudaramu dari Jakarta! Nanti dia kelamaan nunggu kamu.” Parmin mendadak ingat skenario yang disampaikan pada Tofan mengenai saudara dari Jakarta. Dalam hati ia terkekeh. Dan siang itu, ketika azan zuhur menggema, Parmin melepas kepulangan Tofan. Buru-buru ia melihat ponselnya. Ingin melihat jawaban dari Arsyi. Sebaris pesan tertulis: Aku pindah ke Hotel Arjuna, selatan Hotel 101. Ketemu di Arjuna ya, Mas... Kita tetap jalan sesuai rencana kita kemarin. Aku tunggu. Sambil memandang langit yang tak berawan siang itu, Parmin mengiyakan permintaan Arsyi. Sebelum numpang salat di tokonya si Baim, Parmin memesan Go-Send untuk mengirimkan 2 paket ayam goreng Bu Tini ke rumah. Kalau pulang mengantarkan kedua ayam tersebut, waktunya akan habis, juga tubuhnya bisa memuai kepanasan. Jogja memang sedang HOT. Namun kisah Arsyi dan Tofan, sepertinya hot juga. Itu yang terlintas dipikiran Parmin.
Tiba di hotel, dengan bawaan yang bejibun, Tofan minta tolong kru hotel ke kamarnya. Sebelum menuju kamarnya, ia mampir ke petugas penerima tamu hotel. “Ibu Arsyita Ruminda apakah masih menginap di kamar 401?” Petugas penerima tamu langsung mengecek. Seraya tersenyum petugas tersebut mengatakan kalau Arsyita Ruminda sudah check-out barusan. “Setengah jam yang lalu beliau sudah keluar hotel, Pak!” Setelah mengucapkan terima kasih, Tofan bergegas menuju kamarnya. Tak lupa ia juga sekalian check-out dan minta disiapkan mobil menuju Bandara Adisucipto. Petugas menyanggupi dan segera menyiapkannya.
Di dalam kamarnya, Tofan membereskan oleh-oleh yang dibeli tadi. Satu tas kosong sudah disiapkan untuk menempatkan semua oleh-oleh yang dibelinya. Kebiasaan yang terbiasa. Ketika bepergian harus ada kewajiban membawa oleh-oleh. Bagaimana jika uang sakunya terbatas? Apakah tetap memaksakan harus membeli oleh-oleh?  Mata Tofan memandang tas oleh-olehnya sebelum ia meraih ponsel yang digeletakkan di meja. Ia search nama Syirumi dan langsung menghubunginya. Lagi-lagi ‘veronica’ memberitahukan bahwa nomor tersebut sudah tidak bisa dihubungi. Gegara bertemu sepapasan tadi dengan Arsyi, Tofan ingin menghubunginya. Namun ia lupa, nomor kontak Arsyi di ponselnya sudah non-aktif. Arsyi sudah mengganti nomornya sejak mereka tak lagi berhubungan. “Sial,” umpat Tofan. Ponsel yang tak bersalah dicampakkannya ke ranjang dan lanjut mengepak oleh-oleh. Dirinya dibuat kaget ketika bel kamar bunyi. Dengan langkah enggan, ia membuka pintu kamar. Seorang kru hotel menyapanya. Ia bermaksud membantu Tofan sehubungan kepulangannya siang itu. “Maaf Pak, mobil sudah siap. Ada yang bisa saya bantu bawakan?” Setelah mengatakan ia belum selesai mengepak, petugas itu berpamitan dan mempersilakan Tofan menghubunginya jika sudah siap. Ia berikan juga nomor ekstensi tempatnya ‘ngepos’. “Terima kasih nanti saya hubungi.” Tofan menutup lagi pintu kamarnya. Bayang-bayang Asryi kembali menyeruak.
  Selesai melaksanakan salat zuhur Parmin tak langsung menuju Hotel Arjuna. Sekali lagi ia memastikan keberadaan Arsyi dulu. Dan setelah menerima jawaban OK barulah ia menuju parkiran motor. Selama berkendara menuju Hotel Arjuna segala hal tentang Arsyi berkecamuk dalam kepalanya. Pikiran tentang perempuan yang dikenal lewat teman kuliahnya itu berakhir setelah tadi mendengar cerita Tofan. Siang yang panas entah kenapa semakin membakar perasaannya. Parmin berhenti sesaat di depan Hotel Arjuna sebelum memarkir motornya. Seorang petugas hotel menunjukkan tempat parkir motor. Ia menjalankan pelan motornya. Memarkir rapi motornya dan segera menuju ke dalam. Sebagai basa-basi dan permisi, ia datangi meja penerima tamu.
“Ibu Arsyita Ruminda apakah sudah check-in?” tanya Parmin pelan. Ia sebetulnya sudah tahu di kamar berapa Arsyi berada. Petugas yang ditanyai tadi mengecek data tamu dan setelah menemukan langsung mengatakan, “Ibu Arsyita dari Serang ada di kamar 215. Saya hubungi sebentar beliau,” ucap petugas itu ramah dan penuh senyum. Namun sebelum menelpon Arsyi, petugas itu sekali lagi menanyakan jati diri Parmin. “Katakan saja pada beliau saya Laksmono,” jawab Parmin ketika ditanya siapa dirinya. Petugas tersebut tak langsung tersambung dengan Arsyi. Namun saat telepon ia letakkan dan hendak mengatakan sesuatu kepada Parmin, seorang perempuan mendekati meja penerima tamu. “Pak Laksmono apa kabar?” sapa perempuan itu tiba-tiba. “Dia tamu saya, Mbak, terima kasih ya.” Parmin membalikkan badannya. Kupingnya terasa asing dipanggil bapak oleh Arsyi. Mereka berlalu dari situ menuju pinggir kolam renang. Arsyi mengajak Parmin ke sebuah meja. “Maaf agak berlagak formal tadi,” setengah berbisik Arsyi berkata. Kemudian ia tertawa kecil. Namun tawa kecil Arsyi siang itu bagi Parmin seperti tawa setengah dipaksakan. Wajah Arsyi juga tak semeriah sebelum perjumpaannya dengan Tofan. Setelah lima menit duduk di situ, Arsyi menggamit tangan Parmin. “Ke kamarku saja. Di sini panas.” Mereka sengaja tak melewati lift. Tangga darurat yang mereka pakai untuk menuju kamar Arsyi. Hawa sejuk langsung menyambut begitu pintu kamar dibuka. Arsyi mempersilakan Parmin masuk. Ia pun langsung duduk di kursi dekat jendela yang cahaya matahari siang meneranginya. Parmin menggeser kursi supaya panas matahari tak mengenainya langsung. Sekilas dilihatnya Arsyi masuk ke kamar mandi. Begitu keluar ia telah bertukar baju. “Maaf ya Mas, aku dasteran. Gerah kalau pakai baju tadi,” ucap santun Arsyi. Ia duduk bersila di ranjangnya.
Daster Arsyi bukan daster rumahan layaknya daster yang digemari para ibu. Daster yang dikenakan Arsyi lebih rapi, berlengan juga panjangnya selutut. Warnanya cerah. Terasa pas dipakai Arsyi siang itu. “Maaf aku pindah hotel mendadak,” kata Arsyi membuka pembicaraan. Parmin hanya mengangguk. “Ya nggak apa-apa, senyamannya kamu saja,” ujar Parmin menanggapi. Sejurus kemudian suasana hening. Terlihat Arsyi menarik nafas panjang. Sepertinya ia menyiapkan kekuatan untuk bicara. Parmin sengaja tidak mau bertanya apa pun.
Setelah membetulkan posisi duduknya, Arsyi mulai berkisah. “Tadi pagi, sebelum aku pergi ke Kantor DPRD, tanpa sengaja aku bertemu mantanku. Ia ternyata menginap di Hotel 101 di kamar 405.” Jantung Parmin berdenyut tak beraturan mendengar Arsyi mengatakan mantan dari Tofan. “Mantan bagaimana maksudnya?” Wajahnya tampak serius bertanya.
“Namanya Bardi Purbo Taufani. Biasa kupanggil Mas Fani. Aku mengenalnya di pesawat sewaktu kami sama-sama terbang dari Jakarta ke Palembang.” Arsyi menjeda kisahnya. Matanya menerawang sebentar. Sementara Parmin menyimak cerita Arsyi dengan jantung yang deg deg deg. Semprul kowe Fan, asem tenan, batin Parmin. Cerita Arsyi sama dengan cerita perkenalan Tofan. Semprul..semprul kowe Fan, umpat Parmin dalam hati.
“Sejak ketemu di pesawat itu, kami jadi akrab dan sering berhubungan. Mas Mono kan tahu kalau aku sudah lama sendiri.” Parmin ingat awal-awal berkenalan dengan Arsyi. Teman kuliahnya yang mengatakan juga kalau Arsyi sudah bercerai dari suaminya. Suami Arsyi selingkuh dan ketahuan. Arsyi lantas minta cerai dan minta hak pengasuhan anak ada padanya.
“Niatku hidup sebetulnya tak ingin menikah lagi. Pingin membesarkan anak-anak sendiri saja. Namun entah kenapa sejak bertemu Mas Fani, hasrat menikah kok tiba-tiba muncul.” Terlihat Arsyi menarik nafas lagi. “Dipelet kali aku olehnya!” Parmin tersenyum kecil sambil membatin, dasar playboy tengil. Parmin lantas ingat bagaimana kelakuan Tofan memperlakukan perempuan. Sikapnya manis dan penyayang. Selain itu secara materi dompetnya selalu tebal. Merayu pun dengan lemah-lembut akan membuat perempuan terkewer-kewer. Jurus ini mungkin yang dilakukannya pada Arsyi.
“Lampung ke Serang kan hanya menyeberangi Selat Sunda. Baginya tak jauh. Mas Fani lantas sering ke Serang. Dari sekian pertemuan ia menyatakan kalau dirinya duda beranak 1. Alasan klise, sedang mencari istri. Entah apa yang merasukiku kok aku tunduk begitu saja. Barangkali karena aku sudah lama sendiri, jadi sekali saja ada gangguan batin, kesetrum deh. Mungkin imanku pada titik terendah saat itu.” Mata Arsyi kembali menerawang. Dirinya bagai sedang menyusun ingatan untuk kemudian berusaha tegar berkisah. Kebetulan yang dikisahi ceritanya, Parmin. Orang yang selama ini dipercayainya bisa menyimpan rahasia.
Selagi Arsyi menyusun ingatan untuk menceritakan hubungannya dengan Tofan, Parmin terus mengumpat dalam hati kepada sahabatnya itu. Bisa-bisanya ia mengaku sebagai duda beranak 1.  Sementara itu, Parmin tahu persis siapa isteri dan ketiga anaknya. Parmin tak menyangka sama sekali pada Tofan. Kalau dicap sebagai playboy tengil memang itu dikenalinya sejak dulu. Namun apabila mengaku-aku duda, ini baru Parmin ketahui dari penuturan Arsyi. Lantas apakah ia juga pernah melakukan kepada perempuan selain Arsyi? Pikiran itu muncul begitu saja dalam benak Parmin.
“Mas Mono ingat semalam kenapa aku minta lagu ‘Sepanjang Jalan Kenangan’ juga ‘Tak Bisa Ke Lain Hati’ maupun ‘Jogjakarta’?” Parmin mengangguk. “Jauh sebelum aku kenal Mas Mono, aku sering berlibur ke Jogja. Kadang bersama anak-anakku, kadang bersama Mas Fani. Entah bagaimana bisa dia beralasan menjumpaiku ketika di Jogja padahal saat itu aku sedang ada pekerjaan. Bagiku Jogja menjadi sebuah kenangan yang terindah dan sekaligus menyakitkan. Semuanya gegara Mas Fani. Nggak usah tanya bagaimana kalau kami berlibur dan bertemu di Jogja!” Wajah Arsyi tersipu saat menceritakan bagian ini. Parmin pun menanggapi dengan senyum kecil, matanya berkedip-kedip seolah menggoda Arsyi. “Akan tetapi sejak aku kenal Mas Mono, Jogja kembali menyejukkan hatiku. Cieee.”
“Sekamar kalau pas liburan di Jogja? Ngapain ajjah?” Ditanyai begitu, Arsyi kian tersipu-sipu. “Udahlah, pokoknya begitu,” ujar Arsyi kemudian dengan tetap tersipu. “Aku diterjang, menerjang, ketabrak, ditabrak, oleh keadaan yang membius jiwa ragaku. Anehnya, dimana pun aku berdinas, dan aku katakan dimana kotaku berada, Mas Fani menyusulku. Gila. Benar-benar kami gila.” Lagi-lagi Arsyi menarik nafas panjang.
“Akhirnya, di suatu hotel di Jogja, pada suatu bulan, Mas Fani melamarku setelah kami terlalu lama berdiam diri di kamar sepanjang hari. Katanya, ini tidak baik dan tidak sehat. Dan dia harus menikahiku.”
“Persoalan menikah tak semudah dikatakan. Karena aku harus cerita dan izin pada anak-anak, dia juga harus bilang ke anaknya. Aku hanya merasa nyaman bersamanya namun menempuh jalan yang tidak semestinya, pada awal-awal kami memulai hubungan.”
“Lantas kalian menikah?” Tembak Parmin. Arsyi mengangguk perlahan. “Tapi tiga bulan sesudah Mas Fani melamar di kamar hotel itu, baru kami menikah. Hanya ijab dan syukuran kecil di Serang. Lagi pula kami sudah berusia matang,” Arsyi mengatupkan mulutnya dengan kedua tangannya sambil menahan senyum. 
“Nggak perlu juga pesta-pestaan. Asal semuanya sah! Supaya kami tidak terjebak permainan cinta seperti yang kami lakukan sebelumnya. ” Dalam hati Parmin mengumpat dan mengatai Tofan. Bisanya dia mengaku duda dan hanya memiliki anak satu, gumam Parmin lirih. Sesudah menggumami sahabatnya, dipandanginya Arsyi. Ia tak menyangka sedemikian dalam hubungan Arsyi dengan Tofan sebelum menikah. Bak sepasang suami istri saja. Merasa ditatap begitu, dari mulut Arsyi terlontar ucapan, “Kenapa Mas?” Arsyi lantas menerka tatapan dan jalan pikiran Parmin barusan. “Mesti Mas Mono mau mengatakan...,” Dan sebelum Arsyi meneruskan kalimatnya, Parmin sambil tersenyum mengatakan bahwa daster yang dikenakan Arsyi begitu pas ditubuhnya. “Model batiknya oke, dikenakan padamu jadi tambah woke.” Mendengar penuturan Parmin tentang daster batiknya, mendadak Arsyi bangkit dari ranjang. Ia berdiri. Kemudian layaknya pragawati, ia berputar-putar tanpa sungkan di hadapan Parmin. Daster batik yang agak longgar, ketika Arsyi berputar, tanpa sengaja terangkat sehingga menampakkan sedikit paha mulus Arsyi. Parmin terkesiap, terkesima, lantas buru-buru menelan ludahnya. Puas berputar-putar, Arsyi duduk lagi di ranjang, meneruskan kisahnya.
Parmin tak mau terlihat terpana gegara adegan Arsyi barusan. Yang muncul justru rasa penasarannya. “Setelah menikah, Arsyi tinggal di Lampung?” Gelengan kepala Arsyi menaikkan alis Parmin. “Kalian tetap di kota asal masing-masing?” Kali ini kepala Arsyi mengangguk. “Aku sudah katakan pada Mas Fani tidak bisa ikut dengannya. Satu karena alasan pekerjaanku yang tidak mudah untuk mutasi antarprovinsi. Kedua, ibuku yang sudah sepuh selama ini ikut aku. Dan aku yang merawat beliau. Kakak dan adikku yang lain tinggal jauh dari Serang.” Parmin menyimak ucapan Arsyi seksama. Meskipun berkelakuan tak sepantasnya sebelum menikah, Arsyi peduli keadaan ibunya yang ia rawat selama ini. Juga sangat bertanggung jawab atas anak-anaknya. Ajakan Tofan menikah, Parmin juga setuju biar tak semakin dalam petualangan percintaan mereka. Sayangnya, ada kebohongan yang sengaja diciptakan Tofan. Entah apa maksudnya?
“Tapi Arsyi sudah pernah ke Lampung, ke rumah Fani?” tanya Parmin ingin tahu. “Hanya dua kali kalau nggak salah. Ketemu juga dengan anaknya. Setelah itu, Mas Fani yang bolak-balik Lampung-Serang. Kami berjauhan sampai akhirnya aku tahu keadaan yang sebenarnya.” Mendadak wajah Arsyi sendu. Mendengar yang ini, Parmin bersemangat. Ia ingin tahu apa yang akhirnya diketahui Arsyi tentang Tofan. Ditatapnya wajah sendu Arsyi yang terbentuk tiba-tiba.
“Kalian menikah sah, bukan siri?” Pertanyaan ini mendesak ingin diketahui Parmin. Dan hatinya lega melihat anggukan kepala Arsyi. Artinya, Tofan tak sekedar menyalurkan syahwatnya namun bersungguh-sungguh menikahi meskipun kelakuannya parah!
“Lantas ada apa dengan hubungan kalian sampai Arsyi bilang mengetahui sesuatu?” Lagi-lagi penasaran Parmin muncul. Ditanya mendesak begitu hanya desahan nafas panjang Arsyi yang keluar. Arsyi terdiam sebentar sebelum ia menjawab dan melanjutkan kisahnya.
“Ternyata manis di awal sampai aku terlena, mabuk, terbuai, tidak membuat panjang hubungan kami. Pada saat hamil tiga bulan, kebetulan aku mendapat tugas ke Bandar Lampung. Iseng-iseng aku mendatangi rumah Mas Fani.”
“Pasti mau bikin kejutan untuk Fani,” sergah Parmin tersenyum.
“Maunya emang gitu, Mas,” tanggap Arsyi datar. Datarnya tanggapan Arsyi bikin Parmin penasaran lagi. “Lantas, berhasil kejutannya?”
“Sangat berhasil!” Tampang datar Arsyi masih kentara. “Hanya beda yang terkejutnya.” Bibir Arsyi naik sedikit. Lagi-lagi ia menarik nafas panjang.
“Rumah sepi waktu aku datangi. Hanya tukang kebun yang sedang membereskan taman. Dari bapak itulah aku tahu sesuatu tersebut. Dan sesuatu yang diceritakannya berhasil membuatku terkejut.” Parmin sama sekali tak membuang pandangan matanya dari Arsyi. Dia simak sungguh-sungguh kisah kejutannya. Selain menyimak, ternyata ada yang memesona Parmin kala memandangi Arsyi.
“Pak Fani sedang ke luar kota, Mbak! Rumah ini bukan rumah Pak Fani. Ini rumah Ibu Dwi Harini yang tinggal di Metro. Rumah ini memang disewa oleh Pak Fani. Saya sudah lama menjadi tukang kebun dan ikut menjaga rumah Ibu Dwi. Biasanya, rumah ini dijadikan homestay makanya isi rumahnya komplit.” Arsyi mengulang kata-kata tukang kebun itu di hadapan Parmin. “Bayangkan coba Mas! Rumah orang lain diakui sebagai rumahnya.” Wajah Arsyi tampak dirundung kecewa.
“Rumah ini agak jauh dari tetangga. Terpisah. Dekat pinggiran sungai, banyak kebonan dengan pohon buah-buahan yang rindang, serta dekat persawahan makanya cocok dijadikan homestay oleh pemiliknya. Aku rasa Mas Fani sengaja menyewa rumah ini. Entah apa maksudnya.” Wajah kecewa Arsyi masih bergelayut.
“Dari si bapak tukang kebun, aku tahu Mas Fani tinggal di Bandar Lampung pinggiran. Beliau memberikan sebuah alamat. Tanpa pikir panjang aku cari alamat rumah Mas Fani tersebut.” Ketika Arsyi menyebutkan alamat rumah Tofan, Parmin tahu persis. Itulah rumah sebenarnya.
“Nah sebelum ke rumahnya, aku sempatkan telpon. Anehnya tak bisa sambung. Di luar area. Tapi sebelum aku tugas ke Bandar Lampung, Mas Fani memang pernah cerita mau ke luar negeri, antara Singapura, Malaysia atau Philipina. Jadi aku rasa, memang dia sedang bepergian ke luar negeri. Dengan begitu aku bisa tahu lebih banyak tentang suami baruku ini. Namun jujur Mas Mono, perasaanku mulai ragu dan bimbang.” Suara Arsyi terdengar bergetar. Parmin tetap belum menanyainya lagi.  
Menurut Arsyi, ketika mendatangi rumah Tofan, seorang perempuan sepuh menemuinya. “Beliau ramah menemuiku dan menanyakan keperluan mencari Mas Fani,” cerita Arsyi kemudian. “Aku merasa bahwa perempuan sepuh yang mengajakku bicara adalah orang tua Mas Fani. Gurat wajahnya mirip suamiku itu. Supaya tidak mencolok, aku pura-pura mengaku teman kerjanya yang datang dari Jakarta. Dan berhasil meyakinkan beliau. Sebetulnya aku agak gimana gitu membohongi orang tua tersebut.” Penjelasan Arsyi membuat Parmin mengumpat dalam hati. Mengumpati teman SD-nya tersebut. Meskipun demikian, Parmin tak menyela cerita Arsyi.
“Dan, keraguanku ternyata terbukti Mas!” Arsyi tertunduk ketika mulai meragukan kejujuran Tofan. “Ternyata, Mas Tofan berlibur bersama keluarganya. Bersama anak dan istrinya ke Malaysia. Kamu tahu Mas? Perasaanku langsung terpuruk, jantungku berdenyut lebih cepat. Nggak bisa marah, nggak bisa teriak kepada perempuan sepuh tersebut.”
Nak Arsyi, Fani dan keluarganya tidak semata liburan ke Malaysia saja. Mereka sekalian memeriksakan anak bungsunya, cucu saya juga, cerita Ibu Mas Fani saat itu. “Ini kejutan keduanya Mas Mono. Penjelasan siapa Mas Fani sudah mengejutkanku, kini beliau mengatakan Mas Fani mengantarkan anak bungsunya berobat ke Malaysia. Anak bungsunya terindikasi leukimia. Mungkin mereka ke Penang. Aku semakin lemas mendengar cerita tersebut, Mas!” Umpatan kembali bergema dalam hati Parmin. Bisa-bisanya Tofan membohongi Arsyi maupun istrinya, gumam lirih Parmin.
“Tanpa kutanyai, ibu Mas Fani bercerita banyak tentang anaknya itu, istrinya, anak-anak Mas Fani, dan segala tetek-bengek soal tanggung jawab atau kepedulian Mas Fani sebagai seorang suami, ayah, dan kepala keluarga.” Wajah sendu Arsyi muncul kembali namun ia enggan menumpahkan air matanya.
Parmin ingin ikut menyanggah keterangan ibu sepuh tentang Tofan, namun urung dilakukan. Ia tak mau Arsyi tahu kalau mereka saling kenal dan sama-sama satu SD. Suasana sempat hening. Arsyi sepertinya masih mengatur emosi dan perasaan hatinya. Bercerita sedikit kisah hidupnya yang tertipu seorang pria beristri yang mengaku duda beranak satu. Kejutan lain harus kembali didengar Arsyi.
“Perempuan yang sudah menerima aku dengan baik, hangat, dan telah membagikan ceritanya, ternyata mertua Mas Fani!” Suara Arsyi terdengar datar menjelaskan mengenai perempuan sepuh tersebut. “Aku kira perempuan sepuh itu ibu Mas Fani.” Untuk penjelasan ini pun Parmin paham. Kedua orang tua Tofan sudah lama meninggal. Seingat Parmin, perempuan sepuh satu-satunya, yang kini tinggal bersama keluarga Tofan adalah ibu mertuanya.  Asem, semprul tenan kowe, Fan.., umpat Parmin dalam hati. Dalam duduknya di ranjang bercerita, Arsyi meremas-remas kedua tangannya. Sesekali ia menarik nafas panjang. Matanya menyorot ke cermin yang persis ada di depan ranjang. Ia memerhatikan sendiri bayangan wajahnya di cermin. Sejurus kemudian, matanya mengarah kepada Parmin.
“Aku memang ingin menikah lagi. Aku juga masih butuh suami untuk menemani hari-hariku. Pria yang bisa menjaga aku dan anak-anakku. Tapi aku pantang mengganggu suami orang lain apalagi sampai merebutnya. Tak pernah terbesit sedikit pun dalam kepalaku ini,” Arsyi lantas menepuk pelan kepalanya. Ia menarik nafas panjang lagi. Parmin termangu mendengar cerita Arsyi, mulutnya juga mengatup. “Salahnya aku, aku terbuai, larut dalam kelembutan serta kehangatan permainan cinta Mas Fani. Jadinya, begitu deh,” senyum tipis kini mengembang dibibir Arsyi. Kepalanya lantas bergoyang-goyang.
“Nggak tahu deh kenapa pertahananku bisa bobol diterjang rayuan Mas Fani,” sambil bercerita demikian, Arsyi menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Untuk bagian yang ini, sepertinya ia merasa malu menceritakan kepada Parmin. Namun toh keduanya sudah melakukannya sebelum Tofan menikahi Arsyi.
“Kelamaan nganggur nggak dipakai, kali ya,” celetuk Parmin spontan kemudian tertawa kecil. Mendengar celetukan Parmin, tangkupan kedua tangan Arsyi yang tadi menutupi wajahnya, terbuka. Diraihnya bantal yang tergeletak di sampingnya lalu dilemparkan ke arah Parmin. “Mas Monoooooo,” teriak Arsyi. Parmin lantas berseru sambil meletakkan telunjuk dibibirnya, “Sssssstt..!” Keduanya tertawa kemudian.
“Untung hamilnya sesudah menikah,” ujar Parmin masih tertawa. Arsyi menutup wajahnya lagi. Parmin lantas ingat dan menanyakan anak hasil pernikahan Arsyi dengan Tofan. Kembali Arsyi membuka wajah yang ditutup kedua tangannya. Wajahnya berubah meskipun tidak menggelayut kesedihan yang berlebihan.
“Aku kehilangan bayiku, Mas! Keguguran,” ujar Arsyi lirih. Parmin sedikit terlonjak mendengar penuturan Arsyi. Lalu menyimak lagi ceritanya. “Mungkin karena terkejut serta tidak menyangka kejadiannya demikian, makanya aku terus kepikiran hingga akhirnya kehilangan  my baby. Tapi saat keguguran, aku nggak pernah bilang Mas Fani. Aku hadapi sendirian saja.” Sekali lagi Arsyi menarik nafas panjang.  “Dan setelah keadaanku lebih tenang, aku lantas putuskan menjauhi Mas Fani. Aku pindah rumah dan ganti nomor telepon.” Parmin mengangguk-angguk paham. “Kebetulan aku memang sudah niat pindah ke rumah agak besaran. Klop jadinya,” ujar Arsyi menambahkan.
“Meskipun demikian, Mas Fani nggak tinggal diam. Dia mencariku ke tempat kerja. Entah bagaimana ceritanya, selalu saja aku terhindar bertemu dengannya. Aku juga membatasi medsos supaya tidak terlacak Mas Fani. Sejauh mungkin aku tidak ingin bertemu lagi dengannya. Mauku dia bersama keluarganya saja. Apalagi anaknya leukimia dan harus dapat perhatian serta penanganan serius. Seperti kataku tadi. Meskipun aku butuh suami lagi tapi aku tak mau mengganggu suami perempuan lain. Bukan aku banget!” Seraya mengakhiri ceritanya, Arsyi tersenyum. “Eh kok malah kenal Mas Mono lewat Serlin yang ternyata teman kuliah Mas...” Arsyi mengedipkan matanya. Hanya tawa Parmin yang membalas kedipan mata Arsyi.
 “Ohya, sebelum kenal Mas Mono, aku kerap liburan ke Jogja. Bersama keluargaku atau Mas Fani. Jogja tuh penuh selaksa makna buat kisah hidupku. Di Jogja juga aku direnggut oleh Mas Fani.” Kali ini Arsyi tertawa. Ia juga menggeleng-gelengkan kepalanya. Namun Parmin mengumpat dalam hati, asem tenan kowe Fannn..! Betapa Parmin harus mengumpati teman SD-nya. Toh selama ini, dan ternyata juga, Tofan sudah sering ke Jogja tanpa pernah sekali pun ia menghubungi dirinya.
“Dimana saja kamu direnggut Fani?” pancing Parmin sambil menahan senyum. Ditanya begitu Arsyi tertegun sebelum berkata, “Ada ajah!” Lagi-lagi Arsyi menutupi wajahnya seraya berkata, “Udah ahhh, malu aku.” Parmin tertawa mendengar jawaban Arsyi. “Malu tapi enakkkk,” ujar Parmin.
“Mas Monooooo..,” teriak Arsyi lagi sebelum akhirnya membekap sendiri mulutnya. Khawatir teriakannya terdengar tamu hotel lain. Parmin pun tertawa. Sore itu, dalam kamar itu, hanya tertawaan saja yang meruah. Tertawa yang mungkin menertawai diri sendiri bagi Arsyi. Mata Arsyi kembali menerawang bahkan menembus jendela entah merayap kemana!
Tak lama menerawang jauh, Arsyi bangkit dari ranjang dan berseru mau mandi. “Cukup ahh kisah haru-birunya, saatnya kita lanjutkan rencana kita kemarin ke Amplaz nonton acara musik.”
“Mas Mono nggak mau mandi? Aromanya menyebar!” Hidung bangirnya buru-buru dipencet. “Bentar ya, Mas, aku mandi. Ambil minuman tuh di kulkas. Sampai lupa nawari minum.” Arsyi pun menutup kamar mandi. Parmin masih menimbang-nimbang tawaran Arsyi, untuk mandi. Terdengar senandung dari dalam kamar mandi dan Parmin masih terus menimbang tawaran mandi tadi.
Parmin memandang keluar lewat jendela kamar. Matahari sore masih menyilaukan matanya. Belum ada keputusan menerima tawaran mandi tadi atau hanya akan mandi pasfoto alias cuci muka separuh badan. “Ada handuk satu lagi kalau Mas Mono mau mandi. Pakai saja,” teriakan Arsyi mengagetkan Parmin yang sedang memandangi Jalan Mangkubumi yang sore itu padat. Parmin membalikkan badan dan melihat Arsyi buru-buru masuk kamar mandi lagi. Dilihatnya ada baju yang tadi dikenakan Arsyi, tergeletak di atas ranjang.
“Nggak apa-apa aku ikutan mandi di sini?” tanya Parmin ketika Arsyi keluar dari kamar mandi. Senyum mengembang dibibir Arsyi seraya kepalanya mengangguk. Parmin berjalan ke arah kamar mandi. Saat melewati Arsyi, aroma wangi menyergap hidungnya. “Udah sana, mandi atau apa saja maunya!” perintah Arsyi tersenyum. Parmin masuk kamar mandi. Klik, terdengar pintu kamar mandi dikunci dari dalam. Di dalam kamar mandi, Parmin masih menimbang lagi antara mandi atau hanya mau cuci muka. Tadi memang badan panas dan gerah. Namun berada dalam kamar Arsyi yang dinginnya banget, tubuh yang panas dan berkeringat akhirnya mendingin juga. Parmin memutuskan hanya akan cuci muka, tapi ia menanggalkan pakaiannya biar tak basah saat membasuh muka dan badannya.
Sore itu, malam sabtu itu, Parmin menemani Arsyi keliling Amplaz, yang menurutnya sudah banyak perubahan. Sebelum pertunjukan musik yang menampilkan Sal Priadi dan Putra Timur belum berlangsung, keduanya mengelilingi Mal Amplaz. Mereka bergabung dalam kerumunan acara gratis itu ketika terdengar riuh suara para penonton yang mengelu-elukan penyanyi dan pemusik jebolan YouTube tersebut. Arsyi dan Parmin baru menyadari bahwa acara itu dihadiri oleh kawula muda Jogja bukan orang-orang macam mereka berdua yang tak termasuk kawula muda. Namun tampaknya Arsyi tidak peduli. Ia menggeret Parmin untuk merangsek ke depan panggung, saling beradu cepat dengan para kawula muda yang lebih dulu datang dan berkerumun di depan panggung. “Percuma aku datang dari Serang kalau sampai tak bisa melihat mereka dari dekat,” ujar Arsyi bersemangat. Suaranya mulai timbul tenggelam ketika band pembuka mulai menyanyikan lagu-lagu mereka. “Aku mau lupakan kerjaanku, aku mau lupakan kisah piluku bersama Mas Fani. Aku hanya mau refreshing bersama Mas Mono, Mas-ku yang baik hati ini,” mulutnya sengaja didekatkan ke telinga Parmin karena sekitar panggung sudah hingar-bingar. Parmin bahkan merasakan sentuhan bibir Arsyi yang mengenai sedikit daun telinganya. Nafasnya harum. Aroma tubuhnya pun terasa segar. Sesekali Arsyi menggenggam lengan Parmin. Ia lepaskan ketika ikut bersorai seraya mengacungkan kedua tangannya. Arsyi benar-benar bebas dan sesaat menjadi ABG dadakan. Sekilas Parmin melihat wajah Arsyi. Ceria dan bersemangat berteriak-teriak. Tampaknya ia sudah melupakan kisah pilu yang siang tadi barusan diceritakan padanya.
Sesungguhnya, Parmin kurang mengerti bermusik kedua penyanyi ini, namun demi menemani Arsyi ia ikhlas melakoni malam sabtunya. Dan supaya terlihat ikut menikmati alunan musik, Parmin tak segan-segan menggerakkan tubuhnya setelah melirik Arsyi yang bergoyang santai mengikuti irama. Sebuah intro musik slow terdengar. Rupanya intro lagu Angin Malam milik Chrisye. Parmin terkejut ada yang melingkar di pinggangnya. Ketika menoleh sebelahnya, sebuah senyuman tersungging dibibir Arsyi. Dan pelukan melingkar di pinggangnya tak dilepaskan Arsyi. Parmin merasakan deburan jantungnya menggedor rongga dadanya.
WOW MUSIC malam sabtu itu dipuncaki penampilan Sal Priadi yang membawakan lagu hits-nya Ikat Aku di Tulang Belikatmu. Lagi, dan lagi, sambil bergoyang lembut dan pelan, Arsyi tetap melingkarkan tangannya di pinggang Parmin. Tarikan nafas pelan Parmin pasti tak dirasakan Arsyi di tengah gegap-gempitanya para penggemar Sal Priadi. Parmin pun tak berniat menepis pelukan Arsyi karena tak enak hati dilihat orang apabila ia melakukannya. Dan ketika Sal Priadi pamit dari panggung, Parmin dan Arsyi bergegas meninggalkan tempat acara. Mereka berjalan menuju parkiran motor. Kemanjaan Arsyi berlangsung kembali. Ia menggelendot dilengan Parmin selama berjalan menuju parkiran motor. “Aku masih menantang Mas Mono menemaniku jalan-jalan dari Tugu Pal Putih ke Malioboro. Masih mampu nggak?” pinta Arsyi. Dan Parmin dengan mantap menganggukkan kepalanya seraya berkata, “Siapa takut berjalan di garis imajiner Jogja?” Genggaman Arsyi bukannya mengendur. Dan lagi, jantung Parmin menggedor-gedor rongga dadanya.
Setelah memarkir motor di parkiran Hotel Arjuna, keduanya langsung menyusuri jalan menuju Malioboro. Kali ini, Arsyi tidak menggelendot seperti saat di Amplaz tadi. Ia berjalan beriringan, di sebelah Parmin. Di depan Hotel Grand Zuri, tetiba Arsyi menghentikan langkahnya lalu menengok ke belakang. Ke arah Tugu Pal Putih. Parmin terkejut lantas bertanya kenapa Arsyi seperti khawatir. “Mas Fani masih di Hotel 101, nggak ya?” tanyanya. Dahinya setengah mengernyit. Dan tak mungkin juga Parmin mengatakan yang sebenarnya. Ia hanya melihat Arsyi mengambil ponsel dari tas tangannya. Lalu terdengar ia bicara dengan seseorang. Ya ampun, Arsyi menghubungi Hotel 101 dan menanyakan Tofan! batin Parmin. “Oh Pak Taufani sudah check-out tadi sore. Baik terima kasih sebelumnya.” Wajah Arsyi lantas terlihat cerah lagi. Buru-buru ia masukkan ponsel ke dalam tas tangannya lagi. “Aman. Kita lanjutkan lagi jalan-jalan malam kita, Mas..” Parmin hanya tersenyum. Sekilas, tanpa sepengetahuan Arsyi, Parmin mencuri lihat wajah Arsyi. Selain merasa iba atas nasibnya yang dikerjai Tofan, sahabatnya, Parmin juga melihat sebuah pesona dan ketegaran hati.
Sesudah melewati rel kereta Stasiun Tugu, Arsyi minta berhenti. Ia menunjuk plang nama Jalan Malioboro. “Meskipun sudah pernah, dan mungkin berulang kali berfoto dengan tulisan itu, malam ini, aku pingin difoto lagi bareng tulisan Jalan Malioboro,” ujar Arsyi yang langsung menarik Parmin yang sempat terdiam sesaat. Ponsel Arsyi dalam tas tangan telah berpindah tangan ke Parmin. Dan beberapa pose Arsyi di situ dicekrek-cekrek Parmin.
“Ayo Mas, foto denganku.” Arsyi lalu minta tolong pada seseorang yang sedang antri di situ. Arsyi tanpa malu-malu langsung memeluk pinggang Parmin yang justru seperti hendak menjaga jarak. Dan ketika merasakan eratnya pelukan Arsyi, Parmin berusaha menyamankan dirinya sendiri. Matanya melirik ke setiap sudut jalan, kalau-kalau ada yang mengenalnya sedang bergaya dengan seorang perempuan. Desah nafas kecil mengalir pelan di rongga dada Parmin.
Perjalanan malam berlanjut. Mereka menuju depan Mal Malioboro. Ketika tak ada bincang di antara keduanya, Parmin mendengar senandung lirih Arsyi yang melantunkan lagu Sepanjang Jalan Kenangan. “Masih mengingat Fani?” Parmin coba menerka maksud Arsyi bersenandung. Mereka lantas berhenti di depan Gedung DPRD dan duduk di salah satu bangku kosong di situ. “Seburuk apa pun kelakukan Mas Fani, dia pernah mengisi relung hatiku. Aku hanya menyesal larut dalam perasaan yang terlalu dalam hingga lepas kontrol sebelum menikah. Namun aku juga tak mau mengganggu hati perempuan lain. Bukan aku banget kayak begituan. Aku tetap butuh sentuhan dan penjagaan pria tapi tetap tak mau melukai hati perempuan lain.”
“Akhirnya aku berani mengungkapkan ini padamu, Mas!” Arsyi memiringkan tubuhnya. Ia melihat sejurus wajah Parmin. Anggukan kepala Parmin mengulas senyuman di wajah Arsyi kemudian. “Makasih ya, Mas, sudah jadi sahabat dan mau mendengarkan curhatku.” Arsyi bangkit lalu mengajak Parmin berjalan lagi menyusuri Kawasan Malioboro. Senandungnya tetap lagu lawas Tety Kadi tersebut, sesekali ia juga menyenandungkan lagu KLa, Jogjakarta. Di muka Mal Malioboro, pengamen jalanan bercalung masih eksis mengamen. Didekatinya salah satu pemain lantas menunjukkan ponselnya. Yang menerima pesan Arsyi lantas mengangguk. Kembali Arsyi mengajak Parmin duduk di salah satu bangku dekat para pengamen tersebut. Setelah 2 lagu dimainkan, barulah Parmin ngeh. Rupanya Arsyi minta dinyanyikan lagu Tety Kadi tadi. Versi calung terasa beda aransemennya tapi apik juga. Lagu kedua belum dilantunkan namun Arsyi sudah berkata, “Aku tak bisa ke lain hati dengan Jogja. Selain ada kisah haru-biruku, kini ada dirimu Mas Mono. Sahabat yang siap antar jemput, hahahaha....” Parmin ikutan tertawa kemudian menepuk pelan kepala Arsyi.  
Parmin memastikan jam berapa ketika mereka sampai di depan kamar Arsyi. Arsyi sedang membuka pintu kamarnya. Pukul setengah dua malam lebih begitu kamar terbuka. “Mau mampir?” Arsyi menawari Parmin masuk. Parmin hanya menggeleng. Ia menolak ajakan Arsyi. Selain sudah capek dan mengantuk, ia juga tak mau mendekati hal-hal begituan. Namun tak urung Parmin menjawab ajakan Arsyi, “Bukan nggak mau diajak mampir lagi. Cuma takut kalau mampir terus nggak bisa keluar dan terjadi hal-hal yang diinginkan!” Terdengar suara mengikik halus dari mulut Arsyi.
“Mau?” Spontan keluar kata tersebut dari mulut Arsyi. Namun sesudahnya Arsyi tertawa kecil. Parmin pun ikutan tertawa.
“Kasih ini ajjah yaah!” Arsyi mendekati Parmin. Ia merangkul hangat Parmin dan sebuah kecupan manis mendarat dipipi Parmin.

“Makasih untuk semuanya, ya Mas. Aku sayang padamu, seperti aku sayang pada kota Jogja.” Parmin segera mendorong Arsyi untuk segera masuk kamar dan mengunci pintu. Ia pun berpamitan. Matanya nyaris mengatup menahan kantuk. Saat menyusuri lorong hotel, ia mendengar pintu kamar ditutup. Kalimat ‘aku sayang padamu’ yang diucapkan Arsyi langsung terngiang di kepala Parmin. Ia terus melangkah menuju tangga. 
Ketika hendak memutar tuas gas NMAX-nya, dering pesan masuk terdengar dari ponsel yang ada dalam saku jaketnya. Makasih sekali lagi, ya Mas. Hati-hati di jalan. Jangan tidur sambil naik motor hehehe... Ohya, tadi lupa bilang. Besok pagi aku langsung check-out dan pindah ke Hotel Ibis Malioboro. My boss mengubah skedulnya. Besok aku diajak ke Bantul oleh beliau. Kalau masih sempat kita ketemu lagi ya sebelum aku balik ke Serang. Parmin hanya membaca terus segera memutar tuas gas NMAX-nya.
Mon, aku udah sampai rumah lagi. Nuwun udah ketemuan meskipun belum puas rasanya jumpa denganmu. Lain kali, aku ajak anak-anak dan bojo ke Jogja menemuimu lagi. Masih ada cerita yang belum terungkap, dan aku pasti akan mengungkapkannya suatu saat. Pesan Tofan baru masuk setelah Parmin membaca pesan Arsyi. Dan pesan itu masih ngendon menggantung karena Parmin masih melaju menuju rumahnya.

           

Komentar

  1. Lama ngga nulis, ini yang akhirnya tercipta.

    BalasHapus
  2. Sdh ending kah?ato sengaja digantung begitu?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dipersilakan berimaji sendiri. Kalau aku menganggapnya selesai tapi penulis apa ajjah bisaaa, hahaha.. makasih ya udah baca.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PIYAMBAKAN

KIRIMI AKU SURAT CINTA