TERJERAT RANGKAIAN KATA

Bangku baris ketiga dari belakang, jadi pilihanku begitu kumasuki kelas baruku. Entah kenapa bangku itu menjadi pilihan pertamaku. Seperti ada yang menarikku secara kasat mata menuju bangku itu. Yang terpenting, bangku itu dekat jendela sehingga selain bisa merasakan kesejukan udara luar, aku juga bisa melihat situasi lapangan sekolah baruku itu. Aku memang tidak betah dengan gerah. Badanku selalu kepanasan jika asupan udara segar tidak masuk.
            Masa OSPEK kulalui dengan tenang, tak ada sesuatu yang berarti dalam mengikutinya. Kalau pun ada galak-galakan kakak kelasku, selalu kutanggapi dengan senyuman dan candaan saja. Dan, waktu memang membuktikan kelak, bahwa aku sangat dikenali oleh teman-teman seangkatan maupun kakak-kakak kelasku.
***
            Jam pelajaran terakhir  matematika terasa membosankan. Mata pelajaran yang berdurasi 2 jam, bagiku terasa lama. Hingga menunggu bel 12.45 berbunyi juga terasa lama. Sialnya lagi, cuaca di luar mendung menebarkan angin sepoi-sepoi yang langsung menyeruak masuk lewat jendela samping tempat dudukku. Triana, tempat sebangkuku terlihat asyik menyimak pelajaran matematika yang disampaikan Pak Samiyo. Guru senior, sudah sepuh, namun masih dikaryakan oleh pihak sekolah karena kedigdayaan meramu angka dan rumus-rumus, sungguh menganggumkan. Hanya, karena penyampaiannya datar, kurang bervariasi, banyak temanku yang senasib denganku. Gagal memahami dengan sukses. Atau, kali saja otak dan kemampuan kami memang minim, hihihi. Entahlah....
            Kalau lepas dari pandangan Pak Samiyo, aku sering telungkup di meja. Bersembunyi di belakang Margo yang badannya gede dan duduk persis di depanku. Siang itu, kelakuan ini aku kerjakan. Menggeletakkan kepala di meja, berlindung dari tubuh Margo. Iseng tanganku merogoh laci meja. Dari rabaanku, laci mejaku banyak dipenuhi kertas-kertas yang sudah digulung-gulung kecil. Aku mendapatkan sebuah gumpalan kertas yang menurutku lebih besar daripada kertas-kertas yang lain, yang ada dalam laci meja. Ketika aku buka gumpalan kertas itu, aku tercengang. Sebuah puisi indah. Kebetulan, aku juga penyuka puisi. Menurutku, puisi ini romantis. Pasti si pembuat, orangnya juga romantis, pikirku langsung mengarah ke sana.
            Ketika asyik membaca puisi dari gumpalan kertas bekas itu, Triana melirik apa yang kubaca. Kepalanya pelan-pelan mendekat. Ia tersenyum tipis setelah tahu apa yang aku baca. Ia lalu mengeluarkan sesuatu dari saku depan bajunya. Sebuah gumpalan kertas juga. Disodorkannya kertas itu kepadaku. Baca, katanya menyuruhku. Kembali aku tercengang membaca tulisan di dalamnya. Sebuah puisi indah nan romantis. Berbeda isi dengan yang barusan aku baca dari gumpalan kertas yang kumiliki.
***
            Pada hari lain.
Di bagian belakang, di deretan tempat dudukku bersama Triana, ternyata ada juga puisi romantis ditemukan di laci teman-temanku. Di dekat jendela yang berlawanan dengan tempat kududuk, di laci Neni ada kertas gumpalan berisi puisi, juga romatis. Di laci Kirin, yang duduk bersebelahan dengan Neni, juga ditemukan puisi romantis. Berlanjut ke sebelah Neni, di meja Tatik dan Artha, juga ada gumpalan kertas bekas, yang di dalamnya puisi yang setipe. Bahkan, di meja Ponco dan Aryo, lagi-lagi ditemukan puisi seperti yang lain.
Ponco menyerahkan semua puisi yang ditemukan hari itu. Total ada tujuh puisi romantis yang ditemukan di laci masing-masing teman. Kubaca dengan seksama, bahasa-bahasanya penuh nuansa cinta. Romantis habis. Entah kenapa, sajian puisi-puisi yang kubaca langsung melembutkan hatiku, membuat hatiku senang. Sementara teman-temanku menanggapi biasa saja. Huhh, dasar tidak punya selera seni, gerutuku dalam hati.
            Hari itu, dalam genggaman tanganku, ada 7 puisi. Semuanya kuminta karena khawatir jika ditangan teman-temanku hanya jadi gumpalan tak berguna kemudian dilempar ke tong sampah di depan kelas. Sesudah kurapikan kertas-kertas puisi itu, kusimpan semuanya dalam tas. Aku akan membaca ulang di rumah. Menikmati semua sajian indah puisi cinta yang romantis. Anehnya, hari itu laciku tidak disisipi gumpalan kertas.     Aku mulai berpikir, tidak mungkin puisi-puisi dibuat tanpa sengaja. Pasti si penulis sengaja menuliskan dan kemudian ingin membagikan kepada siapa saja. Aku tidak terlalu memedulikannya. Bagiku, menikmati puisi adalah sebuah kesenangan yang sudah kujalani sejak SMP. Aku memang menyukai puisi.
            Pagi itu, aku sengaja datang awal ke sekolah. Ingin mencari gumpalan kertas di laci teman-temanku yang duduknya sebaris denganku. Tanpa kuduga sama sekali, ternyata Ponco menjadi orang pertama yang datang di kelas. Dia tampak kaget ketika aku tiba-tiba nongol dan masuk kelas diam-diam. Meskipun sempat kaget, Ponco tetap menyapaku, ”Kok datang pagi, Vit?” Disapa begitu, aku hanya tersenyum sambil melihat ke arah mejanya. Rupanya Ponco sedang asyik menyalin sesuatu.
”Kamu sudah mengerjakan PR matematika Pak Samiyo?” Oh, rupanya Ponco sedang menyelesaikan PR matematika. Aku hanya mengangguk pelan kepadanya. ”Sudahlah, coba nanti kita cocokkan, ya.” Aku langsung bergegas menuju bangkuku serta mengeluarkan PR matematika. Untuk sementara, hunting gumpalan kertas berpuisi aku abaikan agar Ponco tidak curiga. Di sela-sela kami saling memeriksa PR matematika, Ponco mengeluarkan gumpalan kertas. Begitu melihat gumpalan kertas itu, otakku langsung merespon puisi indah nan romantis. Namun, lamunanku terputus gara-gara Ponco menunjukkan sebuah tulisan di bawah puisi yang ditulis tangan itu.
”Lihat Vit, kamu perhatikan tidak tulisan ini!” Ponco lantas menunjukkan tulisan Re5, ”Ada tidak di kertas berpuisi yang kamu temukan?” Dahiku seketika mengernyit, berusaha mengingat apakah ada tulisan seperti yang ditujukan Ponco barusan. Ketika aku masih memikirkan tulisan itu, Triana tiba-tiba masuk ke dalam kelas. ”Duhhh, yang datang pagi dan seriuss....” Secara serempak kami menoleh ke arah sumber suara. Begitu melihat ditanganku menggenggam kertas gumpalan, Triana mendekat. ”Hmm, pasti puisi tak bertuan lagi,” ujar Triana. Aku dan Ponco hanya saling berpandangan.
”An, kamu ingat nggak, di bawah puisi yang ada dalam gumpalan kertas ini selalu ada tulisan seperti ini!” Gantian tulisan Re5 yang ditunjukkan Ponco, aku perlihatkan kepada Triana. Seperti aku tadi, Triana juga mengerutkan jidatnya. Seakan berpikir serius dan ingin tahu apakah di kertas yang ditemukan kemarin juga bertuliskan di bawahnya. Ya, ya, ya.., tiba-tiba Triana berseru. Wajahnya terlihat sumringah. Ada tulisan  Na7, di bawah tulisan puisi itu, katanya gembira.  Sial banget, aku sama sekali tak ingat. Semua gara-gara terlalu fokus dan terpana dengan puisi romantis yang kubaca. Seharian itu, perhatianku terpecah.  Konsentrasi nyaris buyar, pelajaran yang kuterima tidak bulat, semua gara-gara berusaha mengingat dua huruf, satu angka, di bawah tulisan puisi. Uhhh....
Sepulang sekolah tanpa bebersih dulu, aku langsung ke kamar dan melihat kertas gumpalan yang kusimpan. Dan aku tertegun mendapatkan tiap puisi diberi kode berbeda-beda. Bahkan puisi yang kutemukan, aku pun lupa kodenya. Delapan puisi yang sudah kusimpan ditambah pemberian dari Ponco tadi, ternyata berkode tidak sama. Total puisi yang sekarang aku simpan ada sembilan. Ada dua puisi yang berkode sama, yaitu Re5. Kusimpulkan, puisi yang berkode Re5 adalah yang ditemukan Ponco, meskipun aku juga tidak yakin seratus persen. 
***
Beberapa hari ini, tidak satu pun dari semua temanku yang duduk sebaris, menemukan kertas gumpalan berpuisi. Hanya aku saja yang mendapatkannya. Puisi yang kuterima berkode Ta8. Puisi-puisinya masih tetap bernuasa cinta dan romantis. Kali ini, untaian kata-kata yang dibuat pendek, tidak seperti biasanya. Saling memahami/saling menyayangi/bukan saling menyakiti/itulah yang dinamakan Cinta/Ta8. Kata-kata yang dibuatnya, entah siapa yang membuat, terlihat sederhana. Namun entah kenapa, rangkaian kata-katanya menghujam hatiku yang terdalam. Aku mulai menggilai si penulis puisi siluman ini. Aku mulai berusaha mencari tahu siapa gerangan orang yang menuliskan puisi-puisi indah ini. Keyakinanku mengemuka, sangat yakin sekali, si penulis adalah murid yang duduk di salah satu bangku di kelasku.
Sekolahku, gedung sekolah yang kupakai setiap pagi hingga siang, tidak semata-mata dipergunakan sekolahku saja. Selepas kami selesai belajar pada siang hari, sekitar jam 1 siang, gedung sekolahku dipakai oleh sekolah lain. Sekolah sore yang memakai gedung sekolahku, memang masih satu yayasan dengan sekolahku. Kedua sekolah sama-sama berstatus sekolah swasta. Keduanya dinaungi Yayasan Sawo Kembar.             Tekadku sudah bulat untuk mencari tahu si penulis.
***
Sudah dua minggu lebih, laci meja kami bersih dari gumpalan kertas berpuisi. Setelah berhari-hari sempat digelontori puisi-puisi cinta, aku mulai merasakan kesenyapan hati tanpa puisi cinta nan romantis. Kupandangi lagi kumpulan puisi yang sempat aku simpan. Puisi-puisi itu paling banyak berkode Ta8. Kode ini selalu menyertai puisi yang ditemukan di laci mejaku. Jangan-jangan si penulis menyasar diriku. Kalau sudah mengkhayal begini, hatiku lantas berbunga-bunga. Namun, tetap aku belum berani untuk sekedar menunggu siapa orang yang duduk di bangkuku jika siang hari. Setiap bel usai sekolah berbunyi, aku juga semua teman-temanku segera keluar dari kelas. Sebisa mungkin tidak berjumpa dengan murid-murid sekolah siang yang menggunakan kelas kami. Jadi, aku tetap belum bisa mengetahui siapa gerangan yang menduduki bangkuku dan bangku Triana.
Hari itu, hari Jumat. Pelajaran di kelasku dimulai dari jam ke-0. Pelajaran olah raga. Jam ke-0 dimulai setiap pukul 6 tepat. Aku sudah datang di sekolah setengah jam sebelum jam pelajaran dimulai. Selain bisa kupergunakan untuk mengganti seragam batik khas sekolahku menjadi seragam olah raga, aku juga bisa mengecek semua pekerjaan rumah yang hari itu akan diperiksa. Ketika sudah duduk di bangku, otomatis kedua tanganku merogoh laci, mencari gumpalan kertas. Nihil. Tetap kosong seperti hari-hari kemarin. Kala tanganku masih merogoh setiap sisi dalam laci mejaku, mataku melihat sebuah tulisan kecil di meja. Ada coretan hitam memakai bolpen. Bunyinya begini: Kata yang paling simpel adalah ”I”/Kata yang paling indah adalah ”Love”/dan orang yang tersayang adalah ”You”/ I love you/Ta8 @suarateras, Sabtu Pon Feb, 28. Deg, deg, dadaku bagai ditonjok tapi tidak sakit. Justru tonjokan yang kurasakan langsung menggencet jantungku supaya berdetak pelan dan lembut. Ohh .... Mataku terpejam, membayangkan seseorang mengatakan cinta di hadapanku.
”Vitaaa, ganti yuk...” Teriakan Triana, Kirin, dan Neni, membuyarkan lamunanku yang nyaris mendapat kecupan. Siaaalaaannnn, runtukku dalam hati.
Sebelum menyimpan HP, dompet, dan baju seragam di locker kelas, kusempatkan memotret tulisan di mejaku tadi.
***
Malam itu, sesudah mengerjakan PR sosiologi, aku membaca ulang, satu per satu, semua puisi dalam gumpalan kertas. Gila, aku terlarut dalam rangkaian kata-kata yang dibuatnya. Penuh cinta dan romantis. Kata-kata yang dipilihnya benar-benar membuaiku malam itu. Meskipun terbuai oleh kata-kata yang dibuatnya, aku tidak bisa mengesampingkan keingintahuanku mengenai si pembuat. Aku menjejerkan semua puisi, serta memperhatikan semua kode yang ada: La1, Di4, Zu2, Mi6, Ar3, serta Re5. Juga kode yang ada dalam puisi yang kutemukan di laciku. Kode Ta8. Membolak-balik, berusaha menemukan maksud kode itu. Hingga pukul 2 dini hari, aku tetap tak menemukannya. Aku lantas tertidur ketika sedang membaca puisi yang ditemukan di laci Triana. Puisi yang berkode Na7. Salah satu puisi pendek juga. /Akan kupetik bintang-bintang di langit untukmu/Akan kupetik bulan untukmu/
Tepukan halus tangan adikku membangunkan aku subuh itu. Ia mengajak aku subuhan berjama’ah. Ayah yang menyuruhnya membangunkan aku. Masih dengan kepala berat dan mata mengantuk, aku bangkit, berjalan ke kamar mandi yang ada di sebelah kamarku. Sekembalinya aku dari berwudhu, kulihat adikku sedang merapikan kertas-kertas yang sempat tercecer semalam.
”Mbak, puisi-puisinya keren banget,” puji adikku. Ditangannya memegang selembar kertas kumal yang berisi puisi temuan.
”Pasti pembuatnya sangat romantis, nih.” Sekali lagi kudengar pujian adikku mengenai puisi itu. Aku hanya mengangguk, sekaligus hanya bisa menggelengkan kepala ketika adikku bertanya siapa pembuat puisi tersebut.
”Masa Mbak nggak tahu, sih?” Muka adikku menunjukkan ketidakpercayaan. Untuk kedua kalinya aku menggelengkan kepala. ”Beneran, Mbak nggak tahu siapa pembuatnya.”
Teriakan ayah mengajak kami salat subuh, menyudahi tanya-jawab kami. ”Ayo salat dulu, nanti kita lanjutkan lagi,” ajakku. Kami beriringan menuju musala kecil di samping rumah orang tuaku.
Hubungan yang akrab dengan adikku cowok ini, membuat aku tidak sungkan menceritakan perihal puisi-puisi yang kutemukan di laci sekolah. Termasuk menanyakan kode-kode yang ada dalam setiap puisi. Mula-mulanya, ia juga agak kesulitan menerjemahkan arti kode tersebut. Berulang kali ia mencoret-coret kode itu dikertas untuk mendapatkan jawaban, tetap saja nihil. Wajahnya tampak gemas setiap hasil coretannya tak membuahkan hasil. Disaat adikku mengutak-atik kode, aku ambil salah satu puisi yang berkode Ta8. Puisi yang berkode Ta8 selalu ditemukan di laci mejaku. Dan kode Ta8 banyak kutemukan, jika dibandingkan dengan puisi yang berkode lain, dari laci meja teman-temanku yang duduk sebaris.
Adikku, yang duduk di sebelahku, sedang membaca puisi berkode Na7. Puisi ini ditemukan di laci meja Triana, teman sebangku. Sambil membaca puisi tersebut, adikku melihat puisi yang kubaca. ”Tahu aku, Mbak,” tiba-tiba terdengar suara gembira keluar dari mulut adikku.
”Puisi yang kubaca ini, ditemukan di mana?” tanya adikku lebih lanjut.
”Di laci Mbak Triana, teman sebangku mbak,” jawabku, ”Kamu ingat sama Mbak Triana, kan?” Adikku mengangguk, bibirnya membuat sudut senyuman senang.
”Kena deh!” Kata-kata itu keluar dari mulutnya. Ia lantas menuliskan semua kode itu berurutan hingga membentuk sebuah nama.
La1 - Zu2 - Ar3 - Di4 - Re5 - Mi6 - Na7 - Ta8
Ya ampunnnn, pekikku begitu mengetahui deretan kode itu. Lazuardi Reminata, gumamku kemudian. Sementara itu, adikku sudah melebar senyuman dibibirnya. Sama sekali tak kuduga jika angka-angka dibelakang dua huruf tersebut menunjukkan urutan.
”Cerdas kamu, Dik!” Kuacak-acak rambut di kepala adikku.
”Mbak kenal  sama si Lazuardi?” tanya adikku kemudian. Seperti tersengat listrik, aku baru terperanjat. Dan kali ini dengan mimik bloon, aku hanya menggelengkan kepala. ”Mbak nggak tahu siapa dia?” Adikku langsung membaca satu per satu puisi yang sudah kubundel. Bukan membaca puisi sebenarnya, tapi mencari kode atau petunjuk yang mungkin bisa mengarah kepada Lazuardi Reminata.
”Ini dia!” Adikku menunjuk sebuah puisi pendek. Ketika aku membacanya, hatiku berdesir, serrrrr .... Puisi pendek yang berjudul I Love You.  
Kata yang paling simpel adalah ”I”/Kata yang paling indah adalah ”Love”/dan orang yang tersayang adalah ”You”/ I love you/Ta8 @suarateras, Sabtu Pon akhir bulan.
”Mbak, besok tengok diharian Suara Teras edisi Sabtu Pon akhir bulan. Aku yakin, kita pasti menemukan siapa si Lazuardi Reminata itu.” Dengan lantang adikku meyakinkan aku, bahwa hasil penemuannya akan terjawab pada Sabtu Pon itu. Aku sudah tidak sabar menunggu Sabtu Pon. Sekarang baru Senin Pahing tanggal 2 Februari. Lamaannnyaaa..., teriakku dalam hati.
Hingga beberapa minggu ke depan, sudah tidak aku temukan lagi gumpalan kertas berisi puisi di laci-laci meja. Juga coretan bolpen di mejaku. Hatiku meratap didera kesunyian, karena sang puistis tak menampakkan tulisannya. Satu-satunya puisi yang masih bisa kulihat dan kubaca selama jam sekolah adalah puisi yang ditulis di atas mejaku dengan bolpen hitam. I love you judulnya. Setiap membaca, hatiku selalu berdesir, jantungku melembut, kadang menderu cepat. Tak sabar aku ingin tahu siapa Lazuardi Reminata.
****


Sabtu Pon diakhir bulan.
                      Gara-gara tidur malam, kelamaan mengerjakan PR matematika, bangunku molor. Ibu yang sempat membangunkan aku sejak subuh, tidak juga membuat aku beranjak dari tempat tidur. Ia akhirnya membiarkan aku. Pagi itu, adikku yang berhasil memelekkan mataku. Katanya pingin tahu tentang Lazuardi, tapi jam segini masih molor juga, samar-samar aku mendengar suara itu bergema di dekatku. Saat tanganku mengucek-ngucek mata, baru sadar kalau sudah jam 6 lebih. Ritual pagi pun bergulir dengan terburu-buru. Adik cowokku hanya tertawa melihat aku buru-buru.
                      Dadar gulung dan susu coklat buatan ibu kumakan cepat kemudian naik ke atas motor. Adikku sudah siap mengantarkan aku ke sekolah. Di kios koran seberang sekolahku, kusempatkan membeli harian Suara Teras sesuai perintah adikku. Dengan segera aku membuka halaman demi halaman mencari siapa Lazuardi. Cari di halaman budaya, perintah adikku. Dan benar, di halaman budaya nama Lazuardi Reminata tertera di situ. Ada enam puisi yang diterbitkan di situ. Tapi tak satu pun dari keenam puisi yang tayang, seperti yang kami temukan di gumpalan kertas di laci. Bahkan sosok Lazuardi pun tak dijelaskan. Hanya disebutkan, ”Lazuardi Reminata, penulis esai, cerpen, dan puisi, tinggal di Karang Gandul. Buku cerpennya yang sudah terbit ’Manusia Bernama’ (Penerbit Bianglala, April 2012) dan ’Kisah Klasik Dari Masa Lalu’ (Penerbit Arbain, Nov 2013).
                      Menilik dari kedua karyanya sesuai keterangan yang ada, Lazuardi justru sudah menelurkan dua cerpen yang dibukukan.Tak satu pun puisi-puisinya dibukukan. Bahkan keenam puisi yang berhasil terbit di Suara Teras adalah puisi-puisi bertemakan cinta tanah air. Tak satu pun menyentuh kisah cinta seperti yang selama ini aku temukan di laci sekolah. Aku bertekad mencari kedua kumpulan cerpennya di toko buku sepulang sekolah nanti. ”Temani Mbak ke toko buku nanti, ya,” ucapku kepada adikku yang wajahnya tiba-tiba tidak sumringah. Bisa jadi gara-gara analisanya tidak sesuai harapan.
                      Kumpulan cerpen ”Manusia Bernama” sudah tidak dicetak ulang. Salah satu karyawan di toko buku yang kami datangi mengatakan bahwa kumcer itu sempat terjual laris-manis. Oplahnya nyaris menyentuh 3000 eksemplar. Adapun buku kumcer ”Kisah Klasik Dari Masa Lalu”, dalam katalog online toko buku dinyatakan masih ada sisa 1 buku. Namun ketika mencari di rak sesuai perintah katalog, buku itu tak kutemukan juga. Karyawan yang kutanyai juga meyakinkan aku kalau buku itu sudah tidak ada. ”Sisa 1 buku itu, kemungkinan buku yang sengaja dipajang sebagai contoh,” kata karyawan yang kutanyai tadi. Aku hanya bisa menghela nafas setelah mengetahui kedua buku yang kucari tidak ada.
                      Kutarik tangan adikku mengajaknya pulang. Sebelum aku keluar dari pintu toko buku itu, karyawan tobuk yang tadi menjadi pemanduku memanggilku lagi. ”Kalau Mbak berkenan, coba datangi cabang kami di Jalan Ampenan. Biasanya mereka masih sering punya karena stok yang dipunyai lebih banyak dari sini,” dengan sopan karyawan itu memintaku datang ke cabang tobuk mereka di Ampenan. Hanya anggukan dan ucapan terima kasih dari mulutku.
                      ”Tanggung Mbak, kita ke Jalan Ampenan aja. Siapa tahu benar ada buku kumcer yang kita cari,” adikku tampak bersemangat lagi.
                      ”Baiklah,” kataku kemudian. Kami pun meluncur ke Jalan Ampenan siang itu.
                      Lagi-lagi ketika mengikuti arahan katalog online tobuk, buku yang kami cari tidak ditemukan padahal seperti tercantum stoknya masih ada 1 buku, yaitu kumcer ”Kisah Klasik Dari Masa Lalu.” Aku iseng bertanya kepada karyawan tobuk.
                      ”Maaf Mbak, sudah tidak ada lagi bukunya,” seorang karyawan tobuk dengan bahasa yang lembut berusaha memberi penjelasan kepadaku. Secara tidak sengaja, teman si karyawan tadi lewat dan mendengar obrolan kami.
                      ”Grace, kalau nggak salah di meja di ruangan Mbak Tika, masih ada 1,” bisik temannya tadi. Bisikan yang sempat kudengar jelas. Aku pun meminta karyawan tobuk bernama Grace untuk mencarikan buku itu untukku. Adikku tersenyum ke arahku, ”Siapa tahu ya, Mbak!”
                      Dari dalam ruangan terlihat Grace membawa buku yang masih tersegel rapi. Luarnya tampak berdebu. Buku itu tidak besar, hanya berukuran sekitar 14 x 20 cm, seperti kebanyakan buku-buku kumcer. Kami tersenyum puas melihat buruan itu diperoleh apalagi beroleh diskon juga. ”Ayo kita pulang,” ajakku. Adikku hanya menggeleng. Tangannya menunjuk kafe yang ada di luar tobuk. ”Gimana kalau kita buka buku itu di situ sembari maksi, Mbak,” senyumnya mengembang. Bukannya tidak mau, namun uang jajanku tinggal 5000 perak. Tadi ditagih bayar buku latihan soal. Gelagatku yang tidak pas langsung ditimpali suara adikku santai, ”Aku yang traktir, Mbak! Dua lukisanku yang kutitipkan di galerinya Mas Gugun terjual kemarin. Uangnya juga langsung ditransfer Mas Gugun.” Adikku memiringkan badannya, dengan sedikit menonjolkan pantat belakangnya. Ingin menunjukkan dompetnya yang tebal. Aku tersenyum dan mengangguk setuju.
                      ”Pesanlah Mbak, aku manut,” kata adikku. Ia ambil buku kumcer Lazuardi dari tanganku. Membiarkan aku supaya memilih menu makan siang kami. Plastik pembungkus buku sudah tersayat dan jatuh ke bawah diterbangkan angin. Adikku langsung membuka halaman kumcer itu satu per satu. Diperiksanya dengan teliti.
                      ”Kok nggak ada sih, Mbak? Sesuatu yang bisa nunjukin siapa Lazuardi?” Ia lantas membanting kumcer itu ke meja. Matanya menerawang ke arah jendela. Sejurus kemudian diambilnya lagi buku itu. Membukanya lagi. Diperiksanya lagi lebih pelan dari tadi. Aku diamkan saja dia membolak-balik kumcer. Tiba-tiba ia terdiam dan menghentikan pencarian.
                      ”Kami pesan itu saja. Tolong agak cepat ya, Mbak,” kataku pada pramusaji kafe. Setelah memastikan sekali lagi, pramusaji itu berlalu dari bangku duduk kami. Adikku tersenyum saat terdiam. Tampaknya ia membaca sesuatu. ”Lihat ini, Mbak!” ia tunjukkan buku itu kepadaku. Mataku terbelalak mendapatkan  satu puisi yang sama persis dengan puisi yang ditemukan di laci meja, beberapa hari yang lalu. Puisi yang ditemukan ini ada dalam cerita yang ditulis Lazuardi.Sekali menemukan puisi yang sama dengan puisi yang ada di gumpalan kertas, adikku memburu lagi di halaman berikut. Pada cerita-cerita yang lainnya.
                      Ternyata dengan menelisik pelan puisi-puisi itu bermunculan. Sang puistis ini ternyata tidak hanya mahir bersayap-sayap dalam puisi, pun lihai memainkan kata-kata dalam cerpen-cerpennya. Sambil menunggu pesanan datang, aku sempat membaca cerpen yang dijadikan judul kumcernya, ”Kisah Klasik Dari Masa Lalu.” Sesaat anganku melayang membayangkan dirinya.
                      ”Napa Mbak, kok senyum-senyum gitu,” tegur adikku. Langsung belepotan suaraku menjawab teguran adikku. Aku hanya tertawa, menertawai diriku yang gampang banget terlarut pada buaian kata-kata yang romantis. Sejauh menyusuri semua cerpen-cerpennya memang selalu terselip puisi-puisi. Ya ampun..., semua cerpen-cerpennya berisi semua puisi yang pernah tergumpal kertas bekas di laci meja sekolah. Akhirnya aku juga adikku, menemukan puisi-puisi gumpalan kertas itu. Meskipun menemukan puisi yang terbungkus cerpen, tetap saja LR belum kutemukan. Aku hanya bisa termangu memegang kumcer LR, sementara adikku terlihat lahap memakan makanan yang sudah tersaji di hadapan kami. Kumasukkan buku kumcer ke dalam tas dan langsung ikut meramaikan meja dengan memakan pesananku.
                      Malam hari, saat berkutat dengan PR Bahasa Indonesia, aku menyempatkan membaca, tepatnya mencari, keberadaan LR dari kumcer yang kubeli siang tadi. Ada 10 cerpen dibuku itu, semuanya berpuisi. Delapan di antaranya, sudah kupastikan cocok dan sama persis dengan yang ada pada gumpalan kertas yang kutemukan di laci meja. Aku pun mengabarkan buku kumcer ini kepada Triana. Mengatakan kepadanya bahwa sudah menemukan puisi-puisi yang ditulis Lazuardi. Kamu sudah tahu siapa Lazuardi itu, Vit, tanya Triana melalui bbm yang dikirimkannya kepadaku. Entahlah, hanya itu yang bisa kujawab kepada Triana.
***
                      Aku merasa ”surprise” mendapatkan Sofie sudah datang pagi. Tak biasanya cewek tomboy yang duduk 2 baris di depanku sudah datang. Ia sempat menyapaku, ”Sorry Vit, aku datang duluan daripada kamu.” Tertawa renyahnya menghidupkan suasana pagi di kelas. Bahkan Ponco yang sudah datang sempat melihat ke arahnya. Selain aku, Ponco pun sering datang pagi ke sekolah. Masuk akal jika Ponco harus datang pagi. Ia harus menempuh perjalanan jauh dari rumahnya menuju sekolahan. Motor bututnya sering merajuk di jalan, menyisakan kerjaan buat Ponco jika sudah demikian.
                      ”Ngapain Sofie?” bisikku di dekat Ponco begitu sudah meletakkan tas di meja. Ponco hanya mengangkat bahunya.
                      ”Kali aja sama, urusan matematika Pak Samiyo,” jawab Ponco pelan.
                      ”Lagian, dari tadi Sofie di mejanya terus,” lanjut Ponco sambil terus mencatat di bukunya. Aku bergeser ke bangkuku hendak mengambil PR matematika karena Ponco ingin melihat apa yang sudah aku kerjakan. Tak lupa aku juga mengeluarkan buku kumcer LR. Ingin kutunjukkan kepada Ponco bahwa puisi-puisi yang selama ini bertebaran di laci meja sudah terkumpul dalam satu buku.
                      ”Oh, ternyata ini bukunya,” ucap Ponco begitu menerima buku kumcer LR. Ia langsung membuka halaman kumcer. Matanya sedikit terbelalak saat kutunjukkan puisi yang pernah mampir di mejanya. Kini puisi itu terselip dalam cerpen LR. Pada saat kami asyik membahas buku kumcer, juga saling mencocokkan PR, kami tidak sadar ternyata Sofie sudah berada di dekat kami.
                      ”Lihat apaan sih? Kok serius banget,” ujarnya. Ia langsung menarik bangku dan duduk didekatku. Tubuhnya mendesak ke arahku, tangan kirinya menekan paha kananku. Karena aku tidak bereaksi ia tetap menekan paha kananku. Aroma parfum macho menyeruak hidungku. Hembusan nafas mulutnya menghangatkan telingaku. Samar-samar aku merasakan sesuatu yang berpacu dalam dada.
                      ”Ini lho Sof, buku kumcer milik LR. Di dalamnya ada puisi yang persis sama dengan puisi-puisi yang ditemukan di laci-laci meja kita,” aku menjelaskan padanya. Sambil berusaha menyerahkan buku kepadanya, aku sengaja mendorong tubuhnya tanpa ia merasa aku keberatan ditempel sedekat itu.
                      Begitu menerima kumcer itu, Sofie langsung bergeser duduk dan memosisikan duduk dengan benar. Raut wajahnya terlihat cerah ketika membuka lembaran-lembaran kumcer itu. Setelah membuka semua lembaran, matanya lama memandang halaman paling belakang. Halaman belakang kumcer berisi kumpulan foto-foto, yang tidak kusimak dengan teliti. Fokusku hanya ingin segera mengetahui siapa Lazuardi Reminata sesungguhnya. Puistis yang sudah sempat mendenyutkan irama jantungku. Aneh memang. Buku kumcer resmi, diterbitkan oleh penerbit ternama, ber-ISBN, tapi tidak menunjukkan jati diri penulisnya.
                      Mbak, nanti siang pulang sekolah, aku jemput, pesan adikku melalui bbm. Dia juga menanyakan apakah si LR sudah ditemukan. Sebelum aku sempat membalas pesannya, Bu Thea masuk dan langsung memerintahkan kami untuk mengeluarkan PR Bahasa Indonesia. Dua jam terakhir yang akan membuat aku terkantuk-kantuk, huahhh....
                      Adikku sudah menunggu sebelum aku keluar sekolahan. Siang ini, ia berbaik hati mentraktir aku lagi. Kali ini, ia mengajak aku makan bakso Sedep Tenan. Uihhh, tenggorokanku langsung cleguk-cleguk begitu ia mengatakan begitu, saat kami melaju di atas motor. Tak sampai setengah jam kami tiba di tempat tujuan. Begitu mendapatkan tempat yang nyaman, aku langsung memesan 2 mangkok bakso plus es campur. Adikku kembali menanyakan perihal LR. Sembari menunggu pesanan datang, ia minta buku kumcer lagi. Sementara itu, di meja tempat kami duduk aku menemukan koran Suara Teras tergeletak. Koran itu terlipat hingga yang terlihat bukan halaman depannya melainkan halaman keduanya. Aku iseng-iseng membaca koran itu. Yang menarik perhatianku adalah kolom sekilas kota. Ada berita seputaran kejadian dan peristiwa yang akan berlangsung beberapa hari ke depan. Mataku tertegun menyaksikan berita yang tertulis: ”Ikuti ’launching’ buku kumpulan puisi karya Lazuardi Reminata pada Selasa, 17 Maret 2015 jam 14.00 bertempat di Toko Buku Pustaka Semesta, Jalan Ampenan Raya.” Aku langsung melihat tanggal terbit koran itu. Aku menghela nafas panjang begitu tahu koran yang kubaca edisi Sabtu Pon, 28 Februari 2015.
                      Sambil melahap baksonya, adikku tetap membuka-buka kumcer LR. Ia sudah kutunjukkan berita tentang launching buku. ”Selesai dari sini, kita ke Pustaka Semesta, Mbak,” ajak adikku. Ia tampaknya sangat penasaran sekali dengan LR. ”Aku harus tahu siapa dia sebenarnya! Ini benar-benar membuat penasaran, Mbak.” Aku hanya bisa mengangguk. Sisa bakso satu biji aku berikan padanya. ”Sini, aku pinjam bukunya. Kamu habiskan dulu baksomu,” perintahku.
                      Aku langsung membuka halaman belakang yang berisi kumpulan foto-foto. Dua halaman penuh berisi foto-foto. Yang kuperhatikan, foto-foto itu mengenai kegiatan LR. Yang aku heran, kenapa foto-foto itu melulu berisi foto perempuan baik pada saat acara launching buku, mengisi acara diskusi, atau beberapa kegiatan perbukuan.  Seorang gadis berambut panjang sepunggung, cantik, tapi selalu tertulis namanya Lazuardi Reminata. Salah satu foto tertulis, ”Launching buku kumpulan cerpen ’Manusia Bernama’ bersama Lazuardi Reminata, Paradiso Book Store, 25 April 2012.” Dalam foto itu terpampang jelas, seorang gadis memegang buku ”Manusia Bernama”.
                      Ketika menyaksikan foto launching itu, aku seperti merasa mengenali gadis yang bersamar nama: Lazuardi Reminata. Kuperhatikan dengan lebih teliti dan aku benar-benar terperanjat. Itu foto Sofie. Teman sekelasku yang tomboy, yang kini rambutnya cepak, pendek. Tahi lalat di pipi kanannya yang mengingatkan aku. Aku yakin itu Sofie meskipun pada saat acara itu rambutnya masih panjang. Kurasa ia masih SMP kelas 3 pada saat bukunya di lauching. Aku benar-benar hanya bisa menggelengkan kepala, tidak menyangka sama sekali. Yang jadi pertanyaanku, kenapa Sofie harus membuat nama samaran seolah dirinya laki-laki. Kenapa pula ia harus memproklamirkan dirinya sebagai Lazuardi Reminata? Aku benar-benar telah terjerat rangkaian kata-kata puitisnya.
                      Sudah tiga hari Sofie absen tanpa keterangan resmi. Bahkan ketua kelasku juga tidak tahu kemana gadis tomboy bersamar Lazuardi, yang sudah meruntuhkan hatiku dengan rangkaian kata-katanya. Padahal aku sempat berharap banyak ketika di Warung Bakso Sedep Tenan kemarin. Aku akan memberondonginya dengan banyak kecamuk di kepalaku. Namun boro-boro menanyainya, bertemu keesokan hari pun aku tidak. Ketidakhadiran Sofie rupanya berlanjut. Hari keempat, tak ada keterangan resmi mengapa ia tidak masuk sekolah.
                      Siang itu, sepulang sekolah, baru saja aku membantingkan tubuhku di ranjang dan berancang-ancang hendak menyalakan AC, dering suara pesan masuk di whatsapp berbunyi. Triana mengirimi aku video. Begitu unduhan selesai, video aku play. Video berdurasi 3 menit berisi adegan tak senonoh.
                      Dua perempuan sedang bergumul. Nyaris telanjang dada. Keduanya berpelukan serta saling berciuman bibir. Ciuman penuh nafsu yang terlihat dari berangasannya mereka ketika memagutkan bibirnya. Yang lebih menyeramkan, salah satu perempuan yang berpotongan rambut pendek, tangannya sedang menggerayangi dada lawan mainnya. Pagutan dibibir keduanya tidak lepas. Bahkan terlihat semakin panas saja. Di akhir durasi video, keduanya melepaskan ciuman bibirnya dan menghadap ke depan. Subhanallah, aku terperangah melihat keduanya. Itu Sofie dan Keisha. Keisha adalah anak kelas sebelahku yang berprofesi sebagai foto model. Isu miringnya, dia juga cewek panggilan, yang bisa dipakai dengan bayaran selangit. Aku masih tidak percaya melihat kelakuan Sofie.
                      DUA GADIS SMA NYABU HINGGA TEWAS !!
                      Berita pagi itu benar-benar menghenyakkanku. Itu headline koran Sinar Pagi yang baru saja dilanggani keluargaku.
                      Dua gadis, S dan K, keduanya pelajar SMA yang beralamat di Jalan Mahakam, ditemukan tewas setelah nyabu. Keduanya ditemukan setengah bugil di Hotel Tut di Jalan Seroja....
                      Aku terdiam. Air mataku meleleh membaca berita menghebohkan pagi itu. Dan sekolah di Jalan Mahakam adalah sekolah kami. Sekolahku, sekolah Sofie juga sekolah Keisha.
                     


                     






Komentar

  1. https://www.youtube.com/watch?v=lJ_5V6EkVyo, baca ceritanya, dengarkan juga lagunya si GitaGut.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PIYAMBAKAN

SENGAJA DATANG KE KOTAMU

KIRIMI AKU SURAT CINTA