ANGKASA SEMAIKAN SELALU CINTAKU PADANYA
Pesawat yang kutumpangi mendarat di
Bandara Adisucipto. Ini penerbangan domestik terakhirku. Selanjutnya, aku akan
mulai terbang ke luar negeri mulai besok. Begitu pesawat benar-benar berhenti
di apron bandara, aku mulai memperlihatkan senyum manisku kepada para penumpang
pesawat yang mengakhiri perjalanannya di Jogja. Bersisa 5 orang penumpang yang akan
melewati pintu depan pesawat. Seorang pria berwajah simpatik menyapaku, “Sampai
ketemu lagi.” Sebuah anggukan dan senyuman ramah kuberikan padanya sebagai
balasan.
Malam ini aku tidak
bermalam di hotel seperti teman-temanku yang lain. Aku hendak tidur dan
menikmati semalamku di rumah orang tuaku.
Jika ditarik garis
lurus ke timur, dari ujung landasan pacu Bandara Adisucipto, rumah orang tuaku
hanya berjarak 800 meter saja. Berhubung aku diantar mobil jemputan, maka aku
harus berjalan memutar menuju sana.
Entah sudah berapa kali
kusinggahi bandara ini selama aku menjadi pramugari. Yang pasti, kenangan masa
kecilku bersama bandara ini adalah sesuatu yang tidak terlupakan. Dulu, ayahlah
yang kerap mengantarkan aku ke bandara, melihat pesawat yang datang dan pergi.
Padahal dari rumah kami, setiap hari berseliweran pesawat yang take-off dan landing. Bahkan aku sampai hafal nama-nama pesawat terbang yang
lewat dan jam berapa mengudaranya. Saat mobil yang mengantarku berlalu dari
bandara, aku hanya kembali menatap bangunan kokoh itu. Semua memori masa
kecilku hingga aku menjadi pramugari menggelayut di pelupuk mata.
***
Suasana rumah tidak
banyak berubah begitu aku turun dari mobil antar-jemput. Tetap seperti yang
sudah-sudah. Yang berubah adalah orang tuaku. Mereka tampak semakin menua.
Setahun yang lalu, rambut ayah masih menyisakan hitam di beberapa tempat di
kepalanya. Kini semuanya diselimuti warna putih. Ayah justru malah tampak
berwibawa. Gurat ketampanannya juga masih bersisa. Sementara ibuku? Ia masih
menyisakan rambut hitamnya, tapi uban putihnya pun sudah menjalar disebagian
kepalanya.
Melihat aku datang,
semburat senyum mereka tampak jelas sekali. Meskipun sering terbang ke Jogja,
tidak setiap saat aku mampir ke rumah. Jadwal terbang yang ketat membuat aku
sering menginap di hotel dekat bandara. Aku butuh istirahat cukup. Jika selalu
pulang ke rumah, ada saja alasan ibu mengobrol denganku. Belum jika menuruti
adik bungsuku Untari. Beruntung aku memiliki keluarga yang hangat dan
pengertian.
“Mulai besok, Tiwik
terbang ke luar negeri.” Aku membuka obrolan selepas salat isya.
Ayah hanya
menganggukkan kepalanya pelan. Ibu memandangiku. Ada sesuatu dalam matanya yang
menyiratkan keinginan. Adikku masih berada di masjid dekat rumah. Rumah ini
terasa lengang dan agak sepi apalagi sejak kakak keduaku bekerja di Papua.
Adapun kakak pertamaku bekerja di Solo dan sudah menikah.
“Masih berapa lama lagi
kamu di sana?” tanya ibu, matanya menatap langit-langit rumah. Mendengar
pertanyaannya, aku hanya bisa menghela napas. Tatapannya tadi, aku mengerti
keinginannya.
“Kamu senang dengan
pekerjaanmu ini, Wik?” Giliran ayah bertanya.
Aku mengangguk.
Kedua orang tuaku hanya
saling berpandangan. Aku terselamatkan pertanyaan-pertanyaan lain dari mereka,
karena terdengar teriakan dari luar rumah. Untari yang berteriak memanggil
namaku.
“Mbak Wiwik..., kok
nggak ngabari mau mampir rumah? Sampai kapan di rumah, Mbak?” Ia
memberondongiku pertanyaan standar jika aku pulang.
“Assalamu’alaikum,”
sahutku, sebelum menjawab pertanyaannya. Ia tersenyum malu saat aku mengucapkan
salam.
Aku berpelukan hangat
dengannya sambil membisiki jawaban atas pertanyaannya. Wajahnya berubah
cemberut. “Yaaa…, kok cuma semalam tho, Mbak,” ujarnya, seperti tidak rela aku
hanya menginap semalam.
Setelah kujelaskan
kalau mulai besok akan terbang ke luar negeri, mulutnya justru maju lima senti.
Di pinggir kedua matanya mengalir butiran-butiran halus. Ia menitikkan air
matanya mendengar aku akan sering terbang ke luar negeri. Daripada menyebabkan
kesedihan, yang gelagatnya sudah kulihat, aku mengajak mereka makan di luar. “Ayo
kita ke Amplaz,” ajakku buru-buru bangkit dari kursi meja makan. Meskipun belum
menampakkan cerianya, seperti biasa, Untari mengikuti juga ajakanku. Ayah dan
ibu juga segera masuk kamar, berganti pakaian.
Selagi aku masih di
kamar, terdengar suara mobil yang sudah dinyalakan mesinnya. Aku menghela napas
mendengar derunya. Betapa aku bangga bisa urun
membelikan mobil untuk keluargaku. Mobil itu dibeli patungan antara aku, kedua
kakakku, dan ayah. Mobil keluarga yang cukup bagi ayah jika harus mengantarkan
ibu atau Untari.
Parkiran Amplaz penuh.
Ayah harus berputar-putar mencari parkiran yang kosong. Beruntung setelah
memutari basement satu kali ada
parkiran yang lowong, dekat pintu masuk menuju Carrefour. Dari situ kami
langsung menuju Restoran Pizza Hut. Dari luar, restoran terlihat penuh, namun kami
mendapat kepastian tempat duduk.
“Silakan ditunggu
sebentar. Meja sedang dibersihkan,” ucap ramah dan sopan crew PH. Ayah, ibu, dan Untari duduk di dekat pintu masuk,
sedangkan aku berdiri menunggu di dekat meja resepsionis. Seorang pria
menyapaku, “Selamat malam…. Mau makan juga?” Aku terkejut disapa begitu. Naluri
pramugariku spontan langsung tersenyum kepadanya, menganggukkan kepala juga,
namun otak berpikir keras siapa gerangan dirinya. Sebelum aku bisa menebak
siapa pria yang menyapaku, dia bersuara, “Tadi sore, di pesawat Air Asia, kita ketemu.”
Alamak.., rupanya dia
salah satu penumpang terakhir yang keluar,
yang juga menyapaku. Sesudah merasa yakin, aku kembali mengangguk. Kini
anggukanku jelas karena mengingatnya.
Tiba-tiba,
aku seperti sudah merasa mengenalnya.
Kutunjukkan kedua orang
tua dan adikku yang sedang duduk menunggu. Hanya ingin memberitahukan padanya bahwa
aku tidak datang sendirian. Dia tersenyum kepada mereka. Sikapnya santun. Tak
dinyana, ia mendekati ayah, ibu, dan Untari, kemudian berjabat tangan. Tak lama
kemudian ia pamit dan berlalu dari restoran.
“Saya menginap di
sebelah,” jari telunjuknya mengarah ke hotel di samping Amplaz.
Royal Ambarukmo,
gumamku. Bukan hotel sembarangan di kotaku ini. Tarifnya juga tidak murah. Aku
hanya menghela napas begitu dia benar-benar sudah pergi dari hadapanku.
Kepergiannya kutatap lama dan sesuatu yang tak terduga terjadi. Ia membalikkan
badannya kembali, tersenyum kepadaku. Aku cuma bisa tersipu ketika mata kami
saling bertatapan.
Tiba-tiba namaku
dipanggil crew yang sedari tadi mondar-mandir
dari dalam ke front desk. “Silakan…,
mejanya sudah siap,” ujarnya sambil bersiap mengantarkan kami ke dalam.
Santap malam kami
benar-benar terasa hangat. Aku mempersilakan ayah dan ibu, juga Untari memilih
sendiri pesanannya. Sebagai menu bersama, aku pesankan sebuah pizza berukuran
besar. Aku benar-benar menikmati semalamku bersama mereka. Untari mulai ceria
dan mulai bercerita semua kejadian di rumah maupun di sekolah. Ayah dan ibu
juga tampak sumringah malam itu.
Tak terasa, kami
menikmati kehangatan berkumpul hingga jam 10 malam. Aku meminta tagihan kepada crew yang kebetulan lewat di dekat meja
kami. “Mohon ditunggu sebentar, tagihan akan saya ambilkan,” ujarnya sopan. Ia
pun meninggalkan meja kami.
“Siapa pria tadi?”
Tanya ayah tiba-tiba. Aku terkejut, tidak menyangka ayah akan menanyakan pria
yang sejujurnya juga tidak kuketahui namanya itu. Ibu tersenyum penuh arti.
Ujung bibirnya menyimpul sebuah senyuman ‘bertanda’.
Aku hanya menggeleng
pelan. Berusaha memberikan penjelasan kepada mereka bahwa pria tadi hanya salah
satu penumpang pesawat yang terbang dari
Jakarta, tadi sore.
“Sepertinya bukan orang
sini, ya Wik?” timpal ibu.
Ayah dan ibu saling
berpandangan, kemudian tersenyum.
“Mbak, kok wajahnya
merah gitu, sih?” Goda adikku. Sekelebat aku melihat wajahku memerah, pada
cermin yang kebetulan terpasang dekat meja kami.
“Silakan bill-nya,” ucap pelan crew restoran sambil menyerahkan baki kecil
berisi tagihan makan. Kulihat sebentar lalu menyerahkan kartu kredit kepadanya.
Aku
tersenyum mengenang makan malam di Pizza Hut itu.
Sepuluh
tahun yang lalu peristiwa mengejutkan itu terjadi. Dan kini, Platinum Hill
Condominium KL adalah tempat tinggalku. Dan aku jauh dari orang-orang yang
kusayangi itu. Mereka ada di Jogja, di timur Bandara Adisucipto. Tanpa terasa
bulir-bulir halus membasahi kelopak mataku, membasahi kedua pipiku. Di
hadapanku ada piano yang siap kumainkan.
Setiap
aku kangen mereka, keluargaku, aku selalu memainkan piano.
Setiap
hatiku resah, setiap galau melanda, piano menjadi pelampiasanku. Dengan
memainkan piano, hatiku akan sedikit merasa lapang dan lega.
Malam itu, orang tuaku
tidak bertanya mengenai pemuda itu. Keduanya kekenyangan dan pamit tidur
duluan. Aku hanya tergolek di ranjang bersama Untari. Sambil menceritakan
banyak hal, sesekali adikku menanyakan pemuda itu. Namun, apa yang bisa aku
ceritakan karena aku sendiri tidak tahu dan tidak mengenalnya. “Dia hanya
penumpang pesawat yang kebetulan bertemu. Saat itu, mbakmu ini sedang
bertugas,” jelasku kepada Untari. Meskipun manggut-manggut,
tampaknya Untari tidak percaya penjelasanku. Aku hanya mengelus kepalanya,
lalu menarik selimut karena merasakan hawa dingin yang menyergap kamar tidur
kami.
Aku terbangun pagi itu
gara-gara mendengar raungan mesin pesawat terbang. Untari sudah beranjak dari
kamar. Jendela kamar juga sudah terbuka, menghadirkan hawa segar khas alam
pedesaan. Cakrawala pagi masih diselimuti gelap. Perlahan semburat cahaya mulai
muncul di ufuk timur. Belum mencorong sinarnya. Jendela kamarku memang menghadap
ke timur, sehingga semuanya terlihat jelas.
“Kita jalan-jalan, yukk
Mbak?” ajak Untari yang tiba-tiba nongol di kamar. Ia beralasan pasti akan semakin
susah mengajakku jalan-jalan atau sepedaan jika aku sering terbang ke luar
negeri.
“Tadi Mbak tidurnya pules, makanya nggak aku bangunkan
dulu,” katanya lagi. Aku tersenyum mendengar penjelasannya. Meskipun sudah
kelas 2 SMA, manjanya sebagai anak bungsu masih terlihat. “Oke, oke,” sahutku,
mengiyakan ajakannya pergi jalan-jalan pagi itu. Hari minggu itu menjadi hari
menyenangkan.
Buru-buru kulepaskan
selimut yang telah mengurungku semalaman. Lagi-lagi hawa segar nan adem
menyergap tubuhku. Semangat, semangat, sehat, sehat.... Terima kasih ya Allah,
itu yang selalu kuucapkan setiap pagi setelah bangun tidur. Air pancuran untuk
berwudhu masih terasa dingin. Sambil membasuh semua anggota tubuhku, lamunanku
mengembara ke mana-mana. Betapa suasana ini akan semakin jarang kurasakan apabila
aku sudah terbang ke segala penjuru dunia.
Ruang
keluarga di Platinum Hill Condominium KL
Anak
pertamaku membuyarkan lamunanku. Secara mendadak ia memelukku dari belakang.
Tangannya langsung menekan tuts piano di hadapanku, meninggalkan suara
dentingan tak beraturan. Sesuka ia menekannya. Gantian aku memeluknya dan
menciumi pipinya.
Suamiku
melambaikan tangannya seraya mengatakan hendak meeting dengan kliennya.
Beberapa langkah mendekati pintu depan, ia berbalik, berjalan kembali ke arahku
dan anakku. Mengusap kepala anakku dan mendaratkan bibirnya ke pipiku. “Aku
pulang agak malam,” bisiknya. Sebagai penghormatan dan baktiku, aku berdiri
melepasnya pergi.
Irama
kerja suamiku memang tak bisa ditebak. Sebagai pemilik usaha even organizer,
nyaris semua waktunya dihabiskan di luar. Ia harus mengontrol banyak crew dan
bertemu banyak klien yang akan memakai jasa usahanya. Ada orang-orang
kepercayaan yang membantunya, namun nyatanya, masih banyak kliennya yang ingin
bertemu dan membicarakan bisnis dengannya.
Sementara
itu, usaha jual-beli mobilnya juga tak kalah ramai. Showroom mobil seken yang
dirintisnya, sejak kami belum menikah, kian lama kian dipercaya sebagai tempat
jual-beli terpercaya di KL. Kedua bisnisnya ini menghabiskan waktu kebersamaan
kami. Kadang suasana jenuh, bosan, sering menyergap hatiku. Nyaris sepanjang
hariku hanya diam di rumah, mengurus rumah, dan ketiga jagoanku. Kalau mood
sudah parah, bersama anak-anak aku jalan-jalan ke mall. Belanja kesukaanku dan
anak-anak.
Ketiga
jagoanku inilah yang mampu meluluhkan kejenuhan hatiku dan memacu semangat
hidupku. Bersama mereka tak ada hari yang tak ceria. Selalu penuh warna dan
kegembiraan. Dan denting piano kerap kuketukkan bersama mereka.
Media
sosial yang bertebaran, juga menolongku dari kejenuhan. Karenanya aku tidak
putus cerita dan hubungan dengan keluarga dan teman-teman di Indonesia. Tapi,
masih ada senyap dalam hatiku yang kadang mengusik keseharianku. Duhh....!
Kudekati
piano dan memainkannya....
Untari mengajakku
bersepeda, menyusuri jalan desa yang sudah lebih tertata. Beberapa ruas jalan
desa yang lebar sudah di aspal. Adapun yang melewati gang antarrumah, masih ada
yang berupa jalan tanah, namun tak sedikit pula yang sudah di aspal. Sepanjang
menyusuri jalan desa, ada saja sapaan kepadaku. Karena terlatih melayani dan
meladeni orang “di atas”, aku membalas sapaan para tetangga dengan senyum
terbaikku.
Sebelum menyudahi
perjalanan keliling desa, aku mampir di sebuah warung jajanan pasar. Tempat aku
dulu semasa sekolah mencari jajanan pasar untuk sarapan ayah dan kakak-kakakku.
Ya ampuuunnn. Sungguh tak disangka-sangka, teryata si penjual adalah orang yang
sama. Sekian tahun yang lalu, dialah yang meladeniku apabila belanja di
warungnya.
“Bener iki Mbak Wiwik?”
sapa ragu-ragu si penjual jajajanan. Kuanggukkan kepalaku padanya, seraya
menjabat tangannya penuh kehangatan.
“Dalem Wiwik, Bu....”
Aku menjawab menggunakan bahasa jawa. Si penjual tersenyum sambil menepuk-nepuk
pundakku. Komentarnya yang mengatakan aku tambah cantik, jelas membuat aku tersipu-sipu.
Untari sempat-sempatnya berkata, “Mbakku ini memang tambah cantik, Buu.... Kan
Mbak Wiwik pramugari.” Aku menyenggol lengan adikku. Menyuruhnya diam.
“Mbak Wiwikmu iki,
pancen cantik,” suara si penjual kian mempertegas omongan Untari. “Pantesan
wae, cah-cah lanang kepincut karo mbakmu, Un...!”
Mendengar pujian itu,
hatiku berbunga-bunga. Jelass, nggak bisa kupungkiri. Gantian Untari yang
menyenggol lenganku. Wajahnya terlihat bangga. Bibirnya berhias senyuman indah.
Beberapa jajanan
kupilih untuk sarapan di rumah. Kemudian kami pun berpamitan, melanjutkan
perjalanan pulang naik sepeda. Masih kudengar teriakan si penjual supaya
sering-sering mampir ke warungnya lagi. Hanya lambaian tangan yang kuhadiahkan
untuk si ibu yang telah menjadi langganan keluargaku. Aku tidak berani
berandai-andai akan sering menjumpainya, karena nanti aku sudah akan memulai
petualangan yang baru.
****
Sebuah pesan singkat di
HP mengabarkan aku akan dijemput sekitar jam 10-an. Aku akan terbang perdana ke
Kuala Lumpur jam 2 siang. Ada sedikit briefing
di hotel, tempat dimana teman-temanku menginap. Hotel ini selalu menjadi
langganan kami jika singgah di Jogja.
Dan karena tidak ada
kegiatan lain selain bersepeda pagi tadi, aku bersiap-siap saja setibanya di
rumah. Sambil menunggu jemputan datang, aku mengobrol bersama ayah dan ibu di joglo
depan. Suasana pagi itu masih sejuk. Sesekali suara obrolan kami ditimpali
suara raungan mesin pesawat terbang yang berkali-kali melintas di atas rumah.
Jajanan pasar yang
kubeli tadi menjadi santapan pagi kami.
Tiba-tiba di jalan
depan rumah, melintas seorang pemuda bersepeda. Ia menengok dan melemparkan
senyumannya. Entah kepada siapa senyuman itu ditujukan. Tapi setelah ayah
membalas tersenyum, tahulah aku kepada siapa ia memberikan senyumannya. Sebelum
benar-benar berlalu, pemuda itu menghentikan laju sepedanya. Kini ia malah
berbelok arah dan masuk ke halaman rumah kami. Dengan sopan ia turun dan
menuntun sepedanya. Ia berjalan mendekati kami yang sedang duduk santai. Tak
lama terdengar salamnya.
Ayah pun mempersilakan
pemuda itu masuk. Ia juga tersenyum dan menjabat tanganku. Sejurus aku belum
mengenalinya jika ayah tidak menyebutnya Qodri. Aku pangling melihat penampilan Qodri yang kini tampak lebih tertata.
Ia teman mengajiku, yang dulu kerap mengantarkanku pulang apabila pengajian
selesai malam hari. Diam-diam ia menaruh hati padaku sejak kami sering mengaji
bersama.
Kala itu, teman-temanku
sering menjodoh-jodohkan aku dengannya. Sementara aku, hanya selalu
menganggapnya sahabat, tak lebih dan tak kurang. Meskipun aku tidak pernah
suka, ia tidak surut mendekatiku. Bahkan menurut Untari, Qodri masih sering
menanyaiku. Kami praktis jarang ketemu sejak aku menjadi pramugari. Waktuku
yang terbatas di rumah membuat kami juga jarang bertemu. Beberapa kali telepon
atau SMS darinya, hanya kujawab seadanya. Aku memang tidak mau diusik urusan
percintaan sejak dulu. Dibenakku hanya ingin menikmati kehidupanku sebagai
seorang pramugari sekaligus menyenangkan hati kedua orang tuaku.
Dari tatapan matanya,
aku bisa melihat gelagat dan semangat Qodri yang tidak pernah padam
menginginkan aku. Aku hanya tersenyum saat Qodri menyinggung soal calon suami. “Wah,
senang nih calon suami Wiwik,” ucap Qodri kepada ayah dan ibu. Orang tuaku
hanya manggut-manggut. Ibu seperti biasa meledekku seperti semalam.
“Wiwik tambah cantik
aja, ya Pak!” Qodri dengan santainya memuji aku di depan mereka. “Wong anakku,”
kata ayah sambil tersenyum. Dan ketika Qodri kian menjurus arah bicaranya, aku
buru-buru pamit ke dalam. Beralasan siap-siap hendak pergi ke bandara. Kerling
mataku tak bisa dibohongi. Matanya memperhatikan aku yang masuk ke dalam rumah.
Terdengar desahan napas ayah yang berat. Entah maksudnya apa? Kubiarkan Qodri
mengobrol bersama ayah dan ibu. Hingga kudengar kata-kata ayah yang mengatakan
aku akan segera terbang ke luar negeri.
“Siang ini Wiwik akan
terbang ke Kuala Lumpur. Dan sesudahnya akan banyak bertugas di luar negeri,”
suara ayah menegaskan bahwa aku akan jarang ada di Jogja.
Aku sempat mendengar
kata-kata “luar negeri” diucapkan Qodri berkali-kali. Ia sepertinya tidak
percaya aku hendak ke luar negeri.
Sambil colek-colekan
dengan Untari, aku bergegas ke luar kamar. Ayah memanggil aku. Rupanya Qodri
hendak pulang dan ingin berpamitan denganku juga. Aku membalas jabat tangannya
lagi. Tangannya berkeringat saat bersalaman denganku. “Sampai ketemu lagi, ya
Dri,” kataku sambil menemaninya ke tempat sepedanya di parkir.
Bersamaan kepergian
Qodri, jemputanku datang. Qodri masih sempat melihat mobil jemputan itu, tapi
ia terus mengayuh sepedanya tanpa menengok ke belakang. Di joglo depan, Untari
sudah membawakan koperku yang memang sudah kusiapkan. Tinggal angkat jika
jemputan datang. Ketiganya berdiri menyongsong aku masuk joglo.
Hanya ucapan jaga diri
baik-baik dari kedua orang tuaku. Untari justru yang cengeng. Ia mewek, menangis saat berpelukan
denganku. Aku hanya mengusap kepalanya sambil mengatakan kalau kebetulan tugas
ke Jogja pasti pulang. “Nanti Mbak keloni
kamu tidur wis,” ucapku sekedar menenangkan
perasaannya.
“Janji, ya Mbak!”
terdengar suaranya parau.
Kucium kedua pipi ayah
dan ibu. Tak lupa mencium tangannya memohon restu. Saat aku memeluk ibu, sebuah
bisikan halus terdengar, “Wik, kamu akan mendapatkannya di sana.” Aku tidak
tahu maksud ibu apa, namun tatapan matanya adalah tatapan mata yang sama, yang
selalu hadir dan memaksaku untuk segera memberinya ..., menantu!
Aku
masih 21 tahun....
****
Aku sudah berdiri di
pintu bagian depan pesawat Air Asia, bersiap
menyambut para penumpang yang akan terbang menuju Bandara Kuala Lumpur
International Airport. Dari arah ruang keberangkatan luar negeri terlihat
rombongan penumpang yang berjalan menuju pesawat. Senyumku mengembang menyambut
mereka, tak lupa menyapa selamat siang dan selamat datang di pesawat. Seorang
pemuda lewat dihadapanku. Ia membuka topi Air
Asia-nya. “Hai, ketemu lagi...!” Disapa begitu, aku kaget. Namun berusaha sopan
menyambut kedatangannya. Untuk pertama kali jantungku berdebar. Sekilas
kuperhatikan letak duduknya. Ia duduk pada barisan hot seat, tempat duduk yang bisa diperoleh dengan membayar lebih
mahal dari seat biasa.
Ketika pesawat bersiap
mengudara, aku kebagian tugas menjelaskan apabila terjadi keadaan darurat dalam
pesawat. Semula aku menatap lurus, ke arah semua penumpang yang ada di depanku.
Tapi entah kenapa, mataku seperti digerakkan ke arah pria yang tadi menyapaku.
Debar jantungku yang kedua berdenyut cepat begitu melihat sosoknya yang tengah
duduk memperhatikanku. Bibirnya tersenyum ke arahku. Namun aku tidak bisa membalasnya
karena saat itu sedang bertugas. Kualihkan pandangan ke penumpang yang
berderet-deret di dalam pesawat. Terus memperagakan berbagai hal bila terjadi
keadaan darurat. Jantungku bukan semakin mereda, tapi semakin kencang detaknya.
Ia masih memperhatikan gerak-gerikku memeragakan pemakaian pelampung
keselamatan.
Pesawat bergerak lambat
menuju timur runway. Tugasku selesai
sebelum pesawat mencapai ujung landasan. Beberapa teman pramugari dan pramugara
memastikan para penumpang sudah mengenakan sabuk keselamatan. Pesawat mulai
memutari ujung landasan bersamaan terdengar perintah captain pesawat yang memerintahkan semua crew cabin untuk duduk di kursi masing-masing. Moncong pesawat
sudah menghadap ke barat, bersiap melakukan take
off dari Bandara Internasional Adisucipto Jogjakarta. Mesin pesawat yang
semula mendesis pelan mulai terdengar menderu keras. Aku menghela napas di
tempat dudukku. Sesudah mengucapkan syahadat, kulanjutkan membaca bismillah.
Tempat dudukku
berhadapan dengan tempat duduk para penumpang. Lagi-lagi, ada dorongan dari
dalam hatiku untuk menengok hot seat. Ya
ampunnn..., sepasang mata itu kembali menatapku. Ia tersenyum lagi untuk
kesekian kalinya padaku. Dan debaran jantungku memenuhi rongga dadaku.
Pesawat melaju kencang
menuju barat, mengangkasa, dan meninggalkan kotaku, Jogjakarta. Kugenggam
manifes perjalanan ditangan dan memastikan penumpang hot seat 5C. Esham Dima Mohammad,
gumamku, sembari mencuri tatapan ke arahnya. Kini di kursinya, ia tampak
memejamkan kedua matanya.
Aku baru ingat, selama
ini aku sering bertemu dengannya dalam berbagai penerbangan Air Asia di Indonesia. Dan itu tanpa
sengaja terjadinya.
Masih
di ruang keluarga Platinum Hill Condominium KL
Anakku
masih memencet-mencet tuts piano. Suara yang keluar tetap tidak beraturan,
tidak menghasilkan nada-nada harmoni. Aku tidak memaksa anakku untuk menyukai
kesukaanku bermain piano. Aku berusaha mengenalkan piano padanya tiap hari.
Biar nalurinya saja yang mengatur. Biar halus perasaannya kelak.
Sambil
memangkunya, aku mengelus pipiku yang tadi dicium suamiku. Hatiku senang
mendapat ciuman hangatnya, sekaligus juga heran. Sudah lama suamiku tidak
melakukan hal romantis ini. Namun siang ini, ia melakukannya yang justru membuatku
terkejut.
Anak
sulungku tiba-tiba melorot dari pangkuanku. Ia hentikan memencet tuts piano.
Matanya teralihkan gara-gara acara tivi menampilkan cerita tentang pesawat
terbang. Kebetulan juga anakku kedua sedang duduk menonton.
Acara
tentang pesawat terbang itu seketika mengingatkanku pada suamiku untuk pertama
kali. Manifes penerbangan Air Asia Jogja—Kuala Lumpur siang itu menjadi awal
aku mengetahui siapa dia, apa pekerjaannya, dan di mana tinggalnya di Kuala
Lumpur.
Esham
Dima Mohammad, orang negeri seberang yang akhirnya mendamparkan aku di kota
Kuala Lumpur. Sesuatu yang tak pernah ada dalam bayanganku sebelumnya. Menikah
dengan orang berbeda bangsa, berbeda negara.
Aku
lantas ingat bisikan ibu ketika berpamitan memulai perjalanan perdanaku ke luar
negeri, “Wik, kamu akan mendapatkannya di sana.” Rupanya mata batin ibu jitu.
Kesan pertamanya kepada Esham di Pizza Hut benar-benar mengantarkan aku masuk
dalam pelukannya.
Pesawat mendarat di Bandara KLIA. Kejadian
kemarin malam di Jogja terjadi lagi. Ia salah satu penumpang yang turun
terakhir. Padahal kalau mau merunut letak duduknya, seharusnya ia sudah turun
duluan. Hot seat 5C letaknya di
depan. Saat berangkat dari Jogja, aku juga tidak melihatnya membawa banyak
barang bawaan. Hanya satu tas tangan kecil serta tas seukuran sebuah laptop. Ia
sudah tersenyum kepadaku sebelum berjalan keluar. Kebetulan saat itu hanya aku
yang menunggu penumpang turun di pintu bagian depan pesawat. Teman-temanku yang
lain bertugas di belakang. Ada yang melepas kepergian penumpang, ada juga yang
memeriksa tempat duduk yang baru saja ditinggalkan penumpang.
“Terima kasih sudah
mengantarkan saya pulang ke sini,” ucapnya ramah. Aku tak menjawab sapaannya,
namun sesungging senyuman tetap kuberikan kepada penumpang ini. Dibalik
senyumanku, aku tak memungkiri ada gedoran keras dijantungku gara-gara
sapaannya itu. Ia menuruni tangga pesawat perlahan. Begitu kakinya menjejakkan apron,
tubuhnya berbalik, kepalanya mendongak ke atas.
Entah kenapa ketika ia
turun aku tidak buru-buru bergabung dengan teman-temanku memeriksa cabin. Justru hanya terpaku melihatnya
berjalan menuruni tangga. Jadilah aku harus melihat tatapan dan senyumannya
lagi. Kali ini ia mengangkat tangan kanannya, melambaikan salam perpisahan. Deburan
jantungku yang sejak tadi berdetak keras, bukan semakin berkurang namun justru
kian kencang menggedor-gedor dadaku.
“Kenapa wajah Wiwik
bersemu merah, mulut juga tersenyum sahaja,” kata Halimah sambil mencolek
pinggangku. Ia temanku sesama pramugari yang berasal dari Negeri Sembilan.
Jelas aku hanya diam, dan hanya tersenyum mendengar celotehan Halimah.
Hari ini aku hanya
terbang sekali. Jadi selesai briefing di
kantor, aku bisa langsung pulang. Istirahat. KL adalah kota yang baru pertama
kali aku singgahi. Besok hari aku belum terbang. Masih off. Jadwalku lusa. Aku full
menjalani tugas terbang ke beberapa negara. Seperti yang kulihat dari skedul
yang kuterima, lusa aku akan terbang ke Singapura kemudian lanjut ke Bangkok.
Dari Bangkok aku dijadwalkan terbang ke Brunei Darusalam. Kembali ke Kuala
Lumpur dan terbang ke Jakarta, Jogja kemudian kembali ke Kuala Lumpur lagi. Tercapai
sudah impian masa kecilku bisa melalang ke belahan dunia lain selain kota-kota
di Indonesia. Meski belum melakukan penerbangan di kawasan Asia Tenggara,
berjuta-juta angan sudah singgah di kepalaku. Impian terbang gratis ke
negara-negara Eropa mulai kubenamkan di kepala.
Siang itu aku pulang
bersama Halimah, yang kebetulan juga off.
Halimah lantas mengajakku menyusuri perjalanan dari KLIA dengan naik bus. “Wik,
kita naik bus sahaja supaya Wik tahu bahwa banyak cara menuju pusat kota KL,” ajak
Halimah setelah semua urusan di kantor selesai. Aku setuju-setuju saja, karena
ingin mengenal KL pelan-pelan. Dengan menarik dua koper, aku menyusuri koridor
bandara KLIA yang megah. Kami menuju pemberhentian bus yang ada di bandara. “Kita
naik Sky Bus,” tunjuk Halimah pada deretan
bus yang terparkir rapi di situ.
“Kita menuju KL Central
Station, train station. Dari sana
kita menuju hotel,” jelas Halimah sekali lagi padaku. Aku hanya menganggukkan kepala. Masih takjub
dengan kemegahan dan kebersihan bandara KLIA.
Seorang berseragam Sky Bus mendekati kami, menawarkan
bus-nya. Halimah mengangguk kepada si petugas dan mengajakku naik. Kedua
koperku serta koper Halimah kemudian diurus petugas itu, diletakkan di bagasi bus.
Di pintu depan bus, aku sudah merasakan hawa sejuk bus. Kontras keadaan panas
yang menyengat di luar. Bandara saat itu memang panas terik. Nggak jauh bedanya
dengan cuaca di Jogja.
Di bagian dalam bus,
terasa jika bus ini wangi, sejuk, serta terdengar suara musik di dalamnya. Aku
bahkan surprise mendengar lagu-lagu
penyanyi Indonesia diputar.
Tempat duduk ternyata
sudah penuh, hanya menyisakan dua tempat duduk yang terpisah. Aku mengambil
tempat duduk paling belakang, sedangkan Halimah dua baris di depanku. Halimah
ternyata mendapat teman duduk anak Air
Asia juga, sementara aku seorang pria. Tampaknya pria inilah yang akan
menjadi teman perjalananku menuju Stasiun Kereta Sentral. Ia terlihat menunduk,
sedang membaca ketika aku mendekati kursinya. “Permisii,” sapaku kepada si pria
itu. Aku percaya diri berbahasa Indonesia saja karena rata-rata orang Malaysia berbahasa
Melayu, cikalnya Bahasa Indonesia.
“Silakan...,” sahut
pria itu. Kepalanya mendongak ke atas berusaha melihatku.
Kami berdua kaget setelah
bertatapan.
“Pak Esham...,” kataku
tanpa sengaja menyebutkan namanya. Pria
itu terkejut aku menyebut namanya. Seketika itu juga aku gugup, bingung,
sehingga tidak berani langsung duduk.
“Ohh, silakan duduk.
Silakan, silakan...,” ia mempersilakan aku. Dengan ragu-ragu, deg-deg-an, aku
akhirnya duduk di sebelahnya. Aku menata perasaanku, aku menata hatiku, juga detak
jantungku.
Bus pun bergerak
perlahan meninggalkan bandara begitu aku duduk manis.
Halimah kulihat sempat
berdiri dan melihat ke arahku. Selama beberapa menit aku terdiam, membisu tanpa
berkata apapun pada pria di sebelahku. Ia pun diam, sesekali menengok kepadaku,
membagi senyumnya. Aku benar-benar tak bisa menguasai perasaanku saat itu.
Deburan jantungku tak berkesudahan. Ia terus menggedor-gedor rongga dadaku,
apalagi setiap pria di sebelahku itu berusaha memperhatikanku.
Kebuntuan bicara kami
akhirnya pupus. Bermula dari petugas Sky
Bus yang menagih uang tiket 10 ringgit. Pria sebelahku lebih dulu
menyerahkan uang tiketnya, sedangkan tanganku masih sibuk mencari uang pecahan dalam tas. Melihat aku masih sibuk, pria itu
langsung berinisiatif menyerahkan 10 ringgit lagi kepada petugas bus.
“Sudah, sudah, tak usah,”
ia mengatakan itu padaku. Bukannya
berhenti mencari, aku justru terus mengaduk-aduk isi tas tangan. Rogohan demi
rogohan tetap tidak menyebabkan aku menemukan uang recehan. Dan dengan perasaan
serba tak karuan, aku menyerah.
Keluarlah ucapan terima
kasih kepada pria di sebelahku. Kami lantas bersalaman.
Ternyata jabat tangan
bukan menenangkan keadaan, justru mengencangkan deburan di jantungku. Terlebih
saat aku ditanya mengapa mengetahui namanya. Gugup, bingung, harus omong jujur
atau mencari alasan. Helaan napas panjangku malah membuatnya tersenyum. Sekonyong-konyong
sebuah jawaban masuk akal sekelebat mampir dikepalaku.
“Dari manifes
penerbangan.” Itu jawaban yang kuberikan padanya. Ia mengangguk-anggukkan
kepalanya sambil terus tersenyum. Tiba-tiba matanya mengarah ke dadaku. Aku
diam tak bergerak di tempat dudukku. Yang kurasakan jantungku bersuara keras
ditelinga. Hingga kudengar ia mengucapkan namaku: Wiwik.
Ah, rupanya ia berusaha
membaca name tag yang tersemat di
dada kiriku. “Benar, aku Wiwik Trisnawati.” Entah siapa yang memberi komando,
mulutku dengan lancar mengucapkan nama lengkapku. Aku semakin berdebar-debar
sesudah menyebutkan namaku. Dan dalam waktu yang agak lama, kami akhirnya
terdiam satu sama lain.
Aku mulai bisa
merasakan bagian dalam dadaku mulai melunak, tidak bergejolak seperti tadi.
Halimah mendekat, menanyakan keadaanku yang katanya kerepotan saat didatangi
petugas bus. Kupegang tangan Halimah sambil berbisik, “aku tak apa-apa.” Ia pun
kembali ke tempat duduknya tanpa menaruh rasa curiga.
Bus melaju cepat menuju
tujuan akhir. Esham ternyata pintar meramaikan suasana diam kami. Beberapa kali
lagu dari penyanyi Indonesia yang diperdengarkan di dalam bus ikut dia senandungkan.
Aku sudah mulai bisa tertawa dan santai menghadapinya. Dari obrolan kami, aku
tahu bahwa ia sering melakukan perjalanan ke beberapa kota di Indonesia.
Rasanya kita sering
bertemu di pesawat, pengakuannya padaku. Ia lantas mengatakan masih ingat waktu
aku hampir terjatuh dalam penerbangan Jakarta—Surabaya beberapa bulan yang
lalu. Aku tak menyangka, diriku menjadi perhatiannya.
“Atau, ingat tidak
waktu Wiwik tumpahkan es batu? Saat kita terbang dari Medan ke Jakarta?”
Matanya menatap mataku, berusaha mengingatkan aku peristiwa dalam penerbangan
Medan—Jakarta. Luar biasa ingatannya, batinku dalam hati.
“Boleh saya minta nomor
telepon Wiwik?”
Bagai tersedot sebuah
magnet beraliran kuat, aku mengangguk seraya menyebutkan nomor yang bisa
dihubunginya. Ia pun mengeluarkan sebuah kartu nama dari dompetnya dan
memberikannya kepadaku. Ternyata ia pemilik even
organizer Panggong Bumi.
“Lain masa, boleh saya
bertandang ke tempat Wiwik? Tentu kalau Wiwik sedang off.” Aku hanya mengangguk dan memberitahukan tempat tinggalku
selama di KL. Tubuhku bagai dihipnotis sehingga lancar berbagi semua yang
kupunyai.
Dan, bus pun merapat di
Central Railway Station. Kami harus berpisah sementara.
****
Dering
notifikasi HP berbunyi. Ada pesan masuk di FB. Kotak masuk dipenuhi pesan baru
yang belum kubaca. Tertera nama-nama yang kesemuanya asing dan tak kukenal sama
sekali. Setelah kubuka satu per satu, aku terkesima membaca isinya. Pesan-pesan
nakal yang tidak mengenakkan. Ajakan menjadi istri, diajak kencan, mau
dibelikan barang mewah, bahkan ada yang mengajak ketemuan. Semuanya menjijikkan
dan menyebalkan.
Tanpa
menyelesaikan membaca pesan-pesan yang panjang, langsung ku-delete supaya tidak
menimbulkan fitnah. Sebuah pesan pertemanan masuk. Untuk meyakinkan apakah orang
iseng atau ingin berteman, aku harus membukanya. Sebelum kata “konfirm”
ditekan, aku harus yakin terlebih dulu. Untuk sekarang ini aku tak mau
asal-asalan me-yes-kan pertemanan. Awal-awal membuka FB aku iyakan siapa pun
yang mau berteman. Akibatnya baru kurasakan sekarang.
Kuklik
namanya yang kupercayai adalah nama aslinya. Muncul profil lengkapnya. Rupanya pria dari Solo. Ah, seketika aku rindu kampung
halamanku, yang hanya berjarak 60 kilometeran dari Solo. Kota Jogjakarta.
Kuteruskan
menelisik profilnya. Komplit sekali isinya. Foto-fotonya bejibun,
memperlihatkan foto dirinya bersama teman-teman maupun keluarganya. Ia juga
memasang status pernikahannya, bahkan nama istrinya pun dicantumkan. Istrinya
tidak aktif di FB, meski memiliki akun. Ia juga rajin meng-update status dan
status-statusnya selalu renyah, segar, menyemangati, dan enak dibaca. Dan
wow..., temannya banyak. Tak ada alasan menolak ajakan pertemanannya apalagi ia
orang Jawa sepertiku. Bismillah, kutekan konfirm pertemanannya.
Dan
aku kembali menghadapi piano yang sedari tadi belum kumainkan. Anak-anakku
duduk anteng di depan tivi. Siaran mengenai pesawat terbang masih berlangsung.
Beberapa penganan kecil yang tadi kumasak, nyaris ludes dimakan mereka bertiga.
Sejenak hatiku lega, riang menyaksikan ketiga jagoanku menyukai apa yang
kumasak.
HP
yang kuletakkan di atas piano berbunyi lagi. Beberapa notifikasi terlihat. Salah
satunya teman baruku dari Solo, yang baru beberapa menit lalu kukonfirmasi
pertemanannya. Matur nuwun, terima kasih sudah membalas pertemanan saya. Salam
kenal ..... Itu kalimat yang ada dalam kronologis FB-ku. Merasa yakin, aku
langsung membalas kembali sapaan pertamanya. Rupanya jawabanku bersambung lagi,
Bayu pun, ia selalu menyebut dirinya Bayu, terus memberi balasan pula.
Rindai
Bayuning Swarastika, begitu nama lengkap yang dipajangnya di FB.
Aku
tiba-tiba merasa cocok berteman dengannya. Aku akhirnya lupa dengan pianoku.
Sejenak aku terhibur hadirnya Bayu. Komunikasi kami pun akhirnya berjalan
lancar dan penuh canda. Berbagi cerita dan keadaan. Duh, aku semakin rindu. Aku
semakin kangen kotaku Jogja. Bayu terus menggodaku untuk pulang kampung.
Sudah
3 tahun aku belum pulang ke Jogja lagi. Meski baru 4 bulan yang lalu kedua
orang tuaku datang ke Kuala Lumpur, namun perasaan rindu suasana rumah terus
menggelayuti hatiku.
Hmmm
...., itu akhirnya yang menjadi status FB-ku, suatu saat.
Aku
tidak menyangka status yang kutulis dikomentari banyak teman. Komentarnya
macam-macam. Ada 35 pengomentar. Bayu, salah satunya. Bahkan, ia langsung
mengirimkan pesan ke kotak masukku. Hidupku terasa mengasyikkan lagi sejak
berteman dengannya. Yang membuatku surprise ternyata ia juga senang memainkan
piano. Klop....Meski jarak terpisahkan di antara kami, diskusi piano dan
lagu-lagu jalan terus melalui FB. Aku pun memberinya nomor HP-ku supaya bisa whatsapp-an
dan BBM-an.
*****
Sejak berpisah di
Central Railway Station, aku belum bertemu lagi dengan Esham. Meskipun kami
saling bertukar nomor HP, tapi tak ada komunikasi di antara kami sama sekali.
Siang itu, aku baru
mendarat dari Bangkok. Begitu HP kuaktifkan, masuk pesan dari Esham. Isi
pesannya hanya sekedar menyapa, namun membuat jantungku langsung
berdebar-debar. Apalagi saat dia menanyakan apakah bisa ketemuan? Debaran kian
cepat menjalar-jalar di dadaku. Sesungguhnya, aku ingin beristirahat malam
nanti. Akan tetapi hasrat hati terusik oleh ajakan Esham. Aku pun mengiyakan
ajakannya. Baru tersadar begitu sambungan terputus. Bukannya aku belum pernah jalan
dan bertemu dengannya sejak berpisah di Central Railway Station?
Kita ketemu di lobby
atau resto hotelku menginap, tak apa, kan? Pesan ini yang kusampaikan pada
Esham. Ia memang memintaku memberi kabar dimana tempat pertemuan kami. Dan
kuputuskan di hotel tempatku menginap. Aku tak perlu keluar dan berjalan jauh.
Menjaga segala kemungkinan. Biar pun pria ini sudah menggedor-gedor dadaku,
tapi dia tetap pria asing yang baru kukenal.
“Ok, Wik, kita berjumpa
nanti malam.” Suaranya tiba-tiba muncul
dari audio HP-ku. Halimah yang kebetulan berjalan beriringan denganku sempat
mendengar. Tanpa banyak berkomentar, ia mencolek-colek pinggangku dan tertawa-tawa.
Sore ini, Halimah akan pulang ke Negeri Sembilan karena ia off terbang 3 hari.
Aku memasuki hotel
tempatku menginap. Ketika melewati restoran, tempat nanti malam aku akan
bertemu Esham, terlihat olehku sebuah ruangan privat. Tidak terlalu luas tapi
nyaman tampaknya. Dengan sedikit ragu kutanyakan kepada petugas restoran apakah
bisa memesan ruangan itu. Ia langsung meminta maaf padaku, karena ruangan itu
sudah dipesan untuk acara keluarga. Meski agak kecewa, aku lalu bergegas menuju
kamar untuk beristirahat. Kuputuskan nanti malam duduk di ruangan publik,
bersama-sama pengunjung restoran lainnya.
Hampir jam 8 malam,
Esham belum menelponku atau mengirimkan pesan. Perasaanku tak karuan, jantungku
berdebar-debar membayangkan pertemuan itu. Aku harus santai, harus rileks,
tidak boleh kalah dengan perasaan yang mengobrak-abrik logika berpikir. Tiba-tiba
pintu kamarku diketuk dari luar.
Room
service, suara itu terdengar. Seorang petugas hotel
menyerahkan secarik kertas, yang katanya dari pria bernama Esham. Aku terkejut.
Mengapa harus melalui petugas hotel Esham memintaku datang. Namun sebelum
otakku berpikir ini-itu, kuputuskan saja mengikuti maunya. Aku turun menuju
restoran, serta mengikuti petunjuk di kertas yang diberikan tadi.
Aku menunggu di Malaya,
tulis Esham dikertas itu. Kupikir itu nama meja yang ada di dalam restoran.
Ternyata Malaya adalah ruangan privat yang tadi hendak aku booking. Rupanya ruangan itu sudah dipesan oleh Esham. Cerdas juga
dia, pikirku. Lebih dulu memesan daripada aku yang saat tadi hanya iseng-iseng
belaka.
Pintu ruangan Malaya
tertutup rapat. Dengan pelan kudekati pintu ruangan itu dan mengetuk perlahan
juga. Pintu terbuka pelan. Sekilas di dalam suasananya temaram. Jantungku
kembali berirama rancak, berdebar-debar apalagi tahu yang membuka pintu adalah
Esham.
“Selamat malam, Wik,”
sapa Esham sopan. Dengan gugup aku anggukkan kepala.
“Silakan masuk, tak
apa-apa. Silakan, silakan,” ucapnya lagi. Aku pun melangkah masuk ke dalam.
Seketika lampu yang
temaram tadi menyala secara perlahan. Di sebuah meja berukuran sedang terlihat
beberapa orang duduk mengitari meja. Mataku menangkap bayangan orang yang ada
di situ berjumlah 4 orang. Mereka serempak memandang kedatanganku.
“Selamat malam,” sapa
pria berambut putih itu seraya berdiri dari tempat duduknya.
Lampu ruangan
berangsur-angsur terang dan aku bisa melihat jelas orang yang berada di meja
makan itu. Ada satu wanita dewasa, berjilbab, memakai kacamata, ia juga berdiri
menyambutku.
“Ini ibu dan ayah,”
tiba-tiba Esham berkata demikian.
Kedua orang tua itu
tersenyum ramah kepadaku. Namun jantungku tak berkompromi, dia langsung
memainkan irama cepatnya. Aku kaget, gugup, tidak percaya penglihatanku di
ruangan itu. Saat secara bergantian kedua orang tua Esham mengulurkan
tangannya, aku masih tertahan. Baru sesaat kemudian aku tersadar dan membalas
uluran tangan mereka. Wanita berjilbab tadi juga mencium kedua pipiku. Seremoni
kedua orang tuanya berakhir. Giliran 2 gadis remaja mendekatiku dan saling
mengenalkan diri. Keduanya ternyata adik-adik Esham.
Jadi, ini rupanya
maksud Esham ingin bertemu aku. Yang tak habis pikir olehku kenapa ia juga
mengajak kedua orang tuanya dan adik-adiknya.
Menurut ayah Esham,
kedatangan mereka ke sini karena diajak. Kami hendak dikenalkan dengan calon
istrinya, lanjut ayah Esham padaku.
“Calon istri?” Teriakku
dalam hati. Segitu cepatnya dia mengambil keputusan padahal kami belum pernah
membicarakan apa-apa. Bertemu secara rutin saja tidak pernah, tiba-tiba dia
akan menjadikan aku istrinya. Napas berat yang kutarik perlahan-lahan, langsung
dijawab Esham.
“Saya percayai makna
perjumpaan tak sengaja kita, beberapa kali. Untuk saya, itu sudah merupakan
pertanda dari Allah bahwa jodoh saya adalah kau.” Esham menjelaskan kenapa dia
memutuskan serta memilih aku sebagai calon istrinya.
Dalam hal ini aku juga
sependapat. Pertemuanku dengannya beberapa kali, adalah sesuatu yang tanpa
disengaja. Aku juga merasakan debaran-debaran setiap memikirkan atau
mengingatnya. Tapi menjadi istrinya, dengan latar belakang berbeda bangsa dan
negara, sama sekali tidak masuk dalam kamus hidupku selama ini. Selain itu, aku
masih ingin menikmati masa mudaku, dapat terbang kemana-mana, serta masih ingin
membahagiakan kedua orang tuaku.
Lantas bagaimana pula
aku harus menjelaskan hal ini kepada kedua orang tuaku? Aku kembali menarik napas panjang begitu
suara-suara hatiku bermunculan. Yang menyamakan kami hanya soal keyakinan:
beragama islam.
Esham dan keluarganya
memandangiku seksama. Hingga terdengar suara ayah Esham yang meminta aku mempertimbangkan
ajakan Esham untuk menikahi. Menurut ayahnya lagi, mereka, meski belum mengenal
aku mendalam, dari pertemuan ini sangat yakin akan pilihan Esham. Segala
hal-hal yang mungkin merepotkan, kata ayah Esham, pasti selalu ada solusinya.
Dia memintaku supaya tidak usah khawatir memikirkannya, seandainya pernikahan
kelak akan terjadi.
“Pernikahan?” Ya
ampunnn.., kali ini ayah Esham yang gamblang mengatakan tentang pernikahan. Di
tengah kebingunganku, HP-ku bergetar. Ada pesan whatsapp yang masuk. Maaf, saya balas pesan ini dulu, ucapku
memohon. Ayah Esham menganggukkan kepalanya.
Rupanya pesan dari ibu
yang menanyakan kapan aku tugas ke Jogja. Selain dirinya yang rindu, Untari dan
ayah juga kangen padaku, kata ibu dalam pesannya.
“Kamu baik-baik saja, kan
Wik?” Tanya ibu diakhir pesannya. Serba kebetulan. Disaat aku kebingungan
menghadapi orang tua Esham, ibu seakan tahu perasaanku. Minggu depan, itu
jawaban yang kuberikana kepada ibu. Meski tidak baik-baik, saat ini, aku
katakan keadaanku baik saja. Secara umum keadaanku memang baik-baik saja.
“Kapan Wiwik tugas
terbang ke Jogja?” Esham secara tiba-tiba menanyakan hal yang sama seperti ibu.
Setelah aku selesai mengirimkan jawaban untuk ibu, langsung mengatakan
kepadanya jawaban yang sama: minggu depan.
“Baguslah itu,” ujar
ayah Esham menimpali. Aku terperanjat mendengarnya. Lebih cepat, tentu lebih
bagus, lanjut ayah Esham. Mendengar kata-kata ayahnya, Esham hanya
menganggukkan kepalanya.
“Kau bisa urus bisnismu
ke Jogja dan Jakarta sesuai jadwal calonmu ini. Sebelum kami ke Jogja, temuilah
kedua orang tua Wiwik,” perintah ayah Esham lagi. Esham tersenyum.
“Jadi, Wiwik sudah
dengar dan paham soalan ini?” Esham bertanya padaku. Dalam kebingungan dan
keterkejutanku, aku hanya bisa menganggukkan kepala.
“Ayolah sekarang kita
makan. Saya sudah lapar,” ajak ayah Esham kepada semua yang ada di ruangan. Ia
kulihat menepuk-nepuk perutnya. Selama kami berbincang-bincang tadi, beberapa
kali pelayan restoran datang mengantarkan makanan pesanan ibu Esham.
****
Selain
berbagi cerita mengenai kesukaan bermain piano, aku sering tanpa sengaja
“curhat” kepada Bayu, mengenai banyak hal. Aku sesungguhnya enggan membicarakan
mengenai urusan rumah tangga. Akan tetapi, pada suatu kesempatan kala aku
benar-benar mentok, buntu, dan tidak tahu harus berbuat apa, aku terpaksa
membagi isi hatiku kepada Bayu. Alih-alih memperoleh jawaban memuaskan, justru
Bayu menyerahkan hal ini kepadaku. Jika sudah demikian, Bayu akan ngomong
mengenai piano dan lagu-lagu baru yang sedang hits di Indonesia. Mulanya, aku
setengah jengkel Bayu bersikap begitu. Tapi pada akhirnya aku sadar bahwa ranah
rumah tangga memang sebaiknya kuselesaikan sendiri.
Ketika
kuceritakan kisah awal aku hendak dilamar Esham, Bayu tertawa. Icon tertawa
dipasangnya dalam chattingan kami. Ia lantas bilang, kenapa energi positif masa
sebelum menikah dulu tidak dijadikan kekuatan menyelesaikan urusan sekarang?
Toh, meski diselimuti kegalauan saat hendak dilamar, semuanya terselesaikan
baik-baik bahkan happy ending, kata Bayu menyemangatiku. Hal ini yang kusuka
dari Bayu. Kata semangatnya, juga selalu membangun kepercayaan diri yang kuat
memanfaatkan semua energi positif di tubuh dan pikiran. Ayo mainkan lagi
pianomu, ucapnya suatu saat setelah kegalauan melandaku.
*****
Esham membuktikan
kata-katanya. Setelah mengetahui jadwal terbangku ke Jogja, ia sengaja
melakukan perjalanan bisnisnya ke Jakarta, Bandung, dan Jogja, mengikuti skedul
terbangku. Dan seperti biasa, kami bertemu kembali di atas penerbangan Air Asia, Kuala Lumpur—Jogja.
Menggenggam alamat rumahku, ia menuju rumah tanpa menungguku selesai briefing.
Sesampainya aku di
rumah, diantar mobil antar-jemput crew, di
halaman depan joglo ada motor terparkir. Dari dalam mobil terlihat sosok 4 orang yang
sedang duduk di joglo. Tiga pria dan 1 wanita. Yang wanita jelas ibu, pria
salah satunya pasti ayah, lantas siapa kedua pria yang lain itu. Aku bergegas
masuk ke dalam rumah. Assalamu’alaikum..., sapaku kepada semuanya.
Walaikumsalam,
terdengar jawaban bersamaan. Ayah berdiri menyongsongku. Kedua pria lain itu
tetap duduk dan mereka membelakangiku. Salah satunya kemudian berdiri, menengok
ke arahku. Ahh, Esham rupanya. Nekad betul, pikirku kala itu.
Meski sudah tahu dia
akan ke rumah mendahuluiku, tapi aku tidak menyangka dia hanya naik motor. Di
Kuala Lumpur, dia pengusaha sukses. Dari keluarga kaya dan terhormat. Tapi ini,
di kotaku, dia hanya datang ke rumah naik kendaraan roda dua dan tidak naik
mobil yang bisa disewanya. Mungkin saja motor ini juga sewaan.
“Malam Wik,” sapanya
hangat.
“Aku sampai duluan di
rumahmu. Ini kawanku, Sandy, yang tinggal di Jogja,” ia mengenalkan pria yang
duduk di sebelah ibu. Sandy berdiri dan mengulurkan tangannya. Pantas saja
Esham tahu rumahku. Ternyata diantar orang asli Jogja.
Ibu menyuruhku masuk.
Bersih-bersih badanmu dululah, kata ibu menyuruhku. Sambil menyeret koperku,
aku masuk ke dalam ditemani ibu. Ketika kami jalan beriringan ke dalam, ibu
menengok ke arahku. Matanya agak tajam menatapku. Tanpa suara selama kami
menuju dalam rumah. Ia mengikuti sampai kamarku.
Suasana dalam rumah
sepi. Kamar Untari terbuka. Kosong. Mungkin ia masih di masjid mengajar
mengaji.
Aku membanting tubuhku
di atas ranjang. Menyelonjorkan kaki, serta menggoyang-goyangkan badanku ke
kiri dan ke kanan. Ibu menutup pintu kamar perlahan. Berbalik arah kemudian
mendekatiku yang sedang duduk di ranjang. Persis di depanku ia berhenti.
Menatap aku sekali lagi. Sekonyong-konyong kepalanya menggeleng-geleng.
Bibirnya terlihat dikatupkan rapat. Aku merasa sikap ibu tidak biasa.
Kebiasaannya setiap aku datang pasti selalu memelukku dan menciumi pipiku. Ada
apa dengannya, gumamku. Jangan-jangan karena kedatangan Esham, aku menerka
dalam hati.
“Kenapa kamu tidak
pernah cerita pada ibu?” Suaranya mulai terdengar. Aku yang masih tertegun,
hanya menggelengkan kepala. Karena benar-benar juga tidak tahu.
Ibu menarik tanganku.
Membangunkan aku dari ranjang. Jarak wajahnya denganku hanya beberapa senti
saja. Tiba-tiba ibu memelukku erat-erat. Punggungku dielusnya berulang kali.
Laki-laki yang bersama
ayahmu, di joglo depan, seperti mimpi ibu sebelum ibu mengirimkan pesan padamu
seminggu yang lalu, bisik ibu di telingaku. Aku kaget mendengar bisikan ibu.
Masih dalam dekapannya, aku merasakan hangatnya pelukan ibu juga detak jantung
lembutnya.
“Dia yang bertemu kita
di Pizza Hut sebelum kamu terbang ke Malaysia, kan?”
Ibu meyakinkan dirinya
bahwa yang datang sekarang adalah orang yang sama, yang dijumpainya di Pizza
Hut, beberapa waktu yang lalu. Aku mengangguk. Tak terasa butir-butir halus air
mataku muncul, merembes dikedua pipiku. Kami pun akhirnya duduk di pinggiran
ranjang.
“Wiwik nggak tahu,
Bu..., semuanya tiba-tiba terjadi begitu saja,” kataku sambil menyeka air
mataku yang mulai membasahi pipi.
Ibu tersenyum. Kedua
tangannya menghapus air mataku yang meleleh di pipi. “Kamu suka dengannya?”
Pertanyaan itu akhirnya terlontar dari mulut ibu. Aku terdiam sesaat, sebelum
menjawab apa pun.
“Kamu menyukai Esham,”
tanya ibu mengulangi pertanyaannya.
Semua pertanda yang muncul
lewat ibu pasti tanda yang baik. Allah menunjukkan kuasa-Nya, dalam memberikan
jodoh padaku, lewat ibuku, wanita hebatku. Ibu tak pernah putus berdoa untuk
semua anak-anaknya. Doanya terkabul. Ibu memang ingin aku segera menikah.
“Iya, Bu,” jawabku
lirih. Ibu kembali memelukku. Alhamdulillah, terdengar ucapan syukurnya
terlontar.
“Tapi Buu.., aku belum
ingin menikah sekarang.”
Ibu melepaskan
pelukaannya sambil berkata, “Biar Allah yang mengaturnya, Wik! Ikuti saja
kemauan-Nya kepada kita.” Aku mengangguk, serta tak kuasa menolak omongan ibu.
Nyatanya, pertemuanku dengan Esham, hingga sekarang Esham datang dihadapan
kedua orang tuaku, tidak pernah aku rencanakan awalnya.
Aku keluar dari kamar
setelah membersihkan diri. Bersama ibu, aku membawakan penganan kecil khas
desaku sebagai jamuan kepada Esham dan temannya. Ketika Esham melihatku,
jantungku bergerak perlahan, mulai berdebar-debar. Namun debarannya kini mulai
tertata dan lembut berirama terdengarnya.
Ketika aku ikutan duduk
bersama mereka, ayah menyampaikan sesuatu yang tak terduga olehku. Bulan depan,
ayah dan ibu Esham mau datang ke sini melamarmu, Wik, jelas ayah dengan suara
datar. Raut wajahnya tenang saat mengatakan hal itu. Mataku membesar ketika
ayah menyampaikan hal itu.
“Ayah memang tidak
mendengar apa yang kamu bicarakan dengan ibu di kamar, tapi ayah yakin, kamu
menerima Esham sebagai calon suamimu,” ayah tersenyum ke arah Esham, kemudian
terkekeh melihatku. Meskipun sempat kaget sebelumnya, aku hanya tertunduk
mendengar kekehan ayah. Mau to..., dinikahi Nak Esham, tantang ayah kepadaku.
Aku masih menunduk dan diam. Piye Wiiikk, tanya ayah sekali lagi.
Kuangkat sedikit
kepalaku, mataku tetap memandang bawah, kemudian mengangguk pelan.
“Lhaaa tenan to....
Gadis Jawa selalu begitu, Nak Esham...!” ucap ayah agak keras. Esham tersenyum
mendengar suara ayah ketika menggodaku. Kulihat Esham juga bersalaman dengan
Sandy. Entah apa maksudnya!
****
Aku
merasa suamiku seperti menjauh, tak ada waktu untuk kami bermanja-manja. Soal kesibukaannya
mengurus bisnis, memang tak bisa dipungkiri. Itu sudah jalan hidupnya, sejak
dulu. Namun sesibuk apa pun, mauku, ia juga tak boleh mengabaikan keluarganya,
aku dan anak-anak. Aku mulai terusik mencari tahu kenapa suamiku bersikap tidak
biasa.
Seiring
kondisiku yang selalu ada di rumah, sibuk dengan urusan rumah dan anak-anak,
aku juga kemudian mencari suasana lain. Bersosialisasi di dunia maya. Fesbuk
adalah salah satunya. Aku tidak menyadari ternyata teman dunia mayaku sangat
banyak. Sejak mengenal Bayu, pria Solo yang gemar bermain piano, ia
satu-satunya teman dumay yang biasa aku curhati. Namun seperti yang
sudah-sudah, ia selalu tidak mau mencampuri urusan rumah tanggaku. Dia selalu
menyerahkan penyelesaian urusan ini kepadaku. Meski terkadang mangkel, aku
salut dengan sikapnya itu.
Hingga
akhirnya, kali ini aku benar-benar butuh advis Bayu. Aku melihat suamiku
semakin sempit waktunya berada di rumah. Alasan sibuk dan banyaknya even,
membuatnya harus konsen mengurusi bisnisnya. Tidak jarang ia harus bepergian ke
luar kota atau ke luar negeri. Aku sudah pernah mengemukakan hal itu padanya.
Dia tidak marah dengan protesku, malahan hanya tersenyum. Hanya itu yang
ditampakkan di wajahnya. Sebuah senyuman. Sepertinya dia menyembunyikan
sesuatu, kataku pada Bayu suatu saat. Bayu terus mendesakku untuk menanyainya.
Capek akuuuuu...., jawabanku kepada
Bayu.
Hari-hariku
berjalan rutin, dari waktu ke waktu. Suamiku pulang larut, saat anak-anak sudah
tidur. Ketika anak-anak berangkat sekolah, dia masih melanjutkan tidur setelah
salat subuh.
Hari
ini, suamiku minta dibangunkan jam 9 pagi karena siang nanti ia akan ke
Jakarta. Kepergiannya sangat mendadak. Biasanya, dia selalu cerita terlebih
dulu jika hendak pergi, namun kali ini tidak. Ia cuma bilang hanya 3 hari di
Jakarta. Ini dikatakannya sebelum tidur lagi sesudah salat subuh. Aku hanya
menghela napas panjang menghadapi sikapnya yang tiba-tiba aneh ini.
Ia
mencium pipiku dan anak bungsuku sebelum pergi ke bandara. Meski merasa aneh
dengan kepergian mendadaknya, aku melepaskan perginya teriring doa untuk
keselamatannya. Cepatlah pulang, teriakku sebelum mobil yang mengantarnya ke
bandara, berlalu. Dia tersenyum dan melambaikan tangannya. Aku pun larut dalam
kesibukan rutinku.
Hari
kedua sejak kepergiannya, suamiku baru mengabari keadaannya di Jakarta. Katanya
ia full melakukan meeting marathon dengan relasi-relasinya di Jakarta. Aku
hanya mengingatkannya menjaga kesehatan dan jangan lupa makan yang teratur.
Sambil masih menelpon dengannya, aku menyisir meja kerjanya yang terlihat
berantakan. Aku jarang membereskan meja kerjanya, takut kesalahan mengubah
apa-apa yang ada di atas mejanya. Ia pun sudah mengingatkanku untuk membiarkan
mejanya, apa adanya. Tapi hari ini
mejanya dipenuhi berkas-berkas, entah apa saja. Aku berusaha merapikan dengan
menumpuk berkas-berkas itu.
Di
seberang sana, suamiku masih bicara. Ia mengatakan sebentar lagi akan bertemu
seseorang. Ahh rupanya, ini alasannya pergi mendadak ke Jakarta. Mudahan
urusannya dimudahkan, ya Allah. Aku berucap pelan dalam hati, sebelum ia
menutup teleponnya. Aku bereskan meja kerjamu, yaa, teriakku sebelum telepon
benar-benar mati. Tak ada jawaban, karena telepon sudah terdengar tut tut tut
tut ..... Tiba-tiba, dering whatsapp masuk. Ya bereskan saja mejanya, tak
apa-apa, bunyi pesannya kepadaku.
Aku
langsung membereskan mejanya. Satu per satu berkas yang ada kurapikan, kutata
tanpa ada satu pun yang kusisihkan ke tempat lain. Tiba-tiba di antara berkas
kertas yang berserakan, menyembul sebuah buku berwarna pink. Sebuah novel. Warna bukunya didominasi warna pink. Sebuah
warna cinta, kata orang-orang penyuka cinta.
Kubaca
judulnya, “Karena Aku Cinta.” Jika kamu yakin itu cinta, maka berjuanglah.....
Begitu tulisan di bawah judulnya. Hatiku tiba-tiba mendidih membaca sekilas
judul novel pink itu.
Aku
menghela napas, berpikir keras, sejak kapan suamiku sempat membaca novel
apalagi novel pink ini. Hatiku berdebar, namun debaran kali ini membara, tidak
seperti debaran ketika pertama kali ia menatapku.
Novel
ini jelas miliknya. Ada tanda tangan di bagian dalam novel. Di bawah judul
besar di halaman depan, suamiku membubuhkan tanda tangan khasnya sekaligus
menuliskan deretan angka 2103 14 TO 2503 14, yang tidak kumengerti maksudnya. Aku sempat mengernyitkan dahi melihat angka
itu. Hatiku yang panas, membuat otakku tumpul tak bisa mengerti semua maksud
angka-angka itu. Memaksa ingin tahu tetap saja susah, hingga terdengar teriakan
anak bungsuku yang minta dibuatkan susu. Kuletakkan novel itu dan bergegas
menemui anakku, membuatkannya susu.
Rasa
penasaran masih membelit ketika kupegang novel pink itu lagi. Di sebuah halaman
kosong sebelum Bab 1 novel itu, hatiku bertambah nyeri. Ada catatan kecil,
tulisan tangan, yang menggelorakan cinta dan asmara. Dan tipis, di ujung
catatan itu tertulis “for Esham Dima” berikut sebuah tanda tangan. Hatiku kini
menggelegak. Napasku naik-turun. Siapa wanita yang “dikasmarani” suamiku?
Pikiran macam-macam pun mulai menghantuiku. Aku baca novel itu untuk menghapus
rasa penasaranku meski hatiku mendidih. Siapa tahu ada petunjuk di situ.
Novel
pink itu tuntas kubaca. Ceritanya romantis, sempat membuatku terhanyut. Cinta,
cinta, cinta.... ucapku dalam hati. Novel ini pasti spesial bagi suamiku sampai
ada di meja kerjanya. Aneh, pria yang nyaris tak punya waktu bersantai memiliki
novel romantis. Bagaimana mungkin?
Kutumpahkan
rasa gelisahku kepada Bayu melalui FB. Lagi-lagi hanya jawaban biasanya yang
diberikan: keluarkan energi positifmu, percaya, dan yakin kepadanya. Buang rasa
gelisahmu, mainkan piano! Dengan menahan
rasa geram, aku ikuti saran Bayu.
Kupejamkan
mata dan kutarik napas perlahan sebelum piano kumainkan. Tiba-tiba.... Dering
suara panggilan masuk. Lambang jantung hati yang muncul. Simbol yang kupasang
jika suamiku menelpon. Rasa nyeri, jengkel, sedih masih memangggang hatiku,
membuatku tak menanggapi panggilannya. Berulang kali juga dering lagu “Tercipta
Untukku” Ungu hanya menyemarakan ruang keluargaku yang senyap. Anak bungsuku
tertidur di sofa setelah menghabiskan susu botolnya. Semoga dia tak terbangun,
harapanku begitu, ketika bersiap memainkan piano.
*****
Sebulan setelah Esham
mengunjungi keluargaku, ia menepati janji membawa kedua orang tuanya melamarku.
Saat itu aku sedang berada di Manila, bersiap-siap terbang menuju Kuala Lumpur.
Proses lamaran itu hanya bisa kuketahui dari adikku Untari. Satu hal yang
kupesankan kepada ibu, aku menerima Esham sebagai calon suamiku, namun aku
tidak ingin buru-buru dinikahkan. Alasanku tetap sama, ingin menikmati masa
mudaku terbang menjelajahi angkasa raya dan beragam benua. Esham sudah
memahaminya. Ia hanya ingin mengikatku supaya tidak diambil orang. It’s okay, kataku dalam sebuah
penerbangan bersamanya.
Semua keputusan lamaran
dan pernikahan kuserahkan kepada ayah. Dan ayah sudah memastikan kepada kedua
orang tua Esham, saat usiaku 23 tahun, aku sudah menjadi istri sah anaknya. Aku
menerima semua keputusan itu melalui whatsapp
yang kukirimkan via Untari adikku. Alhamdulillah...,
aku membaca message Untari padaku.
Waktu dua tahun
tidaklah panjang. Terasa pendek bagiku yang akhirnya berkesempatan mencicipi
benua lain dalam penerbanganku bersama Air
Asia. Setelah sempat singgah di
Beijing, Sydney, Tokyo, Paris, dan Madrid, aku akhiri kepakan sayap bebasku.
Kota London yang mengakhiri kepak sayapku bersama Air Asia.
Di sebuah bangunan
kokoh, melegenda: Stamford Bridge markas
Chelsea
Football Club, aku menggenggam tangan Esham yang sengaja datang menemuiku.
Ia baru saja mengunjungi Liverpool untuk urusan bisnisnya. Di sana aku berjanji
menjadi istrinya yang setia, penuh cinta, dan akan mendukungnya sepanjang
hayatku. Di depan markas klub termashur itu pula, untuk pertama kalinya Esham
menciumku. Dan malam harinya, aku menemani Esham dalam perjalanan pulang ke
Kuala Lumpur.
“Selamat datang dalam
penerbangan QZ9124 tujuan akhir Kuala Lumpur...,” ucapku kepada seluruh
penumpang Air Asia malam itu. Dari
bangku hot seat 5C, seulas senyuman
tertuju kepadaku. Senyuman yang sudah tidak menggedor-gedor jantungku lagi.
Senyuman yang justru membuat jantungku mengalun lembut karena kucinta kau.... Aku terbang bersama Esham dalam sebuah
penerbangan yang sama, hanya berbeda peran.
“Ada yang bisa saya
bantu...,” kataku sambil tersenyum manis padanya.
Hmmm....
Setelah sekian lama,
baru kutuliskan lagi (hmm... ) dalam status facebook-ku.
1 Februari 2006 aku
menanggalkan seragam merah menyalaku, yang sudah membungkus tubuhku dan
menemaniku keliling dunia bersama Air
Asia. Aku bersiap menyongsong 25 Maret, hari yang kelak menjadi hari
peleburan cintaku bersama Esham.
****
Di
hari ketiga sejak kepergian suamiku ke Jakarta, ternyata ia belum kembali juga.
Antara gelisah dan sebal, aku mengirimkan pesan singkat padanya. Masih enggan
rasa hatiku untuk langsung berbicara. Novel pink romantis, terus menghantuiku.
Kekhawatiranku juga terus membuncah. Semuanya menumpuk jadi satu.
Maaf,
aku pulang besok, pesan yang kuterima darinya.
Itu
artinya ia baru akan pulang pada hari keempat. Menyebalkan, gerutuku. Hatiku
makin tak karuan setelah membaca pesannya. Malam itu, tak ada piano. Tak ada
tanya juga kepada Bayu. Aku paksa memejamkan mataku, menemani anak bungsuku
tidur malam. Malam yang dingin menjadi selimut malamku.....
“Wik,
datang ya, ke Cafe Annalakshmi di Berhala Brickfields!” ajak Refa sahabatku
melalui telpon. Hari masih pagi. Kedua anakku yang hendak sekolah masih
sarapan.
Refa
adalah sekretaris suamiku, sekaligus sahabatku. Ia berasal dari kota Muntilan, kota
yang masih bertetangga dengan Jogja.
“Besok
Mas Esham pulang dari Jakarta,” sahutku, menanggapi ajakannya. Terdengar desahan darinya.
“Memang
Esham pulang jam berapa, Wik?”
“Gimana
sih, mestinya kamu lebih tahu. Kan kamu sekretarisnya?” tanyaku agak sewot.
Terdengar
tawa dari seberang telepon.
“Wik...,
Wik, kamu aja nggak tahu apalagi aku?” ujarnya cepat. Gantian aku yang menghela
napas.
Ternyata
kepergian suamiku tanpa sepengetahuan Refa sekretarisnya. Perasaanku makin tak
nyaman mendengar penjelasannya. Aku hanya tahu Esham pergi ke Jakarta menemui
seseorang yang katanya penting.
“Lihat
nantilah,” kataku pada Refa.
“Jangan
sampai nggak datang, ya Wik?” ucap Refa mempertegas. Ia berjanji akan
menghubungi Esham dan memintanya langsung ke Annalakshmi sore nanti.
“Semoga
Esham mau menerima ajakanku, ya Wik... Sampai nanti sore ya! Harus datang kalau
kamu masih menganggap aku ini sahabatmu,” ancam Refa. Ia pun mematikan telepon.
Aku
ingin sekali menghubungi suamiku, tapi perasaan jengkel masih mencengkeram.
Anak sulungku memanggil minta dibawakan roti bakar ke sekolah. Yang kedua ingin
susu coklat. Si bungsu yang baru bangun tidur sudah memegangi kakiku.
Mengikutiku ke mana saja aku jalan. Ketiga jagoanku akhirnya melupakan aku
menghubungi suami.
Siang
itu anak bungsuku asyik melihat Upin Ipin di tivi. Aku sudah selesai memasak
dan ingin bermain piano. Ada beberapa lagu baru yang dikirimkan Bayu padaku.
Aku ingin memainkannya. HP yang kuletakkan di atas piano menunjukkan kedipan warna biru. Itu tanda ada pesan
masuk. Kubaca. Suamiku yang mengirimkannya. Sudah 30 menit yang lalu rupanya pesan
itu.
Dari
bandara aku langsung ke Annalakshmi. Kau dan anak-anak langsung menyusul. Kita
ketemu di sana, ya..., pintanya meminta aku ke sana.
Kalau
bukan undangan Refa sahabatku, enggan rasanya datang ke sana. Aku mencoba
tenang. Mengikuti saran Bayu supaya selalu mengeluarkan energi positif supaya
yang buruk-buruk hilang. Berulang kali aku menarik napas dan memaksa
berkompromi kepada hal-hal yang positif. Entah kenapa yang mucul suara ibu.
“Dia
anak baik, Wik, jadi kamu tidak usah ragu. Percaya sama ibu.” Kalimat itu
adalah ucapan ibu ketika aku hendak menikah dengan Esham suamiku. Sepuluh tahun
yang lalu.
Ya
Allah, beri aku kekuatan, ucapku pelan.
Kedua
anakku sudah kujemput dari sekolahan. Setelah mereka makan siang, kuminta
mereka tidur sebentar. Ayah sudah pulang, Bunda? Asyiikk, teriak anak sulungku.
Mendengar kata ayah, anak keduaku yang sudah berbaring di tempat tidur
ikut-ikutan berteriak. Betapa mereka merindukan ayahnya. Kuelus lembut kedua
kepala anak-anakku. Sedikit mengurangi rasa jengkelku kepada ayah mereka.
“Ayo
tidurlah dulu, nanti kita ketemu ayah di Cafe Annalakshmi. Tante Refa
mengundang kita ke sana!” Perintahku menyuruh mereka memejamkan mata. Aku juga
mengingatkan supaya segera bangun jika sudah waktunya. Aku lantas hanya beberes
rumah serta mempersiapkan baju-baju untuk acara di cafe nanti.
Kami
sengaja memakai baju yang sama untuk acara Refa. Sedikit mendesah aku
menumpahkan kecewaku. Seharusnya, suamiku bisa berbaju sama dengan kami
berempat. Tapi situasi tidak memungkinkan. Tiba-tiba anak sulungku menyerahkan
baju yang sama.
“Untuk
apa baju ini diberikan kepada Bunda?” Ia menyerahkan baju ayahnya untuk aku
bawa ke tempat acara.
“Nanti
biar ayah ganti baju di sana. Biar sama dengan kita Bunda!” Mendengar
penjelasannya, hatiku tergetar. Betapa rasa sayang anakku kepada ayahnya. Aku
sendiri bahkan tidak sampai berpikir akan membawakan baju suamiku. Otakku sudah
telanjur mampet tersumpal novel pink yang kubaca.
Demi
menentramkan perasaan si sulung, aku terima baju ayahnya seraya mengatakan
bahwa yang dilakukan sungguh baik. Selalu mengingat ayahnya, kapan saja. Ia
tampak gembira dengan pujianku. Kemudian mengajak kedua adiknya duduk di sofa
menunggu aku selesai berdandan.
Di
dalam kamar, di depan cermin, aku menatap wajahku. Masih terlihat cantik, masih
belum terlalu tua, masih bisa menjaga tubuh, masih, masih, masih ..... Deretan
kata masih terus keluar dari kepalaku. Nyatanya, hal itu benar adanya. Jadi,
tak ada alasan kau berpaling dariku, bibirku bergetar ketika mengucapkan. Aku
lantas merias wajahku secantik mungkin, tanpa terkesan menor dan ketebalan
riasan.
Pantulan
bayangan tubuhku di cermin membuat aku percaya diri. Aku seperti melihat
pramugari Air Asia. Sore itu, sengaja aku berdandan ala pramugari. Pikirku,
dengan berdandan ala pramugari, suamiku akan teringat pertama kali ia bertemu
denganku. Bismillah ......
Mobil
sudah terparkir rapi di tempatnya. Aku kemudian berjalan bersama ketiga anakku.
Hampir setiap mata memandang kami. Rombongan yang kompak berbaju merah menyala
dengan komando seorang pramugari. Kebetulan aku masih menyimpan baju seragamku.
Kebetulan sekali seragam itu masih pas ditubuhku.
Seorang
petugas cafe menyambut kedatangan kami. Ia mempersilakan kami masuk bahkan ikut
mengantarkan ke dalam. Wiwiiikkkk...., terdengar teriakan menyambut
kedatanganku. Tanpa menoleh dan melihat, aku sangat yakin itu suara Refa. Kami
berpelukan hangat. Ya ampun Wik.., cantik sekali kamu, ucap Refa lagi. Ia
kemudian menyalami ketiga anakku, bahkan menggendong si bungsu.
“Esham
pasti kaget melihatmu,’ bisiknya padaku ketika berjalan ke tengah ruangan.
Suasana cafe sudah ramai. Beberapa dari pengunjung aku mengenalnya. Aku pun
tersenyum sesekali melambaikan tangan.
“Beberapa
yang hadir relasi bisnis perusahaan Esham,” bisik Refa kedua kali. Aku hanya
manggut-manggut karena mencari sosok suamiku. Anakku sulung pun sempat
menanyakan ayahnya ada di mana.
“Kau
duduk di sini dulu, ya...,” kata Refa sambil mempersilakan aku dan anak-anak
duduk di barisan depan. Beberapa relasi suamiku yang kukenal mendekati aku dan
bersalaman. Kami saling bertegur sapa dan mengobrol ringan.
Di
depanku ada panggung kecil dengan big screen besar di sisi kiri. Ada peralatan
band lengkap di sisi kanan. Pandanganku tertuju pada piano yang ditempatkan
agak terpisah dari perangkat band yang lain. Panggung mini itu terlihat
temaram. Hanya ada beberapa lampu kecil bersinar daya rendah. Tinggi panggung hanya satu undakan saja.
Tiba-tiba
terdengar suara pembawa acara membuka acara sore itu. Suamiku juga belum terlihat.
Aku clingukan mencarinya. Refa memberi kode supaya aku tenang-tenang saja.
Tangannya memberi tanda jika Esham ada di belakang. Sebentar yaa...., gerak
bibir Refa terlihat olehku. Tak berapa lama, dari arah pintu masuk aku melihat
ada sosok pria masuk sendirian. Pembawa acara menghentikan bicaranya menunggu
pria itu masuk.
Ashraf,
pekikku tak percaya.
Yang
sedang berjalan masuk ke dalam adalah Ashraf Sinclair, suami Bunga Citra
Lestari, penyanyi Indonesia yang terkenal. Sudah lama kudengar jika Ashraf
sedang menjajagi bisnis kuliner dengan suamiku. Kedatangan Ahsraf disambut
langsung oleh Refa. Kulihat juga Refa mengantarnya duduk yang tak jauh dari
tempatku duduk. Sebelum Ashraf benar-benar duduk, kulihat lagi Refa menunjuk ke
arahku. Ia berjalan mendekatiku bersama Ashraf. Jantungku berdebar-debar saat
Ashraf ada di depanku.
“Ini
Wiwik, istri Esham,” kata Refa sambil memperkenalkan Asharf padaku. Aku sempat tersipu saat Refa
mengatakan aku orang Indonesia sama seperti BCL istrinya. Ashraf tertawa
mendengarnya, ia kemudian menepuk lengan kananku. Indonesia juga rupanya,
serunya senang. Aku mengangguk.
Pada
saat Refa mengatakan aku orang Jogja, Ashraf langsung berkomentar senang. “Saya
baru saja menemani Bunga ke Jogja. Baru minggu kemarin. Biasa urusan promosi
iklan sabun Lux,” kata Ashraf semangat. Ia kemudian bercerita betapa tak bisa
lupa akan kota Jogja. “Kami selalu ke Jogja bersama jika punya waktu luang,”
katanya lagi.
“Bunga
tak ikut ke sini?” iseng aku menanyakan istrinya. Kukatakan jika aku ngefans
dengannya dan suka mendengarkan lagu-lagunya.
“Oh,
Bunga sedang ada kerjaan. Nyanyi juga sih katanya. Kebetulan diundang menyanyi
di KL sini. Saya datang bersama Noah.” Ashraf menunjuk anaknya yang sedang
duduk bersama seseorang, di tempat duduk saat Refa mengantarkannya tadi.
“Saya
ke sana dulu ya,” pamitnya. Ia tersenyum lagi dan berjalan ke tempat Noah
duduk. Hatiku sungguh diliputi perasaan bungah, gembira bertemu Ashraf. Apalagi
jika bisa ketemu Bunga yang jadi penyanyi kesukaanku. Aku lupa jika masih
memendam perasaan jengkel kepada Esham.
Di
antara tempat dudukku dan Ashraf ada seorang wanita, berjilbab duduk sendirian.
Sebelah tempat duduknya terlihat masih dibiarkan kosong. Ia terlihat tenang.
Sesekali Refa mendekatinya dan mengobrol kemudian pergi mengurus yang lain. Aku
cuma tak habis pikir mengapa Refa tetap saja sibuk ke sana ke mari, padahal ini
acaranya. Semestinya ia duduk manis, paling tidak menemaniku di sini. Refa,
Refa ...., ujarku pelan.
Sepertinya
sudah tidak ada yang ditunggu lagi. Ruangan cafe terlihat sudah ramai dan penuh
pengunjung. Pembaca acara kembali mengulang pembukaannya. Tanpa berbasa-basi
layaknya sebuah acara seremonial, MC langsung memanggil Refa ke atas panggung
mini di depanku. Pengunjung bertepuk tangan. Lampu cafe mengecil dan agak
temaram. Big screen mulai terlihat gambar loading dari sebuah laptop. Ada
operator yang mengoperasikan laptop di sisi kiri, di bawah panggung. Refa
menyambut kedatangan para tamu dan berterima kasih. Entah kenapa, ia kemudian
memanggil Esham suamiku naik ke atas panggung. Dan tak lama kemudian suamiku
muncul dari belakang.
“Ayaaaahhh..,”
teriak kedua anakku.
Merasa
namanya dipanggil, suamiku melambaikan tangannya ke arah kami. Anak sulungku
meminta baju seragam ayahnya dariku. Buru-buru ia mendekati panggung dan
menyerahkan baju itu. Suasana cafe jadi riuh, tidak menyangka adegan spontan
yang dilakukan anak sulungku. Aku bahkan terperanjat, tidak menyangka ia akan
menuju ayahnya. Samar-samar aku mendengar ia menyuruh ayahnya berganti pakaian
supaya sama dengan kami berempat. Adegan yang membuat ruangan cafe riuh kedua
kalinya adalah, Esham mencopot kemeja yang dipakainya di atas panggung. Ia
segera memakai baju yang disodorkan anak sulungnya. Setelah baju dikenakan, ia
menyuruh anaknya kembali duduk. Tangannya menunjuk ke arahku. Ia juga
melambaikan tangannya ke arahku dan memberi tanda ciuman jarak jauh. Aku hanya
tersenyum tipis melihat aksinya.
Refa
kembali mengatakan kepada para tamu, betapa ia bangga menjadi bagian dari
sebuah perusahaan yang dipimpin oleh seorang bernama Esham Dima Mohammad. Ia
juga merasa bangga menjadi sahabatku. Hai Wikkk.., teriaknya ke arahku.
“Untuk
kalian berdualah acara ini saya persembahkan,” ucap Refa tiba-tiba.
Ia kemudian memintaku naik ke atas panggung.
Sampai di sini aku tetap tidak paham, tidak mengerti. Dengan masih terpana,
bingung, kuturuti ajakan Refa ke panggung. Bersama ketiga jagoanku aku berjalan
menuju panggung. Di atas panggung sekali lagi aku dibuat kaget, Esham tiba-tiba
memelukku dan menciumku. Big screen yang loading tadi, kini sudah menampakkan
gambar. Hanya karena aku membelakanginya, aku tidak menyadari.
Refa
kemudian juga memanggil wanita yang duduk di sebelahku, yang tadi duduk seorang
diri. Refa memperkenalkan nama wanita itu, Mitha Juniar. Mendengar Refa
mengucapkan nama itu, aku teringat sesuatu. Aku mengingat-ingat pernah membaca
atau mendengar nama itu, tapi di mana?
Di
atas panggung terasa terang, akibat big screen menyala serta menampakkan sebuah
gambar. Astagaaa ..... Aku tak bisa menyembunyikan rasa kagetku. Di layar
besar, di belakangku, adalah kaver novel pink yang kutemukan di meja suamiku.
Novel berwarna pink berjudul Karena Aku Cinta, yang membuatku panas dingin. Perasaan
ini sempat terlupakan, kini muncul kembali. Namun, aku berusaha tetap tenang
serta tetap tersenyum ke arah para tamu.
“Mitha
Juniar adalah penulis buku ini, berasal dari Jakarta, Indonesia. Ia diminta
secara khusus menulis ‘Karena Aku Cinta’ oleh Bapak Esham Dima Mohammad sebagai
kado ulang tahun pernikahan Pak Esham dan Bu Wiwik yang ke-8. Dan novel ini
juga akan dibagikan kepada semua yang hadir sekarang.”
Para
tamu bertepuk tangan, juga terdengar suit-suitan riuh dalam ruangan. Tak
sedikit yang berteriak memberikan komentar-komentar maupun celetukan-celetukan.
Selesai
Refa mengucapkan kalimatnya, aku hanya terdiam. Mataku rasanya kosong memandang
ke depan. Hingga ketika Mitha datang mendekat dan menyerahkan sebuah buku
berwarna pink. Aku masih tidak percaya menerima novel pink yang kemarin sempat
meremukkan perasaanku bahkan sempat berpikiran negatif kepada suamiku sendiri. Yang
membuatku terkejut, novel pink yang diserahkan Mitha adalah novel yang kemarin
kubaca. Lengkap dengan tanda tangan suamiku serta coretan tulisan tangan. Entah
bagaimana caranya novel itu kini sudah ada ditangan Mitha dan diserahkan
kepadaku.
“Selamat
ya, Mbak Wiwik,” ucap Mitha sambil mencium kedua pipiku. Maaf kalau tulisan
tanganku menyentakkan Mbak Wiwik, bisiknya pelan. Takut suamiku mendengar
sepertinya.
“Mas
Esham yang menyuruhku menulis itu,” bisiknya lagi.
Ya
ampuuuuuunnn, Ya Allah...., ternyata semua ini ulah suamiku. Tahulah kini aku
angka-angka di dalam novel itu. 2103 14 TO 2503 14. Menurut Mitha, 2103 adalah
tanggal novel selesai dicetak, yaitu 21
Maret. Dan dipersembahkan untuk tanggal 25Maret pada saat ulang tahun
pernikahanku dengan Mas Esham.
Ya
Allah, astagfirullah...., ampuni aku sudah berpikiran buruk pada suamiku. Gara-gara
piktor alias pikiran kotor, aku tidak bisa mengingat hari pernikahanku sendiri.
Aku lupa, karena hatiku didera perasaan cemburu. Padahal suamiku adalah orang
terbaik yang diberikan Allah padaku. Sekelebat aku ingat lagi ucapan ibu yang
mengatakan suamiku adalah orang baik.
Masih
tertegun, masih kaget tidak percaya, Refa datang menghampiriku dan memelukku
penuh hangat. Sori ya, Wik, dikerjain, ucapnya pelan. Ia tersenyum dan melirik
ke arah suamiku. Mereka beradu tangan kanan tiba-tiba, menepuk kedua telapak
tangan bersamaan. Tanda sukses mengelabui dan mengerjai aku. Tanpa kuduga sama
sekali, anakku sulung juga minta melakukan “toss tangan” kepada ayahnya dan
Refa. Suamiku lantas menunduk dan melakukan hal yang sama dengan si sulung.
Refa juga ikutan. Aku bingung menyaksikan ketiga orang ini.
Jadi
teman-teman semua, ucap Refa memakai mikrofon, hari ini adalah hari ulang tahun
pernikahan Esham dan Wiwik. Hari ini, kami sukses mengerjai istri Esham,
termasuk anak sulung Esham yang sudah ikut berperan serta. Juga si penulis yang khusus didatangkan dari
Jakarta.
“Tadi
bantuin apa ke Tante Refa?” tanya Refa kepada anak sulungku.
Dengan
malu-malu, sambil juga memandang ke arahku, anak sulungku menjawab, “Tadi
mengambil buku warna pink dari atas meja kerja ayah.” Seisi ruangan tertawa
riuh. Aku yang tidak menyangka hanya bisa tersenyum. Pantas saja novel pink itu
ada ditangan Mitha. Aku menghela napas berulang-ulang, serta terus mengucapkan
alhamdulillah yang tiada henti.
Suamiku
mendekat. Memelukku penuh cinta. Ia meraih mikrofon yang dipegang Refa. “Mohon
maaf, apakah saya boleh mencium istri saya yang cantik ini?”
Koor
boleeehhhhh terdengar serempak.
“Saya
boleh mencium pipinya atau bibirnya?” tanya nakal suamiku sekali lagi.
Teriakan
keras terdengar, “Sham, cium dua-duanya. Sudah sah, kok!” Lagi-lagi ruangan
cafe riuh oleh teriakan dan suit-suit teman-teman suamiku. Dan, dengan lembut
suamiku mencium bibirku beberapa detik. Tepukan kian membahana dan teriakan
terus-terus tak henti-hentinya. Ketiga anakku memegangi kaki kami. Kami
berangkulan berlima di atas panggung.
Tiba-tiba
Ashraf naik ke panggung memberi kami ucapan selamat. Ia mengatakan membawa
hadiah besar, tapi saking besarnya, hadiah itu ia letakkan di ujung kanan
panggung. Ashraf menunjuk ke arah kanan panggung. Aku terkejut, terpana, tak
mampu berkata-kata lagi. Dari balik penutup panggung muncullah Bunga Citra
Lestari yang sudah memegang mikrofon. Ia berjalan mendekatiku, menyalamiku, dan
memelukku hangat. Bagai seorang kawan yang lama tidak berjumpa .
“Kita
senasib, sama-sama bersuamikan Pak Cik dari Negeri Jiran Malaysia. Selamat ya,
Mbak Wiwik,” ucap BCL pelan kemudian mencium kedua pipiku.
Hanya
air mata haru yang mengalir di pipiku. Aku benar-benar tidak menyangka akhirnya
bertemu dengan idolaku, yang memberi kado terindah dalam kehidupan
pernikahanku. Bunga menyalami suamiku. Ia mencium kedua pipinya, dan aku sama
sekali tidak cemburu. Tanpa diperintah siapa pun, aku mendekat ke arah Esham,
kembali memeluknya lama. Air mataku terus mengalir membasahi pipiku juga pundak
suamiku.
“Terima
kasih sayang, sudah memberikan hadiah indah ini,” bisikku pelan.
Untuk
istri sebaik kamu, secantik kamu, sepintar kamu, sesaleha kamu, tak ada yang
merugi, katanya, aku bangga dan cinta padamu.
“Kamu
sangat cantik dandan ala pramugari, so sweet...,” katanya pelan. Mengingatkanku
terusss ......, suamiku menambahkan lagi.
Terima
kasih ya Allah atas karunia besar-Mu ini, ucapku lagi.
Refa
meminta kami turun panggung dan duduk. Aku sekeluarga, Ashraf, Mitha, kemudian
turun menuju tempat duduk. Sudah tersedia tempat duduk untuk kami semua,
bersamaan. Jadilah, aku duduk bersama suami dan anak-anak, juga bersama Ashraf
dan Noah anaknya, tak lupa si penulis novel Mitha Juniar. Lampu di atas
panggung menyala terang. Terlihat si cantik Bunga Citra Lestari bersiap
membawakan lagu hits-nya: Karena Ku Cinta Kau.
Terdengar
denting piano dari ujung kanan sebagai intro lagu BCL.
Sepanjang
BCL bernyanyi air mataku tak putus mengalir. Aku sangat meresapi lirik yang
dinyanyikannya, aku benar-benar larut dalam suasana haru-biru. Kugenggam erat
tangan suamiku, yang tersenyum ke arahku. Sesekali ia menyeka air mataku yang
jatuh di pipi.
Anak-anak anteng, diam menyaksikan BCL bernyanyi.
Mereka mungkin belum tahu apa makna semua, namun ketiga jagoanku itu adalah
pelita hidupku. Penguat dan penyemangatku karena suamiku setiap hari bekerja
keras hingga larut, hingga sering kehilangan waktu bersama kami. Hari ini,
semuanya pupus, semua terbayarkan karena rasa cinta yang dalam dari seorang
Esham Dima Mohammad, suamiku, ayah ketiga jagoanku.
Selesai
BCL bernyanyi, ia memanggil pemain piano yang barusan mengiringinya. BCL memperkenalkannya
sebagai musisi kawakan dari Jogja. Inilah sahabat saya, Rastika, teriak
Bunga. Sosok yang dipanggil BCL bangkit
dari duduknya dan berjalan ke tengah panggung. Aku terkejut dan sekejap
ternganga begitu melihat wajahnya.
“Bayuu
....,” mulutku tak sadar mengucapkan namanya. Suamiku tersenyum melihat aku
terkejut.
Bayu
bicara, mengucapkan selamat kepada kami kemudian menuruni panggung menuju
tempat kami duduk. Ia tersenyum padaku dan mengulurkan tangannya. Kaget, ya...,
ujarnya lirih. Aku masih tak percaya, teman facebook-ku dari Solo hadir di
hadapanku. Bermain piano mengiringi Bunga Citra Lestari. Ahh, apalagi yang
dilakukan suamiku, aku menggumam, mataku lantas menengok ke arahnya. Ia hanya
tersenyum. Bunga turun dari panggung dan bergabung dengan kami. Home band Cafe
Annalakshmi gantian memainkan beberapa lagu-lagu.
Di
sela-sela penampilan home band, pada big screen ditayangkan kilas balik kisah
cinta kami. Semua tersaji rapi, manis, mengalir, sejak aku masih menjadi
pramugari, berkenalan dengan Esham, hingga foto pernikahan kami. Tak lupa juga
kelahiran putra pertama sampai yang terakhir, tersaji manis dan so sweet
.....Juga ada beberapa aktivitas suamiku dan kegiatan bersama kami di luar
rumah. Ada pula perjalanan liburan kami. Aku benar-benar dimanjakan oleh sebuah
perasaan cinta yang mendalam, dari laki-laki terbaikku sesudah ayahku. Dialah
Esham Dima.
“Semua
tayangan ini dibuat oleh sahabatku, Sandy. Ingat sama Sandy, kan?” ucap suamiku
selesai berjabat tangan dengan Bayu. Mendengar nama Sandy, aku teringat kisah
10 tahun yang lalu. Kala suamiku datang ke rumah pertama kali ditemani
seseorang.
“Sandy
itu adikku, Wik!” timpal Bayu yang duduk di sebelahku.
Masya
Allah ..... hanya itu yang bisa terucap dari mulutku.
Terima
kasih, ya Allah....
Makasih Mbak Dewi Wati yang ceritanya boleh dibagikan di sini.
BalasHapus