DI UJUNG LELAH PENCARIAN, KUSEMATKAN NAMAMU DI HATI

Lembayung senja menari-nari di suatu sore. Sinar lembut mentari masih lembut menerpa siapa pun yang sore itu berpayung awan sore. Tak terkecuali Uli yang duduk bersimpuh di pusara suaminya.
           
Makam Cipondoh memang tertata rapi. Pepohonan yang rimbun menaungi banyak pusara yang ada di situ. Antarmakam berjarak sesuai aturan sehingga memudahkan siapa pun untuk melangkah menyusuri tanahnya. Tak ada kesan menakutkan apalagi menyeramkan layaknya makam-makam dalam film horror. Suasana sore yang penuh lembayung menebarkan suasana yang hikmat menyejukkan.
            Uli duduk memandangi pusara suaminya yang sudah meninggalkan dia dan anak-anaknya 5 tahun silam. Perlahan diusapnya dengan lembut nisan yang bertoreh nama Budi Artha Putu Djalatrha. Sesekali Uli menarik nafas, menghembuskannya pelan-pelan. Sesungguhnya, hatinya berkecamuk hebat begitu dia sudah berada di pusara suaminya sore itu. Ada sisa hatinya yang menyuruh terus segera bertindak, namun sisi lain hatinya mengompori untuk tidak melakukan. Ketegangan yang terjadi sore itu, ditampakkannya dari tarikan nafasnya yang terjadi berulang. Panjang, pendek, dan mendesah lirih.
            Pada saat tangannya masih mengusap nisan suaminya, dering ponsel berbunyi, mengejutkan khusyuknya mengusap-usap nisan. Mama masih di kantor? Bunyi pesan yang dibaca Uli. Aluna, putri sulungnya menanyakan keberadaannya sore itu. Sekali lagi Uli menarik nafas panjang. Hari-hari biasa, jam 5 sore, biasanya Uli sudah tiba di rumah. Rumah dan kantor yang berjarak 3 km, tidak terdampak macet lalulintas, menyebabkan ia selalu bisa sampai rumah lebih cepat dibandingkan teman-temannya sekantor.
            Iya Kak, mama masih ada urusan sebentar di luar kantor. Sebelum magrib, mama usahakan sudah sampai di rumah. Tolong adekmu diurusi keperluannya dan ditemani belajar sampai mama pulang, ya… Sayang selalu untuk kalian, tulis Uli menjawab pertanyaan Aluna mengenai keberadaannya sore itu. Sengaja Uli tidak mengatakan sedang berada di makam papanya, takut Aluna khawatir. Makam suaminya ini agak jauh dari rumah dan kantornya. Jalan yang dilalui selalu diliputi kemacetan lalulintas setiap harinya. Uli memasukkan kembali ponselnya kembali meneruskan bersimpuh di pusara suaminya.
            Matanya mulai terpejam, mulutnya bergerak seperti berkomat-kamit. Lirihnya suara doa yang dilantunkan nyaris tak terdengar siapa pun yang berada di dekatnya. Hampir 10 menit Uli berdoa. Ia kemudian mengeluarkan buku doa kecil dari tas tangannya dan melatunkan Surat Yaasiin. Kali ini suaranya terdengar saat melatunkan  ayat-ayat Allah itu. Meski lirih tapi suara Uli kini terdengar apabila kita berada didekatnya. Saking menikmati membaca Surat Yaasiin, Uli tidak menyadari ada seseorang pria yang datang hendak nyekar di makam sebelahnya. Pria itu lantas bersimpuh di pusara seperti Uli sembari menyimak lantunan Yaasiin yang keluar dari mulut Uli. Saat ia datang, Uli sedang membaca ayat pertama Surat Yaasiin, yaa siin, wal qur’aanil hakim….
            Sesekali pria itu memejamkan matanya sembari mengusap nisan yang ada di depannya. Lantunan yaasiin yang dibawakan Uli sangat melagu, pelan dan syahdu. Suara Uli memang terdengar merdu saat membacakan Surat Yaasiin itu. Hingga Uli mengakhiri pembacaan yaasiin, ia tetap tidak mengetahui ada orang lain yang berada di dekatnya. Orang lain yang tak ada hubungan kerabat dengannya. Hanya orang lain yang kebetulan nyekar dekat dengan makam almarhum suaminya.
            Uli memasukkan buku yaasiin ke dalam tas tangannya. Kembali ia menghadapi pusara suaminya. Termenung, memejamkan mata sesekali, menghela nafas, kemudian menaburkan lagi bunga-bunga yang dibawanya. Bunga-bungaan yang ada di keranjang hampir habis. Kali ini, Uli hanya duduk diam di depan pusara, memandanginya lama. Dalam duduknya berkelebatan kenangan-kenangan bersama Budi suaminya. Dari yang indah, suka hingga sedih bercampur-baur menjadi satu. Dadanya tiba-tiba terasa sesak, karena ada yang ingin disampaikan langsung kepada suaminya.        Meskipun begitu, bagi Uli, kenangan bersama suaminya selalu indah dan menyenangkan. Budi adalah sosok yang benar-benar mengayomi dia dan anak-anaknya. Suami yang bertanggung jawab dan selalu sigap mengurus keluarga kecilnya. Kenangan itulah yang terus mondar-mandir dalam benaknya ketika bersimpuh. Selama 20 tahun usia pernikahannya, Uli tidak pernah menerima perlakukan tak enak dari suaminya. Kalau pun ada yang tidak mengenakkan atau tidak pas, selalu keduanya dapat menyelesaikan dalam suasana yang damai, dan selalu suaminya yang berperan besar mengakhiri. Oleh karena begitu banyak kenangan manis bersama almarhum, dada Uli terasa sesak saat mau mengucapkan sesuatu di pusara suaminya.
            Desahan panjang Uli terdengar pria yang berada di belakangnya. Ia yang sedari tadi berada di situ terus mengawasi tindakan Uli hingga tahu persis apa yang sedang diomongkan. Pria berkemeja lengan panjang warna krem, bercelana biru tua itu, tiba-tiba mengernyitkan dahinya begitu secara tidak sengaja melihat wajah Uli.
            “Papa, mama datang sore ini sepulang kerja. Mama sengaja menemui papa tanpa anak-anak karena ada yang ingin mama sampaikan ke papa,” suara Uli terdengar oleh pria di belakangnya. Si pria mendengar seksama ucapan-ucapan Uli setelah ia menuntaskan ziarah kuburnya, setelah ia selesai mendoa di pusara neneknya yang sebulan lalu meninggal dan ia tidak sempat menghadiri pemakanannya.
            “Sebetulnya berat hati mama ingin mengatakan ini kepada papa, tapi meskipun sesak di dada mama terasa banget, mama harus sampaikan juga. Papa jangan marah, ya….” Kembali suara Uli terdengar, seperti ia sedang berhadapan dengan seseorang yang masih hidup. Pria di belakangnya, masih dengan sabar mendengarkan tuturan-tuturan yang dikemukakan Uli.
            “Papa mesti sudah tahu banget kalau kita sudah terpisah lama. Minggu depan, tepat 5 tahun papa ninggalin mama dan anak-anak. InsyaAllah, minggu depan mama dan anak-anak akan kirim doa. Mengundang tetangga untuk ikut mendoakan papa. Ohya, sekarang setiap mendoakan yang sudah nggak ada, bisa kita lakukan di masjid. Papa pasti belum tahu, masjid di perumahan kita sudah jadi. Takmir juga sudah ada, dan mereka selalu bilang bahwa masjid ini bisa berdiri karena andil papa juga. Papa yang bersusah payah mencarikan donatur yang mau menyumbang, juga papa yang sudah menggambarkan design masjid warga. Mama dan anak-anak bangga melihat masjid kita sudah selesai dibangun. Kebanggaannya bertambah karena bentuk masjid seperti itu merupakan karya papa. Akan abadi terus di perumahan kita, InsyaAllah.” Pria di belakang Uli menghela nafas panjang namun nyaris tak terdengar oleh Uli. Ia hanya sedikit geli melihat kelakuan perempuan yang ada di dekatnya ini. Seolah-olah, jasad suaminya yang sudah terpendam adalah tetap makhluk hidup bernafas yang masih bisa diajak bicara dan rembugan. Senyum tipis menyembul dibibir pria itu.
            Sesaat kemudian, tak terdengar suara apapun. Sunyi saja di makam itu. Di beberapa makam masih tampak penziarah yang bersimpuh di pusara masing-masing orang yang dicintai. Uli maupun pria yang berada di belakangnya, juga masih setia di makam masing-masing. Keduanya punya alasan berbeda untuk tetap tinggal di situ. Pria itu kembali melihat perempuan di hadapannya menaburkan bunga-bunga yang masih bersisa sedikit. Di antara taburan bunga yang dilakukan, terdengar suara lagi. “Papa, untung sebelum papa meninggal dulu, setelah anak-anak besar, papa mengijinkan mama bekerja lagi. Tampaknya papa sudah tahu bakalan ninggalin kami. Benar begitu, Pa?” Uli kemudian diam, seakan menunggu jawaban dari seseorang. Pria berkemeja krem hanya tertegun melihat kejadian itu. Pikirnya, begitu sayangnya istri dari yang meninggal ini.
            “Papa dengar mama, kan?” Pria di belakang Uli lagi-lagi hanya tersenyum mendengarnya. Ingin rasanya ia berdiri dan menegur perempuan yang ada di hadapannya. Namun keinginannya masih ditahan, ingin menunggu apakah gerangan yang akan diomongkan lagi oleh perempuan itu.
            Kali ini yang didengar pria itu jawaban perempuan itu sendiri. “Mama yakin, pasti papa dengar semua yang mama sampaikan.” Kemudian helaan nafas terdengar kembali. Tiba-tiba Uli berdiri seolah hendak menyudahi ziarah dan obrolan dengan suaminya. Pria berkemeja krem ikut-ikutan berdiri, takut Uli pergi sebelum ia mengajaknya ngobrol. Ternyata Uli hanya menjejak-jejakkan kakinya ke tanah. Tampaknya ada semut yang menggerayangi kakinya saat duduk bersimpuh tadi. Setelah merasa semut-semut sudah enyah, Uli kembali duduk. Pria di belakang Uli ikut-ikutan duduk juga. Ingin mendengarkan terusan obrolan seorang istri kepada suaminya yang sudah meninggal.
            “Hmm, gimana ya, Pa? Papa nggak akan marah sama mama kalau mama cerita hal ini?” Suasana kembali diam, sepi. Uli terlihat oleh pria di belakangnya kembali mengusap batu nisan suaminya.
            “Gini lo, Pa….Waktu mama antarkan Bhirama les renang, motor mama sempat mogok di parkiran kolam renang. Sudah hampir maghrib motornya belum hidup juga. Tiba-tiba ada seorang bapak, mungkin seumuran papa, yang membantu mama. Anaknya kebetulan juga les renang bareng Rama. Sebelumnya kami tidak saling mengenal. Selama ini yang sering antar-jemput kakaknya Caca. Ohya Pa, teman Rama berenang ini namanya Caca. Kakaknya Caca, namanya Riani. Dan Riani ini seumuran dengan Aluna, juga sudah kuliah semester dua.” Suara Uli berhenti. Pria yang berada di belakang Uli ikut-ikutan diam menunggu bagaimana kisah perempuan di hadapannya itu.
            “Mama sudah mengenal Riani sejak setahun yang lalu, karena sama-sama sering menunggu di kolam renang. Baru beberapa bulan ini papanya Riani dan Caca yang antar-jemput Caca les renang. Kalau nggak salah, baru 3 bulan yang lalu. Ternyata Pa, selama ini Papanya Riani sedang mengurusi perceraian dengan istrinya yang berlarut-larut. Terkatung-katung begitulah, Pa!” Pria di belakang Uli tertegun mendengarkan obrolan Uli di depan pusara suaminya.
            “Sekarang ini, kami jadi akrab, Pa. Kan seminggu dua kali mama selalu antarkan Rama berenang, sabtu dan minggu. Hari yang memang pas mama tidak masuk kantor. Papanya Riani dan Caca, sama baiknya kayak papa. Kelihatan dari cara bicara dan menghargai wanita yang diajak bicara dengannya. Sopanlah pokoknya, Pa!” Pria di belakang Uli melihat Uli bicara sambil tersenyum-senyum. Ia masih menunggu apa yang mau diungkapkan Uli kemudian.
            “Entah kenapa, hari minggu kemarin, selesai anak-anak berenang, Papanya Caca mengajak mama dan Rama ke restoran dekat kolam renang. Mama sih nggak mikir macam-macam, Pa…. Diajak sama kenalan yang meskipun baru kenal, toh orangnya  juga sopan dan baik, mama hayu saja. Kami berempat ke restoran itu. Kebetulan banget di restoran itu ada tempat bermain anak. Jadinya, Caca dan Rama selain makan juga sempat bermain-main di situ. Nah saat anak-anak pada main, Papanya Rama tiba-tiba memberi mama kotak kecil. Pertamanya mama menolak, tapi dia memaksa supaya mama mau menerimanya. Akhirnya mama ambil. Terus dia menyuruh mama membuka kotak itu. Ternyata isi dalam kotak itu kalung bebentuk hati, Pa….” Uli terlihat mengusap nisan suaminya. Nafasnya terdengar dihelakan perlahan-lahan. Tampaknya ada beban berat yang harus ditanggung selama menyampaikan berita ini.
            “Maksudnya apa, ya? Mama tanya ke Papanya Caca. Papanya Caca cuma senyum-senyum. Pas dia mau omong, keburu anak-anak datang dan ngumpul di meja bareng kami. Dia cuma suruh simpan pemberiannya itu. Mama sebetulnya nggak mau, Pa, tapi dia terus memaksa…. Sekarang kalung pemberian Papanya Caca ada sama mama, Pa….” Wajah Uli tertunduk saat menceritakan pemberian Papanya Caca. Pria di belakang Uli kembali terdiam dan agak geli saja. Pusara orang sudah meninggal kenapa diajak bicara?
             Kali ini, pria di belakang Uli bertekad hendak menyapa Uli, tidak peduli dia sudah selesai melapor kepada suaminya atau belum. Dan rasa-rasanya, pria itu mengenal Uli. Untuk itulah, sebagai pembuktian dia harus menyapa perempuan yang ada di hadapannya itu.
            “Assalamu’alaikum...” sapa santun pria itu. Mendapat salam dari seseorang yang tidak disadarinya sejak tadi, memaksa Uli menoleh ke belakang, mulutnya langsung menjawab, “Walaikumsalam….” Wajah Uli setengah terkejut, tidak menyangka ada orang di belakangnya. Dengan agak malu-malu Uli menatap pria di hadapannya.
            “Iya, ada apa, ya?” tanya Uli langsung. Pria yang kini berhadapan dengan Uli menganggukkan kepala sambil menyunggingkan senyuman.
            “Benar ini Maulitta Putu Artha?”  Masih dengan nada pelan dan sopan ucapannya. Uli terkejut pria dihadapannya mengerti namanya, lengkap bahkan.
            “Iya saya Uli. Eh maksudnya, saya Maulitta,” jawab Uli gugup. “Apakah kita saling mengenal sebelumnya?” Uli balik bertanya. Ditanya begitu, pria di hadapan Uli mengangguk pelan.
            “Pendi…” Pria itu menyebutkan namanya, mengulurkan tangannya sekaligus melepas topi merah bertuliskan Air Asia dari kepalanya. Uli mengernyitkan dahinya memandang pria di depannya. Benaknya masih memompa ingatan siapa Pendi ini. Sejurus kemudian pecahlah senyum Uli yang sedari tadi tertahan dibibirnya.
            “Aa Pendi Aryandi, ya?” Sebut Uli setengah berteriak. Pria yang sedari tadi ada di belakang Uli tersenyum lagi dan menganggukkan kepalanya.
            “Ya ampunnn, Aa.., kok bisa kita ketemu di sini?” Suara Uli terdengar girang. Dia tidak menyangka bakalan bertemu teman dumay-nya.
            “Benar-benar Uli surprise banget bisa ketemu Aa. Padahal kita mau janjian kopi darat ajah nggak jadi-jadi, ya Aa?” Suara Uli terdengar agak manja. Dirinya masih tidak percaya bakalan bertemu Pendi Aryandi, teman yang dikenalnya melalui facebook setahun yang lalu.
            “Sudah selesai belum curhatnya?” Tiba-tiba Pendi mengingatkan Uli yang masih terlihat girang. Diingatkan begitu wajah Uli tersipu-sipu.
            “Aa dengerin aku dari tadi, ya? Hayo ngakuuu….” Uli menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Pendi lagi-lagi hanya bisa tersenyum melihat polah teman FB-nya ini yang ternyata agak manja. Bagaimana bisa, perempuan di hadapannya ini adalah ibu dari 2 anak remaja tapi pada momen seperti barusan bisa bertingkah layaknya seorang gadis ABG yang manja. Hmmm….
            “Dengarnya cuma dikit kok,” ujar Pendi sembari menyuruh Uli membuka tabir malunya. “Sudah dibuka tangannya nggak ada siapa-siapa. Cuma aku aja.” Uli akhirnya membuka tangan yang mengatup di wajahnya.
            “Sudah selesai belum ziarahnya? Sudah hampir maghrib nih,” tanya Pendi yang melihat Uli tiba-tiba mematung. Tanpa berkata apapun Uli kembali menatap makam suaminya. Kali ini tak ada suara yang terdengar. Pendi menyaksikan Uli mengusap lembut nisan suaminya dan menaburkan sisa-sisa bunga dalam keranjang yang dibawanya.
            Uli yang sudah selesai dengan ritualnya lantas berdiri  mengajak Pendi pergi dari situ. “Sepertinya makam yang Aa datangi makam baru, ya? Makam siapa?” tanya Uli ketika mereka berjalan menuju parkiran.
            “Makam nenek. Bulan kemarin nenek meninggal, aku nggak bisa hadir saat beliau dimakamkan di sini. Kebetulan saat nenek dimakamkan aku sedang dinas ke Pontianak. Ini pas sedang ada acara di sini, aku sempatkan ziarah. Kok tidak disangka-sangka bertemu denganmu. Miracle benar….” Uli mengangguk setuju mendengar penjelasan Pendi.
            “Aku juga merasa pertemuan ini ajaib banget, Aa! Kita selama ini hanya saling menyapa di dumay, kali ini bisa bertemu tanpa sebuah rencana sedikit pun.” Sambil terus melangkah di samping Pendi, diam-diam ia memperhatikan pria di sampingnya. Uli merasa seperti sudah mengenal lama Pendi. Ia merasa nyaman, tenang, saat berjalan bersama Pendi. Dia memang orang baik, bisik Uli dalam hati, yang pasti tak terdengar oleh Pendi. Tutur kata dan bahasa tulisannya tak jauh berbeda, bisik Uli sekali lagi. Uli sedikit menghela nafas.
            “Kenapa? Lelah ya hari ini?” tanya Pendi yang tak sengaja mendengar helaan nafas Uli. Supaya tidak ketahuan barusan mengamati Pendi, Uli menggelengkan kepalanya. “Biasalah, Aa…. Namanya juga orang kerja,” jawab Uli berusaha menutupi bisikan hatinya. Tapi entah mengapa sore itu Uli merasa senang bertemu Pendi Aryandi.
            “Maulitta pulang naik apa?” tanya Pendi ketika hampir mendekati parkiran. Telunjuk Uli menunjuk ke arah parkiran motor yang sore itu masih terlihat banyak motor di situ. “Wah, masa kita harus cepat banget berpisahnya?” Suara Pendi terdengar agak mengeluh kecil. Uli menatap Pendi seraya menganggukkan kepalanya pelan.  Di saat keduanya masih membahas pertemuan singkat itu, terdengar lagu All Out of Love milik Air Supply. Uli langsung tanggap kalau itu dering ponselnya yang berbunyi. Dan pasti yang menelpon Aluna. Ia sengaja memasang lagu itu untuk menandakan panggilan masuk dari anak pertamanya. Pendi terus memperhatikan Uli yang sedang menerima telepon. Ia tidak tahu Uli menerima telepon dari siapa. Akan tetapi ketika Uli menyebutkan kata ‘mama’, Pendi langsung mengerti.
            “Anaknya yang telepon, ya?” Tebak Pendi begitu Uli menyimpan ponselnya ke dalam tas tangannya. Kepala Uli mengangguk perlahan. “Aku nggak biasa pulang sampai menjelang maghrib, Aa?” ucap Uli, “Jadinya Aluna, sulungku, dari tadi tanya-tanya terus.” Gantian Pendi yang mengangguk-angguk sambil berkata, “Aluna anak gadismu yang cantik itu, kan?” Uli mengangguk sambil menyahut, “Ah, biasa saja si Una itu, Aa!”
            “Aku nggak bilang ke Aluna kalau mendatangi makam papanya. Kalau tahu aku ke sini, pasti dia minta diajak juga.”
            “Sengaja nggak diajak, nanti ketahuan kalau sedang curhat sama papanya, hehehehe….” Pendi meledek Uli. Sekejap saja pipi Uli merona dan senyumnya tampak tersipu-sipu. “Ah..., Aa Pendi nih, senangnya goda-godain terus. Aa, pasti dengar ya apa yang Uli omongkan di makam tadi?” Uli bertanya hati-hati. Pendi sengaja mengernyitkan dahinya supaya Uli semakin penasaran. Dan sambil mencari motornya, wajah Uli tampak bagai orang penasaran.
            “Bu, motornya sudah saya letakkan di situ,” ucap juru parkir makam begitu tahu Uli mencari-cari motornya. Oleh karena sering berkunjung ke makam, juru parkir makam sampai hapal Uli juga motornya. “Oh ya, makasih ya, Pak,” sahut Uli cepat seraya memberikan uang lima ribuan ke juru parkir. “Kembaliannya ambil saja.” Bibir Uli tersenyum mendengat ucapan terima kasih si juru parkir. Pendi terus memperhatikan Uli yang sedang mengambil motornya dan berbincang santai dengan juru parkir makam.
            Sayup-sayup terdengar azan maghrib berkumandang dari masjid yang ada di seberang makam. Langit sore masih terang, menampakkan lembayung sore yang masih menggantung. “Aku mau maghrib di masjid seberang situ. Aa mau ikut sekalian atau mau langsung pulang?” Pendi mengangguk setuju ikut ke masjid. Uli menghidupkan mesin motornya seraya mengajak Pendi membonceng sampai masjid. “Nggak apa-apa nih aku bonceng Mauli? Ntar ada yang marah?” Goda Pendi sekali lagi. Uli hanya tersenyum sambil berkata, “Nggak ada yang akan marah kok! Tenang saja, Aa….”
                                                                    ***                                                      
            Uli duduk sambil mengenakan kaos kakinya. Di sebelahnya Pendi duduk melakukan hal yang sama. Mereka berdua terlihat asyik dengan kaki dan sepatu masing-masing. Hingga akhirnya Uli menanyai Pendi, “Aa rencana setelah ini gimana? Mau langsung ke tempat acara, pulang atau bagaimana? Masih belum puas nih ketemuannya!”
            “Acaraku sudah selesai jam 3 tadi, Mauli…. Sekarang aku bebas mau kemana saja,” Pendi menjelaskan rencananya. “Besok aku kembali ke Tasik,” lanjut Pendi. Bibir Uli tersenyum mendengar penuturan Pendi barusan.
             “Kalau ke rumahmu, jauh nggak?” Pendi mencoba menanyakan rumah Uli.
            “Jauh, Aa! Sekitar 10 km dari sini. Jalanan juga macet menuju sana. Tapi kalau naik motor bisa belok sana belok sini, cari posisi jalan yang longgar.” Terdengar tawa renyah Uli saat menceritakan arah rumahnya. “Kalau naik mobil hanya menghabiskan waktu di jalanan.” Mata Pendi mendelik mendengarkan penjelasan Uli.
            “Ya sudah kalau terlalu lama naik mobil, aku bonceng motor Uli saja,” tiba-tiba Pendi mengatakan begitu. “Kalau naik taksi, nanti lama sampai ke rumahmu, kan?”
            “Beneran mau bareng aku?” Uli nyaris tidak percaya Pendi mau berboncengan dengannya. “Asal tidak ada yang marah saja!” tukas Pendi tersenyum.
            “Tuh, nggodain lagi, kan?” Uli sedikit merajuk. Pendi hanya tertawa kemudian.
            “Aa, tapi aku nggak bawa helm cadangan!” Pendi menepuk jidatnya, menyadari bahwa naik motor harus berhelm. Namun dengan cepat ia tersenyum sembari mengatakan sesuatu kepada Uli.
            “Lihat itu!” Pendi menunjuk ke arah makam. Tepatnya di samping pintu keluar makam. Uli memperhatikan arah yang dimaksud Pendi. Ia masih tidak mengerti maksud Pendi menunjuk arah yang ditunjukkan. Baru setelah Pendi mengatakan ada toko yang menjual helm, Uli paham maksudnya.
            “Kita beli helm di situ,” ajak Pendi. Tanpa banyak komentar, Uli mengangguk dan mereka berdua menuju toko helm di samping pintu keluar makam. Pada saat Pendi sedang memilih helm, Uli sempat berpikir ulang kenapa ia langsung menerima ajakan Pendi untuk pergi bersama-sama naik motornya? Tapi belum sempat berpikir tambahan, ada sisi hatinya yang mengatakan, “Tenang Uli, pria yang akan pergi ke rumahmu adalah orang baik. Bisa dipercaya meskipun kalian baru saling bertemu.” Hanya ucapan Bismillah yang akhirnya keluar dari mulut Uli. Sesudah itu, Uli melihat Pendi sudah memilih helm pilihannya dan bersiap membayar helm itu.
            “Ayo kita berangkat, Mauli, keburu malam lho…!” Ajak Pendi. Tampaknya Pendi bersiap membonceng Uli.
            “Nih kunci motornya! Silakan,” ucap Uli. Pendi terkejut saat Uli menyerahkan kunci motornya. “Aku yang bawa motormu??” Uli mengangguk.
            Sepanjang perjalanan menuju rumah, keduanya tidak sempat berbincang karena lalulintas di jalanan padat dan ramai. Uli hanya bicara saat memberitahukan arah mana yang harus dilewati Pendi. Selebihnya sunyi dihati keduanya, meskipun bising di jalan raya. Mendekati rumah, Uli minta Pendi berhenti di penjual martabak. Ia ingin membeli camilan untuk menjamu tamu dumay-nya itu. Penjual martabak ini langganan keluarga Uli sejak dulu. Suami Uli yang sudah meninggal sangat menggemari martabak manis buatan penjual ini.
            Ada beberapa pembeli di lapak penjual martabak itu. Mereka masih harus menunggu 3 pembeli lagi. Di situ Pendi memberi tahu Uli supaya tidak usah berbicara dengan makam. Bahkan isi makam itu juga sudah berada dimana, kita juga tidak tahu, jelas Pendi pada Uli. “Tugas kita hanya mengirimkan doa untuk yang sudah meninggal, Mauli…. Maaf ya, aku harus meluruskan hal ini padamu. Karena sejak aku berada di belakangmu tadi, Mauli kesannya sedang berbicara kepada suami. Padahal, jelas-jelas suami Mauli sudah tidak ada. Yang tergeletak dalam makam adalah jasad mati, yang memang harus kembali ke asalnya. Kemana perginya si roh, arwah, dari suamimu, biarkan Tuhan yang bekerja dan mengaturnya. Makanya, Allah meminta kita supaya mendoakan orang-orang yang sudah meninggal supaya perjalanan roh kembali pada Allah tidak menyasar kemana-mana. Gituuu….” Secara seksama Uli mendengarkan penjelasan Pendi tanpa ia bereaksi menolak.
            Dua kotak martabak sudah dalam genggaman Uli. Ia pun lantas mengajak Pendi melanjutkan perjalanan menuju rumahnya. “Sebelum rumah di pojok jalan itu, sebelahnya persis, itulah rumahku,” Uli menunjukkan lokasi tepat rumahnya. Penjual martabak dengan rumah Uli berada dalam satu jalanan.
            Begitu motor masuk pekarangan rumah, pagarnya sudah terbuka, yang memang sudah dibukakan oleh Aluna. Tak lama kemudian Aluna dan Bhirama keluar menyambut mamanya datang. Yang tampak terkejut jelas Aluna. Ia  tidak menyangka mamanya pulang bersama pria yang belum dikenalnya sama sekali.
            “Malam sayang, mama pulang! Kenalin, ini teman mama, namanya Om Pendi. Asalnya dari Tasikmalaya. Ke sini karena ada tugas kantornya sekaligus menengok makam neneknya yang sebulan lalu meninggal.” Hampir saja Uli menceritakan keberadaannya di makam suaminya. Dengan malu-malu, Aluna menerima uluran tangan Pendi yang belum sempat mencopot helmnya.
            “Makam Nenek Om Pendi ternyata satu kompleks dengan makam papa di Cipondoh.” Dengan santai Uli menceritakan kegiatan Pendi selama seharian ini kepada Aluna yang tidak menyangka mamanya pulang bersama seorang pria yang belum dikenalnya.
            Memang sejak papanya meninggal 5 tahun silam, Aluna memberi kesempatan mamanya untuk membuka diri. Bukan berarti ia dan mamanya lantas melupakan kenangan indah bersama papanya almarhum. Tapi Aluna harus realistis. Kelak, sekian tahun ke depan ia harus pergi meninggalkan mama dan adiknya karena ia akan punya kehidupan sendiri dengan calon suaminya. Itu yang melatari kenapa ia mengijinkan mamanya membuka diri kepada pria yang dirasa bakalan cocok. Apalagi mamanya juga belum terlalu tua. Masih kepala 3 mendekati 4serta masih mungkin menggapai asanya sendiri. Dan sejauh ini, mamanya selalu cerita apapun tentang pria-pria yang mendekatinya. Tanpa sengaja, Aluna memandang mamanya yang berada di sebelah tamu prianya. Mamanya masih tampak muda, cantik juga. Badannya langsing terjaga karena mamanya rajin berolah raga. Selain senam rutin dan yoga, seminggu sekali mamanya juga berenang. Aluna selalu diajak berenang setiap hari minggu.  Apalagi setiap sabtu dan minggu Rama juga ikut les berenang.
            Aluna terkejut saat Pendi memuji dirinya, “Anak Mama Maulitta ternyata memang cantik, persis kayak foto-fotonya.” Ia yang sedari tadi masih memandangi mamanya bersama pria di sampingnya, agak tersipu. Dipuji begitu Aluna tersenyum kecil sambil terus mengingat siapa pria yang datang bersama mamanya.
            “Ah, tak kusangka kedua anak-anakmu cantik dan cakep, Mauli?” Ucap Pendi lagi. Mendengar pujian untuk kedua anaknya, Uli hanya tersenyum. Aluna senyumnya masih tertahan karena dikepalanya terus berkecamuk siapa kiranya pria di depannya.
            “Luna tidak mengenali, Om, ya?” Tiba-tiba Pendi menegur Aluna. Mendengar kata Luna disebutkan, otak Aluna langsung merespon cepat. Senyumnya yang semula sempat tertahan kini tiba-tiba mengembang lebar. Ia mengenali siapa pria yang bersama mamanya kini.
            “Maafkan Luna, Om, nggak mengenali sejak tadi,” suara Aluna pelan terdengar. Namun senyumnya masih mengembang melihat Pendi. “Habis Om gantengan di foto daripada aslinya,” giliran Aluna meledek Pendi. Pecahlah tawa di situ, hahahahaha…..
            “Tuh, apa kubilang Aa….” timpal Uli. “Aa memang hanya ganteng di foto, aslinya biasa-biasa saja,” kembali terdengar Uli tertawa. Keempatnya kemudian langsung menuju ruang tengah di rumah Uli. Ruang tengah merupakan ruang keluarga, ruang bersantai yang menyatu dengan ruang makan.
            “Silakan duduk dulu, Aa..., aku mau bebersih sebentar dan ganti baju dulu,” Uli mempersilakan Pendi duduk. Aluna menemani Pendi duduk di sofa yang biasa dipakainya untuk bersantai.
            “Om, kalau mau ke toilet untuk bersih-bersih, sebelah sana tempatnya?” Aluna menunjukkan toilet yang tepat ada di bawah tangga menuju lantai atas. Pendi memang merasa gerah, muka juga terasa menebal dilapisi debu jalanan dan asap knalpot. Ia kemudian bergegas menuju toilet yang ditunjukkan Aluna.
            Selama Pendi dan mamanya bebersih, Aluna tetap duduk di sofa menyaksikan acara tivi. Bhirama asyik memainkan ponselnya, duduk di sebelahnya.  
            “Ihhh, nggak sangka kita bisa ketemu, ya Om?” ucap Aluna membuka pembicaraan begitu Pendi kembali dari toilet. Pendi tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Bhirama yang sedari tadi juga di situ setelah ikut berbincang sebentar segera masuk ke dalam kamarnya. Ada PR yang harus dikerjakan.
            “Gimana ceritanya sampai bisa ketemu mama, Om? tanya Aluna. “Om dan mama janjian?” Lagi-lagi Pendi tersenyum. Ketika ia hendak menjawab pertanyaan Aluna, Uli mendekati mereka. Dari belakang punggung Aluna, Uli mengode Pendi untuk tidak menceritakan pertemuan mereka tadi. Pendi paham lantas mengalihkan pembicaraan. Dan disaat yang bersamaan, Uli meminta Aluna membuatkan minuman sekaligus membuka martabak yang tadi dibelinya. “Tolong martabaknya ditaruh piring ya, sayang.” Aluna pun menurut dan berlalu dari situ meninggalkan Pendi dan mamanya.
            Tak berapa lama, martabak berikut minuman hangat sudah tersaji, disiapkan Aluna yang kemudian pamit masuk ke kamarnya. Kamar Aluna hanya terhalang meja makan. Sehingga kalau ia mau, ia bisa membuka pintu kamarnya dan bisa melihat apa yang dikerjakan 2 orang dewasa di sofa keluarga mereka. Namun hal itu tidak dilakukan Aluna. Ia membiarkan mamanya bertemu dengan teman dumay-nya. Di kamarnya, Aluna tersenyum lagi masih tidak menyangka mamanya bertemu teman dumay-nya dan sekarang asyik mengobrol di ruang keluarga.
            Aluna menyalakan laptopnya kemudian membuka akun facebook-nya. Ia kemudian mengklik nama Pendi Bukan Fendi di daftar pertemanannya. Loading internetnya yang cepat langsung membukakan akun ‘Pendi Bukan Fendi’ yang tak lain dan tak bukan adalah Pendi yang sekarang bertamu ke rumahnya. Di akun Pendi tertera bahwa Pendi bertempat tinggal di Tasikmalaya. “Bisa-bisanya mama berkenalan dengan orang ini,” ucap Aluna lirih. Karena perkenalan mamanya dengan Pendi, entah bagaimana ceritanya, Pendi kemudian menambahkan pertemanan dengan Aluna. Dan Aluna langsung mengkonfirmasi tambahan pertemanan dari Pendi.
            Orangnya memang ngocol. Kejenakaan Pendi memang terlihat dari status-status yang dibuatnya. Dan selalu saja status yang dibuatnya itu direspon oleh banyak teman-temannya, termasuk mamanya juga dirinya sendiri. Sebelum Pendi membuka helm tadi, Aluna tidak mengenali. Baru setelah helm terbuka dan kepala botaknya tampak, serta Pendi menyebutkan namanya Luna, langsung mengingatkan Aluna dengan Pendi Bukan Fendi. Pendi memang agak botak kepala bagian depannya. Rambut di bagian depannya semakin menghilang. Botaknya itu justru membuat wajah Pendi menjadi lucu. Pertemanan Pendi di FB nyaris menyentuh angka 3000. Entah apakah Pendi mengenal satu per satu teman FB-nya itu. Aluna tidak peduli, karena yang penting dia mengenal Pendi orang baik seperti halnya mamanya juga.
            Pada saat Aluna mengerjakan tugas dan sedang mengetik di laptop, tawa mamanya dan Pendi terdengar dari kamarnya. Sesekali ada suara cekikikan dari mamanya, yang kemudian ditimpali suara Pendi. Lama kelamaan, Aluna merasa penasaran apa sih yang sedang dibicarakan keduanya. Perlahan Aluna mendekati pintu kamarnya dan membuka sedikit pintunya. Ada celah yang tidak lebar di pintu, namun ia bisa melihat keduanya yang masih duduk di sofa. Dan suara mereka kini terdengar lebih jelas apalagi jika keduanya tertawa.
            “Kenapa tadi batu kau ajak omong, Mauli?” Sepertinya Pendi ingin mengulang pertanyaan dan memberi penjelasan lagi, seperti tadi yang ia katakan di tempat penjual martabak. Aluna mendengar Pendi bertanya. Kupingnya didekatkan ke pintu ingin mendengar lebih jauh percakapan mamanya dengan Pendi.
            “Malu aku, Aa….! Kenapa aku sampai tidak tahu ada orang di belakangku, ya?” Gantian mamanya bernada tanya. Hmm, mama bicara dengan batu? Dahi Aluna mengerut. Kenapa pula mama ngomong dengan batu, pikir Aluna lagi.
            “Orang kalau sudah nggak ada, yang sudah nggak ada. Janganlah kamu ajak omong seperti itu! Nggak benar kalau kamu sering-sering begitu. Ngobrol dengan batu!”  Aluna mendengar lagi suara Pendi yang menyarankan mamanya untuk tidak mengobrol dengan batu. Lagi-lagi Aluna belum mengerti kelakuan mamanya. Kemudian Aluna mengintip ingin tahu rekasi mamanya diberi tahu seperti itu. Ia melihat dari celah pintu yang dibukanya, mamanya menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Dan terdengar kalimat, aku malu…, aku malu….Sepertinya, mamanya malu benar ketahuan.  Tapi, apa sih yang dikerjakan mamanya, Aluna bertanya sendiri dalam hati.
            “Kalau datang ke makam tugasnya ziarah dan berdoa, jangan curhat gitu, Mauli! Curhat tuh sama Allah saja!” Kemudian terdengar suara kekehan dari mulut Pendi. Barulah Aluna mengerti kalau mamanya tadi sore ke makam. Dan makam itu, pasti makam papanya. Pantas mamanya pulang malam. Berarti mama bertemu Om Pendi, teman dumay-nya, di makam, pikir Aluna. Tapi kenapa bisa bertemu di makam, ya?? Aluna mengira-ira semua kemungkinan. Untuk itulah ia bertekad menguping pembicaraan mereka berdua. Sayup-sayup dari balik pintu kamarnya, Aluna masih mendengar percakapan mamanya dengan tamunya itu. Tertawa lepas juga sesekali terdengar. Baru kali ini mamanya bisa lepas begitu. Hari-harinya disibukkan dengan pekerjaan kantor, tugas ibu rumah tangga, berkegiatan sosial, dan seabrek tugas sebagai single parents.
            Aluna berjalan menuju meja belajarnya, mengambil sobekan kertas bertuliskan nama sebuah buku. Bibirnya tersenyum. Tampaknya ia mendapatkan ide brilyan. Sambil memegangi sobekan kertas ia keluar kamar. Perlahan sekali ia membuka pintu kamarnya supaya tidak terdengar oleh mamanya dan tamu prianya. Tawa dan kadang cekikan masih saja didengar Aluna. Ia tidak habis pikir mengapa mamanya langsung bisa akrab dengan Pendi. Kalau dinalar, mereka tak pernah sekali pun bertemu muka. Hanya berkomunikasi lewat chatting-an maupun saling membalas komentar di facebook. Huuhh, urusan nanti sajalah, pikir Aluna.
            “Om Pendi….” Tiba-tiba suara Aluna menyeruak keceriaan dua orang dewasa itu. Yang semula mamanya tertawa lepas, seketika langsung diam. Keduanya menengok ke belakang. “Ada apa Una?” Uli langsung bertanya.
            “Ihh, mama…. Aku kan manggil Om Pendi. Kenapa mama yang jawab sih?” Aluna pura-pura bersungut-sungut dihadapan mamanya. Uli langsung diam, tak meneruskan kalimatnya. “Iya gadis cantik anaknya Mama Mauli…. Ada yang om bisa bantu?” Sambil menjawab, senyum terlemparkan kepada Aluna.
            Sekelebat dalam benak Aluna sempat berpikir, mengapa ia seperti sudah mengenal dekat pria ini? Mengapa ia pun seperti mamanya yang cepat akrab dengan pria asal Tasikmalaya itu? Mungkin karena memang pria ini baik dan tulus berteman maupun menjalin persahabatan. Entahlah….
            “Gini lho, Om! Katanya, om kerja di kantor distribusi buku. Tentunya tahu dong buku-buku yang beredar atau buku-buku lama?”  Pendi mengangguk-anggukkan kepalanya. Aluna melanjutkan pertanyaannya. “Om pernah tahu buku ini?” Aluna kemudian menyerahkan sobekan kertas yang bertuliskan Unleash Your Other 90% karya Robert K. Cooper. Sesaat Pendi mengingat-ingat sesuatu hingga dahinya terlihat mengerut.  
            “Kalau tidak salah, edisi aslinya terbit tahun 2001 dan edisi terjemahan di Indonesia terbit tahun 2007. Penerbitnya Kaifa dari Bandung. Bener nggak?” Gantian sekarang Pendi bertanya balik kepada Aluna. “Aluna mau yang edisi asli atau terjemahan?”
            “Yang terjemahan aja, Om…. Biar cepat ngertinya,” kemudian terdengar tawa renyah Aluna. Pada saat bersamaan Uli berdiri dari duduknya, berjalan ke arah kamarnya setelah minta izin kepada Pendi. Aluna sekilas melihat wajah mamanya yang agak bête.
            “Oke deh, Om, Una minta tolong kalau bukunya ada, ya.” Pendi tersenyum sambil mengatakan ‘siyap gadis cantik’. Aluna membalas senyuman Pendi, kemudian bergegas kembali ke kamarnya. Mamanya belum keluar dari kamarnya ketika Aluna sudah hampir mendorong pintu kamarnya. Tiba-tiba Aluna berbalik lagi, menengok ke arah Pendi, “Om, sekalian kalau ada novel The Partner tulisan John Grisham, aku juga mau, ya?” Pendi berteriak minta Aluna mengulang permintaannya. Sementara dirinya mengeluarkan ponselnya, hendak mencatat pesanan Aluna tadi. Setelah Pendi berkata oke-oke, Aluna masuk ke kamarnya. Dari sudut matanya, ia melihat mamanya sudah keluar dari kamar. Ditangannya memegang sesuatu, tampaknya.
            Aluna sengaja membiarkan pintu kamarnya tidak tertutup rapat. Menyisakan celah seperti tadi.
            “Una nggak merepotkan, Aa, kan?” tanya Uli begitu duduk lagi di sofa. Pendi hanya menggeleng. “Gampang kok!! Kan banyak relasi yang bisa bantu carikan buku-buku pesanan anak gadismu itu.” Pendi tersenyum lagi. Mata Pendi tiba-tiba tertuju barang yang digenggam Uli. Sebuah kotak kecil…
            Uli lalu bercerita kalau kalung dalam kotak itu diberikan seseorang. Nggak cuma 1 kalung, tapi 3 kalung. Tidak diberikan sekaligus. Satu per satu dalam momen-momen yang berbeda. Kalung berbentuk hati adalah kalung pertama yang diberikan. “Diberikannya sewaktu kalian makan di restoran dekat kolam renang, kan? Sehabis menjemput anak-anak les berenang.” Pendi menyela cerita Uli. Terdengar tawa Uli ketika Pendi menyela ceritanya. “Duhhh, aku malu benar. Semua ceritaku tadi didengar Aa!” Bagai orang berbalas tawa, giliran Pendi yang tertawa mendengar celotehan Uli.
            Mereka berdua tidak sadar kalau dari balik pintu yang bercelah ada yang terus mengawasi. Aluna tampak mengangguk-angguk mendengarkan cerita mamanya. Ia tahu mamanya suka kepada seorang pria, tapi entah siapa orangnya. Aluna tak ingin tahu terlebih dulu. Yang ia ketahui, mamanya memang sedang kasmaran karena status-status di facebook mengisyaratkan orang jatuh cinta. Tiba-tiba pandai berpuisi padahal sebelumnya tak pernah menuliskan puisi. Jika mengunggah lagu-lagu, yang diunggah lagu-lagu yang bertemakan cinta. Semua serba cinta…. Apabila ada teman atau sahabat yang memberikan komentar atas status-status yang dibikinnya, mamanya selalu menjawab: doakan saja semua baik-baik, lancar, dan memperoleh ridhoi-Nya.
            Meskipun belum tahu siapa pria yang disenangi mamanya, Aluna jauh hari sudah  memberi syarat-syarat kepada mamanya. Ia ingin pria yang kelak menjadi pasangan hidup mamanya berusia lebih tua, berstatus duda karena pasangannya meninggal atau boleh bujangan yang bukan brondong. Kalau pun duda yang dipilih mamanya memiliki anak, Aluna tidak mempermasalahkan. Ia dan adiknya akan membuka pintu untuk mereka. “Ini saja syarat-syaratnya?” tanya mamanya suatu ketika. Aluna mantap menjawab ‘iya’. Uli tahu, Aluna ingin dirinya bahagia sampai akhir nanti sehingga memberi syarat-syarat itu. Dan Uli juga mengerti, kebahagiaan dirinya merupakan kebahagiaan Una dan Rama juga.  
            “Kenapa Mauli nggak bilang pas di makam tadi, kalau Mauli juga senang sama ayah teman les berenang Bhirama? Malah bilang ke ‘suamimu’ kalau pria itu yang senang duluan?” Ditanya begitu, Uli hanya menghela nafas. Kemudian terdiam beberapa detik. Sementara dari balik pintu kamar, Aluna menajamkan pendengarannya. Ia mendengar bahwa mamanya menyukai ayah teman les berenang Rama. Dahinya tiba-tiba mengernyit dan air mukanya menampakkan ketidaksukaan.
            “Mama menyukai Ayah Caca dan Riani?  Bukankah ayah mereka baru saja menceraikan istrinya?” bisik Aluna. Gurat diwajahnya tampak menegang. Sangat tidak senang karena mamanya melanggar syarat-syarat yang disepakati. Saking gusar mendengar mamanya senang pada Pak Madanir, ayah Caca dan Riani, Aluna berniat keluar dari kamarnya dan menanyakan langsung. Tapi niat itu diurungkan setelah ia mendengar lagi percakapan mamanya dengan Om Pendi.
            “Aku tidak mau menyakiti hati suamiku yang sudah meninggal. Aku juga tidak mau dikatakan sebagai istri yang tidak setia karena disaat suamiku sudah tiada, aku justru membagi perasaan cintaku kepada orang lain.” Kalimat itu yang didengar Aluna dari dalam kamarnya. Suasana mendadak hening di ruang keluarga itu. Aluna terdiam di belakang pintu kamarnya menunggu apa yang akan diomongkan mamanya maupun Om Pendi.
            Suasana yang hening sesaat, tiba-tiba bergairah lagi. Pendi menasihati Uli dengan kata-kata lembutnya. “Ketahuilah Mauli, orang yang sudah meninggal itu sudah terputus hubungannya dengan yang masih hidup. Hak yang hidup menjalani kehidupannya sesuai kesempatan yang diberikan Tuhan. Adapun yang meninggal, dia juga berurusan dengan Tuhan menggunakan caranya sendiri. Tugas kita hanya mendoakan mereka supaya dipermudah kembali kepada Allah. Bukan berarti kalau kau suka, kau senang kepada seseorang lantas suamimu akan marah! Bagaimana bisa orang meninggal marah-marah? Kalau Mauli merasa ketakutan sudah tidak setia, tidak sayang, itu karena bayanganmu sendiri yang membuatnya. Suamimu sudah tenang dan damai di alam sementaranya. Kalau pun ia diberi kesempatan oleh Tuhan boleh melihat keluarganya, ya hanya sekedar melihat tanpa bisa menyentuh, membisiki atau berkomunikasi layaknya kita yang masih hidup.”  Uli terdiam, menyimak apa yang dikatakan Pendi. Dari dalam hatinya bermunculan perasaan-perasaan yang campur-aduk tak karuan. Muncul bayangan suaminya, tak lama kemudian muncul bayangan Madanir, pria yang terang-terangan sudah menyatakan perasaannya, muncul pria-pria lain yang pernah berusaha mendekatinya, muncul omongan orang-orang yang iri karena banyak pria yang mendekatinya, muncul orang-orang yang menggunjingi dirinya, dan banyak-banyak yang lain yang bermunculan.
            “Kenapa? Mauli masih meragukan apa yang barusan aku sampaikan?” tanya Pendi lagi. Maulita hanya menggelengkan kepalanya. Tak terasa matanya berair. Uli menangis.
            “Aduh, maafkan aku,” ujar Pendi, “Aku tak bermaksud menyudutkanmu dengan kata-kataku tadi. Aku hanya ingin Mauli realistis memandang kehidupan yang masih Allah berikan untukmu. Jalan hidupmu masih panjang. Anak-anakmu masih membutuhkan ketegaran dan kekuatanmu.” Pendi kemudian diam sesudah mengucapkan beberapa kalimat. Menunggu reaksi Uli yang matanya tetap berair. Bahkan kini airmatanya mulai membasahi pipinya yang putih halus.
            “Nggak apa-apa, Aa…. Aku justru berterima kasih ada yang mengingatkan hal ini. Selama ini, semuanya aku pikirkan sendiri. Aku lelah sebetulnya. Setiap menjalin hubungan selalu saja tidak sukses. Mungkin karena bayanganku sendiri yang merasa ketakutan, merasa suamiku tidak rela aku bersama pria lain. Hmmm….” Uli mendesah sesudah mengumbar semua unek-uneknya.
            “Sesungguhnya aku juga sudah malas menjalin hubungan apalagi sampai jatuh cinta. Ribet dan selalu saja tidak berhasil sampai ke tujuan. Aku tuh susah jatuh cinta, Aa, tapi sekali jatuh cinta susah untuk menghindarinya.”
            “Ohya??” Teriak Pendi, yang buru-buru menutup mulutnya takut didengar Aluna. Uli tersenyum seraya menganggukkan kepalanya.
            “Aku juga tahu Aa, di samping ada yang nyinyir padaku, masih banyak juga orang yang sayang padaku, yang menginginkan aku dapat mereguk manisnya kehidupan bersama pria lain yang sayang padaku sungguh-sungguh. Dan salah satunya Aluna, anakku sendiri.” Pendi terlihat mengangguk-anggukkan kepalanya. Kedua orang ini saling bergantian mengangguk, menyetujui setiap ucapan masing-masing.
            “Aluna memang gadis baik. Ia tahu bagaimana perasaan mamanya sejak ditinggal papanya.” Giliran Pendi yang mendesah pelan.
            “Sayangnya, aku tidak bisa memenuhi syarat yang dimintanya.” Uli mengucapkan kalimat itu sambil agak tertunduk.
            “Syarat apa yang diminta Aluna, Maulitta?” Mata Pendi menatap Uli, ingin segera tahu apa syarat yang diminta Aluna.
            Secara rinci Uli kemudian menjelaskan kepada Pendi beberapa syarat yang diajukan Aluna. Dengan seksama pula Pendi mendengarkannya. “Kayaknya, syarat yang diminta Aluna wajar dan tidak mengada-ada, Mauli?” Uli hanya mengangguk. “Lantas syarat mana yang Aluna pasti tidak setuju?”
            “Pak Madanir ini duda, Aa, tapi dia duda karena bercerai dengan istrinya. Sementara Aa tahu, Aluna membolehkan aku menikah dengan duda yang ditinggal mati pasangannya bukan karena perceraian. Padahal sejak aku bertemu Pak Madanir ini, perasaanku kuat sekali padanya. Entah kenapa, aku punya keyakinan lebih meskipun dia menceraikan istrinya, dia lelaki yang baik, lelaki yang bertanggung jawab, penuh perhatian, dan menghargai wanita. Aku jatuh cinta benar, Aa!! Dan aku tidak bisa menghindarinya. Seperti kataku tadi.”
            “Oh begitu ya,” kata Pendi pendek. “Sayang sekali kalau sampai perasaan cintamu harus pupus gara-gara syarat yang diminta Aluna.” Maulitta hanya diam, tidak menjawab.
            “Mauli juga tidak tahu kenapa Pak Madanir bercerai dari istrinya?”
            “Tidak!”
            Di dalam kamar, Aluna mendengar semua percakapan mamanya dengan Om Pendi. Hatinya yang tadi sempat jengkel gara-gara mamanya dianggap melanggar janji, karena berhubungan dengan duda bercerai, tiba-tiba melumer. Tanpa terasa air mata meleleh di pipinya, merasa bersalah sudah mematikan keinginan mamanya yang ingin serius berhubungan dengan Pak Madanir. Perasaannya gundah antara ingin segera keluar kamar memberitahukan, atau tetap membiarkan mamanya curhat kepada Om Pendi. Suasana di luar kamarnya tiba-tiba hening lagi. Aluna mengintip dari celah pintu kamarnya. Hanya Om Pendi yang ada di sofa. Kemana gerangan mamanya, pikir Aluna.
            “Aa dimakan martabaknya! Dari tadi didiamkan gara-gara dengarkan aku curhat,” terdengar suara Uli yang mempersilakan Pendi mencicipi martabak. Sebelum mengambil martabak, Pendi meminum teh yang tadi dibuatkan Aluna. 
            Aluna belum tahu kemana mamanya pergi barusan.   “Mama, susunya sudah habis.” Mendengar suara Rama, tahulah Aluna kemana mamanya menghilang sesaat. Dari celah pintu kamarnya, Aluna melihat Rama duduk di antara mamanya dengan Om Pendi. Tampak Om Pendi mengelus rambut Rama. 
            “Ambil martabaknya, taruh di piring kecil itu!” perintah Uli pada Rama. “Dibawa dan dimakan di kamar. Mama mau ngobrol sama Om Pendi dulu, ya!”
            “Iya, Ma! Om, aku masuk kamar lagi, nerusin bikin PR dulu.” Rama pamit kembali ke kamarnya. Pendi mengacungkan kedua jempolnya untuk Rama.
            Sementara itu, mata Aluna masih mengawasi terus keadaan di luar kamar dari celah pintu kamarnya, tanpa diketahui siapa pun. Aluna masih menunggu apa yang akan dilakukan mamanya juga Om Pendi.
            “Saranku, Mauli harus berani cerita pada Aluna apapun resikonya.” Pendi melihat Uli menarik nafas panjang kemudian melepaskan perlahan. “Soalnya, kalau  begini terus keadaannya, Luna tidak akan tahu dan khawatirku hubungan kalian malah merenggang.” Mata Uli meredup, wajahnya berubah sedih.
            “Aku jelas tidak mau menciptakan hubungan yang tidak nyaman dengan Aluna. Sejak kepergian papanya, kami bertiga saling menguatkan. Kami saling mendukung satu sama lain. Apabila pilihanku tidak disukai Aluna atau Rama, aku akan mundur. Lebih baik aku berkorban perasaan daripada harus kehilangan mereka.” Uli berkata dengan nada sedih dan lirih. Pendi kasihan tapi bangga melihat ketegaran hati Uli. Ia pun tetap menyarankan Uli menceritakan hal yang sebenarnya kepada Luna.
            “Tidak perlu bercerita, aku saja yang cerita!” Pendi dan Uli terkejut ada suara muncul dari belakang mereka.
            “Una? Kenapa kamu?” hardik Uli spontan sambil memandang mata Una. Pendi menepuk-nepuk pundak Uli sambil berkata ‘sabar-sabar dulu’.
            “Sudahlah Ma, tidak usah harus berkorban perasaan. Kalau mama mau serius dengan Pak Madanir, lanjutkan saja. Una nggak apa-apa!” Mata Uli masih memandangi mata Una. Pendi berinisiatif berdiri dari sofa berusaha menenangkan keduanya.
            “Sudah ya, Luna, jangan membuat mamamu tambah sedih!” ucap Pendi menengahi.
            “Una tidak ingin membikin mama sedih kok, Om!! Justru Una ingin mama merasakan kebahagiaan dengan pilihannya. Soal syarat yang pernah Una sampaikan ke mama, abaikan saja. Anggap syarat itu nggak ada. Kebahagiaan mama segalanya buat Una, Om!”
            Sebelum Pendi sempat berkata, sebelum Uli sempat membalas lontaran kata-kata Una, kembali Una berucap kepada keduanya. “Una tahu mama sudah lelah mencari dan nyaris tidak mau lagi membangun cinta. Tapi untuk kali ini, Una tidak akan melarang mama lagi. Una sadar, tidak akan selamanya bisa bersama mama dan Rama suatu saat nanti. Oleh karena itu, jika mama merasa Pak Madanir adalah pilihan yang tepat untuk hati mama, Una akan dukung 100%. Rama pasti juga akan mendukung.”
            Mendengar ketegasan Una, Uli menitikkan air matanya lagi. Dan ketika keduanya sudah saling dekat, Uli yang menangis sambil memejamkan air mata merasakan sebuah pelukan hangat. Una memeluk mamanya seraya minta maaf. Mereka berdua berpelukan tanpa Pendi mengganggu keduanya.
            “Mama, Mbak Una….” Tanpa mereka sadari Rama sudah berada dekat mereka yang kemudian ikut memeluk keduanya. Jadilah mereka bertiga berpelukan.
            “Udah ahhh pulang aja…. Di sini cuma disuruh nonton orang berpelukan.” Tiba-tiba suara Pendi mengusik keasyikan mereka yang sedang berpelukan.
            Pelukan ketiga orang yang saling sayang terlepas. Uli inisiatif bicara duluan memohon supaya Pendi jangan meninggalkan rumah mereka. Kemudian terdengar tawa yang keras dari mulut Pendi.
            “Syahdunya, indahnya, nikmatnya, melihat keintiman kalian bertiga.” Hal itu yang kemudian dikatakan Pendi setelah menyudahi tawanya. Uli sudah mulai kembali tersenyum, juga Una. Sedangkan Rama hanya diam sambil melihat kiri dan kanan-nya.
            Mereka akhirnya duduk bersama di sofa, sedangkan Pendi duduk di kursi di seberang sofa. Di situlah Uli akhirnya tahu kalau Pak Madanir memang bercerai dari istrinya. Ia terpaksa menceraikan istrinya karena berselingkuh. “Una tahu dari Tetra, teman kampus Una, yang kebetulan bertetangga dengan keluarga Pak Madanir. Dia yang ceritakan mengenai perceraian Pak Madanir dengan istrinya. Selingkuhan mantan istri Pak Madanir katanya pejabat Dirjen Pajak.”
            “Ah sudahlah, Ma, yang penting sekarang ke depannya. Bagaimana Mama mau menjalani kehidupan baru bersama Pak Madanir. Una dan Rama mendukung penuh. Apalagi Riani dan Caca, anak-anak Pak Madanir, kami juga sudah saling mengenal.”
            Sekali lagi Uli memeluk Una. “Makasih sayang atas kesediaanmu.” Una mengangguk pelan sambil kembali memeluk mamanya. Dan dia merasakan debaran jantung mamanya yang terdengar lembut.
            “Mama tak akan lelah lagi pastinya,” bisik Una ditelinga mamanya. Tapi ternyata bisikan Una masih terdengar Pendi.
            “Hmmm..., sepertinya, novel karya  Adephe Radit  berjudul Di Ujung Lelah Pencarian, Kusematkan Namamu Di Hati, cocok deh untuk kisah mamamu, Luna?”
            “Nama siapa  Om yang akan mama sematkan di hati? Papa atau Pak Madanir?” tanya Una kepada Pendi, yang sebetulnya ingin menggoda mamanya.
            “Jelas nama papamu-lah, Luna!” Dahi Una mengerut. “Kenapa papa, Om? Kenapa bukan Pak Madanir?”
            “Apa Luna nggak merhatiin kalau nama akun facebook mama sudah berubah sejak bulan kemarin?” Uli melongo mendengar kata-kata  Pendi. Dia tidak menyangka penggantian namanya di FB diperhatikan sungguh-sungguh.
            “Dari Maulitta Putu Artha, menjadi kini, Aluna Bhirama Maulitta. Mamamu mulai menyisipkan nama kalian bukan nama papa kalian lagi. Artinya, mamamu sudah siap menyematkan nama papa di hatinya. Menjadikan papamu sebagai kenangan terindahnya.  Dan itu berarti mamamu siap membuka dirinya untuk orang lain, siapa pun orangnya! Takdir mengantarkan mamamu memilih Pak Madanir.”
            “Ohhh gitu rupanya…,” ucap Una tak menyangka Pendi memerhatikan akun facebook mamanya sedetil itu.
            “Lantas kenapa Om bisa tahu mama ngobrol dengan batu? Pasti batu nisan papa, kan?” selidik Una.
            “Ohya, kata mama tadi, makam nenek Om Pendi satu kompleks dengan makam papa!”
            “Tidak hanya satu kompleks Una, tapi sejajar dengan makam papa,” timpal Uli.
            “Hah, ya ampyunnnn!! Pantas saja curhat mama terdengar Om Pendi, huahahahaha….” Tawa Una keras terdengar di ruang keluarga.
           


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PIYAMBAKAN

SENGAJA DATANG KE KOTAMU

KIRIMI AKU SURAT CINTA