TJ

TERSIHIR JIWAMU,
BOLEHKAH AKU SELALU DI DEKATMU?


Kau memang t'lah menjaga hatiku selama ini, namun aku merasakan sesuatu yang lain pada hatiku, gumam Mesya malam itu, di tengah tumpukan jurnal yang berserakan di meja belajarnya. Sementara di luar, derai hujan terdengar berirama ketika menyentuh genting-genting paviliun yang ditinggalinya.
Hmmm, terdengar desahan Mesya sekali lagi.... Matanya memandang foto berpigura indah di meja belajarnya. Sesosok lelaki tampan sedang menggendong balita cantik ditangan kanannya. Sebentar kemudian matanya mengatup lalu mulailah berkelebatan bayangan dia.
***

            Tidak biasanya pintu perpustakaan belum buka padahal sudah pukul 8.10. Dari parkiran motor, Mesya melihat situasi itu setelah ia melihat jam Chanel  yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Setengah bergegas ia berjalan menuju perpustakaan. Dan sebelum mencapai pintu perpustakaan yang masih tertutup, untuk ke sekian kalinya Mesya berhenti di depan pintu masuk perpustakaan. Di samping pintu masuk perpustakaan, di tembok  sebelah barat pintu, tertera tulisan:
SELAMAT DATANG DI PERPUSTAKAAN PUSAT
UNIVERSITAS BINTANG SEMESTA
            Seperti tak pernah merasa bosan Mesya membaca plang nama itu. Ia berdiam mematung sesekali matanya melirik ke arah pintu masuk perpustakaan. Kok tidak seperti biasa, pikirannya mulai bertanya. Dari kaca-kaca perpustakaan yang tembus pandang, sesungguhnya sudah terlihat kesibukan para petugas di dalam. Semua tampak terburu. Karena tak ada pemberitahuan, Mesya iseng bertanya kepada wanita yang juga berdiri di dekatnya.
            “Kunci pintu masuk patah,” begitu jawaban yang diterima Mesya.
            Sebelum pengunjung perpustakaan bertambah, dari dalam ada petugas yang memasang tempelan kertas di pintu masuk. Para pengunjung diminta lewat pintu belakang, pintu yang biasa dipakai lewat karyawan perpustakaan. Mesya dan beberapa orang yang tadi menunggu bergegas menuju pintu belakang. Mereka harus mengitari setengah gedung untuk mencapai pintu belakang. Hawa langsung terasa beda ketika Mesya mulai memasuki bagian dalam perpustakaan. Ia langsung menuju meja tempat biasa ia selalu duduk selama di perpustakaan. Meja itu letaknya dekat kaca tembus pandang yang dari situ terlihat hamparan taman bunga.
            Suara petugas perpustakaan terdengar. Para pengunjung tetap diminta mengisi daftar kehadiran di dekat pintu masuk yang sedang bermasalah. Sesudah meletakkan tas ransel, Mesya menuju meja kedatangan dekat pintu masuk. Selesai mengetikkan identitasnya, ia pun kembali ke meja dan bersiap menghabiskan waktu di perpustakaan.
            Beberapa buku yang diperlukannya sudah diambil dari rak. Kini Mesya duduk tenang membaca. Laptop dibiarkan menyala yang menampakkan deretan kalimat bermakna yang sudah dikerjakan Mesya beberapa bulan terakhir ini. Pagi itu, perpustakaan belum ramai. Tidak seperti biasanya. Di pintu masuk, ada tukang servis yang sedang bekerja di situ. Seorang pria dengan ransel di punggung diarahkan tukang servis menuju ke belakang. Hingga pukul 10, perpustakaan masih bisa dihitung jumlah orang yang berkunjung. Meja yang biasa ramai oleh para mahasiswa yang mencari data atau sekedar membaca, masih terlihat sepi.
            Mesya agak terusik ketika meja di depannya berbunyi “bruk”, seperti kejatuhan benda berat. Mesya melongok sebentar untuk melihat mengapa dentuman suara meja mengusik ketenangannya membaca.
            “Maaf, suara tas saya mengganggu, Mbak!” Bersamaan matanya melihat ke arah meja, bersamaan pula  terdengar permohonan maaf dari seorang pria yang wajahnya tampak smart dan hangat. Perasaan merasa terusik Mesya mendadak raib, berganti senyuman manis kepada pria yang minta maaf tadi.
            “Ohh, nggak apa-apa, kok! Cuma kaget sedikit!,” ucap Mesya tersenyum.
            “Silakan saja,” lanjut Mesya. Pria itu membalas senyuman Mesya. Ia pun duduk setelah meletakkan ransel di bawah meja. Mengeluarkan laptop, menyalakan, kemudian berdiri berjalan menuju meja kedatangan. Mengisi daftar hadir di perpustakaan. Semua tingkahnya tidak lepas dari pandangan Mesya. Termasuk ketika si pria itu berjalan menuju rak buku.
            Mesya sibuk mengheningkan suara ponselnya yang tiba-tiba berbunyi. Sesudah memasang mode silent bervibra, ia membaca pesan yang masuk. Senang aku, Mas Dyo datang sore ini, begitu jawaban yang diberikan Mesya kepada pengirim pesan yang tak lain adalah suaminya.
            Sejak memutuskan kuliah S2 karena memperoleh beasiswa dari kantornya, Mesya dan Dyotama berpisah domisili. Mereka bergantian saling menemui karena masing-masing masih punya kepentingan yang sama. Kangen yang merindu sangat karena terpisah ranjang.
***
            Hari itu Mesya tidak datang pagi. Baru jelang pukul 9 ia datang ke perpustakaan. Dari meja kedatangan ia melihat bangku yang biasa diduduki masih kosong. Pria yang kemarin, kemarin lusa, dan kemarin-kemarin, sudah duduk di seberang bangku yang biasa ia duduki. Kali ini kedatangan Mesya yang membuat pria tersebut mendongakkan kepalanya. Ketika mata mereka beradu, pria itu menyunggingkan senyuman kepada Mesya. Sebuah senyuman balasan diberikan Mesya. Dan Mesya tidak menyangka ketika sebuah sapaan muncul, “Kok baru datang?”
            Selama mereka duduk berseberangan baru kali ini pria itu menegur. Selama mereka duduk berseberangan mereka berdua hanya memainkan bibir. Saling mengumbar senyuman.
            “Iya harus ke fakultas dulu, ada yang perlu diurus,” jawab lirih Mesya kemudian tersenyum lagi. Ransel sudah bersembunyi di tempatnya, Mesya pun langsung membuka laptop dan mengeluarkan buku catatannya. Setelah membaca sebentar ia segera bangkit menuju rak buku. Lagi-lagi Mesya berkata lirih mengatakan hendak mencari buku referensi. Senyuman lagi yang muncul dari bibir si pria. Keduanya kemudian larut dengan keasyikan masing-masing….
            Entah kenapa siang itu Mesya sedikit merasa bosan. Sudah hampir 3 bulan ia mendekam di perpustakaan namun masih ada yang mengganjal saat akan menuliskan tesis yang sudah dipilihnya. Diedarkan pandangannya ke seluruh ruangan perpustakaan sebelum akhirnya ia melabuhkan pandangan pada taman bunga perpustakaan dari kaca tembus pandang dekat tempatnya duduk. Tapi entah kenapa taman bunga yang biasanya menenangkan kala ia galau, resah atau bosan, kali ini, siang ini, tidak membuatnya tenang dan bahagia seperti biasa. Ia kemudian meraih botol minuman yang selalu dibawanya. Meneguk beberapa kali sari jeruk plus madu kesukaannya. Kembali ia memandangi laptop yang tak pernah padam selama ia berada di perpustakaan. Jari-jemarinya bersiap di atas tuts-tuts laptop hendak mengetikkan sesuatu. Yang ada, jari-jemarinya hanya menggantung tanpa mengetikkan apa-apa. Di klik youtube setelah meminimize ketikannya. Dipilihnya kumpulan lagu-lagu pop. Headset bernuansa pink sudah menempel di telinga. Entah kenapa juga ia memilih lagu Sempurna milik Andra and The Back Bone sebagai lagu pertama yang ingin didengarkannya.
            Ketika asyik mendengarkan lagu itu, tanpa sengaja matanya melihat ke seberang, tempat dimana pria yang sudah sebulan ini selalu duduk persis di depannya. Tak ada komando antarmereka tapi si pria di seberangnya tiba-tiba mendongakkan kepalanya, merentangkan kedua tangannya, dan tatapan pria itu beradu dengan tatapannya. Sesaat Mesya terperangah. Tak hanya tatapan saja, Mesya juga memperoleh bonus senyuman dari si pria. Yang lebih mengejutkan lagi, gerak bibir si pria mengatakan sesuatu yang terbaca Mesya sebagai “capek yaa?” Laksana sengatan listrik, Mesya merespon capek yaa? pria itu dengan anggukan kepalanya dua kali. Dua saat kemudian, Mesya baru menyadari apa yang telah dikerjakan barusan. Yang lebih aneh lagi, Mesya merasakan dadanya plong, tidak jengah lagi setelah disapa pria itu. Meskipun sudah sebulan bersama, duduk berseberangan, Mesya belum mengenal dan mengetahui siapa pria di depannya itu. Dari fakultas mana? S2 atau S3? Tiba-tiba keingintahuannya menyeruak begitu saja dalam benaknya.
            Sekali lagi gerak bibir pria itu berulang namun dengan pertanyaan yang beda. Entah kenapa Mesya menyebutkan nama akun facebook pribadinya ketika pria itu menanyakan. Dengan mengeja melalui gerak bibirnya, Mesya menyebutkan nama facebook-nya: Vramesia Tri Nawangka. Ia hanya membalas senyum ketika pria itu melemparkan senyuman sembari menganggukkan kepala.
            “Makasih. Aku masukkan namamu dulu,” bibir pria itu mengucap dengan kalimat lirihnya. Ia kemudian terlihat menundukkan kepala ke arah laptop. Secara spontan, Mesya menyetop lagu yang sedang diputarnya. Membuka akun facebook yang tadi di minimize. Dan memang ada ajakan pertemanan di situ. Tanpa ragu, tanpa berpikir tiga empat kali, Mesya mengkonfirmasi pertemanan Bang Ris. Itu nama facebook pria yang sebulan ini duduk berseberangan di perpustakaan. Selesai Mesya mengiyakan pertemanan, tak sampai hitungan menit, messenger FB-nya menyala.
            Terima kasih, apa yang panggilanmu?, sudah menerima undangan pertemanan. Aku, Ericho Haris Sabrang. Senang bertemu dan berkenalan denganmu. Sebulan duduk bersama di perpustakaan, masa kita cuma saling senyum saja? Messenger pertama langsung membuat Mesya tersenyum, melupakan jengah dan kebosanannya tadi. Ia pun menjawab messenger Haris.
            Iya Bang, senang juga akhirnya bisa saling berkenalan. Ohya, panggil aku Mesya saja. Itu nama panggilanku. Dari fakultas mana, Bang? Entah kenapa, Mesya langsung merasa klik dengan teman barunya ini. Meskipun mereka duduk berseberangan, kecanggihan teknologi akhirnya yang mereka gunakan. Chatting….
            Sebelum menerima jawaban lagi, Mesya mencoba melihat Haris di seberang tempat duduknya. Hal yang sama juga dilakukannya. Keduanya lantas tersenyum. Kotak messenger menyala lagi.
            Saya sedang S3 di Fisipol. Mesya di FEB ya? Mesya kaget Haris bisa menebak ia sedang S2 di FEB. Jawaban pendek Mesya mengakhiri chatting perkenalan mereka. Perut Mesya terasa agak perih, pertanda harus segera disusupi makanan. Ia lupa, tadi pagi tidak sempat sarapan sebelum pergi ke perpustakaan. Suaminya 2 malam mengunjunginya dan setelah subuhan tadi pagi kembali ke kota asal mereka.
***
            “Tempatnya nyaman juga, ya?” ucap Mesya begitu memasuki kafetaria milik fisipol. Haris mengajak Mesya makan siang di kafe fakultasnya.
            “Kafe ini sudah lama ada. Memang Mesya belum pernah ke sini?” tanya Haris kemudian.
            Dengan wajah tersipu-sipu agak malu, Mesya mengatakan kalau ia selalu jajan di kantin perpustakaan yang ada di basement gedung perpustakaan. “Kelasku lain-lah sama Abang….” Wajah tersipu Mesya bertambah.
            Sambil mengajak duduk, Haris mengatakan bahwa ia pun jarang makan di kafetaria ini. “Ini karena mengajak Mesya saja, makanya aku mau ke sini. Biasanya, aku juga makan di kantin fisipol. Tuh di sebelah sana!” Haris menunjuk kantin yang dimaksud.
            “Kenapa kita nggak makan di sana aja, Bang?” Pasti di sini mahal?” Ujar Mesya. Terdengar suara terkekeh Haris.
            “Nggak apa-apa! Sekali-kali naik pangkat dari kantin ke kafetaria, hahaha…. Lagi pula cuaca di luar panas banget. Kalau di kantin pasti gerah. Kalau di sini sejuk, ademnya terasa,” jelaskan Haris alasannya mengajak Mesya ke kafetaria fisipol.
            “Satu lagi. Siang ini aku yang traktir makan siang sebagai tanda pertemanan kita. Silakan, monggo dipilih menu maksinya,” ujar Haris sambil menyodorkan daftar menu.
            “Ahh, kok jadi ngerepoti gini?” kata Mesya. Haris menggeleng perlahan. Mesya pun memilih makanan yang dipesannya: nasi goreng seafood.
            Keduanya, rupanya, memesan menu yang sama. Haris tertawa begitu tahu apa yang dipesan Mesya. “Aku tebak ya kira-kira minuman apa yang dipesan?” Tiba-tiba saja Haris berkata begitu. Mesya belum menuliskan minuman yang dimaui namun sudah menuliskan dalam kepalanya.
            “Ini kan yang mau dipesan?” Sambil Haris menunjukkan gambar minuman yang ada dalam daftar menu. Mesya tertawa ketika Haris menunjuk es jeruk sebagai minuman yang diinginkannya sesudah makan nasi goreng. Haris pun memanggil kru kafetaria mendekat.
            “2 nasi goreng seafood, 2 es jeruk. Nggak pakai lama, ya Mbak?” pesan Haris, sembari menyerahkan kertas pesanan. Kru kafe hanya tersenyum kemudian berlalu. Mereka pun mengobrol banyak hal terutama mengenai kuliah pascasarjana mereka. Dari mengobrol juga keduanya saling tahu asal masing-masing.
            “Saya kerja di Kantor Perbedaharaan Negara di Kebumen,” aku Mesya kepada Haris.
            “Di kantor, masing-masing dari kami dipersilakan untuk kuliah lagi. Selain untuk kredit poin pribadi juga untuk peningkatan jenjang karir,” Mesya menceritakan asal-muasalnya mengapa ia memilih kuliah dan berpisah sementara dengan keluarganya. Haris mengangguk pelan.
            “Ohh, Bang Haris dari sini ajah?” ucap Mesya begitu ia tahu Haris penduduk asli. Haris kembali mengangguk.
            “Kuliahku memang tuntutan profesi,” ujar Haris menambahkan.
            “Bang Haris dosen, kan?” Mesya langsung menebak profesi Haris. Yang ditebak tersenyum sembari menunjuk kepada seseorang. Mesya menoleh mengikuti yang ditunjuk Haris.
            Dua nasi goreng seafood dan dua gelas es jeruk sedang dibawa kru kafe keluar dari pantry kafe. Mesya menggosok-gosok kedua telapak tangannya menandakan kegembiraan. Perutnya sedari tadi, sedari ia mengobrol, tak berhenti memainkan orkestra kelaparan.
            “Silakan menikmati. Kalau diperlukan lagi, silakan hubungi kami,” ucap kru yang mengantarkan pesanan. Keduanya melahap pesanan sambil tetap mengobrol asyik.
            “Mesya menulis tesis tentang apa?” tanya Haris disela-sela mengunyah nasi gorengnya.
            “Investasi!”
            “Faktor-faktornya masih yang itu juga, kan?” Haris langsung antusias begitu Mesya mengatakan investasi.
            “Iyalah Bang, mau faktor apalagi dari investasi?” tanya Mesya kemudian tertawa. Haris menganggukkan kepalanya.
            Mesya meneguk es jeruknya. Kemudian melanjutkan kembali memakan nasi gorengnya sembari mengatakan bahwa ia belum menemukan sumber referensi lain yang menyebutkan impor bahan baku merupakan fungsi dari investasi. Mendengar penuturan Mesya, dahi Haris agak mengernyit. Ia menghentikan suapan ke mulutnya, sebentar.
            “Memang ada yang mengatakan begitu? Impor bahan modal merupakan fungsi dari investasi? Yang ada, justru investasi merupakan fungsi dari impor bahan modal,” jelas Haris.
            “Saya menemukan sebuah artikel yang mengatakan demikian, Bang! Kemudian saya tunjukkan kepada dosen pembimbing. Beliau pun setengah terkejut. Akan tetapi, setelah membaca penjelasan si penulis sangat ilmiah dan bisa diterima, dosen pembimbing menyarankan saya untuk mencari referensi sebanyak mungkin tentang fungsi yang terbalik ini. Katanya, faktor-faktor yang ada sudah biasa. Jadi, kalau ada faktor lain di luar kebiasaan begini pasti akan dipertanyakan pada saat sidang nanti.” Haris manggu-manggut.
            “Coba nanti aku bantu mencari referensi soal ini, ya?”
            Mesya menghentikan makannya. Matanya berbinar memandang Haris. “Benar Abang mau bantu?” Haris menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.
            “Semoga bisa yaa….”
            “Tapi, bukannya Abang orang sospol? Apa mengerti tentang investasi?” tanya Mesya yang tiba-tiba meragu.
            “Tentu bisalah….” Gantian Mesya yang mengernyitkan dahinya. Pikirannya, bagaimana mungkin orang sospol mau bersusah-payah mencari referensi tentang investasi yang adanya di bidang ekonomi. Di tengah keraguan yang menampak di wajah Mesya, Haris berkata lirih, “S1 saya ekonomi.” Dan terperanjatlah Mesya kemudian.
            “Beneran Bang Haris S-1 ekonomi?” Haris mengangguk. Ia kemudian menunjuk dimana kampusnya dulu. Sesudah itu, tertawa renyahlah Mesya.
            Makan siang sambil mengobrol kuliah, investasi, ilmu ekonomi, politik, agama, budaya, sesuatu yang kekinian, sesuatu yang ngetrend, dan lain-lain, sekonyong-konyong menimbulkan kekaguman pada diri Mesya terhadap Haris. Sejam lebih mereka di kafetaria fisipol, di situ juga Mesya bisa langsung menyimpulkan kalau Haris smart, hangat, dan sudi berbagi kepintaran.
            “Jangan tanyai aku yang sulit-sulit,” kata Haris pada Mesya. Saat itu mereka sudah benar-benar merampungkan makan siang.
            “Pak dosen harus semua tahu dong,” timpal Mesya tak mau kalah. Haris tertawa kecil sambil mengatakan, “Nggak masalah, ada Mbah Gugel penolongku.” Keduanya lantas tertawa.
            Siang itu, rasa boring, bête, bosan, jenuh, resah, seketika sirna dari tubuh Mesya. Berganti senyum cerah. Keduanya lantas meninggalkan kafetaria fisipol, matanya mengecil begitu keluar dari kafe. Dihadapan mereka terbabar suasana panas yang terik. “Mau balik ke perpustakaan?” tanya Haris sambil melihat sekeliling.
            Gelengan kepala Mesya sudah cukup menganggukkan kepala Haris berulang-ulang. Dan mulut Haris berujar ‘ohh’ ketika Mesya mengatakan hendak ke fakultas menghadap dosen pembimbingnya. Mereka pun berpisah siang itu.
            “Makasih ya Bang, traktiran maksinya juga berbagi ilmunya,” teriak Mesya sambil berjalan ke selatan dari kafetaria fisipol. Tangannya melambai salam perpisahan sementara. Haris kembali menuju perpustakaan untuk melanjutkan pencariannya.
            Mesya merasa surprise mendapat whatsapp dari Haris kala ia sedang beristirahat di paviliunnya malam itu. Haris menanyakan pertemuannya dengan Sang Dosen. Melalui whatsapp juga ia menceritakan hasil pertemuan itu. “Aku menjelaskan argumenku tentang fungsi impor terhadap investasi sesuai penjelasan abang tadi. Walaupun aku tahu abang belum memperoleh referensi tambahan. Akan tetapi, dosen pembimbingku puas dengan argumentasiku. Beliau menyuruhku untuk segera mencari referensi tambahan untuk memperkuat rumusan fungsi impor terhadap investasi. Masukan abang yang lain saya tunggu, ya….” Selesai mengetikkan balasan, Mesya juga langsung berpamitan hendak tidur. Ngantuk dan capek saya, Bang, demikian tulis Mesya lagi.
            “Selamat beristirahat, esok lebih ceria juga semangat, ya!” Haris menjawab pesan pamit tidur Mesya. Sesudah itu suasana di antara keduanya senyap. Hanya Haris yang masih asyik menatap laptopnya. Memperhatikan data dan ketikan-ketikan kalimat-kalimatnya. Kesunyian malam tak sepenuhnya sepi karena ruangan tempat Haris bekerja terdengar alunan lagu-lagu lembut yang menenangkan siapa pun yang mendengarkannya.
            Seperti janji Haris pada Mesya, ia benar-benar mencarikan buku-buku, artikel bahkan jurnal yang mendukung pernyataan teori bahwa impor merupakan fungsi dari investasi. Di beberapa kali pertemuan, mereka selalu mendiskusikannya. Hal ini yang membuat Mesya kagum dan respek kepada Haris. Dari situ juga Mesya mengerti kalau Haris tipe orang yang tidak pelit membagikan ilmunya. Membagi kepinterannya. Mesya belajar banyak dari Haris tidak hanya ilmu ekonomi tapi juga ilmu yang lainnya. Mesya seperti berhadapan dengan mesin penjawab. Segala yang ditanyakan jikalau Haris mampu ia akan menjelaskan, menerangkan sedetil mungkin hingga dirinya paham-sepahamnya.
            “Kali ini Mesya yang traktir Bang Haris. Nggak boleh menolak,” begitu bunyi pesan whatsapp yang Mesya kirimkan siang itu kepada Haris.
***
            Dari pagi hingga siang Mesya mencari Haris di perpustakaan tapi meja di seberangnya diisi orang lain. Ini untuk kali kesekian Mesya kecarian ketika mendapatkan Haris tak ada di perpustakaan terutama di seberang mejanya duduk seperti biasa. Beberapa kali mengirimkan pesan singkat, jawabnya selalu sama: “sedang ada keperluan”. Bahkan untuk yang terakhir ini, Mesya tidak memperoleh jawaban dari Haris. Makanya, ia memberanikan diri mengajak Haris untuk makan siang bersama di kafeteria milik FEB yang berada di Minas Tower. Dan tiba-tiba Mesya merasa kesal, gara-gara ajakannya makan siang dijawab Haris, “Maaf, hari ini aku full dan sibuk banget. Gimana kalau besok siang? Aku yang traktir deh sebagai penebus ketidakbisaanku siang ini?” Setelah membaca pesan Haris tersebut, Mesya langsung membiarkan HP-nya dalam posisi stand by. Ia juga tidak membalas pesan singkat Haris itu. Beberapa kali Haris mengirimkan pesan singkat, Mesya sama sekali tidak menggubrisnya. Akhirnya, karena merasa semua pesan-pesannya tidak dibalas Mesya, Haris langsung menelpon. Saat itu, Mesya sedang bersiap keluar perpustakaan untuk salat zuhur di musala yang ada di belakang perpustakaan. Posisi HP Mesya yang sudah senyap, hanya menimbulkan efek getar-getar beberapa kali, sebanyak dering telpon yang dilakukan Haris.
            “Aku benar-benar minta maaf tidak bisa memenuhi ajakanmu makan siang bersama hari ini. Aku janji, besok siang aku pasti mau ditraktir Mesya deh…. Dimana? Tetap di Minas Tower atau kali ajah mau diajak maksi di ShabuShabu, resto baru dekat Tugu itu? Ayolah jangan kecewa panjang gitu dong.., nanti manisnya hilang lho!” Baru setelah membaca pesan singkat whatsapp ini Mesya mulai tersenyum. Kata ‘manis’ dari Haris rupanya meluluhkan kekakuan Mesya. Mesya sempat menengok ke cermin ketika hendak wudhu. Ia tersenyum melihat wajah manisnya.
            Akan tetapi jawaban pendek Mesya langsung menghentikan keinginan Haris mengirimkan balasan. Bunyi jawaban pendek Mesya: Mau salat zuhur sesudah itu mau zikir.
            Di sana,  jauh dari Kampus Bintang Semesta, Haris hanya tersenyum membaca jawaban singkat Mesya. Maunya ingin menghentikan kirim pesan singkat, akhirnya memaksa Haris mengirimkan sebuah ‘pesan’ kepada Mesya. Foto sebuah backdrop yang di situ tertulis nama sebuah acara dengan keynote speaker: Ericho Haris Sabrang, S.E., M.A.
            Mesya yang bersiap untuk melakukan salat melihat kedipan lampu di handphone-nya tapi tak tergerak untuk membuka pesan masuknya. Yang terdengar justru suara lirihnya mengucap Allahu Akbar. Baru setelah ia selesaikan salatnya ia membuka pesan masuk di HP. Mulutnya menganga setengah serta bergumam pelan namun hanya ia yang tahu isi gumamannya itu.
            “Maafkan saya, Bang, sudah berprasangka tak baik padamu. Sekali lagi maafkan saya, ya….” Itu yang ia ketikkan sebagai balasan kepada Haris. Di antara perasaan bersalahnya, sudah menuduh Haris tidak peduli kepadanya, timbul lagi perasaan kagum pada Haris. Abang memang luar biasa, itu yang Mesya batinkan dalam hati.
            “Jadi masih mau mengundang aku makan siang besok siang?” tanya Haris membalas SMS Mesya.
            “Mauuuuuuu….” Satu kata saja yang diketikkan Mesya. Hatinya bungah, berbunga, dan gembira karena memperoleh teman baru yang mumpuni serta menjadi tempat menimba ilmu.
***
            Siang itu, Mesya dan Haris makan siang di kafetaria FEB di Minas Tower. Kafe yang tak kalah apik dengan kafe milik Fisipol. “Sesuai janjiku kemarin, aku yang traktir abang siang ini,” ujar Mesya. Haris hanya mengangguk kecil, bibirnya menyunggingkan senyuman.
            “Tapi jangan pula kau order nasi goreng seafood dan es jeruk,” suara Haris dilogat-logatkan seperti orang batak.
            “Malu aku memesannya meskipun kau yang membayar.” Mesya tertawa mendengar Haris bicara memakai logat batak.
            “Enggaklah, Bang! Aku mau pesan chicken teriyaki with salad serta fruit punch. Abang mau pesan apa nih?? Sekalian aja pesannya biar tidak kelamaan nunggu,” ucap Mesya. Haris akhirnya memesan mushroom sauce chicken rice set dan minuman sama dengan Mesya. Sambil menunggu pesanan datang, mereka mengobrol santai. Topik hangatnya tetap tesis Mesya mengenai investasi. Di luar itu, obrolan ringan mengiringi tawa kecil Mesya.
            “Coba lihat ini!” Haris meminta Mesya melihat sesuatu dari tablet-nya. Ia pun mendekati Haris untuk melihat yang ingin ditunjukkan. Beberapa jurnal internasional dan lokal mengenai faktor impor terhadap investasi banyak catatannya. Sambil menunjukkan jurnal-jurnal itu, Haris menjelaskan yang sudah ia baca dan pelajari. Mesya mencatat beberapa poin juga alamat jurnal itu. Perbincangan mereka terdengar hangat. Mesya makin kagum pada Haris yang bisa bertutur secara ilmiah namun juga bisa menjelaskan dengan bahasa keseharian. Duduk di sebelahnya, mengikuti semua gerak-geriknya, tutur katanya, diam-diam memberikan perasaan kagum yang bertambah setiap harinya.
            “Bang, yuk kita makan dulu. Diskusinya dilanjut selesai makan. Saya harus menyerap banyak ilmu dari abang nih,” ujar Mesya sembari memberikan makanan pesanan Haris. Mereka pun melahap makanan yang terhidang di hadapan masing-masing. Topik pun bergeser ke hal lain di luar tesis maupun disertasi. Hal-hal kekinian, sosial politik juga religi. Lagi-lagi Mesya dibuat terkagum-kagum mendengarkan pemaparan Haris yang enteng dan sangat mudah diterima.
            “Abang nih makannya apa sih? Kok hampir tahu segala hal!” tanya Mesya yang hanya dibalas senyuman oleh Haris.
            “Mesya nih pelupa gara-gara tesis!” Mendengar penuturan Haris, dahi Mesya mengernyit. Namun sebelum ia bertanya lebih lanjut, Haris melanjutkan ucapannya. “Bukannya aku pesan dan sedang makan mushroom sauce chicken rice set? Ingatkan?” Meledaklah tawa dari mulut Mesya.
            “Abanggg…,” teriak kecil Mesya sambil tangannya membuat kepalan dan meninju lengan Haris. Tinjuan lemah dirasakan sebagai tinjuan keras. Haris pura-pura merasakan sakit akibat tinju Mesya. Keduanya tertawa kecil sebelum Haris menyuruh Mesya diam dan menghabiskan makan siangnya.
            “Ayo makan, habiskan dulu baru ninju lagi,” ucap Haris. Sementara Mesya hanya tertawa mendengar kata-kata Haris. Sampai akhirnya ia dengar Haris menawari untuk memesan buah dingin sebagai penutup makan siang mereka.
            “Kayaknya ada rujak, Bang! Abang mau rujak kali ajah?” Haris diam sejenak sebelum  mengangguk setuju. Rujak kayaknya cocok juga sebagai penutup, ujar Haris seraya kepalanya mengangguk.  
            Sesudah memesan 2 porsi rujak, Mesya meninju lengan kanan Haris. Keterkejutan Haris yang lengannya ditinju memunculkan suara “aaauuh”. “Aku belum puas dengan tinju yang tadi. Dan kata Abang setelah menghabiskan makanan boleh meninju lengannya.” Sambil cengengesan Mesya mengulang tinjunya untuk kedua kali ke lengan Haris. Dan sekali lagi terdengar teriakan “aauuuhh” diikuti kalimat tambahan, “Lengan kirinya juga ingin, Non!” Mesya tertawa mendengar ucapan Haris.
            Tanpa terasa, ternyata, keduanya nyaris bercengkerama di kafetaria selama 1 jam 45 menit. Dan entah kenapa Mesya merasakan perasaan nyaman. Semangatnya menyala untuk menjalani hari-hari sibuknya di kampus. Namun buru-buru ia menepiskan pikiran itu dari kepalanya. Itu pun karena kasir kafetaria memberikan uang kembalian kepadanya. Rupanya sambil membayar makanan yang mereka makan ia melayangkan pikirannya sesaat. Ada perasaan halus yang menyebar dalam tubuh Mesya. Tarikan nafas perlahan keluar dari mulut dan hidung Mesya. Ia pun berjalan pelan menuju tempat duduknya bersama Haris.
            Melihat Mesya datang dari meja kasir, Haris pun berdiri. Saatnya mereka pulang ke rumah masing-masing. “Makasih ya traktiran makan siangnya. Aku senang dan sangat menikmatinya. Senang juga sudah bisa menyampaikan banyak hal padamu.” Sambil berkata begitu, tangan Haris menepuk lembut pundak kanan Mesya kemudian mengusapnya perlahan. Sentuhan tangan Haris secepat kilat menyambar jantungnya yang seketika berdenyut di atas normal. Terlebih ketika Haris memandanginya sambil tersenyum. Mesya merasakan sekujur tubuhnya seperti bergetar. Meskipun ada sisi dalam tubuhnya yang berkata, “tepiskan itu”, Mesya bergeming menikmati sentuhan lembut di pundaknya.
***
            Malam itu, di paviliunnya, Mesya bersemangat menggarap tesisnya. Di lantai, di ranjang, di meja belajar, berserakan foto kopian jurnal dan beberapa sumber pustaka lainnya. Di samping laptop yang menyala sejak maghrib, ada potongan buah: apel dan peer. Ada juga secangkir kopi hitam yang hampir tandas, serta minuman sari buah kotak. Mesya bangkit dari duduknya. Kedua tangannya ia renggangkan lebar-lebar, dadanya ia busungkan sembari menarik nafas panjang dan dalam kemudian dihembuskan perlahan. Mesya merasakan pegal disekujur tubuhnya karena sejak tadi duduk, membaca, dan mengetik tesisnya. Sesuatu mendesak dari perutnya memaksa ia menuju kamar mandi yang ada dalam kamarnya. Dan saat Mesya berada di dalam kamar mandi, HP-nya menerima pesan masuk dua kali.
            Mesya memotong lagi apel dan peer selesai tunaikan hajatnya. Ia bersiap meneruskan semangat menyalanya malam itu. Matanya melirik ke arah jam dinding yang jarum-jarumnya sudah menunjuk pukul 1.27. Dua potong apel sedang dikunyahnya. Matanya sekilas melihat kedipan LED ponselnya yang menandakan ada pesan masuk. Mesya membuka pesan dari suaminya.
            Dek, Anin demam sejak kemarin. Kemarin juga udah mas bawa ke dokter. Malam ini meskipun tidak tinggi suhu tubuhnya tapi badan Anin masih demam. Agak rewel juga. Kalau besok Dek Mesya nggak terlalu sibuk di kampus, pulanglah ke rumah pagi-pagi. Jam 9 sampai sore aku harus rapat koordinasi dengan tim dari kantor pusat. Ibu juga sedang nggak enak badan, Dek!!(01.20)
            Mesya menghela nafas usai membaca pesan dari suaminya. Ia tidak langsung membalas pesan itu karena dilihatnya Haris juga mengirimkan pesan. (01.25) Besok siang, jam 2, ada kuliah umum di Gedung AD Fisipol. Meskipun tidak berkaitan langsung dengan tesismu, sebagai referensi tambahan siapa tahu berguna. Sampai besok siang yaa… Untuk kedua kalinya Mesya menarik nafas panjang lagi. Rasa bimbang menggelayut di wajahnya. Sebelum Mesya membalas pesan dari suaminya, Haris mengirimkan kembali pesannya: Kabari aku kalau besok bisa datang. Nggak akan menyesal deh kalau hadir siang nanti!! Sampai nanti ya….!
            Wajah Anin langsung terbayang di pelupuk mata Mesya. Bayangan Anin yang lucu dan menggemaskan yang tiba-tiba harus terserang demam dan belum reda demamnya. Kilasan wajah Anin tiba-tiba meredup begitu Mesya melihat tumpukan jurnal-jurnal di kamarnya. Undangan Haris untuk hadir pada kuliah umum, tiba-tiba menyeruak dalam pikirannya. Mesya langsung mengetikkan jawaban kepada Haris: Abang, aku usahakan datang pada kuliah umum siang besok. Tapi, pagi setelah subuhan aku harus pulang ke Kebumen dulu. Anakku sakit.. Begitu jawaban Mesya terkirim, hanya selang beberapa detik ponsel Mesya berbunyi. Haris menelpon Mesya menggunakan video call. Mesya tidak langsung menggeser simbol telpon di ponselnya. Ia justru mengalihkan layar HP ke laptop baru menggeser simbol telepon, menerima panggilan Haris. Dan Haris langsung paham keadaan Mesya tengah malam itu. Mesya tetap meladeni obrolan Haris, sesekali ia memperlihatkan tumpukan dan serakan jurnal serta buku-buku di kamarnya. Baru pada saat Mesya akan mengakhiri obrolan barulah ia menampakkan wajah pasfotonya.
            Aku harus menghubungi suamiku malam ini. Anin anakku sakit demam. Kalau besok memungkinkan, aku akan datang pada kuliah umum di Gedung AD. Emang siapa yang akan menjadi narasumber kuliah umum, Bang? Mendengar penjelasan Mesya, Haris tersenyum dan hanya mengatakan, “Ya sudah nggak apa-apa kalau besok nggak bisa datang. Nanti.., materi kuliah umum aku berikan padamu. Gitu yaa... Selamat bersibuk lagi, Mesya...” Video call Haris pun berakhir tanpa Mesya bertanya lagi kecuali lambaian tangannya ‘dadahh…’.
            Sedari tadi selain ada kopi hitam, sari buah, dan potongan buah, Mesya juga menyetel lagu-lagu yang diambil dari aplikasi JOOX. Khusus malam itu, ia memutar lagu-lagu berbahasa Indonesia yang lembut dan nyaman di telinga. Ruangan kamarnya terasa syahdu dengan alunan lagu-lagu lembut namun semangat Mesya membara untuk menuntaskan tesis. Mesya juga acak saja menyetel lagu-lagu yang menemaninya malam itu. Oleh karena besok pagi ia akan pulang ke Kebumen, Mesya tidak melamakan waktunya menggarap tesis. Segera ia bereskan serakan jurnal yang ada di ranjangnya kemudian meletakkan di samping meja belajarnya. Lagu-lagu syahdu tetap mengalun sementara ia membersihkan gigi. Ia juga mengganti kaosnya yang agak basah karena keringat dengan baju tidur tipis dan membiarkan anggota tubuhnya leluasa tanpa terhalangi. Dan ketika dirinya merebah di atas ranjang, barulah ia mengirimkan pesan balasan untuk suaminya: Besok pagi aku pulang naik bis. Mungkin berangkat sekitar jam 6 atau jam 7 pagi. Kalau aku belum datang namun Mas Dyo mau rapat, titipkan Anin sama ibu dulu. Semoga Anin dan ibu baik-baik saja besok. Mbak Tinung diminta ikut jagai Anin dulu sebelum aku datang. Urusan rumah dikerjakan nanti saja. Tolong bilang ke dia, ya Mas!
            Mesya meletakkan HP di meja, tidak menunggu lagi jawaban dari Dyo. Matanya, ia paksakan memejam sembari tetap mendengarkan alunan lagu-lagu lembut dan syahdu. Mesya terbiasa tidur ditemani alunan musik. Lagu-lagu yang malam itu diputarnya, sudah diatur menggunakan pengatur waktu, yang nanti akan berhenti sendiri sesuai setelan waktu yang sudah dipasang. Gegara sebuah lagu berjudul ‘Jatuh Hati’ yang dinyanyikan Raisa, mata Mesya yang nyaris terpejam penuh membuka lagi.
           
            Ada ruang hatiku yang kau temukan, sempat aku lupakan, kini kau sentuh, aku bukan jatuh cinta namun aku jatuh hati… Kuterpikat pada tuturmu, aku tersihir jiwamu, terkagum pada pandangmu, caramu melihat dunia, kuharap kau tahu bahwa ku terinspirasi hatimu, ku tak harus memilikimu, tapi bolehkah ku selalu di dekatmu.

                Ada ruang hatiku kini kau sentuh aku bukan jatuh cinta namun aku jatuh hati. Ku terpikat pada tuturmu, aku tersihir jiwamu, terkagum pada pandangmu, caramu melihat dunia, ku harap kau tahu bahwa ku terinspirasi hatimu, ku tak harus memilikimu, tapi bolehkah ku selalu di dekatmu.
                Katanya cinta memang banyak bentuknya, yang ku tahu pasti sungguh aku jatuh hati….
ku terpikat pada tuturmu, aku tersihir jiwamu, terkagum pada pandangmu, caramu melihat dunia, ku harap kau tahu bahwa ku terinspirasi hatimu, ku tak harus memilikimu tapi bolehkah ku selalu di dekatmu, tapi bolehkah ku selalu di dekatmu.

            Ketika lagu itu mengalun dan mata Mesya kembali terbuka, entah kenapa yang terlintas bayangan Haris yang selama beberapa waktu selalu menemaninya dan membantunya menggarap tesis. Belum lagi kala ia suntuk dan menanyakan solusi atau jalan keluarnya. Bibir Mesya tersenyum. Dan ketika lagu itu berakhir, tangannya otomatis menekan ulang supaya lagu itu terdengar lagi. Namun kali ini, Mesya mendengarkan lagu ‘Jatuh Hati’ dengan memejamkan mata. Entah karena meresapi lagu ciptaan Raisa itu atau memang mengantuk, Mesya pun tertidur sebelum lagu itu selesai dan mungkin membawa kisah indah dalam alam mimpinya.
***
            Enam bulan sudah Mesya mengenal Haris. Selama itu pula hidupnya menjadi penuh warna. Selama itu pula semangatnya terlecutkan ketika menggarap tesis. Tiada hari tanpa sapaan Haris yang terus memompakan semangat belajarnya. Haris juga selalu mengatakan supaya tak mengendurkan sejengkal pun dalam menggarap tesis. Dalam banyak kesempatan mereka sering bertemu untuk kegiatan ilmiah maupun sekedar hang-out di kafetaria maupun seputaran kampus. Sudah tak terbilang mereka makan siang atau sekedar ngopi di kampus maupun luar kampus. Bahkan Sovia, sahabat dekat Mesya, sempat menanyakan perihal kedekatannya dengan Bang Haris. Tak ada jawaban dari bibir merah tipis Mesya kecuali senyuman semata yang membuat Sovia terdiam dan tidak mau menebak-nebak hati sahabatnya itu. Awas lho, kamu jatuh cinta pada Bang Haris, itu yang sering dikatakan Sovia kepada Mesya. Dan lagi-lagi hanya senyuman indah dari bibir merah tipis Mesya. Sampai pada suatu kesempatan, ketika Mesya makan siang bersama Sovia di sebuah foodcort mall, tanpa sungkan-sungkan dan tanpa malu-malu, Mesya mengatakan pada Sovia kalau ia jatuh hati pada Haris.
            “Mesy, apa kubilang, kan? Awas dan hati-hati dengan perasaan dan hatimu pada Bang Haris”, ujar Sovia. Dan seperti biasa Mesya hanya melemparkan senyuman kepada sahabatnya.
            “Hanya kamu yang tahu apa yang aku rasakan, Via….” Mendengar itu Sovia hanya bisa menghela nafas. Kepalanya menggeleng-geleng kemudian.
            “Mesy…, ada Anin dan Mas Dyo!” kata Sovia. Ketika dua nama itu disebutkan, Mesya terdiam sejenak. Sorot matanya seperti berlari kencang ke suatu tempat yang sulit dikejar oleh Sovia. Namun sesaat kemudian, ia hanya mengulas senyuman kepada sahabatnya itu.
            Ada ruang hatiku yang kau temukan, sempat aku lupakan, kini kau sentuh, aku bukan jatuh cinta namun aku jatuh hati…
***
            Mesya menyadari bahwa Haris harus konsentrasi pada disertasi dan sidang terbukanya. Dan saat ia mengatakan akan jarang jumpa, Mesya pun bisa memakluminya. Bagaimana pun juga, apa yang akan dilakukan Haris merupakan bagian akhir studi doktoralnya. Terbiasa bertemu, hang-out, berdiskusi, diberi ‘petuah ilmiah’, membuat Mesya kehilangan sesuatu saat Haris berkutat dengan tugas akhirnya. Begitu besar keterikatan emosi Mesya pada Haris. Terlebih lagi komunikasi via handphone yang tak pernah putus. Menjadikan Mesya benar-benar jatuh hati kepada Haris. Sialnya, ia menikmati perasaan jatuh hatinya itu selama mengenal Haris.
            “Besok jangan sampai tidak datang, ya….  Dan, special guest diundangnya melalui whatsapp saja, gpp kan?!” Mesya merasa tersanjung disebut sebagai tamu spesial Haris. Ia membayangkan, pada sidang terbuka besok, semua tamu yang hadir dibekali undangan cetak untuk bisa masuk ke auditorium fisipol. Mesya awalnya sempat meragu apakah bekal undangan melalui whatsapp membuatnya bisa masuk ke auditorium fisipol. Dan ternyata, undangan santai yang dikirimkan pertama merupakan prolog becanda gaya Haris. Pada undangan resminya, Haris menuliskan sendiri menggunakan bahasa Indonesia yang baku. Selain memberitahukan hari, tanggal, tempat, dan jam undangan, Haris pun menuliskan nama lengkap Mesya: Vramesia Tri Nawangka. Haris pun menambahkan catatan pada whatsapp tersebut: berlaku sebagai undangan resmi dari Ericho Haris Sabrang, S.E., M.A. Perasaan Mesya semakin bungah memperoleh undangan khusus dari Haris meskipun bukan undangan cetakan. Mesya sudah menyiapkan penampilan spesial juga di sidang terbuka Haris nanti. Ia tersenyum mengingat jatuh hatinya itu.
            Seperti yang sudah Mesya duga, auditorium fisipol terlihat ramai para undangan. Ada 2 meja tamu sebagai penerima kedatangan para undangan. Mesya mengambil meja sebelah kiri dari arahnya datang. Ia datang sendirian. Sekilas matanya menyapu sekitar auditorium, para tamu datang membawa undangan cetak. Mereka kemudian menyerahkan undangan kepada penerima tamu untuk ditukarkan materi tulisan Haris, suvenir, dan snack kotak. Mesya mengantri dengan sabar hingga tiba gilirannya. Ia pun menunjukkan undangan dalam whatsapp yang dikirimkan Haris. Petugas yang melayani tersenyum melihat whatsapp yang ditunjukkan Mesya. Lantas dengan sigap mencari nama Mesya didaftar yang tampaknya sudah dipersiapkan sebelumnya. Mesya berusaha mencuri lihat siapa saja yang diundang Haris melalui whatsapp. Ternyata hanya ada 2 orang. Dirinya dan seorang wanita. Namanya tertulis: Amaris. Nama belakangnya tidak terbaca oleh Mesya. Tiba-tiba ada yang mendesir dalam dada Mesya setelah membaca nama Amaris termasuk tamu yang diundang memakai whatsapp.
            “Artinya, aku bukan special guest seperti kata Bang Haris,” gumam lirih Mesya. Ia pun kemudian mengikuti petugas yang tadi melayani, sesudah ia menerima yang menjadi bagiannya. Rupanya ada tempat khusus yang sudah disediakan di dalam.
            “Silakan ibu,” petugas penerima tamu menyilakan duduk. Sesudah mengucapkan terima kasih, Mesya menempati kursi yang sudah tersedia. Pada barisan ia duduk, kursi-kursi belum terisi penuh. Mesya tidak menengok ke belakang lagi. Pandangannya langsung tertuju ke panggung tempat Haris akan mempertahankan disertasinya.
            Mesya duduk tenang, rapi, dan langsung membuka materi disertasi yang akan dipertahankan Haris. Tanpa terasa, lambat-laun, kursi-kursi kosong di dalam auditorium mulai terisi. Para undangan mulai memasuki dan menduduki kursi yang sudah disiapkan, termasuk kursi-kursi yang ada di barisan tempat Mesya duduk. Seorang wanita berpostur semampai, berparas ayu wanita jawa, mendekati kursi Mesya. Ia mengulas senyuman sebelum menduduki kursinya yang tepat ada di sebelah kiri Mesya. Keduanya langsung berbasa-basi sebentar dan menyudahinya ketika MC sudah membuka acara pagi itu.
            Sidang pagi itu memang beracara tunggal upaya Haris mempertahankan disertasi yang sudah dibuatnya. Tak ada sambutan bertele maupun seremonial lain. Tanya jawab juga disediakan. Khusus untuk undangan yang diperkenankan, sudah disiapkan 10 orang yang boleh bertanya kepada Haris. Dalam ruangan auditorium itulah Mesya menyaksikan kepiawaian, kehebatan, dan kemampuan akademik serta keilmiahan seorang Haris. Tak ada keraguan sama sekali bagi Mesya untuk semakin kagum dan jatuh hati.  Disertasi setebal bantal bisa dirangkum sedemikian rupa menjadi sebuah laporan bahkan cerita yang mengasyikkan. Dan semua undangan mendapatkannya sebagai suvenir. Tak ada seorang undangan pun yang tak membaca materi disertasi Haris yang sudah dirangkum tersebut.
            Mesya melirik wanita yang duduk di sebelah kirinya. Sedari tadi ia hanya menggeletakkan suvenir pemberian Haris di pangkuannya. Ia malah lebih banyak memainkan HP-nya. Sekali dua kali bahkan tiga kali ia melemparkan pandangannya ke atas panggung, tempat dimana Haris mempertahankan disertasinya. Mimik wajahnya datar saja melihat pemaparan Haris. Wajah tanpa senyum namun juga tidak menunjukkan ketidaksukaan. Datarrr…dengan ekspresi terbatas saja. Pada saat Mesya menengoknya serta mengulas senyum, barulah ia membalas dengan senyuman santun. Senyuman yang tulus.
            Hampir 4 jam Haris mempertahankan disertasinya dihadapan para penguji maupun  undangan yang terpilih bertanya. Dan selama menjelaskan, mempertahankan kemudian menjawab pertanyaan-pertanyaan, semuanya dilakukan secara santai namun penuh kedalaman ilmu yang dikuasai Haris. Mendengar pemaparan Haris mempertahankan disertasinya, tak seperti mendengarkan sebuah kajian ilmiah yang sulit dan berbelit. Justru sebaliknya. Haris sangat bisa mengemas disertasinya menjadi pemaparan ilmiah yang menyenangkan dan dimengerti siapa pun penontonnya. Ujungnya, para penguji memberikan nilai A kepada Haris diakhir acara. Sebuah nilai yang tinggi dan lulus tanpa perbaikan untuk disertasinya.
            Sesudah Ketua Penguji merampungkan tugasnya, ia memberi kesempatan pada Haris untuk memberikan sambutan. Haris pun berbicara. Setelah mengucapkan banyak terima kasih kepada berbagai pihak, Haris memanggil keluarga dekat termasuk kedua orang tua dan istrinya untuk naik ke atas panggung utama. Mesya secara seksama mendengarkan sambutan Haris. Ia pun ingin tahu mana keluarga inti Haris. Dan ketika perempuan di sebelah kiri Mesya bangkit dan berjalan ke arah panggung utama, juga orang tua yang ada di sebelah kanan Mesya, terpaut beberapa kursi, terperanjatlah Mesya. Terlebih ketika Haris menyebutkan nama Amaris. Ya, Amaris yang namanya sempat Mesya lihat didaftar tamu yang diundang memakai whatsapp. Amaris Bilbina Charisma, adalah nama lengkap istri Haris, ternyata. Amaris bahkan sempat tersenyum kepada Mesya sebelum menuju panggung utama. Di atas panggung utama Amaris tersenyum, terlebih para penguji memberinya salam dan selamat atas kelulusan suaminya. Semakin sumringah dan lebar senyuman Amaris.
            Dari kursi yang diduduki, Mesya melihat semuanya secara jelas dan nyata. Sebuah desiran kembali hadir dalam dadanya. Desiran yang sama seperti ketika ia melihat nama Amaris dalam daftar nama. Akan tetapi desiran yang ini justru dirasakan Mesya lebih deras, serasa mengaliri sekujur tubuhnya melewati aliran-aliran darah. Satu lagi yang Mesya rasakan,  jantungnya terasa berdentum kencang dan timbul perasaan cemburu melihat Haris didampingi Amaris.
            Terlihat oleh Mesya beberapa undangan mulai berdiri. Ada yang mendatangi panggung utama untuk mengucapkan selamat kepada Haris. Ada juga yang keluar auditorium menuju tempat makan. Haris sudah menyiapkan hidangan prasmanan di luar auditorium. Mesya ikutan bangkit. Niatnya ingin mengucapkan selamat juga, namun gemuruh di dadanya bak suara air bah yang meluap-luap. Ia pun mengurungkan niatnya bersalaman. Kedua kakinya lantas mengantarkan tubuhnya keluar auditorium. Mesya sempat menengok ke belakang sebelum keluar. Dari tempatnya berdiri, Mesya melihat Haris sedang mencari-cari seseorang. Tampaknya ia tak menjumpai orang yang dicarinya. Ia kemudian kembali ke panggung menerima ucapan selamat dari teman-teman. Sesekali matanya masih mencari yang dicarinya. Seraya menghela nafas, Mesya keluar dari auditorium untuk mengisi perutnya yang keroncongan. Ia menuju gubuk Siomay Bandung sebagai makanan pembuka kemudian melahapnya perlahan.
            Sayup-sayup, di salah satu sudut luar auditorium, ada grup band fakultas yang mengiringi makan siang para undangan.  Telinga Mesya menegang mendengar grup band itu menyanyikan Aku Jatuh Cinta yang dipopulerkan oleh Roulette. Debaran jantung Mesya kembali meramaikan rongga dadanya. Aku jatuh cinta kepada dirinya, sunguh-sungguh cinta oh apa adanya, tak pernah ku ragu namun tetap selalu menunggu, Sungguh aku jatuh cinta kepadanya…


            “Mesya dimana ya? Aku kok dari tadi nggak melihatmu. Aku mau kenalkan seseorang padamu. Aku cuma lihat kamu pas tadi duduk di situ. Sesudahnya kok menghilang ya!” Sebuah pesan masuk melalui whatsapp Mesya. Sebuah tarikan nafas pelan dilakukannya. Ia mencocol lagi siomay yang masih bersisa di piringnya sambil menikmati alunan ‘Aku Jatuh Cinta” dari homeband fisipol, dan membiarkan pesan Haris menggantung sementara waktu.
            Aku jatuh cinta kepada dirinya, sunguh-sungguh cinta oh apa adanya, tak pernah ku ragu namun tetap selalu menunggu, Sungguh aku jatuh cinta kepadanya....

Refrain lagu itu berulang-ulang dinyanyikan Sang Vokalis membikin Mesya trus terngiang-ngiang. Mesya berusaha menjauh dari sudut tempat homeband manggung mendekati gubuk makanan lain yang tersaji di halaman auditorium. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PIYAMBAKAN

SENGAJA DATANG KE KOTAMU

KIRIMI AKU SURAT CINTA