DIA YANG DI HATI
*) Mengenang sahabatku Fredy Agung Nugroho yang berpulang kepada-Nya Kamis, 22 September 2016 pukul 4.30. Semoga kau damai dalam keabadian-Nya, aamiin.
Masa sekolah maupun
kuliah selalu menciptakan suasana indah dan senang. Kenangan yang terangkai di
bangku sekolah seakan tidak lekang oleh waktu yang mungkin saja tersapu masa.
Dan, kenangan itu mengapung di pelupuk mataku ketika berdiri di depan teman-temanku
SD.
Hari
itu, kami berkumpul setelah hampir 30 tahunan lebih tak bersua secara fisik.
Kalau pun kami masih terbingkai keakraban, sepantasnya kami harus berterima
kasih kepada penemu facebook, whatsapp,
dan BBM.
Sari
mendaulatku untuk menyampaikan memori apa yang pernah membekas di SD dulu. Dari
atas panggung mini, aku menyapu pandangan ke arah teman-temanku yang hadir.
Mataku berhenti pada sosok berkacamata. Matanya tertuju kepadaku dan tersenyum
manis. Ia menganggukkan kepalanya.
Dulu,
sebagai anak pindahan, aku sempat mengalami gegar pendidikan. Datang dari kota
kecil di Kalimantan dan harus terbenam di kota Jogja. Kota yang terkenal
sebagai surganya para pelajar. Meskipun berbekal peringkat satu sejak kelas 1
hingga kelas 5, di SD asalku, aku tetap merasa kecil. Tidak ada apa-apanya
dengan teman-teman baruku di SD Ungaran. Rina Triasih , Koko maupun Dento
merupakan salah tiga teman-teman baruku yang selalu berperingkat ciamik di
kelas, kala itu. Melihat mereka, aku terkadang minder dibuatnya. Belum lagi
dengan sesama anak pindahan, sebut saja Wira maupun Eddy Manindo. Anak-anak
pindahan dari kota Jakarta, yang mutu pendidikannya setara dengan kota Jogja.
Aku serasa makin menciut saja.
Belum lagi
keterbatasanku dalam berbahasa jawa, selalu menimbulklan decak tawa ketika aku
harus membaca tulisan berbahasa jawa. Mulutku terasa kaku ketika harus
melafalkan huruf-huruf jawa yang sebelumnya tak pernah kuperoleh di bangku
sekolah. Padahal, kedua orang tuaku adalah orang jawa tulen. Asli dari Jogja,
namun merantau lama di Kalimantan. Bahasa ibu yang kupakai di sana, selalu
Bahasa Indonesia, bahasa persatuan negaraku.
Terlepas itu semua, aku
merasa senang mengenyam pendidikan dasar di SD Ungaran meski hanya sempat
merasakan selama satu tahun. Di kelas 6A. Semua teman menerima kehadiranku.
Bahkan, aku mendapat sebutan kuncung dari
salah satu teman perempuanku. Ini gara-gara rambutku yang berdiri. Kajung, kata orang banjar. Njegrak,
kata orang jawa. Paraban kuncung yang
kuterima karena ada tokoh anak kecil laki-laki pada sebuah cerita anak berjudul
Kuncung dan Bawuk, yang sering
ditayangkan di Stasiun TVRI Jogja, kala itu. Si anak laki-laki ini, bentuk
rambutnya persis seperti rambutku. Memang tak ada di kelasku, teman laki-laki
yang rambutnya seperti aku. Rata-rata mereka berambut normal, tebal, setengah
gondrong, bahkan seorang temanku bernama Rudi, rambutnya selalu klimis. Sejak
saat itu, aku memanjangkan rambutku dan tak pernah lagi berpotongan cepak ala
tentara.
Prolog ringanku berbagi
kenangan dalam pertemuan kangen-kangenan itu seketika disambut riuh teman-temanku.
Suara santer terdengar dari mulut Iman, temanku yang terkenal jahil dan suka
mengolok-olok, melucu. Selain teriakan, gelak-tawa mengiringi ceritaku di atas
panggung mini. Apalagi, tiba-tiba, muncul tampang culunku di layar lebar, di
belakang aku berdiri. Ya ampunnn
...., siapa juga yang masih menyimpan foto culunku, sehingga bisa tertayang
dalam acara itu.
“Sorry, Dhit, terpaksa
aku harus menampilkan tampang culun dan gaya potongan rambutmu itu,” sebuah
suara menyeruak di tengah aku sedang bercerita. Kami semua menoleh, mencari sumber suara itu.
Bahkan Sari, yang menjadi pembawa acara ikut clingukan, ingin mengetahui siapa pemilik suara nakal itu. Dari
raut wajahnya yang terheran-heran, ini jelas tidak masuk dalam sesi berbagi
cerita yang sedang kuceritakan. Ternyata, di sisi sudut kiri panggung, tempat
operator bertugas, muncul sosok bertopi. Badannya agak gemuk dan ditangannya
memegang mikrofon.
“Tommy!!” Seru hampir
seluruh teman-temanku yang hadir. Dengan masih memasang tampang tak bersalah ia
terus nyerocos membuka semua
keculunanku tempo dulu. Matanya tertuju kepadaku. Telunjuknya juga menunjuk ke
arahku. Ia memang datang terlambat, namun kejutannya benar-benar mengejutkan
kami semua.
Siapa tidak kenal
Tommy? Anak dari pengusaha terpandang di Jogja. Orang tuanya adalah bagian dari
dinasti Mirota yang terkenal di kota Jogja. Secara kebetulan, setelah kuliah kami
sama-sama satu kampus. Rupanya, operator yang bertugas merupakan orang yang disewa
Tommy. Hmm, pantas saja dia mudah menayangkan foto-fotoku, juga foto-foto
temanku yang lain.
Keseruan tidak berhenti
di situ saja. Setelah penayangan foto-foto rampung, terdengar lagi teriakan.
Kali ini Anita, yang dulu suka sekali melakukan semuanya serba cepat. Ia
berteriak, menganggap ceritaku bertele-tele.
“Mana keseruanmu
ceritamu selain itu, Dhit?” Suaranya nyaring terdengar meskipun tanpa bantuan
pengeras suara. Kali ini, Sari ikut-ikutan menimpali teriakan Anita. Ia
menyuruhku segera meneruskan cerita, yang katanya, ada cerita haru-biru dalam
perjalanan hidupku.
“Teman-teman..., lanjut
lagi, kan?” kata Sari kemudian.
“Lanjuuttttt ...... !!”
Aku mengangkat tangan
meminta semua tenang, “Ssst, kalau kalian teriak dan berisik bagaimana kisah
romantis ini bisa aku ceritakan.” Bukannya tenang, anak-anak malah bersemangat
mencecarku untuk segera ngomong
cepat.
“Kakehan prakata,” kali ini Dento, si dokter angkat bicara.
“Ndang cerito, marai penasaran wae!”
Sambil menarik nafas,
sekali lagi aku melihat kepada sesosok yang duduk santun tapi bibirnya tetap
tersenyum. Sesekali, kepalanya menggeleng-geleng, bukan tidak membolehkan aku
untuk bercerita, justru ia tidak menyana aku akan berani menyampaikan kisah ini.
Tak ada yang curiga di antara teman-temanku dengan segala tatap mataku kepada
seseorang di sana.
“Jadi, suatu hari
minggu, aku diajak Fredy sepedaan,” kataku memulai cerita. Suasana sudah mulai
tenang ketika aku bicara lagi. Fredy merupakan anak pindahan juga. Ia pindahan
dari Jakarta. Bapaknya pejabat yang mengurusi IUD/spiral, kondom, dan kelahiran.
Iya, bapaknya adalah pejabat BKKBN Jogja. Kami menjadi dekat, akrab, karena
sama-sama anak baru.
“Fredy mengajakku pergi
ke desa tempat kedua eyangnya tinggal. Desanya, seingatku bernama Desa Trini.
Saat itu, Fredy juga menyarankan aku untuk mengajak seseorang teman wanita
kami.” Aku kembali terdiam setelah mengucapkan kata-kata seorang wanita. Dan
tetap merahasiakan siapa nama teman wanita itu. Sementara teman-teman yang
hadir, tahu aku merahasiakan seseorang mulai gaduh, mulai ribut dan
berteriak-teriak supaya aku membuka jati dirinya. Secara kebetulan, Fredy tidak
bisa hadir dalam acara kangen-kangenan siang itu, sehingga aku tidak direcoki
olehnya dalam menuturkan kisah perjalanan bersamanya. Kemudian terdengar
teriakan huuuu....
“Sopo bocah-e, Dhit?” Kejahilan Iman tidak pernah pupus. Aku hanya
tersenyum dan mengatakan kepada semua, mau dilanjutkan tidak ceritanya. Koor
lanjutt kembali terdengar.
“Yang pasti, sejak
sepedaan bertiga ke Desa Trini itu, aku ser-ser-an
dengan teman kita yang cewek itu,” kataku sambil tersenyum. Kukatakan bahwa aku
punya ketertarikan kepada dia. Suasana mulai berisik. Suasana mulai agak gaduh.
Masing-masing pemilik kepala, yang duduk mendengarkan ceritaku, mulai
memalingkan kepalanya dan mencari siapa sosok yang dimaksud aku. Mereka yakin,
wanita itu ada, karena sesuai ceritaku, wanita itu adalah salah satu teman SD
kami. Aku hanya mematung begitu suasana sedikit gaduh. Anita kembali
mengeluarkan suara speaker-nya, yang
keras, lantang, dan juga nyaring.
“Cepetan dong, Dhittt
.... Hoiiii, cepetan. Siapa dia?” Anita mengulang-ulang suaranya. Sari
mendekatiku, berbisik sebentar, “Sensasi atau beneran? Kok aku sampai setua ini
nggak pernah mendengar, ya?” Aku Cuma tersenyum sembari mengangguk-anggukkan
kepala.
“Haloooo, haloooo ....”
teriakku melalui mikrofon. Semua mata kembali fokus ke arah panggung mini.
Mereka kembali menatapku, menunggu berita terakbar pertemuan kangen-kangenan
kami.
Aku tidak bisa
memungkiri. Gara-gara sepedaan ke Desa Trini, ke desa tempat eyangnya Fredy
tinggal, aku jadi dekat dengan sosoknya. Pada saat berada di rumah eyangnya Fredy,
kami bertiga sempat bermain di kali yang mengalir dekat situ. Kalinya bersih,
airnya jernih, saat itu. Bebatuan dan beberapa ikan tampak terlihat. Kami
menyibak-nyibakkan air dan saling berusaha membasahi badan. Pada akhirnya,
memang sebagian tubuh kami basah karena siraman air di antara kami bertiga.
Namun, kaos yang kami kenakan cepat kering karena terik mentari siang itu
menyengat.
Aku juga menggandeng
tangan si dia kala hendak menyeberangi kali, menuju sisi kali di seberang. Fredy
pun tak mau kalah ikut menggandeng tangan si dia saat meniti pematang sawah.
Tercebur ke dalam persawahan, terjadi beberapa kali. Kaos dan celana yang kami
pakai mulai kotor oleh lumpur. Sementara, kami tak membawa kaos atau celana
cadangan. Lagi-lagi kami hanya cuek dan
terus bermain di seputaran sawah dan kali. Ketika azan zuhur berkumandang, kami
menuju rumah eyangnya Fredy. Sesuai kesepakatan dengan eyang, pada saat datang
tadi pagi, kami harus kembali ke rumah begitu terdengar azan zuhur. Dan, eyang
putri hanya menggeleng-gelengkan kepalanya begitu kami sampai di rumahnya.
“Cepat sana, bersihkan
badan kalian! Ganti kaos yang kotor dengan yang ini,” sambil tangan eyang putri
menyerahkan kaos dan handuk. Celana yang sempat basah, sudah kering selama
perjalanan kaki kami menuju rumah. Sisa lumpur masih ada namun tidak mengotori
semua celana.
Aku sempat melihat
eyang kakung Fredy duduk di bale-bale.
Di depannnya terhampar tikar dan beberapa sajadah. Sepertinya, kami hendak
diajak salat zuhur berjamaah. Begitu kami masuk dari bebersih tubuh, eyang
kakung langsung meminta kami segera berdiri di belakangnya. “Ayo, kita salat
dulu sebelum makan siang.”
Selesai salat, sajadah
dilipat dan kami duduk di bale-bale. Terdengar suara eyang putri Fredy
memanggil si dia. Meminta kepadanya membawakan makanan dari pawon. Aku langsung bangkit dan ikutan
membawakan makanan dari pawon. Fredy
terlihat asyik berbicara dengan eyang kakungnya, tapi matanya sempat melirik ke
arah kami yang berjalan menuju pawon.
“Asyik ya, liburan
kita,” bisikku kepada si dia. Dia hanya mengangguk. Matanya yang bulat dan
alisnya yang tebal membuatku tak mau melepaskan pandangan darinya. Kacamata
yang melingkari kedua bola mata bulatnya terlihat mengembun.
Tangan kami memegangi
masakan yang diserahkan eyang putri. Aku membawa tumis kangkung yang aromanya
sudah mengorek ujung hidungku, sedangkan si dia membawa dua piring berisi tempe
goreng dan wader goreng. Di belakang kami, eyang putri membawa bakul nasi yang
kemepul dan bakul berisi lalapan serta sambal. Pokoknya, makan siang hari itu
sungguh yummiieee .... Sewaktu kami masuk dari pawon lagi-lagi Fredy melirikkan matanya. Mulutnya tetap menjawab
pertanyaan eyang kakungnya, tapi matanya jelas terlihat mengawasi kami berdua.
Seperti yang sudah kuduga,
makan siang kami sungguh nikmat. Masakan desa yang serba hangat dan diolah
langsung oleh eyang putri Fredy, benar-benar memporak-porandakan perut kami
hingga kami kekenyangan. Satu hal yang membuatku kagum. Si dia sesaat sebelum
mulai makan, mengisi piring kami dengan nasi kemudian membagi tumis kangkung. Aku dan Fredy tinggal
mencomot tempe dan wader goreng berikut sambal dan lalapan. Bagiku diladeni
seperti itu, mengingatkan aku kepada ibuku. Itu baru kusadari setelah dewasa,
tipe seperti si dia jika berumah tangga adalah sosok yang hangat dan penuh
kasih. Berusaha mencurahkan kasih-sayangnya penuh perhatian.
Selesai makan, perut
kenyang, mata menjadi layu. Mengantuk. Apalagi semilir angin cukup meninabobokkan
kami. Kedua eyang Fredy juga melarang kami pulang. Siang itu, matahari
menunjukkan keperkasaan cahayanya. Panas teriknya sangat memanaskan kulit tubuh.
“Sekarang ngaso saja dulu di sini. Nanti sesudah
asar baru kalian kembali ke Jogja,” ucap eyang kakung. Eyang putri kemudian
menyuruh si dia masuk ke dalam kamar yang ada di belakang joglo tempat kami
duduk. Sementara aku dan Fredy tiduran dan bablas di atas bale-bale yang berada
di dalam joglo depan. Joglo tak berpintu menyebabkan angin desa menyebar
menimpa kami yang terayun-ayun mengantuk di atas bale-bale. Dan sekali hembusan
angin membuat kami terkapar. Tertidur nyenyak.
Menjelang azan asar, aku
terbangun. Terkejut juga karena mendapatkan sosok si dia ternyata tidur satu
bale dengan kami. Kapan dia pindah, aku dan Fredy tidak tahu. Ini gara-gara
kami langsung terlelap. Spontan aku membangunkan si dia. Gerakan bangunnya menyentuh
Fredy, sehingga temanku ini pun ikut terbangun. Freddy juga tampak terkejut
melihat si dia ada bersamanya. Sambil tersenyum manis, si dia mengenakan
kacamatanya dan berlalu ke dalam rumah. Eyang putri memanggilnya, menyuruhnya
untuk pergi mandi duluan.
Lambaian tangannya
memudarkan kebengongan kami berdua. Aku dan Fredy saling menyapu mata, seakan ingin
menyadarkan diri. Bahwa ini bukan mimpi. Bahwa ini nyata. Si dia barusan tidur
bersama kami siang itu. Memang tidak terjadi apa-apa. Sepeninggal si dia masuk, pecahlah tawa kami
berdua. Tangan kami saling beradu untuk menyatakan kesepakatan.
Matahari akhirnya
menggelincir ke ufuk barat. Sinarnya sudah mulai teduh, tidak segarang tadi
siang. Waktunya kami kembali ke Jogja, hendak memulai persiapan esok hari.
Lambaian tangan kedua eyang Fredy mengantarkan kayuhan kami ke luar Desa Trini.
Jika situasi jalan lengang, kami menyejajarkan sepeda. Manakala terdengar deru
motor atau mobil di belakang kami, jejeran sepeda langsung berpencar. Si dia
hampir tidak pernah berada di posisi paling depan. Dia selalu terapit di antara
aku dan Fredy. Sesuai janji kami kepada kedua orang tuanya, akan menjaga dengan
baik si dia, kami buktikan dengan mengantar si dia sampai di rumah dengan utuh,
selamat.
“Sampai ketemu besok, ya?”
Ucap serempak aku dan Fredy.
Sepeda kembali dikayuh
masing-masing. Selama perjalanan pulang, kami tak banyak omong. Namun ada satu
yang menarik tatkala aku mengatakan si dia cantik, secara tak sengaja Fredy pun
mengatakan hal yang sama. Mata kami saling bertatapan. Aku langsung sadar, ada
binar yang menyala dimata Fredy saat mengucapkan itu. Barangkali Fredy pun
melihat ada cahya menyala dimataku.
Ya ampun..., ternyata
kami memendam perasaan yang sama kepada si dia. Kayuhan sepeda menuju titik
sasaran, rumah masing-masing, kini tanpa suara di antara kami. Suaraku baru
keluar ketika kami melewati Homestay
Indraloka di Jalan Cik Di Tiro. Di belokan dekat homestay itu, aku berpamitan kepada Fredy, menuju sagan tempat tinggalku. Fredy kemudian melambaikan
tangannya dan terlihat memacu cepat sepeda balapnya ke arah Kridosono, kemudian
menuju Jalan Kenari.
Teman-teman yang
mendengarkan ceritaku, terdengar menarik nafas panjang. Menantikan klimaks
ceritaku, yang sebetulnya masih panjang. Aku menanyakan kepada Sari apakah
masih boleh meneruskan atau harus bergantian dengan teman lain dalam berbagi
cerita kenangan di SD. Bagaimana teman-teman, tanya Sari kemudian.
Lanjuttt...., hanya itu yang terdengar.
“Diringkes
wae
Dhit, marai penasaran,” teriak Iman
dan Koko serempak. Yang lain lantas ikut-ikutan bersuara juga. Cepetan, biar
gantian dengan teman yang lain. Suara Rika menimpali. Sambil berkacak pinggang,
kembali pandangan kuarahkan pada sosok yang sedang jadi topik ceritaku. Tetap
saja teman-temanku tidak sadar siapa “si dia” dalam ceritaku.
Aku lantas mengatakan,
sejak masuk SMP yang berbeda, kami jarang berjumpa. Fredy di SMP 8, aku di SMP
1, dan si dia di SMP 5. Hanya sekali saja aku pernah bertemu si dia. Itu pun
tidak sengaja. Waktu itu aku sudah kelas 2 SMP. Pertemuan itu, memutar kenangan
masa kecil kami kala bersepeda ke Desa Trini. Dia juga sempat menanyakan kabar
Fredy, yang kujawab tidak tahu tentunya. Betul adanya, karena aku tidak tahu
keadaan Fredy.
“Ini nomor teleponku.
Kapan-kapan hubungi aku, ya?” Dia memberikan secarik kertas berisi nomor
telepon rumahnya. Meski hanya deretan angka, tapi sudah cukup melegakan hatiku.
Tak bisa kupungkiri, dia lebih cantik waktu SMP. Aura cantiknya benar-benar
berkembang. Sejak itu, kami jarang bertemu. Janji akan menghubungi, tak juga
kejadian.
Pertemuan berikut
justru terjadi pada saat kami sedang berbaris di Lapangan Pancasila mengikut
pembukaan penerimaan mahasiswa baru UGM. Ketidaksengajaan itu kembali terjadi,
gara-gara aku melihat seseorang dari satu barisan nyaris terjatuh. Aku yang
berada di belakang perempuan yang nyaris jatuh, refleks langsung menopangnya.
Matanya terpejam saat ia sudah aku pegang. Atribut yang berselempangan di
tubuhnya, termasuk topi yang dikenakan, sempat membuatku tidak mengenalinya.
Baru ketika beberapa panitia datang membantu dan aku ikut menggotong menuju bawah
pohon dekat lapangan, baru aku menyadari. Ketika topi yang menutup kepalanya
dilepaskan, terlihat wajahnya agak pucat. Kacamatanya sedikit berembun. Akan
tetapi, aku tidak lupa akan wajah cantiknya yang pernah kukenal.
Kusentuh pipinya,
sambil memanggil namanya berulang kali. Inilah untuk pertama kali aku
menyentuhnya. Seorang panitia perempuan mendekatkan wewangian di dekat
hidungnya. Dia tetap saja diam tak bereaksi. Sebelum aku diusir kembali ke
barisan, aku mengaku bahwa si dia adalah adik sepupuku. Mereka akhirnya
membolehkan aku menemani si dia. Sementara panitia perempuan terus menjejalkan
wewangian di depan hidungnya, aku berusaha menyadarkannya dengan berbisik
ditelinganya. Ini aku, kataku berbisik ditelinganya. Kuulang-ulang menyebut
namanya dan mengatakan namaku juga. Badannya pelan-pelan menggeliat, matanya
juga mulai terbuka. Ketika matanya benar-benar terbuka lebar, kesadarannya
belum seratus persen pulih. Kupanggil lagi namanya, respon pun terdengar. Dhit,
kamu ya! Didiet, kan, tanyanya begitu melihatku. Dalam hati aku merasa surprise dia langsung mengenaliku.
Aku akhirnya duduk di
bawah pohon menemaninya hingga dirinya merasa fit kembali. Beberapa panitia
cowok mulai duduk mendekat dan menanyai dia. Sebelum keadaan riuh oleh
kehadiran panitia, aku sudah sempat membisikinya. Dia tersenyum ketika tahu aku
menyebutnya sebagai adik sepupu. Ya ampunnn, senyum itu benar-benar
menggetarkan suksmaku. Wajah letihnya, rona yang agak memucat bukan malah
memudarkan cantiknya. Dimataku justru dia tambah cantik. Seharian itu aku
merasa senang bersamanya setelah sekian lama tak berjumpa. Yang lebih membuat
riang, ternyata fakultas kami hanya dibatasi jalan. Aku berada di utara jalan,
sedangkan dia di selatan jalan.
“Lama kita nggak ketemu,
ya Dhit!” ucap dia sesudah acara penerimaan mahasiswa baru usai pada sore hari.
Aku hanya mengangguk pelan dan mengajaknya pulang bareng. Dia pun setuju
memenuhi ajakanku.
“Padahal aku pernah
memberikan nomor teleponku. Kenapa kamu nggak pernah telpon? Itu waktu kita
kelas 2 SMP, kan?” Matanya melirik padaku. Aku seperti merasa bersalah,
melewatkan begitu saja momen itu sebelumnya. Terlebih saat dia bilang rumah
kami tidak terlalu jauh.
“Kamu masih tinggal di
sagan, kan Dhit?” Aku hanya mengangguk.
Hari-hari berikutnya,
sudah bisa ditebak, kami makin akrab satu sama lain. Meskipun sudah berjalan
dua semester, tetap saja nyaliku masih melempem kepadanya. Tak pernah berani
mengungkapkan apa yang sudah meletup-letup dalam hati. Grogi dan tidak yakin
akan berhasil apabila menyatakan kepadanya. Puncaknya, akhirnya, terjadi juga. Malam
itu sengaja aku mengunjunginya, di rumahnya. Berdandan lebih necis dan rapi,
dengan tekad dan keyakinan di dada yang mantap. Dia yang membukakan pintu dan
seperti biasa kami duduk mengobrol di taman rumahnya yang asri. Ditemani
camilan dan minuman hangat yang dia buatkan sesudah aku duduk beberapa menit di
taman itu.
Temaram lampu taman
rumahnya memberikan suasana romantis. Deburan jantungku bukannya menyurut
justru kian menggebu, menggebuk-gebuk rongga dadaku. Sebisa mungkin, senatural
mungkin aku menjaga rona wajahku supaya tidak berubah. Dan manakala minuman
hangatku bersisa sedikit, aku mulai membuka suara formalku.
Malam itu, ditemani
sinar temaram lampu taman, kami duduk bersebelahan. Kami sempat terdiam sesaat,
hingga aku memalingkan wajah untuk melihatnya. Subhanallah, Ya Allah..., aku seperti melihat bidadari cantik yang
duduk menemaniku. Parasnya cantik, putih, hidung bangir dengan alis tebal
menghiasi wajahnya. Sebuah kacamata minus teronggok di depan matanya, semakin
memberikan nilai lebih kecantikannya.
“Ssssa...,” susunan
huruf untuk memanggil namanya belum selesai kuucapkan, tiba-tiba seorang wanita
tua datang menghampiri tempat duduk kami. Ia mengabarkan Den Agung datang. Itu
yang kudengar dari mulutnya. Dia segera bangkit dan memintaku menunggu
sebentar. Keduanya lantas berjalan masuk ke dalam rumah.
Tak lama berselang, aku
melihat si dia berjalan bersama seorang pria. Detak jantungku yang sempat
mereda kembali bergemuruh. Ada perasaan waswas dan cemas melihat pria yang
datang itu. Kecemasan yang kumunculkan ternyata beralasan. Tidak hanya cemas
semata, tapi juga terkejut.
“Hai Dhit, apa kabar?”
sapanya hangat. Tangannya menjulur ke arahku mengajak bersalaman. Aku sempat
tertegun melihat uluran tangan di hadapanku.
“Nggak lupa sama Fredy,
kan, Dhit?” tanya si dia.
Kali ini aku
benar-benar tak bisa berkata apa-apa begitu melihat sosok Fredy yang datang.
Sahabat kecilku saat SD. Teman sepedaan ke desa eyangnya, bersama si dia, beberapa
puluh tahun yang lalu. Kutangkap tangannya dan kami pun berjabatan. Aku bangkit
dan memeluk Fredy. Kurasakan hangatnya pelukan Fredy. Pelukan penuh
persahabatan yang masih kurasakan seperti dulu. Kami terhenyak ketika si dia
menepuk bahu kami. Sambil tersipu kami melepaskan pelukan itu.
Pertemuan tiga sahabat
malam itu memang menyenangkan, namun ada rongga dalam hatiku yang menjerit-jerit.
Apalagi setelah si dia mengatakan mereka hendak bertunangan bulan depan. Fredy
akan bertunangan dengan si dia. Seperti yang sudah kurencanakan sebelumnya,
gemuruh dada boleh memberontak, namun tak boleh memerahkan rona di wajah. Aku
harus bersikap wajar meskipun aliran darah mengalir deras dipompa jantung yang
berdebur keras.
Aku berhasil melewati
malam itu dengan tenang, tanpa harus mendengar komentar tak sedap. Dan ketika
gerimis mulai turun, si dia lantas mengajak kedua sahabat prianya ini masuk ke
dalam rumah. Ajakannya kutolak. Gerimis menjadi alasan supaya aku segera pergi
pulang. Aku takut kehujanan nanti, kataku, kepada keduanya. Sebelum pergi, aku
kembali memeluk Fredy mengucapkan selamat untuk pertunangannya nanti. Pada si
dia pun aku mengulurkan tanganku dan sembari meminta izin pada Fredy, aku peluk
dia pertama dan terakhir kalinya. Itu yang melintas dalam benakku saat memeluk
si dia. Pertama dan terakhir. Good bye...
Secara lisan Fredy dan
dia mengundangku hadir dalam pertunangan mereka. Sebuah anggukan ringan
tentunya kuberikan, tapi sudah kupastikan tidak akan datang. Sejak itu, aku tak
pernah mau berusaha mencari tahu tentang mereka. Kuanggap itu sebagai jalan
hidup masing-masing saja. Akan tetapi, manusia memang boleh merencana, namun
hanya Tuhan yang mempunyai kuasa untuk mengiyakan sesuatu itu.
Berjarak ratusan
kilometer dari Jogja, justru aku menjumpai si dia di Gresik bersama orang lain,
bukan dengan Fredy sahabatku. Tatkala kami berpapasan di sebuah pusat
perbelanjaan, si dia sempat terkejut melihatku. Aku juga. Yang bisa kulakukan
hanya menyapa dan menjabat tangannya, juga tangan pria yang berjalan
bersamanya.
“Ini suamiku, Dhit. Apa
kabarmu? Kok bisa ketemu di sini, ya?” Suaminya tersenyum ke arahku. Aku hanya
membalas pertanyaannya dengan senyuman. Kebetulan ada pertemuan bisnis dengan
teman, penjelasanku singkat saja. Kemudian segera pamit dan berlalu. Kali ini,
aku tak mau rona wajahku yang berubah tampak oleh dia. Terkejut, sembari dada
bergemuruh, tidak menyangka bahwa si dia tidak jadi menikah dengan Fredy,
sahabat kecilku.
*****
“Ayah, cantik nggak
ini?” tanya anak lanangku suatu sore, sambil menyorongkan HP-nya ke arahku. Di
dalam galeri fotonya, terpampang jelas sosok anak seumuran anakku. Parasnya
cantik, bulu matanya lentik, pipinya tirus tapi tidak kurus banget, dan alis
matanya tebal. Persis seperti alisku dan anakku, yang mendapat warisan tebal
dari papaku.
“Gebetanmu, ya?” Balik
aku bertanya. Anakku hanya senyum-senyum. Hanya ucapan, ya begitu dehh..., dari mulutnya dan kemudian terkekeh.
“Dijaga, yang santun
dan sopan kepada wanita,” aku mengingatkannya untuk selalu bersikap sebagai
pria yang sejati.
“Siap, Boss ! Tentu
sajalah....!”
******
Dari atas panggung mini
inilah aku menyaksikan kuasa-Nya lagi.
Boleh kita menderetkan
rencana dan keinginan, berharap apa yang kita maui selalu terjadi. Hanya, kita
bukan “Tuhan” seperti Tuhan yang selalu kita sembah dalam setiap salat, dalam
sembahyang kita. Dadaku tidak bergemuruh hebat seperti dulu. Aku sudah lebih tenang
menata perasaan, hati, dan emosi yang bercampur-baur menjadi satu. Malam itu.
Di atas panggung mini. Dalam sebuah perhelatan kangen-kangenan bersama
teman-temanku SD.
Tiba-tiba Sara, -Tri
Utami Saraswati- berdiri, berjalan ke arah sisi panggung. Dia mendekati pemain
kibor tunggal, yang malam itu menjadi penghibur pertemuan kangen-kangenan kami.
Sambil berjalan, mata Sara mengerling kepadaku. Dia juga tersenyum, persis sama
dengan senyuman yang diberikan ketika aku naik panggung mini.
Sari, si pembawa acara,
sempat meneriaki Sara yang berjalan mendekati sisi panggung sebelah kiri. Beberapa
teman juga koorrr bersama, memanggil-manggil nama Sara, “Hooii, mau ngapain
Sara?”
Begitu Sara memegang mike, Sari membiarkannya. Sejak dulu
Sara memang suka bernyanyi. Waktu SD pun Sara selalu mewakili sekolah dalam
setiap perlombaan menyanyi. Jika malam itu dia memegang mike, itu tanda kebiasaannya akan diunjukkan lagi di hadapan
teman-teman kecilnya. Aku sudah menghentikan celoteh kenanganku tadi serta
ingin tahu apa yang akan diperbuat Sara.
Melodi pemain kibor
mulai terdengar. Dari intronya aku sudah bisa menebak lagu apa yang akan
dinyanyikan Sara. Mungkin teman-teman yang lain juga sudah tahu. Dan begitu
intro selesai dimainkan, suara Sara yang memang merdu mulai merangkaikan
lirik-lirik lagu ciptaan Ariel NOAH.
Kulepas semua yang kuinginkan.... Tak akan ku ulangi. Maafkan jika kau ku sayangi... Dan bila ku menanti. Pernahkah engkau coba mengerti.... Lihatlah ku disini. Mungkinkah jika aku bermimpi..... Salahkah tuk menanti.
Tak kan lelah..., aku menanti. Tak kan hilang..., cinta ku ini. Hingga saat...., kau tak kembali. Kan ku kenang...., dihati saja.
Kau telah tinggalkan hati yang terdalam. Hingga
tiada cinta yang tersisa di jiwa.
Sepanjang lagu itu
dinyanyikan, mata Sara tak lepas ditujukan kepadaku. Teman-teman yang lain,
bersiul-siulan panjang dalam ruangan kangen-kangenan. Aku tetap tenang, kalem,
sudah bisa menata hati dan perasaan. Yang membuat aku menghela napas
panjang justru karena melihat gadis yang
bersama Sara sejak tadi. Gadis yang anteng duduk di sebelah bundanya. Gadis
seumuran anakku itu, adalah anak Sara. Gadis itu menemani Sara hadir dalam
acara kangen-kangenan teman-teman SD bundanya. Wajahnya mengingatkan aku.
Sesuatu bergetar dalam
saku celana panjangku. Ada pesan masuk. Sebuah foto dikirimkan Kresna, anakku.
Aku memang meminta Kresna mengirimkan foto cewek yang pernah dia tunjukkan
tempo hari. Ternyata gadis yang bersama Sara sama persis dengan foto yang
barusan Kresna kirimkan padaku. Usai lagu Yang
Terdalam, Sara mendekatiku. Tanpa sungkan ia memelukku hangat. Reaksi
teman-teman, jelas luar biasa.
Masih tetap memelukku,
Sara berbisik, “Mungkin kita tidak bisa bersatu. Tapi, kelak Allah yang akan
menyatukan anak-anak kita, in sha allah,
ya Dhit.” Kami melepaskan pelukan dan saling berpandangan, membiarkan teriakan
teman-teman yang barangkali gemas melihat kelakuan kami di atas panggung mini,
malam itu.
*****
Teriakan teman-teman
dan suitan mereka masih terdengar ramai. Aku sudah berdiri berjejeran dengan
Sara, memandang ke arah semuanya yang hadir. Tiba-tiba mataku melihat sekilas.
Sekar, putri Sara yang sedari tadi menemani bundanya, pergi ke luar ruangan.
Sekilas pula aku melihat wajahnya menunjukkan ketidaksukaannya. Sebelum
tubuhnya hilang di balik pintu, ia masih sempat berbalik. Melihat beberapa
detik ke arah panggung. Aku sangat yakin, dia pasti memperhatikan aku dan Sara.
Siapa lagi yang jadi sasaran lihatnya kalau bukan bundanya dan aku.
“Anakmu ke luar
ruangan,” setengah berteriak aku sampaikan kepada Sara. Suasana di ruangan
masih ramai. Sara hanya tersenyum dan mengangguk pelan. Belum selesai aku mengatakan
hal lain, giliran kini Edy Manindo berdiri. Aku melihatnya juga ke luar
ruangan. Tangan kanannya diayun-ayunkan sembari memegang HP-nya. Sosoknya
langsung lenyap dari balik pintu keluar.
HP disaku celanaku
kembali bergetar. Sebuah pesan singkat masuk. Berasal dari anakku. Aku tunggu di luar, Yah, begitu bunyi
pesan singkat anakku. Sebelum aku membalasnya, sebuah pesan singkat kembali
masuk lagi. Nggak jadi, Yah, ada sedikit
urusan yang harus kuselesaikan nih.... Itu lanjutan pesan singkat anakku.
Aku langsung tahu apa yang dimaksudnya. Kresna pasti melihat wajah murung Sekar,
yang tadi keluar secara mendadak.
Pada saat sedang
menikmati makan prasmanan bersama, kami semua dikejutkan sesuatu. Disela-sela
suara alunan penyanyi yang sengaja diundang untuk mengisi acara
kangen-kangenan, di atas panggung mini berdiri seseorang bertopi, memakai
kacamata hitam, dan berkemeja keren. Dia ikuti menimpali suara penyanyi
perempuan yang sedang mendendangkan lagunya. Seseorang yang bernyanyi itu, juga
bercambang di wajahnya. Ketika ia melepaskan kacamatanya, semua bersorak keras.
Yang di atas panggung adalah Fredy.
“Haiii.., haloo
teman-teman...,” sapa Fredy kepada semua, selesai si penyanyi perempuan
bernyanyi. Sari buru-buru naik ke atas panggung, menyambut kedatangan Fredy
yang tidak disangka-sangka. Perkiraanku tidak meleset, pasti Eddy yang
menghubungi Fredy untuk datang. Di atas panggung, Fredy minta maaf karena baru
bisa datang ketika acara sudah hampir di penghujung. “Baru dapat pesawat di
menit-menit terakhir, nih,” katanya beralasan.
Fredy juga menambahkan
kata-katanya, “Ed, sorry ya! Tanpa kamu SMS pun, aku pasti akan datang ke
sini.” Fredy menunjuk ke arah Edy yang sedang memegang segelas orange juice. Edy pun tak mau kalah. Dia
melambaikan tangan membalas salam Fredy.
Selesai memberi alasan
keterlambatannya, Fredy turun dan membaur bersama kami menikmati makanan yang
disajikan. Aku langsung mendekati sahabatku itu. Tanpa sengaja, ternyata Sara
mengikuti dari belakang menuju Fredy juga. Tak urung, suitan dan teriakan
kembali terdengar merdu. Kami bertiga hanya bisa tersenyum dan berangkulan.
*****
Di luar ruangan, dua
pasangan muda tengah berbincang. Mereka duduk berhadapan di kafe yang ada di
seberang gedung pertemuan. Wanita yang berwajah murung tadi lebih banyak diam,
sesekali meneguk minuman dingin yang dipesankan si pria. Matanya mengawasi
tajam gedung pertemuan, tempat bundanya sedang bernostalgia dengan teman-teman
masa kecilnya. Ketika matanya sudah tidak mengawasi gedung pertemuan, gantian
matanya memandang pria yang duduk dihadapannya. Kresna tersenyum. Ujung jarinya
menyentuh ujung hidung Sekar. Mengusap-usap pelan, “Sudahlah.... Masa cemberut
terus dari tadi.” Sekar tetap diam saja meski Kresna berulang kali menggodanya
supaya mau tersenyum.
“Suer, aku juga nggak
tahu kalau mamamu adalah teman SD ayahku,” ucap Kresna, yang akhirnya mulai
bercerita perihal kedekatan orang tua mereka di masa lalu. Diceritakan seperti
itu, Sekar tetap saja diam. Dia kembali meneguk minuman dinginnya. Matanya
menatap keluar, ke arah gedung pertemuan lagi.
“Jujur, aku tadi kaget
melihat mamaku berpelukan mesra dengan ayahmu,” suara yang ditunggu Kresna
akhirnya keluar dari mulut Sekar. Nada kesal masih menyelimutinya.
“Kenapa juga itu harus
dengan ayahmu,” lanjut Sekar perlahan. Kresna tidak bereaksi mendengar ucapan
Sekar. Dia hanya terus mendengarkan apa yang diucapkan kekasih hatinya itu.
Terdengar tarikan nafas panjang dari hidung Sekar, yang kemudian segera
dihembuskan.
“Kasihan papa kalau
melihat apa yang dilakukan mama.” Gantian Kresna yang kini menarik nafas.
Merasakan dalam hati bahwa apa yang dikatakan Sekar tidaklah salah. Akan tetapi,
pada kenyataannya, kedua orang terkasih itu sedang mengenang masa indah mereka.
“Kalau aku percaya,
ayahku tidak pernah menyakiti hati bundaku. Dia selalu mengatakan itu kepadaku.
Katanya, apapun yang terjadi di masa lalu, dengan segala kenangan dan kejadian,
faktanya bundamu adalah istri sah ayah sampai sekarang. Jadi, aku pegang saja
omongan ayahku. Dan kurasa, tentunya mamamu juga akan berkata sama dengan
ayahku.”
Bahu Sekar
ditepuk-tepuk pelan oleh Kresna untuk menguatkan perasaan batinnya yang mungkin
saja terkejut mendadak. Meskipun belum merasa lega, Kresna sudah melihat wajah
Sekar tidak lagi kuyu. Sedikit cerah. Rona cantik yang biasa dilihatnya,
kembali tampak. Tanpa mereka sadari, ada mata-mata yang mengawasi mereka di
kafe itu. Mata-mata yang mengawasi Sekar dan Kresna, sedang cekikikan. Tawa
cekikikan tentu saja tak terdengar dari
meja kedua insan muda itu.
Lagi-lagi Sekar
memandang ke arah gedung pertemuan itu. Kepalanya setengah mendongak,
memastikan bahwa para peserta reuni sudah selesai berkangen-kangenan.
“Sudahlah, sudah.... Kita tunggu sini saja,” ucap Kresna menenangkan Sekar yang
kembali bereaksi. “Paling jam 10-an mereka selesai,” ujar Kresna lanjut.
*****
Aku, Fredy, dan Sara
makan dalam satu meja serta mengobrol banyak hal. Sesekali teman-teman kami
datang menyambangi meja kami. Menggoda kami, mengolok kami dengan gaya candaan
jaman SD dulu. Kami cuma tersenyum mendengarnya. Tiba-tiba Sara bangkit sesudah
menghabiskan salad buah yang dimakannya. “Aku mau temui anakku dulu,” katanya
singkat. Aku dan Fredy saling berpandangan. “Stop, tunggu dulu. Aku juga mau
ikut,” ujarku. “Aku selesaikan dulu sop ini.” Fredy sempat mengernyitkan
jidatnya. Jidatnya lebar karena rambut depannya sudah menipis.
“Ada apa?” tanya Fredy
heran. Secara tidak sengaja, aku dan Sara menggelengkan kepala. “Deuhh...,
kompak banget kalian,” goda Fredy.
“Wis, selesaikan
makanmu. Kamu harus ikut ke sana,” tunjukku ke arah kafe di seberang gedung
pertemuan. Giliran Fredy yang ngebut menghabiskan salad dan es krim yang sedang
dimakannya. Sara pun kembali duduk, menunggu Fredy dan aku selesai makan.
“Sari, aku ke sana
sebentar. Sara sama Fredy mau ikut” aku pamit kepada Sari si pembawa acara.
“Jangan langsung
pulang, ya,” tegas Sari kepada kami yang siap berjalan ke luar ruangan. Hanya
jawaban oke-oke yang kami ucapkan, sembari melangkah ke luar. Beberapa teman
menanyakan hendak kemana kami bertiga.
“Proyek masa depan,”
jawabku sekenanya. Iya deh, terdengar suara itu yang keluar dari mulut
teman-teman. Secepat kilat aku gamit tangan Sara. Masing-masing dari kami, aku
dan Fredy, memegang tangan Sara, kiri dan kanan. Melihat kelakuan kami bertiga,
teman-teman berkicau. Dengan cuek dan dengan langkah tegap, kami berjalan
beriringan. Tujuan ke kafe seberang gedung pertemuan.
Ruangan kafe yang agak
temaram menyebabkan kehadiran kami tidak terlalu menyolok. Termasuk
ketidaktahuan Kresna dan Sekar bahwa kami menyusul ke kafe. Ada meja kosong,
dekat dengan meja keduanya. Sengaja kami mendekati karena ingin mendengarkan
perbincangan keduanya. Meski tidak terdengar jelas, kami sempat mendengarkan
obrolan Kresna dan Sekar. Sara, yang semula kalem dan tenang, mulai terlihat
gugup. “Tenang, Sar, santai wae,” aku berusaha menenangkan Sara. Fredy juga
berupaya sama. Dan begitu Sekar terlihat melongok kembali, melihat ke arah
gedung pertemuan, kami bertiga mendekat. Mendatangi meja mereka. Sebelum kami
berjalan ke meja Sekar dan Kresna, Fredy sempat menanyakan kepada Sara, “Sekar
dengan siapa, Sar?” Sara tersenyum, matanya mengerling ke arahku. Fredy yang
melihat Sara melemparkan matanya ke arahku, kini berpaling padaku.
“Opo tho iki?” tanya
Fredy bingung.
Fredy selama ini memang
sudah mengenal Sekar, anaknya Sara. Tapi, dia belum mengenal Kresna. Makanya
menanyakan hal itu kepada Sara. “Cowok itu anakku, Fred,” aku menjelaskan
akhirnya.
“Anakmu, Dhit?” Mata
Fredy melotot. Aku mengangguk pelan.
“Ndonya ki ncen sempit
tenan.” Komentar dari mulut Fredy.
Betapa terkejut keduanya
mendapati kami bertiga sudah berada di meja mereka. “Ayah, Bunda..,” Mereka
serempak setengah berteriak.
“Om, Tante, silakan
duduk,” Kresna mempersilakan kami duduk. Suasana diam sesaat sebelum akhirnya
aku angkat bicara.
“Kenalkan.... Ini Tante
Sara,” kataku kepada Kresna. Sara juga tak mau kalah, ia mengenalkan aku kepada
Sekar, anaknya. Fredy hanya senyum-senyum kami saling mengenalkan.
“Kalau ini Om Fredy,
teman ayah dan Tante Sara,” jelasku kepada keduanya. Keduanya secara bergantian
mengangsurkan tangannya, menyalami Fredy. “Ya, ya, saya teman kecil ayah dan
ibumu,” terdengar suara Fredy mengenalkan dirinya. Tiba-tiba, “Bunda....” Sekar
memanggil Sara. Kepala Sara menengok ke arah Sekar. Bibirnya tersenyum. Jari
telunjuknya dirapatkan di depan bibir Sekar.
“Ayo, kita kembali ke
gedung!” ajak Sara. “Kalian juga harus ikut ke sana!” Sekar sempat menggeleng
tak mau ikut. Sara membujuk anaknya. Dia mengatakan, harus ada yang diketahui
di sana. “Ayolah, mumpung acara reuni belum selesai. Kalian perlu tahu. Nggak
akan rugi mendengarkannya,” sekali lagi Sara mengajak anaknya. Kresna tampak
juga membujuk Sekar ikut. Hati Sekar melunak. Kami pun berjalan ke gedung
berlima.
Aku bisa merasakan,
Sekar tidak mau berjalan dekat denganku. Dia memilih berjalan di antara Kresna
dan Fredy. Sementara aku, tetap berjalan bersebelahan dengan Sara. Pada saat
Sara berbisik sesuatu kepadaku, kemudian aku tertawa kecil, Sekar memandangi
kami dengan wajah curiga. Dalam hatiku, betapa bangga dan senangnya aku akan punya
calon menantu sepertinya. Kresna dan Sekar, menurutku, pasangan yang serasi.
Klop dan mereka terlihat menyenangkan.
Di pintu masuk gedung,
Edy Manindo menyambut kami. Sebetulnya tidak menyambut secara khusus, hanya
kebetulan Edy selesai berhajat di toilet dan hendak masuk ke dalam juga. Pada
saat melihat kami berlima datang, keberadaannya di depan pintu seakan sedang
menyambut rombongan kecil ini.
“Lama sekali kalian!”
Itu ucapan yang keluar dari mulut Edy. “Namanya juga proyek masa depan, Ed...,”
timpalku merespon komentar Edy. Kami tertawa, sementara kedua anak muda yang
bersama kami hanya terdiam. Mereka terus mengikuti kami masuk.
Begitu kami sudah
berada di dalam gedung, suasana masih riuh. Beberapa teman masih terlihat
memegang piring dan mulutnya terlihat mengunyah makanan. Semua duduk di
meja-meja bulat yang sudah tersedia. Kulihat Sari berada di panggung bersama
Iman. Melihat kami masuk, Iman langsung berteriak, “Ndang buruan mlakune. Wis
dienteni seko mau. Lakonne jee.” Sementara, di bawah panggung mini, terlihat
Lina, Nuci, Hendyah, Ening, Dewi, dan Rika, sedang sibuk menata goody bag berisi suvenir. Seksi sibuk
acara reunian, kangen-kangenan, sudah menyiapkan suvenir berupa handuk, pin,
gelas mug, dan sebuah buku. Aku tahu persis buku apa yang akan dijadikan
suvenir untuk teman-teman.
“Dhit, mrene o,” teriak
Iman menyuruhku naik ke atas panggung mini. Aku menuruti perintah Iman. Dengan
berjalan santai, aku melenggang ke atas panggung mini, tempat dua temanku
berdiri serta memegang mike.
Iman mendaulatku untuk
menyampaikan sesuatu kepada teman-teman. Sudah bukan rahasia lagi, aku memang
ditunjuk sebagai Lurah bagi teman-teman Ungaran Kelas 6A. Sejak kapan
ditunjuknya, oleh siapa, aku tidak tahu. Mungkin gara-gara gegojekan serta candaan yang sering terjadi di grup whatsapp maupun BBM , yang akhirnya menyeret aku harus menjadi Pak Lurah. Karena
memang grup ini dibuat untuk gumbira, bersenang-senang, dan ngedan, aku iya iya saja menerima tugas
lurah.
Aku tidak
berpanjang-panjang sambutan layaknya pejabat. Hanya mengucapkan terima kasih
atas kehadiran teman-teman dan tetap berharap silahturahmi jalan terus. Ada
satu pesan yang kusampaikan kepada mereka dan mereka nggak boleh melupakan
apalagi sampai mengingkarinya.
“Apaan tuh??” Koor
teman-teman.
“Kalian nggak boleh
waras selama berada di grup kita. Kalau waras, artinya kalian masih sakit. Dan
tempat berobatnya, ya hanya ada di lapak UNGA. Di grup whatsapp maupun BBM.”
Ruangan sempat hening sebelum akhirnya terdengar gelak-tawa teman-teman.
“Edan..., edan....
Lurah e gendheng...!”
Dari atas panggung
mini, aku sempat melihat Sekar ikutan tertawa. Sementara tampang Kresna kecut.
Barangkali saja dia malu melihat kelakuan ayahnya barusan. Apalagi setelah Sekar
membisiki sesuatu. Aku sangat yakin, pasti Sekar membisiki Kresna, “Ayahmu
strip. Edan tenan.” Hahahaha .....
Di penghujung acara,
aku menyampaikan kepada teman-teman. “Kita selayaknya berterima kasih kepada
teman-teman yang sudah mau bersibuk-sibuk membantu penyiapan acara ini. Tanpa
mereka, entahlah acara ini.”
“Ada sedikit oleh-oleh
untuk kalian. Jangan lihat harganya. Nggak seberapa pastinya, tapi justru
disitulah kita menjadi tetap dekat dan langgeng dalam bersahabat.” Aku
mengambil buku yang berada dalam goody
bag.
“Sara, ke sini!”Aku
memanggil Sara yang duduk bersama Sekar dan Kresna. “Fredy, ikutlah naik,”
kataku. Kedua temanku itu manut, menuruti panggilanku.
“Buku ini,” aku
mengacungkan buku yang kuambil dari goody
bag, “Aku dedikasikan untuk kalian, teman-temanku kelas 6A. Ada beberapa
tulisan di dalam. Salah satunya, sudah aku perankan dan aku mainkan tadi,
bersama Sara, juga Fredy.”
“What? Semprul tenan!!
Asem kii...” Terdengar umpatan yang keluar begitu saja setelah aku katakan
bahwa ini drama satu babak.
“Fredy seharusnya ikut
dari awal. Gara-gara pesawatnya terlambat, terpaksa aku harus berimprovisasi.
Sara, tengkiu, ya,” ucapku sambil tertawa. Sara yang berdiri di sebelahku hanya
tersenyum.
“Buat yang sudah kadung mecucu, menjeb, dan mangkel,
maafin oom, ya?” Mataku berpaling arah, tertuju kepada Sekar. Kresna terlihat
meninggikan lehernya begitu aku mengatakan hal sebenarnya.
“Bundamu tetap punya
papamu. Dijamin seratus persen!” Aku berusaha meyakinkan Sekar. Mendengar
penuturanku, Sekar mulai tersenyum. Sekar juga melirik Kresna.
“Huuuuu.....Huuuuu,
tiwas....tiwas,” teriak teman-temanku.
Aku meminta Sekar dan
Kresna naik ke atas panggung. Mereka berdua berjalan bersama menuju panggung
mini. “Nah, yang bukan setting-an, yang
bukan termasuk dalam drama satu babak, ya mereka itu,” kataku sambil menunjuk Kresna
dan Sekar.
“Aku sama Didiet nggak
tahu kalau mereka jadian,” Sara menyela bicaraku. Aku berhenti bicara dan
mengangguk saja. “Dan kami baru tahu mereka jadian, ya pas acara ini,” tambahku lagi. Kedua anak muda itu
hanya tersipu-sipu mendengar kedua orang tuanya bicara. “Ndonya pancen sempit
kalau seperti ini,” ujarku sambil mengerling ke arah Fredy.
“Oalah, Gustii...,”
teriak Ari Artanto. “Arep besanan rupanya Sara ambek Didiet. Selamat,
selamat....” Lagi-lagi yang terdengar hanya gemuruh tawa, ledekan bahkan
suara-suara nggak percaya. Itulah keakraban kelas 6A.
“Doakan saja, semoga
kami menjadi keluarga besar yang rukun, baik, bersahaja, dan tetap kompak,”
ujarku menambahkan.
Aamiin....Aamiin....
“Oh ya, ada yang lupa.
Terima kasihku untuk Edy Manindo, yang sudah berpura-pura keluar ruangan dan
menelpon Fredy.” Aku melambaikan tangan ke arah Edy. “Miss u, Edy,” terdengar
pula lengkingan suara Sara.
“Kalian tahu? Edy
keluar juga sebenarnya kebelet.” Mendengar kata-kataku, teman-teman tertawa.
Sekali lagi, umpatan dan serapahan lucu-lucuan kembali mencuat.
Sambil memegang buku
kumpulan cerpenku, aku bilang, “Nanti kalian akan menemukan jalinan kalimat: Dia
yang di hati adalah kisah klasik dari masa lalu. Jika terdengar denting piano di penghujung malam, biarkan rasa ini sempurna karena
kehadiranmu dan karena kucinta kau.”
“Silakan kalian cerna
dan tebak sendiri,” ucapku lagi sebelum menyudahi sambutan.
Komentar
Posting Komentar