JANGAN BIARKAN AKU CEMBURU

Lorong antarkelas menjadi saksi ketika kupijakkan lagi almamaterku, SMP Hegarmanah di kota C. Dua kelas yang berjejeran, 2C dan 2D, yang saat itu sedang kupandangi, membuatku tersenyum dan terkenang. Betapa setiap hari aku tidak pernah melepaskan pandangan padanya, setiap melewati kelas 2C. Aku ada di kelas 2D. Jalan keluar memang harus melewati kelas 2C. 

Jendela yang sebatas dadaku, godaan temanku di kelas 2C yang duduk dekat jendela, tidak kupedulikan kala itu. Mataku hanya tertuju pada satu titik. Bangku depan meja guru. Pesona gadis manis yang duduk di situ, yang membuatku ingin selalu menengok kelas 2C. Lekatnya pandanganku itu nyaris tidak hilang sejak aku pindah ke SMP ini, pada awal semester satu, kelas 2.
"Hayo, melongok masa lalu, ya?" tiba-tiba suara yang kukenal mengangetkanku. Aku menoleh dan wajah yang tak asing lagi. Bu Karsih, guru BP-ku. Kujabat tangannya, kucium tangannya, kemudian guru bersahaja ini mengelus kepalaku. “Tambah keren wae, cah?” sapaan khasnya kepada murid-murid laki-lakinya. Ia tahu aku dari Jogja sehingga sapaan khasnya diubah begitu.
Aku hanya tersenyum dan tertawa mendengar kata-kata itu keluar dari mulutnya. Dua puluh lima tahun yang lalu ucapan itu juga selalu hadir ke hadapan kami, para murid lelakinya.
Sejak aku mengenalnya hingga kini bertemu kembali, dirinya tidak lekang dengan jabatan sebagai guru BP. Tidak pernah mengajar mata pelajaran lain. Jika ada guru yang berhalangan hadir atau tidak bisa mengajar, Bu Karsih yang selalu didaulat mengisi jam kosongnya.  
Biasanya, setelah memberikan tugas mata pelajaran dari guru yang tak hadir, ia pasti akan bercerita tentang dunia remaja dan semua problemanya. Bagi murid yang pembosan, omongan Bu Karsih terasa bagai setahun lamanya. Itu yang menjadi alasan kebanyakan murid laki-laki kabur dari kelas. Mereka ke luar dengan alasan ke toilet, namun sesudahnya tak kembali ke kelas. Meskipun begitu, tak ada raut marah diperlakukan demikian.
“Kalian sudah setengah dewasa, jadi sudah punya sikap sendiri. Apa yang ibu sampaikan ini tentunya juga sudah sering kalian dengar. Tidak apa-apa,” katanya suatu saat di depan kelasku. Pelajaran bahasa Indonesia yang diampu Bu Prapti hari itu kosong karena ybs mengikuti pelatihan di Diknas Kotamadya. Teman-temanku yang masih bersisa, kebanyakan perempuan hanya mengangguk-angguk. Menyetujui apa yang dikatakan Bu Karsih barusan.
“Tapi Bu, kenapa kami masih dianggap setengah dewasa?” tanya Catarina. Pertanyaan Catarina sempat menggelitikku. Kenapa ya kami masih dianggap hanya setengah, tanyaku dalam hati. Beberapa teman saling berpandangan mendengar pertanyaan Catarina yang spontan. Bu Karsih tersenyum penuh makna. “Beruntunglah kalian yang masih bertahan di kelas ini bersama ibu dan teman-teman. Inilah sikap orang dewasa sesungguhnya, yang bisa mengalahkan egoisnya hati sendiri,” urai panjang lebar Bu Karsih. Kami semua terdiam mendengar jawaban beliau.
“Bagaimana mungkin dikatakan dewasa, menghadapi cerita yang ibu berikan saja belum mampu. Mengalahkan diri sendiri saja masih susah apalagi mengalahkan begitu banyak masalah, problema yang siap menantang kalian esok hari,” ucap Bu Karsih serius. Lagi-lagi ia mengembangkan senyumnya begitu teman-temanku banyak yang mengacungkan jari, berebut bertanya yang lain. Suasana kelasku terasa riuh seketika, meskipun kelas hanya terisi 15 anak dari 35 murid yang seharusnya ada.  
Kini tepat 25 tahun kutinggalkan sekolahku ini. Melalui grup SMP Hegarmanah di fesbuk, kami sepakat mengadakan reuni perak. Adalah Dindin temanku kelas 2D yang mengetuai perhelatan “perak” ini.
Aku masih mematung di depan kelas 2C yang siang itu sudah sepi. Pelajaran terakhir sudah usai beberapa saat yang lalu. Dalam diam berdiriku, aku ingat lagi saat Bu Karsih kupamiti ke toilet. Aku benar-benar kebelet saat itu sehingga memotong cerita Bu Karsih. “Maaf, Bu, saya mau ke toilet,” kataku seraya buru-buru berdiri dan pergi dari kelas sebelum Bu Karsih mengiyakan. Guru hangat ini hanya memalingkan mukanya ke arah tempat dudukku. Kebetulan bangkuku memang dekat pintu keluar. “Oh, silakan, cah Jogja.” Ucapan itu sering keluar dari mulutnya. Kadang ia juga memanggil nama pendekku, Boma.
“Boma tidak setengah, tapi full dewasa,” suaranya terdengar olehku dari luar, “Boma pasti kembali ke kelas setelah puas di toilet,” lanjut Bu Karsih. Samar-samar terdengar gelak tawa teman-temanku menyambut omongan Bu Karsih. Sebelum benar-benar menjauh dari kelasku, masih ada omongan lain dari Bu Karsih. Omongannya kali ini, memaksa aku menghentikan lari kecilku ke toilet sekolah.  “Alasan utamanya memang ke toilet, tapi matanya pasti melirik ke kelas 2C. Melihat siapa?” teriak Bu Karsih.
“Aryatiii...,” koor suara itu nyaring terdengar hingga tempatku berdiri. Teriakan nama itu membuatku terkejut sekaligus tersenyum simpul. Aku langsung buru-buru meneruskan lariku ke toilet sekolah. Rupanya, bahasa tubuh ketertarikanku pada Aryati diketahui oleh teman-teman dan Bu Karsih. Aku tersenyum lagi.
“Pasti terkenang sama Aryati, ya?” colek Bu Karsih saat melihatku senyum-senyum. Aku yang sempat “terlempar” ke masa ABG setelah mencium tangan Bu Karsih, gugup dan hanya bisa memandang guru BP-ku ini dengan tersenyum. “Ahh, Ibu... Tau aja, sih,” ujarku malu-malu.
Bu Karsih kemudian menepuk-nepuk pundakku sambil berucap lirih, “Ibu kira kalian jadian dan berlanjut hingga dewasa.” Aku cuma bisa menggeleng-gelengkan kepalaku. Setengah menyesali kenapa kami menyudahi “cinta monyet” itu. Meskipun sering disepelekan sebagai cinta monyet, cintanya anak-anak ABG, kami sudah seia-sekata. Kelak hendak melanjutkan cinta ini menjadi “cinta gorila”, cinta yang lebih besar dan penuh makna. Itu semua impian masa remaja aku dan Aryati. Tak pernah ada yang melarang hubungan kami karena percintaan yang kami bangun sangat sehat.
Sejak kelas 2 hingga mendekati ujian akhir, hubungan cintaku dan Aryati diisi dengan kegiatan belajar bersama. Sesekali untuk menghilangkan kejenuhan belajar terus-menerus, aku sering mengajak Aryati jalan-jalan berdua. Dengan berboncengan sepeda, kami pergi menonton film, melihat pameran buku, melihat pameran seni atau sekedar berolah raga bersama. Kami suka sekali berenang saat itu. Aryati yang tak pandai berenang menjadi pemberani dan tidak takut air sejak aku ajari berenang. Bu Karsih termangu mendengar cerita kilas balik hubungan kami ini.
“Sayang, yaa... padahal kalian itu serasi. Aryati cantik dan kamu...?” Bu Karsih tiba-tiba terdiam. Matanya tak lepas memandangiku.
“Saya, kenapa, Bu?” tanyaku ingin tahu. Bu Karsih malahan tersenyum ketika kutanyakan “kenapa” tadi. “Kamu tuh biasa-biasa aja! Jelek nggak, cakep banget juga nggak,” derai tawa Bu Karsih keluar, “tapi kamu kelihatan smart dan cerdas,” ucap Bu Karsih bersungguh-sungguh. Ketika mengucapkan hal ini, ia menghentikan tawanya. Aku yang dipuji begitu, semakin tersipu-sipu.
“Ahh, masa saya seperti itu, Bu,” keraguan memenuhi benakku.
“Bukan hanya ibu yang berpendapat begitu, Boma.... Hampir semua teman wanitamu yang mengatakan demikian. Nah, Aryatilah yang paling lantang bersuara mengatakan sisi kepribadianmu yang ibu katakan tadi.” Aku tercenung, sama sekali tidak menyangka Bu Karsih menyebut nama Aryati yang paling getol menyebutku smart dan cerdas.  “Itu yang Aryati katakan menjelang kalian ujian akhir. Aryati juga bilang kalau dia justru takut ada wanita lain yang merebutmu.” Aku hanya bisa menghela napas panjang. Berusaha mencerna semua perkataan masa lalu Aryati kepada Bu Karsih.
“Tapi Bu, Aryati sama sekali tak pernah mengatakan apa-apa kepada saya!” Aku berusaha memutar semua memori dalam otakku. Mengingat lagi tentang gadis yang sudah membuat jantungku berdetak kencang.
Senyum kembali mengembang dibibir Bu Karsih. Tak lama kemudian keluarlah komentarnya, “Gimana kamu mau tahu, Boma? Kerjamu kan selalu mengajak Aryati belajar, belajar, dan terus belajar.... Kamu tahu? Aryati sampai memfavoritkan lagu Dia yang pernah dinyanyikan Vina Panduwinata. Tau kenapa Aryati sampai harus menyukai lirik lagu Dia itu?” Gelengan kepalaku bermain-main.  “Saya benar-benar nggak tahu itu, Bu!”
“Memangnya Aryati suka menemui Ibu?” tanyaku penasaran. Bu Karsih mengangguk seraya berkata, “Aryati itu suka banget cerita macam-macam, tapi sebetulnya dia hanya ingin bercerita tentang kamu, Boma.”
“Matanya berbinar-binar bila menceritakanmu. Kelihatan betapa dia sayang padamu.” Aku semakin ternganga saja mendengar penuturan Bu Karsih tentang perasaan sayang Aryati kepadaku.
“Lirik lagu Dia, katanya, untuk mengungkapkan ketidakmampuannya bicara dihadapanmu. Aryati bilang bibirnya terasa berat.” Terdengar tawa renyah Bu Karsih sekaligus menarik napas panjang, “Dasar ABG putih biru, cinta-sayangnya nggemesin.” Kami berdua kembali tertawa.
“Oleh karena itu, ibu kaget kok tiba-tiba Aryati menikah sama si itu dan kamu menikah dengan si ini!” Mimiknya berubah menjadi sendu. Seperti tak rela kami terpisah begini. “Siapa suaminya, Bu?” tanyaku ingin tahu. Kulihat Bu Karsih ragu untuk menjawab.
Sampai kini aku tidak pernah tahu siapa suami Aryati, yang memilih menikah duluan daripada aku. Saat resepsinya digelar aku sedang menyelesaikan master dan doktor-ku di London. Mendengar Aryati sudah menikah, entah dengan siapa, harapanku pupus sudah. Jujur saja, cinta monyet itu begitu membekas dalam hatiku. Seia-sekata yang kami ucapkan tidak pupus walau aku ada di benua lain. Seandainya melihat langsung pernikahannya, mungkin aku bisa pingsan.
Sekembalinya dari London, aku dikenalkan seorang gadis, anak teman ayahku dari Banda Aceh. Gadis manis, cantik, berjilbab, santun, dan terlihat anak penurutnya. Kekhasan gadis Aceh sangat kentara melekat pada Cut Dewi Evitania, istriku sekarang. Aku sesaat melupakan cinta masa kecilku.
“Kenapa kalian tidak melanjutkan kisah cinta itu, Boma?” tanya Bu Karsih pelan. Kurasa ia menanyakan hal ini supaya aku tak bertanya lagi siapa suami Aryati. “Itulah Bu.... Kupikir cinta sejati akan tetap dalam singgasananya. Dan kelak pada masanya kami bisa memegang erat bersama-sama. Melangkah, menghadapi semua bersama.” Aku menyampaikan pandanganku.
“Woalah cah...., sahut Bu Karsih tersenyum, kemudian, “Boma! Yang namanya cinta mesti diperjuangkan. Kalau cuma dibiarkan tenggelam dalam dasar hati bagaimana bisa bersemi. Paling tidak jalin komunikasi yang sering supaya saling tahu keadaannya.”
Sepertinya apa yang dikatakan Bu Karsih tak salah. Aku terlalu yakin dengan cinta sejatiku kepada Aryati. Atau barangkali karena aku juga tak pernah mengungkapkan perasaan cintaku kepadanya. Buktinya, Aryati galau sampai mengumpamakan dirinya seperti lirik lagu Dia itu.
Aku mengerti kini, mengapa dulu, dulu sekali, Aryati sering sekali menatapku lama disegala situasi. Ia mengirimkan sinyal, kata-kata cintanya dari sorot matanya. Berharap aku segera membalas sinyal itu dengan ungkapan verbalku. Bodohnya aku, kenapa tidak segera menangkap isyarat itu? Aku hanya berpegang pada satu hal. Yang penting aku sayang dan cinta dia. Kalimat itu baru akan aku ucapkan jika aku sudah siap secara emosi. Dewasa, kata orang tua. Tapi, bukannya aku sudah dewasa, saat itu?
“Iya kan, Bu, aku sudah dewasa waktu itu?” Sekonyong-konyong pikiran konyol itu langsung kusampaikan kepada Bu Karsih. Beliau hanya tersenyum, mengangguk-anggukkan kepalanya. “Memang dewasa sih! Karena setelah dari toilet, kamu selalu kembali ke kelas. Tidak seperti teman-temanmu yang langsung hilang dan ditemukan di kantin sekolah,” kata Bu Karsih kemudian tertawa.
Luar biasa! Beliau masih mengingat kata-kata itu padahal sudah seperempat abad yang lalu. Lanjutnya lagi, “Tapi itu hanya alasan untuk bisa melihat kelas ini, kan? Terutama gadis yang bangkunya sekarang sedang kaududuki!” Aku tergelak dengan tawa yang sebetulnya bodoh. Bodoh karena gadis dalam genggaman akhirnya hanya dibawa pria lain, yang kuyakin bukan cinta sejatinya.
“Sebentar,” Bu Karsih menghentikan obrolannya denganku. Ponselnya berdering. Gerak tangannya menyuruhku menunggu. Ia kemudian terlibat pembicaraan. Yang kudengar, ia mengatakan masih di sekolah. Bu Karsih menyuruh si penelpon segera datang ke sekolah saja.
“Ibu mau pergi?” tanyaku setelah pembicaraannya selesai. “Nggak, nggak...! Ibu nggak ke mana-mana. Ini Rara murid ibu,” katanya menjelaskan. Aku lega karena masih bisa menyusuri kenangan masa SMP bersamanya. Kusapu pandangan melihat isi kelas yang tampak berubah. Lebih bagus sekarang daripada dulu, jaman aku bersekolah.
Tiba-tiba Bu Karsih mencolek lenganku. Jari telunjuknya menunjuk sesuatu di luar kelas. Aku tersenyum melihat sebuah bangku panjang, yang dulunya terbuat dari kayu. Kini sudah lebih kokoh karena disemen. Bangku satu-satunya di bawah pohon beringin, di pinggir lapangan bola yang dimiliki sekolah ini. Namun kini, di belakang bangku itu sudah berdiri bangunan. “Itu ruang ekskul. Biasanya dipakai untuk elektronika dan keputrian,” sahut Bu Karsih ketika kutanyakan digunakan sebagai ruangan apa. Kami lantas ke luar menuju bangku itu. Kembali aku mengenang saat suka duduk di sini bersama Aryati. “Kalian sering belajar berdua di sini, kan?” Lagi-lagi Bu Karsih ingat hal itu.
Dihembus semilirnya udara siang menjelang sore. Di bawah pohon beringin itu, aku kini mengerti sikap ragu Bu Karsih. Ia menceritakan sejarah panjang tentang sisi lain kehidupan Aryati. Ternyata, Aryati bukan anak dokter Tris Rusminta yang terkenal di kota C. Pada saat Aryati berusia 2 tahun, kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan lalulintas. Dokter Tris, yang pernah membantu persalinan Aryati kemudian mengangkatnya menjadi anak dalam asuhan mereka.
“Bu Ninih Sucipta, istri dokter Tris adalah sahabat ibu sejak SMP, Boma! Kami bertemu sewaktu Bu Ninih mengambilkan rapor Aryati. Melaluinya,  kehidupan Aryati ibu ketahui penuh.” Aku hanya bisa menghela napas panjang.
“Jadi, tadi ibu hanya pura-pura menanyakan kenapa saya tidak berlanjut dengan Aryati!” kataku melempar senyum kepada Bu Karsih.
“Maafkan ibu, Boma! Ibu tak bermaksud begitu. Ibu sayang kalian berdua. Berharap kalian jadian dan menikah. Karena ibu tahu cinta Aryati hanya untukmu. Itu yang selalu dikatakan, bahkan menjelang pernikahannya dengan Ken Trisnawan, putra dokter Tris.” Kembali aku tertegun mendengar penjelasan Bu Karsih.
“Ternyata Aryati menikahi Ken karena balas budinya kepada keluarga dokter Tris, iya Bu?” tanyaku, yang dijawab anggukan kepala Bu Karsih. Aku memandang hamparan rumput hijau lapangan bola sekolahku. Kedua tanganku menopang kepalaku sambil otak terus memutar memori indah bersama Aryati.
“Tapi aku telah memberi kebahagian sesaat kepada Ken, kepada keluarga angkatku, Dokter Tris. Kini, setelah Ken tak ada, cinta terpedam ini hanya milikmu. Hanya untuk dirimu. Kekasih hatiku. Cinta indahku, di bangku ini,” sebuah suara muncul di belakang kami.
Sebelum aku memutar badan ingin mengetahui siapa pemilik suara barusan, terucap lagi kata-katanya, “Jangan biarkan aku cemburu dengan status-statusmu di fesbuk dan twitter. Kaupikir aku tidak membacanya?” Aku semakin tak sabar untuk segera tahu, siapa dia?
“Aryati?” Mataku membelalak melihat sosoknya ada di hadapanku. Ia tersenyum manis kepadaku, kepada Bu Karsih juga.
“Ini Rara yang menelpon Ibu tadi, kan?” kataku sambil menggeleng-gelengkan kepala. Sama sekali tak sadar sedang dikerjai Bu Karsih.
“Ibu tinggal ke kantor dulu, ya....” pamitnya, dan berlalu dari hadapan kami yang tersipu malu. Bu Karsih sengaja menoleh lagi ke belakang. Mulutnya usil lagi, “Bangku itu memang milik kalian berdua, dulu hingga sekarang. Mengganggu kalau ibu tetap ada di tengah situ.”

Matanya mengedip ke arahku dan tersenyum.... 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PIYAMBAKAN

SENGAJA DATANG KE KOTAMU

KIRIMI AKU SURAT CINTA