JANGAN BIARKAN AKU CEMBURU
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Lorong antarkelas menjadi saksi ketika kupijakkan
lagi almamaterku, SMP Hegarmanah di
kota C. Dua kelas yang berjejeran, 2C dan 2D, yang saat itu sedang kupandangi, membuatku
tersenyum dan terkenang. Betapa setiap hari aku tidak pernah melepaskan
pandangan padanya, setiap melewati kelas 2C. Aku ada di kelas 2D. Jalan keluar
memang harus melewati kelas 2C.
Jendela yang sebatas dadaku, godaan temanku di kelas
2C yang duduk dekat jendela, tidak kupedulikan kala itu. Mataku hanya tertuju
pada satu titik. Bangku depan meja guru. Pesona gadis manis yang duduk di situ,
yang membuatku ingin selalu menengok kelas 2C. Lekatnya pandanganku itu nyaris
tidak hilang sejak aku pindah ke SMP ini, pada awal semester satu, kelas 2.
"Hayo, melongok masa lalu, ya?" tiba-tiba
suara yang kukenal mengangetkanku. Aku menoleh dan wajah yang tak asing lagi.
Bu Karsih, guru BP-ku. Kujabat tangannya, kucium tangannya, kemudian guru
bersahaja ini mengelus kepalaku. “Tambah
keren wae, cah?” sapaan khasnya kepada murid-murid laki-lakinya. Ia tahu
aku dari Jogja sehingga sapaan khasnya diubah begitu.
Aku hanya tersenyum dan tertawa mendengar kata-kata
itu keluar dari mulutnya. Dua puluh lima tahun yang lalu ucapan itu juga selalu
hadir ke hadapan kami, para murid lelakinya.
Sejak aku mengenalnya hingga kini bertemu kembali,
dirinya tidak lekang dengan jabatan sebagai guru BP. Tidak pernah mengajar mata
pelajaran lain. Jika ada guru yang berhalangan hadir atau tidak bisa mengajar, Bu
Karsih yang selalu didaulat mengisi jam kosongnya.
Biasanya, setelah memberikan tugas mata pelajaran
dari guru yang tak hadir, ia pasti akan bercerita tentang dunia remaja dan
semua problemanya. Bagi murid yang pembosan, omongan Bu Karsih terasa bagai
setahun lamanya. Itu yang menjadi alasan kebanyakan murid laki-laki kabur dari
kelas. Mereka ke luar dengan alasan ke toilet, namun sesudahnya tak kembali ke
kelas. Meskipun begitu, tak ada raut marah diperlakukan demikian.
“Kalian sudah setengah dewasa, jadi sudah punya
sikap sendiri. Apa yang ibu sampaikan ini tentunya juga sudah sering kalian
dengar. Tidak apa-apa,” katanya suatu saat di depan kelasku. Pelajaran bahasa
Indonesia yang diampu Bu Prapti hari itu kosong karena ybs mengikuti pelatihan
di Diknas Kotamadya. Teman-temanku yang masih bersisa, kebanyakan perempuan
hanya mengangguk-angguk. Menyetujui apa yang dikatakan Bu Karsih barusan.
“Tapi Bu, kenapa kami masih dianggap setengah
dewasa?” tanya Catarina. Pertanyaan Catarina sempat menggelitikku. Kenapa ya kami masih dianggap hanya
setengah, tanyaku dalam hati. Beberapa teman saling berpandangan mendengar
pertanyaan Catarina yang spontan. Bu Karsih tersenyum penuh makna. “Beruntunglah
kalian yang masih bertahan di kelas ini bersama ibu dan teman-teman. Inilah
sikap orang dewasa sesungguhnya, yang bisa mengalahkan egoisnya hati sendiri,”
urai panjang lebar Bu Karsih. Kami semua terdiam mendengar jawaban beliau.
“Bagaimana mungkin dikatakan dewasa, menghadapi cerita
yang ibu berikan saja belum mampu. Mengalahkan diri sendiri saja masih susah
apalagi mengalahkan begitu banyak masalah, problema yang siap menantang kalian
esok hari,” ucap Bu Karsih serius. Lagi-lagi ia mengembangkan senyumnya begitu
teman-temanku banyak yang mengacungkan jari, berebut bertanya yang lain.
Suasana kelasku terasa riuh seketika, meskipun kelas hanya terisi 15 anak dari
35 murid yang seharusnya ada.
Kini tepat 25 tahun kutinggalkan sekolahku ini.
Melalui grup SMP Hegarmanah di
fesbuk, kami sepakat mengadakan reuni perak. Adalah Dindin temanku kelas 2D yang
mengetuai perhelatan “perak” ini.
Aku masih mematung di depan kelas 2C yang siang itu
sudah sepi. Pelajaran terakhir sudah usai beberapa saat yang lalu. Dalam diam
berdiriku, aku ingat lagi saat Bu Karsih kupamiti ke toilet. Aku benar-benar kebelet saat itu sehingga memotong
cerita Bu Karsih. “Maaf, Bu, saya mau ke toilet,” kataku seraya buru-buru
berdiri dan pergi dari kelas sebelum Bu Karsih mengiyakan. Guru hangat ini
hanya memalingkan mukanya ke arah tempat dudukku. Kebetulan bangkuku memang
dekat pintu keluar. “Oh, silakan, cah Jogja.”
Ucapan itu sering keluar dari mulutnya. Kadang ia juga memanggil nama pendekku,
Boma.
“Boma tidak setengah, tapi full dewasa,” suaranya terdengar olehku dari luar, “Boma pasti
kembali ke kelas setelah puas di toilet,” lanjut Bu Karsih. Samar-samar terdengar
gelak tawa teman-temanku menyambut omongan Bu Karsih. Sebelum benar-benar
menjauh dari kelasku, masih ada omongan lain dari Bu Karsih. Omongannya kali
ini, memaksa aku menghentikan lari kecilku ke toilet sekolah. “Alasan utamanya memang ke toilet, tapi
matanya pasti melirik ke kelas 2C. Melihat siapa?” teriak Bu Karsih.
“Aryatiii...,” koor suara itu nyaring terdengar
hingga tempatku berdiri. Teriakan nama itu membuatku terkejut sekaligus
tersenyum simpul. Aku langsung buru-buru meneruskan lariku ke toilet sekolah.
Rupanya, bahasa tubuh ketertarikanku pada Aryati diketahui oleh teman-teman dan
Bu Karsih. Aku tersenyum lagi.
“Pasti terkenang sama Aryati, ya?” colek Bu Karsih
saat melihatku senyum-senyum. Aku yang sempat “terlempar” ke masa ABG setelah
mencium tangan Bu Karsih, gugup dan hanya bisa memandang guru BP-ku ini dengan
tersenyum. “Ahh, Ibu... Tau aja, sih,” ujarku malu-malu.
Bu Karsih kemudian menepuk-nepuk pundakku sambil
berucap lirih, “Ibu kira kalian jadian dan berlanjut hingga dewasa.” Aku cuma
bisa menggeleng-gelengkan kepalaku. Setengah menyesali kenapa kami menyudahi
“cinta monyet” itu. Meskipun sering disepelekan sebagai cinta monyet, cintanya
anak-anak ABG, kami sudah seia-sekata. Kelak hendak melanjutkan cinta ini
menjadi “cinta gorila”, cinta yang lebih besar dan penuh makna. Itu semua
impian masa remaja aku dan Aryati. Tak pernah ada yang melarang hubungan kami
karena percintaan yang kami bangun sangat sehat.
Sejak kelas 2 hingga mendekati ujian akhir, hubungan
cintaku dan Aryati diisi dengan kegiatan belajar bersama. Sesekali untuk
menghilangkan kejenuhan belajar terus-menerus, aku sering mengajak Aryati
jalan-jalan berdua. Dengan berboncengan sepeda, kami pergi menonton film,
melihat pameran buku, melihat pameran seni atau sekedar berolah raga bersama.
Kami suka sekali berenang saat itu. Aryati yang tak pandai berenang menjadi
pemberani dan tidak takut air sejak aku ajari berenang. Bu Karsih termangu
mendengar cerita kilas balik hubungan kami ini.
“Sayang, yaa... padahal kalian itu serasi. Aryati
cantik dan kamu...?” Bu Karsih tiba-tiba terdiam. Matanya tak lepas memandangiku.
“Saya, kenapa, Bu?” tanyaku ingin tahu. Bu Karsih
malahan tersenyum ketika kutanyakan “kenapa” tadi. “Kamu tuh biasa-biasa aja!
Jelek nggak, cakep banget juga nggak,” derai tawa Bu Karsih keluar, “tapi kamu
kelihatan smart dan cerdas,” ucap Bu
Karsih bersungguh-sungguh. Ketika mengucapkan hal ini, ia menghentikan tawanya.
Aku yang dipuji begitu, semakin tersipu-sipu.
“Ahh, masa saya seperti itu, Bu,” keraguan memenuhi
benakku.
“Bukan hanya ibu yang berpendapat begitu, Boma....
Hampir semua teman wanitamu yang mengatakan demikian. Nah, Aryatilah yang
paling lantang bersuara mengatakan sisi kepribadianmu yang ibu katakan tadi.”
Aku tercenung, sama sekali tidak menyangka Bu Karsih menyebut nama Aryati yang
paling getol menyebutku smart dan
cerdas. “Itu yang Aryati katakan
menjelang kalian ujian akhir. Aryati juga bilang kalau dia justru takut ada
wanita lain yang merebutmu.” Aku hanya bisa menghela napas panjang. Berusaha
mencerna semua perkataan masa lalu Aryati kepada Bu Karsih.
“Tapi Bu, Aryati sama sekali tak pernah mengatakan
apa-apa kepada saya!” Aku berusaha memutar semua memori dalam otakku. Mengingat
lagi tentang gadis yang sudah membuat jantungku berdetak kencang.
Senyum kembali mengembang dibibir Bu Karsih. Tak
lama kemudian keluarlah komentarnya, “Gimana kamu mau tahu, Boma? Kerjamu kan
selalu mengajak Aryati belajar, belajar, dan terus belajar.... Kamu tahu? Aryati
sampai memfavoritkan lagu Dia yang
pernah dinyanyikan Vina Panduwinata. Tau kenapa Aryati sampai harus menyukai
lirik lagu Dia itu?” Gelengan
kepalaku bermain-main. “Saya benar-benar
nggak tahu itu, Bu!”
“Memangnya Aryati suka menemui Ibu?” tanyaku penasaran.
Bu Karsih mengangguk seraya berkata, “Aryati itu suka banget cerita
macam-macam, tapi sebetulnya dia hanya ingin bercerita tentang kamu, Boma.”
“Matanya berbinar-binar bila menceritakanmu. Kelihatan
betapa dia sayang padamu.” Aku semakin ternganga saja mendengar penuturan Bu
Karsih tentang perasaan sayang Aryati kepadaku.
“Lirik lagu Dia,
katanya, untuk mengungkapkan ketidakmampuannya bicara dihadapanmu. Aryati bilang
bibirnya terasa berat.” Terdengar tawa renyah Bu Karsih sekaligus menarik napas
panjang, “Dasar ABG putih biru, cinta-sayangnya nggemesin.” Kami berdua kembali tertawa.
“Oleh karena itu, ibu kaget kok tiba-tiba Aryati
menikah sama si itu dan kamu menikah dengan si ini!” Mimiknya berubah menjadi
sendu. Seperti tak rela kami terpisah begini. “Siapa suaminya, Bu?” tanyaku
ingin tahu. Kulihat Bu Karsih ragu untuk menjawab.
Sampai kini aku tidak pernah tahu siapa suami
Aryati, yang memilih menikah duluan daripada aku. Saat resepsinya digelar aku
sedang menyelesaikan master dan doktor-ku di London. Mendengar Aryati sudah menikah, entah dengan siapa,
harapanku pupus sudah. Jujur saja, cinta monyet itu begitu membekas dalam
hatiku. Seia-sekata yang kami ucapkan tidak pupus walau aku ada di benua lain.
Seandainya melihat langsung pernikahannya, mungkin aku bisa pingsan.
Sekembalinya dari London, aku dikenalkan seorang
gadis, anak teman ayahku dari Banda Aceh. Gadis manis, cantik, berjilbab,
santun, dan terlihat anak penurutnya. Kekhasan gadis Aceh sangat kentara
melekat pada Cut Dewi Evitania, istriku sekarang. Aku sesaat melupakan cinta
masa kecilku.
“Kenapa kalian tidak melanjutkan kisah cinta itu,
Boma?” tanya Bu Karsih pelan. Kurasa ia menanyakan hal ini supaya aku tak
bertanya lagi siapa suami Aryati. “Itulah Bu.... Kupikir cinta sejati akan
tetap dalam singgasananya. Dan kelak pada masanya kami bisa memegang erat
bersama-sama. Melangkah, menghadapi semua bersama.” Aku menyampaikan
pandanganku.
“Woalah cah....,
sahut Bu Karsih tersenyum,
kemudian, “Boma! Yang namanya cinta mesti diperjuangkan. Kalau cuma dibiarkan
tenggelam dalam dasar hati bagaimana bisa bersemi. Paling tidak jalin
komunikasi yang sering supaya saling tahu keadaannya.”
Sepertinya apa yang dikatakan Bu Karsih tak salah.
Aku terlalu yakin dengan cinta sejatiku kepada Aryati. Atau barangkali karena
aku juga tak pernah mengungkapkan perasaan cintaku kepadanya. Buktinya, Aryati
galau sampai mengumpamakan dirinya seperti lirik lagu Dia itu.
Aku mengerti kini, mengapa dulu, dulu sekali, Aryati
sering sekali menatapku lama disegala situasi. Ia mengirimkan sinyal, kata-kata
cintanya dari sorot matanya. Berharap aku segera membalas sinyal itu dengan
ungkapan verbalku. Bodohnya aku, kenapa tidak segera menangkap isyarat itu? Aku
hanya berpegang pada satu hal. Yang
penting aku sayang dan cinta dia. Kalimat itu baru akan aku ucapkan jika
aku sudah siap secara emosi. Dewasa, kata orang tua. Tapi, bukannya aku sudah
dewasa, saat itu?
“Iya kan, Bu, aku sudah dewasa waktu itu?”
Sekonyong-konyong pikiran konyol itu langsung kusampaikan kepada Bu Karsih.
Beliau hanya tersenyum, mengangguk-anggukkan kepalanya. “Memang dewasa sih!
Karena setelah dari toilet, kamu selalu kembali ke kelas. Tidak seperti
teman-temanmu yang langsung hilang dan ditemukan di kantin sekolah,” kata Bu
Karsih kemudian tertawa.
Luar biasa! Beliau masih mengingat kata-kata itu
padahal sudah seperempat abad yang lalu. Lanjutnya lagi, “Tapi itu hanya alasan
untuk bisa melihat kelas ini, kan? Terutama gadis yang bangkunya sekarang
sedang kaududuki!” Aku tergelak dengan tawa yang sebetulnya bodoh. Bodoh karena
gadis dalam genggaman akhirnya hanya dibawa pria lain, yang kuyakin bukan cinta
sejatinya.
“Sebentar,” Bu Karsih menghentikan obrolannya
denganku. Ponselnya berdering. Gerak tangannya menyuruhku menunggu. Ia kemudian
terlibat pembicaraan. Yang kudengar, ia mengatakan masih di sekolah. Bu Karsih
menyuruh si penelpon segera datang ke sekolah saja.
“Ibu mau pergi?” tanyaku setelah pembicaraannya
selesai. “Nggak, nggak...! Ibu nggak ke mana-mana. Ini Rara murid ibu,” katanya
menjelaskan. Aku lega karena masih bisa menyusuri kenangan masa SMP bersamanya.
Kusapu pandangan melihat isi kelas yang tampak berubah. Lebih bagus sekarang
daripada dulu, jaman aku bersekolah.
Tiba-tiba Bu Karsih mencolek lenganku. Jari
telunjuknya menunjuk sesuatu di luar kelas. Aku tersenyum melihat sebuah bangku
panjang, yang dulunya terbuat dari kayu. Kini sudah lebih kokoh karena disemen.
Bangku satu-satunya di bawah pohon beringin, di pinggir lapangan bola yang
dimiliki sekolah ini. Namun kini, di belakang bangku itu sudah berdiri
bangunan. “Itu ruang ekskul. Biasanya dipakai untuk elektronika dan keputrian,”
sahut Bu Karsih ketika kutanyakan digunakan sebagai ruangan apa. Kami lantas ke
luar menuju bangku itu. Kembali aku mengenang saat suka duduk di sini bersama
Aryati. “Kalian sering belajar berdua di sini, kan?” Lagi-lagi Bu Karsih ingat
hal itu.
Dihembus semilirnya udara siang menjelang sore. Di
bawah pohon beringin itu, aku kini mengerti sikap ragu Bu Karsih. Ia
menceritakan sejarah panjang tentang sisi lain kehidupan Aryati. Ternyata,
Aryati bukan anak dokter Tris Rusminta yang terkenal di kota C. Pada saat
Aryati berusia 2 tahun, kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan
lalulintas. Dokter Tris, yang pernah membantu persalinan Aryati kemudian
mengangkatnya menjadi anak dalam asuhan mereka.
“Bu Ninih Sucipta, istri dokter Tris adalah sahabat
ibu sejak SMP, Boma! Kami bertemu sewaktu Bu Ninih mengambilkan rapor Aryati.
Melaluinya, kehidupan Aryati ibu ketahui
penuh.” Aku hanya bisa menghela napas panjang.
“Jadi, tadi ibu hanya pura-pura menanyakan kenapa
saya tidak berlanjut dengan Aryati!” kataku melempar senyum kepada Bu Karsih.
“Maafkan ibu, Boma! Ibu tak bermaksud begitu. Ibu
sayang kalian berdua. Berharap kalian jadian dan menikah. Karena ibu tahu cinta
Aryati hanya untukmu. Itu yang selalu dikatakan, bahkan menjelang pernikahannya
dengan Ken Trisnawan, putra dokter Tris.” Kembali aku tertegun mendengar
penjelasan Bu Karsih.
“Ternyata Aryati menikahi Ken karena balas budinya
kepada keluarga dokter Tris, iya Bu?” tanyaku, yang dijawab anggukan kepala Bu
Karsih. Aku memandang hamparan rumput hijau lapangan bola sekolahku. Kedua
tanganku menopang kepalaku sambil otak terus memutar memori indah bersama Aryati.
“Tapi aku telah memberi kebahagian sesaat kepada Ken,
kepada keluarga angkatku, Dokter Tris. Kini, setelah Ken tak ada, cinta
terpedam ini hanya milikmu. Hanya untuk dirimu. Kekasih hatiku. Cinta indahku,
di bangku ini,” sebuah suara muncul di belakang kami.
Sebelum aku memutar badan ingin mengetahui siapa pemilik
suara barusan, terucap lagi kata-katanya, “Jangan biarkan aku cemburu dengan
status-statusmu di fesbuk dan twitter. Kaupikir aku tidak membacanya?” Aku
semakin tak sabar untuk segera tahu, siapa dia?
“Aryati?” Mataku membelalak melihat sosoknya ada di
hadapanku. Ia tersenyum manis kepadaku, kepada Bu Karsih juga.
“Ini Rara yang menelpon Ibu tadi, kan?” kataku
sambil menggeleng-gelengkan kepala. Sama sekali tak sadar sedang dikerjai Bu
Karsih.
“Ibu tinggal ke kantor dulu, ya....” pamitnya, dan
berlalu dari hadapan kami yang tersipu malu. Bu Karsih sengaja menoleh lagi ke
belakang. Mulutnya usil lagi, “Bangku itu memang milik kalian berdua, dulu
hingga sekarang. Mengganggu kalau ibu tetap ada di tengah situ.”
Matanya mengedip ke arahku dan tersenyum....
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar