TUAH HUJAN


Aku pandangi langit sore. Tak ada lembayung seperti biasa. Yang tampak hanya air cucuran langit yang tak berhenti sejak pagi. Sekira pukul 8 mulai hujan. Kalau dihitung sejak kemarin, nyaris 48 jam hujan mengguyur. Terdengar kung kong sang kodok yang bersahutan. Mereka bergembira ria sedangkan para manusia ‘mager’. Seharian mereka terpasung di rumah, tak bisa kemana-mana kecuali yang kepepet sudah punya kegiatan. Dan pastinya, perginya dengan setengah menggerutu. Aku menggumam, mau apa Tuhan membanjiri bumi nyaris tanpa henti. Bukannya Tuhan menurunkan hujan penuh keberkahan dan anugerah?
            Breaking news sore mengabarkan banjir melanda wilayah selatan. Tak berapa lama whatsapp group mulai tang ting tung memunculkan informasi banjir dan air menggenang di beberapa wilayah selatan. Bahkan genangan yang diciptakan air tumpahan dari langit sudah tak normal. Ada yang mencapai 50 cm tingginya. Ada juga yang semeter lebih.
Breaking news yang seharusnya menampilan berita dadakan, berita terkini, update news, akhirnya menjadi laporan sepanjang waktu. Banjir meluas ke beberapa wilayah di selatan kota yang memang secara geografis lebih rendah. Sungai-sungai ketumpahan air dari arah gunung. Sungai tak kuat menampung lantas membiarkan air membludak kemana-mana. Banjir kian meluas!!! Aku hanya bisa mendesah sesekali melihat ke arah luar rumah. Menyaksikan hujan yang tak menampakkan tanda-tanda mau berhenti. WAG dan status di beberapa medsos mulai menampilkan banjir di selatan kota. Kata pemosting berita, mereka butuh bantuan segera. SAR bukannya tak bekerja namun personel yang berdinas tak sebanding luas kota yang terdampak banjir.
Isi kepalaku mulai mengolah keadaan yang terjadi berdasarkan berita-berita yang tayang di televisi maupun kiriman-kiriman di whatsapp. Bukan menggugat namun bertanya lagi kepada Tuhan. Aku lantas mengingat ceramah pengajian seminggu yang telah lewat. Rencana manusia bisa dibatalkan Allah, kata ustaz kala itu. “Sebaik apapun rencana manusia, Allah juga yang menentukan,” ustaz mempertegas ucapannya.
“Tak ada perbuatan Allah yang salah,” ustaz menambahkan lagi. Apabila tak salah lantas apa kebaikan yang Allah berikan melalui hujan berkepanjangan ini, otakku coba menerka-nerka. Kemudian bermunculan kejadian-kejadian yang terekam otakku. Ada banjir di wilayah selatan. Penerbangan terhenti. Pedagang kaki lima tak berjualan. Masjid yang tak jauh dari rumahku, yang jemaahnya selalu ber-shaf-shaf, menyusut. Satu shaf pun tak penuh. Pohon-pohon bertumbangan. Baliho raksasa di beberapa tempat juga ambruk. Jalanan tidak ramai kendaraan. Semua berdiam diri di rumah, terpenjara. Pikiran-pikiran ini masih belum aku anggap gugatan. Aku masih menganggapnya bertanya. Mengapa? Kenapa? Bahkan, dua cangkir kopi yang meluncur ke dalam perut, tak juga menyegarkan otakku. Kopi tak membantu otakku memberikan jawaban memuaskan. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tak termemori dalam ponselku.
Assaalamualaikum, Mas.. Masih ingat padaku? Aku Eka. Aku klik foto profil nomor asing tersebut. Hanya kudapati foto perempuan yang tampak matanya. Perempuan bercadar. Setelah sempat mengingat dan tetap tak ingat apalagi yang terlihat hanya mata saja, aku segera membalas pesan masuk tersebut.
Waalaikumsalam, Eka mana ya?
Si pengirim pesan tampak sedang mengetik. Tak berapa lama kemudian muncul sebuah foto perempuan berhijab yang tak bercadar. Aku masih tak juga mengenali sosoknya meskipun wajahnya tak dicadari. Langsung kujawab aku belum ingat seraya mengatakan “maaf”.
Wah, benar-benar sudah lupa padaku, ya... Aku Eka Budiati, Mas. Karena doamu, aku berjodoh dengan seorang pria. Otakku berpikir keras mengingat Eka Budiati juga tentang doa untuknya. Siapa perempuan ini?
Maaf, aku benar-benar lupa denganmu... Dan setelah kutuliskan jawaban ini, nomor itu menghentikan chatting-nya. Aku juga mendiamkan tak meneruskan pesan.
Hujan aku rasakan kian menderas. Derunya berbalut angin kini. Otakku kembali mempertanyakan apa kebaikan hujan yang diturunkan-Nya dua hari terakhir ini. Sementara kejadian-kejadian buruk mulai menerjang beberapa tempat. Ponselku dalam posisi stand-by.
Sebuah pesan baru masuk. Dari notifikasi yang tampak, nomor asing itu mengirimkan pesannya lagi. Ia hanya menuliskan pesannya: Lelaki dalam hujan. Aku tercenung membaca pesannya. Astaga! Aku baru ingat kemudian dan buru-buru membalas pesannya.
Sasha Gita Ekati, iyakan? Ucapan syukur alhamdulillah tertulis, menjawab pesanku seraya emoticon jempol. Dan chatting pun berlanjut setelahnya. Eka tak lama kemudian mengirimkan sebuah fotonya bersama seorang balita sekira berusia 3 tahunan. Bayi itu digendongnya. Di samping kiri kanannya ada 2 perempuan. Satu sudah tampak dewasa, satu lagi masih terlihat usia SD.
Masih ingat yang ada di samping kiri kananku? Aku lantas menuliskan nama Sasha dan Gita, kemudian buru-buru mengirimkan kepadanya. Sebuah jempol tanda benar diberikan Eka. Chatting kami pun berlanjut.
Balita yang kugendong anakku yang ketiga, Mas, tulisnya kemudian. Lelaki dalam Hujan yang berperan menghadirkannya. Allah yang beri lewatnya dan aku. Eka pun tertawa lewat emoticon yang dikirimkannya.
Menurut Eka, kisah pertemuan dengan suaminya sekarang, nyaris mirip dengan cerita yang kutuliskan untuknya. Aku lantas mengingat cerita Lelaki dalam Hujan yang pernah kuhadiahkan untuknya ketika ia ulang tahun.
Ceritanya begini: Seorang wanita pulang kerja naik motor jelang maghrib. Di tengah jalan, hujan mendadak turun deras disertai angin kencang. Motor si wanita terhenti. Mogok. Mungkin businya basah kuyub. Maklum motor jaman baheula bukan motor matic yang tangguh menerjang air. Dalam keadaan terhenti pas di tengah jalan, wanita itu tampak panik. Klakson pun mulai bersahutan, menghendakinya segera enyah dari jalan yang mulai tergenang air setinggi betis orang dewasa. Wanita itu saking paniknya, lupa memindahkan gigi perseneling ke netral. Walhasil, motornya tetap diam di tengah jalan dan di tengah hujan deras. Klakson panjang terus bersahutan. Tanpa diduga, seorang pria bertopi berlari dari seberang jalan menuju motor wanita itu. Dengan sigap langsung menetralkan perseneling dan menuntun motor itu ke pinggir jalan. Ada halte yang penuh sesak orang berteduh. Setelah motor ditepikan, keduanya lantas berteduh di halte. Bersesakan dengan orang lain. Si pria menjanjikan akan membantu menghidupkan motor wanita itu. Sesudah wanita itu mengangguk, keduanya diam seraya menunggu hujan reda. Dan ketika hujan menyisakan rintiknya, pria itu mulai mencoba menghidupkan motor si wanita. Utak-atik si pria tak tampak oleh si wanita karena ia diminta tetap di halte. Tak sampai lima belas menit, motor pun hidup. Pria itu hanya berpesan jangan sampai setelan gas berkurang karena jalanan masih tergenang. Supaya juga air tidak masuk knalpot. Pria itu juga berpesan, hindari air yang menggenang khawatir busi basah lagi. Sesudah berhasil menghidupkan motor si wanita, pria bertopi itu kembali berlari ke seberang tempat ia pertama kali berlari. Wanita itu terkejut mendapati si pria sudah menghilang padahal ia belum mengucapkan terima kasih dan mengetahui namanya. Di lain waktu, wanita itu diajak temannya mengikuti pengajian dhuha di sebuah masjid yang sering dilewati jika ia pulang kerja. Di masjid itulah, wanita itu berjumpa pria yang pernah menolongnya sewaktu kehujanan dan motornya mogok. Singkat cerita, mereka berkenalan dan menikah. Wanita itu janda beranak dua. Mendapatkan pria bujangan yang ternyata takmir masjid tersebut.
“Memang tidak sama persis. Akan tetapi, aku berjumpa calon suamiku ini di saat hujan deras,” tulis Eka lagi. “Waktu itu, aku pulang kantor dan jalan menuju halte Bis Trans. Hujan deras yang tanpa peringatan membuat aku terkejut dan membuat aku harus mengamankan berkas yang kubawa. Sementara halte masih beberapa meter lagi. Entah dari mana, seorang pria datang mendekat. Sesudah mengucapkan permisi, ia langsung memayungiku menuju halte. Meskipun terkejut, aku ikuti langkah-langkahnya.” Chatting dari Eka terjeda sesaat. Aku kemudian melihat ia mengetik.
“Begitu tiba di halte, kami pun masuk ke dalam menunggu bis datang. Layaknya orang yang ditolong, aku pun berterima kasih padanya. Aku duluan yang mengenalkan diri, baru setelahnya ia menyebutkan namanya. Kami lantas naik bis yang sama. Ia tidak bilang mau kemana namun di halte yang di belakangnya ada masjid, ia berhenti dan turun. Ia juga berpamitan padaku.”
“Suatu hari minggu, teman kantorku mengajak aku mengikuti pengajian dhuha. Aku terkejut melihat pria yang menolongku ada di masjid. Ia sedang memberikan tausiah dhuha minggu pagi itu. Sesudah pengajian usai, aku berusaha menemuinya. Pria itu masih mengingatku. Ia lantas mengatakan bahwa ia bekerja di masjid tersebut sebagai takmir masjid, dan ikut membantu mengelola masjid. Katanya juga, ia tinggal di bagian belakang masjid. Ada paviliun di situ.”
“Sejak pertemuan itu, aku sering mendatangi masjid, terutama mengikuti pengajian dhuhanya. Kadang ia yang mengisi, kadang juga mengundang ustaz lain dari luar.” Aku sama sekali tak memotong cerita Eka. Sampai akhirnya Eka bilang, “Tetiba, dua bulan setelah perkenalan kami, ia berniat melamarku. Ia sudah tahu statusku janda beranak dua. Ia tidak memasalahkannya. Katanya, ia merasa seperti dikirimi jodoh oleh Allah. Pada bulan keempat setelah pertemuan, kami pun menikah.”
Kataku buru-buru, “happy ending dong.” Eka mengumbar emoticon tersenyum dan tertawa banyak sekali. Pesan dari Eka jeda lagi. Tak lama berselang, terlihat Eka mengetikkan pesan. Yang muncul bukan pesan atau cerita lagi, melainkan sebuah foto pria. Ini suamiku yang sekarang, Mas, tulis Eka. Tulisan Eka berikut: aku dulu sering beranggapan bahwa hujan anugerah atau musibah? Nyatanya, karena hujan, Allah mempertemukan aku dengan calon suamiku. Ia ketat dalam menanamkan keislaman padaku dan anak-anak termasuk aku harus bercadar. Tapi demi kamu, Mas, aku perlihatkan wajahku karena khawatir kamu nggak mengenaliku, hehehe.... Aku cuma mau ucapkan terima kasih. Karena tulisanmu bagai sebuah doa yang kau panjatkan pada-Nya. Yang membuat aku menemukan jodohku lagi setelah lama menjanda. Ohya, sekarang aku tak bekerja lagi. Murni hanya menjadi ibu rumah tangga semata. Aku minta tolong, setelah ini jangan hubungi aku ya, Mas.... Tahu kan maksudku? Kalau perlu biar aku yang kontak. Ini nomor langsung mau aku off-kan. Sekali lagi makasih untuk kebaikanmu selama ini. “Eka”
Tanpa sempat memberi jawaban, aku pandangi foto suami Eka yang sekarang. Sekilas aku mengenalinya, tapi dimana? Otakku coba mengingat sekilas wajah pria, suami Eka tersebut. Ahaaiii, aku ingat! Pria itu kakak kelasku di kampus dulu. Ia dua angkatan di atasku. Aku ingat lagi. Saat itu di kampus hujan deras. Kakak kelasku itu namanya Bahni Rahman. Ia tentor Asistensi Agama Islam. Satu kalimatnya yang tak pernah aku lupakan, “Bagaimana komitmenmu terhadap agama islam?” Bahni mengatakan ini karena aku menolak bergabung dalam asistensi agam islam yang diampunya, hehehe.... Dan aku tersenyum melihat logo sebuah partai islam di dada kiri pada kaos yang dipakainya.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

PIYAMBAKAN

SENGAJA DATANG KE KOTAMU

KIRIMI AKU SURAT CINTA