FOTO YANG TERSEMBUNYI

Begitu Sekar menolak keinginanku untuk mengirimkan foto keseluruhan dirinya, sejak itu aku tak pernah minta lagi. Heranku, apa sih susahnya mengirimkan satu atau dua foto, seperti aku tanpa dimintanya pun memberikan cuma-cuma. Karena bagiku, pertemanan selama ini sudah cukup membuktikan. Bagiku, jangankan bisa melihat foto keseluruhannya, foto wajahnya saja, aku pun tak pernah tahu. Sekar sangat tertutup. Namun anehnya kenapa aku masih saja berhubungan dengannya meskipun hanya melalui media sosial yang kami punyai. Kami memang terpisah jarak yang jauh juga waktu. 

          Perkenalanku dengan Sekar sangat tidak disengaja sama sekali. Saat itu, setahun yang lalu, aku sedang antri untuk cukur rambut di salon langgananku. Bosan menunggu hanya dengan bermain ponsel, aku mengambil koran yang ada di rak kecil milik salon itu. Yang kuperoleh hanya lembaran koran Swara Mardika khusus halaman budaya dan sastra. Di lembaran itu ada sebuah cerpen berjudul Cintaku Terkubur Debu Rel Keretapi. Entah kenapa, judul cerpen itu menggelitik rasa ingin tahuku untuk membacanya. Ternyata sebuah cerita tragis kecelakaan kereta api yang membuat si tokoh kehilangan keluarga dekatnya termasuk suami dan anak keduanya yang masih balita. Aku bahkan sampai merinding membacanya. Bisa kubayangkan si tokoh yang mengalami kejadiannya itu.
            Layaknya cerpen-cerpen di koran, di bagian bawah judul selalu tertera nama penulisnya. Cerpen yang kubaca ini ditulis oleh Sekar Asmarati. Dan pada bagian akhir tulisannya tercantum alamat surat eletronik sekarsmarati@gmail.com. Sambil menunggu giliran potong rambut, iseng-iseng aku mengirimkan pesan ke alamat surel Sekar. Kebetulan aku memang menggemari dunia literasi sehingga berteman dan bersahabat dengan sesama pemilik karya tulisan, tentulah sangat menyenangkan dan mengasyikkan. Semua genre tulisan aku lahap asalkan ceritanya bisa menghapus dahagaku akan karya sastra. Sayangnya, surat perkenalanku lewat surel baru dibalas Sekar beberapa bulan kemudian. Itu pun hanya jawaban ringkas.
            Terima kasih, salam… Sekar
            Menunggu lama balasannya sempat membuat aku berpikir, perkenalan ini tidak diterimanya. Makanya aku bersyukur ketika akhirnya Sekar membalas pesanku. Meskipun hanya dijawab ringkas, aku membalasnya sambil berceloteh bahwa aku menyukai tulisan-tulisannya yang tersebar di beberapa media nasional maupun lokal. Sama dengan yang pertama, pesan keduaku pun tak langsung dibalasnya. Harus sabar menunggu beberapa masa kemudian. Namun aku terpuaskan selama menunggu balasannya, beberapa kali aku melihat cerpen-cerpennya terbit di koran Swara Mardika, Tabloid Goresan Pena, dan Koran Minggu Bersinar. Pada ketiga media inilah karya-karya Sekar berupa cerpen paling sering dimuat. Aku nyaris tak pernah lupa membacanya setiap minggu.
            Terlalu lama menunggu balasannya, membuat aku tidak lagi menunggu Sekar membalas pesan keduaku yang hampir aku lupakan. Akan tetapi, sebuah kejutan hadir di hadapanku. Pada bulan ke berapa sejak aku mengiriminya pesan kedua, tiba-tiba saja ada surel dari Sekar. Isinya sangat menggembirakan hatiku. Sekar minta maaf karena terlambat membalas pesanku. Dalam pesan keduaku kepadanya, beberapa waktu yang lalu, aku memang sempat menanyakan apakah dia memiliki akun di media sosial. Baru kali ini ia menjawab dan memberikan akun-akun media sosialnya. Tanpa pikir panjang, semua akun medsos-nya aku tambahkan pertemanan denganku. Sejak saat itulah aku sering rajin berkomunikasi dengan Sekar. Namun yang sangat kuingat adalah sepanjang aku berhubungan dengannya, tak satu pun aku tahu wajahnya. Oleh karena itu, ketika aku minta dia mengirimi foto keseluruhan dirinya, itu menjadi permintaan yang sia-sia saja. Tak pernah ia berikan satu pun. Bahkan medsos miliknya tak ada yang menampilkan foto mengenai dirinya. Menelisik seksama pun, aku tak menjumpai apapun di situ untuk bisa tahu siapa Sekar itu. Kalau pun ada pajangan foto-foto, pastinya foto-foto kegiatannya yang berhubungan dengan tulis-menulis atau saat dia merilis tulisannya maupun karya-karyanya.  Foto profilnya selalu menampilkan bunga. Berbagai bunga selalu dia tampilkan sebagai foto profil maupun foto sampul medsos-nya.
            Mungkin Sekar merasa tahu aku tidak bermaksud nakal dan aneh-aneh kepadanya. Namun demikian tetap saja ia tak pernah mau kalau kuminta memberikan sedikit potongan wajahnya atau tampilan citranya sebagai sosok penulis yang aku kagumi. Pernah ia akhirnya mengirimiku potongan fotonya. Benar-benar potongan foto yang hanya menampilkan separuh wajahnya. Itu pun masih di sketsa hitam putih dan diterangkan warna sketsanya. Walhasil, aku hanya penasaran melihatnya namun juga tidak memintanya memperjelas wajahnya. Aku pasrah. Mungkin suatu saat Sekar mau berbaik hati menunjukkan foto wajahnya. Bagiku, ia mau berbagi tentang dunia tulis-menulis sudah membuatku gembira. Suatu saat, aku terkesima dan hanya bisa menggelengkan kepala. Potongan foto yang di sketsanya pun ternyata raib dari medsos-nya. Barangkali semesta sangat hapal dengan desahan nafasku setiap kali menyikapi kelakuan Sekar yang demikian.
            Aku berusaha melupakan soal minta-meminta foto lagi kepada Sekar. Pertemanan kami adalah pertemanan ilmu tulis-menulis. Saling berbagi dan bertukar pengalaman dalam literasi. Sesekali kami cerita-cerita konyol untuk mengusir kebosanan belajar melulu. Sesekali juga aku menceritakan kotaku kepada Sekar. Menceritakan banyak tempat wisata yang menyenangkan, dari wisata kuliner sampai wisata religi juga wisata tempat bersejarah. Lagi-lagi aku dibuat heran dengan jawaban Sekar. Tampaknya ia tidak tertarik dengan ceritaku. Hal itu bisa aku tahu dari jawaban-jawabannya saat chatting.
            Pada kesempatan lain, secara tiba-tiba Sekar berbagi cerita tentang dirinya. Anehnya, setiap aku ingin bertanya lebih lanjut ia berusaha menghindari bahkan mengalihkan ke topik lain. Dia yang mulai, tapi ketika lawan bicaranya hendak menyelami, ia putus ceritanya tanpa penjelasan. Lama-kelaman aku memahami karakternya. Aku bisa merasakan ada sesuatu yang sedang terjadi dalam diri Sekar. Ingin sebenarnya ikut membantu, mengurangi bebannya, sayangnya ia menelan sendiri cerita-cerita “misteri-nya”. Dan itu ternyata selalu berulang. Sekar melontarkan ceritanya, saat akan dibantu, ia mengalihkan mendadak tanpa pedulikan lawan bicaranya. Kadang aku berpikir, berteman macam apa ini? Namun dari situ aku belajar literasi kehidupan dari Sekar, serta membiarkannya mengarungi sendiri masalahnya. Aku membiarkan dirinya begitu. Jika perlu, pasti ia akan membuka dirinya sendiri kepadaku.
            Dini hari itu aku terbangun. Lagu dering ponselku berbunyi nyaring memecah kesunyian penghujung malam. Meskipun sempat kaget, dering itu menjadi berkah bagiku. Mengingatkanku untuk salat tahajut. Sebelum beranjak ke kamar mandi, kulihat siapa yang menelponku dini hari itu. Hanya menampilkan angka-angka yang tidak kukenali. Iseng-iseng langsung aku telpon balik. Suara perempuan terdengar, “Maaf. nomor yang Anda tuju berada di luar jangkaun. Silakan coba lagi.” Aku hanya mendesah pelan kemudian bergegas menuju kamar mandi.
            Perasaanku lega, nyaman, tenang setelah tahajut. Sebelum menyalakan laptop, aku mengirimkan pesan wattsapp ke istriku yang sedang berada di rumah orang tuanya. Ia di sana bersama anak pertamaku menengok mertua perempuanku yang sedang sakit. Dari pesan yang dikirimkan istriku, ia mengatakan 2 hari lagi baru bisa pulang. Aku memakluminya dan mengiyakan karena tidak bisa ikut mengantarkan ke rumah orang tuanya.
            Sembari menunggu azan subuh aku menyalakan laptop hendak memeriksa tulisan yang belum selesai juga memeriksa surel yang masuk. Pemberitahuan facebook menyala. Ada pesan masuk. Dari Sekar rupanya. Ia mengirimkan foto leaflet sebuah acara. Pesan yang dicantumkan Sekar berbunyi: Baca info itu siapa tahu berminat. Setelah aku zoom foto itu barulah terbaca jelas undangan acara itu.
            Buru-buru aku memberikan jawaban kepada Sekar bahwa aku berminat menghadiri acara lauching novel itu. Sepertinya bukan novel milik Sekar. Pada leaflet tertulis nama Trias Elsa Ryani dengan novel berjudul Dan Bila Waktunya.
            Tak lama kemudian Sekar memberikan balasan, “Nanti temui si penulis. Katakan saja teman Sekar. Ia pasti akan memberikan novelnya padamu.” Setelah aku mengucapkan terima kasih dan berpamitan, Sekar masih menambahkan pesannya. “Jangan lupa, 24 Januari 2017, pukul 2 siang di Cleo Bookstore. Dan kata OK mengakhiri obrolan pagiku dengan Sekar.
***
            Tanggal 24 Januari siang sebelum pukul 2 aku sudah tiba di Cleo Bookstore. Di pintu masuk toko juga di dalam toko dekat tempat acara akan berlangsung, sudah bertumpuk novel Dan Bila Waktunya. Para pengunjung toko yang bermaksud book signing dengan penulis novel sudah membeli buku dan mereka menggamit novel itu kemudian segera duduk di kursi yang disediakan. Aku sengaja duduk di barisan depan tanpa membeli novel tersebut. Sangat yakin dengan pesan Sekar yang mengatakan si penulis pasti akan memberikan novelnya berikut tanda tangannya. “Elsa adalah temanku.” Itu yang Sekar katakan.
            Menurut informasi yang sempat kuperoleh, siapa pun yang duduk, ia akan diprioritaskan untuk antri meminta tanda tangan. Yess, yess, ucapku gembira. Berarti aku akan bertemu Elsa urutan ketiga, karena aku duduk di kursi ketiga sesuai urutan yang sudah ditentukan pihak toko buku.
            Terdengar suara riuh dari tangga dekat tempat acara. Hmmm, rupanya si penulis novel sudah datang. Aku sempat terkejut melihat Elsa berjalan. Ia menggunakan penyanggah di lengan kiri dan kanan. Kaki kiri Elsa tidak ada. Buntung. Meskipun rok panjangnya digunakan untuk menyamarkan kakinya yang buntung, tetap saja semua orang, tidak hanya aku, mengetahui ketiadaan kaki kirinya. Tak ada gurat ragu diwajahnya. Sangat percaya diri. Senyum manis ditorehkan pada bibirnya yang merah namun tak menor. Ia terlihat cantik. Tampak smart juga. Tepat di tengah panggung yang jadi miliknya, ia tersenyum manis sembari mengucapkan sapaan hangat kepada semua yang hadir.
            Waktu masih kurang dari jam 2 siang, namun pihak toko langsung memulai acara ini. Seperti biasa, pihak tuan rumah, Cleo Bookstore, mengawali pembukaan. Setelah menjelaskan tujuan dilaksanakan acara siang itu, pihak toko buku menyerahkan sepenuhnya acara kepada penerbit buku dan si penulis, Trias Elsa Ryanti. Tak lama Trias menjelaskan isi novelnya secara singkat. “Biar seru silakan kalian baca sendiri, biar langsung bisa tahu seperti apa jalinan cerita yang saya buat.” Tidak lebih dari 15 menit paparan isi novel selesai dijelaskan Elsa dan editor novel tersebut.
            Begitu pihak toko buku mengatakan acara book signing hendak dimulai, peserta launching merangsek ke depan tanpa aturan. Jelas-jelas panitia sudah menyiapkan antrian sesuai tempat duduk, masih saja dilanggar. Sesudah bersusah-payah mengatur pengunjung, security tobuk bisa mengembalikan peserta untuk duduk di kursi masing-masing. Dan aku tetap ada  di urutan ketiga.
            Dari tempat dudukku, aku leluasa memandang Elsa sepuas-puasnya. Cantik, menarik, dan kelihatan cerdas. Tanpa kaki tidak menjadikannya suatu beban, justru Elsa terlihat tegar, bersahaja, dan tetap yakin dengan penampilannya. Entah kenapa ketika memandang Elsa, aku berharap sekali itu adalah Sekar. Seorang teman dari pertemanan medsos yang tak pernah sekali pun kulihat wajahnya, potong fotonya atau bahkan keseluruhan penampilannya. Tapi itu segera kutepiskan karena melihat penampilan utuh Trias Elsa Ryani. Cukuplah sebagai pengganti inginku kepada Sekar.
            Petugas Cleo Bookstore mempersilakan aku maju. Dari tatapan matanya aku percaya dia bertanya dalam hatinya sendiri mengapa aku tidak membawa novel Elsa yang akan ditandatangani. Elsa tersenyum ketika aku mendekati meja tempatnya menandatangani novelnya. Sebelum aku menyapa lebih lanjut, Elsa langsung berkata ringan, bibirnya tetap mengudar senyuman indah.
            “Mas Firly, ya!” Aku sempat terbengong sesaat kemudian cepat menganggukkan kepala.
            “Firly Ghosah Hambali,” sebut lengkap Elsa atas namaku. Sekali lagi aku mengangguk. Ia merogoh sesuatu dari tas ransel di sebelahnya. Sebuah buku diambilnya kemudian digeletakkan di meja di depannya. Novel Dan Bila Waktunya versi kaver tebal dan lebih terlihat elegan.
            “Temannya Sekar, kan?” katanya lebih lanjut sembari membuka halaman depan novel edisi terbatas itu. Ia lantas menuliskan kalimat yang belum terbaca olehku secara utuh. Kurasa kalimat yang dituliskan lebih panjang daripada 2 pengunjung lain tadi. Setelah membubuhkan tanda tangannya diserahkan novel itu padaku. Sekali lagi senyuman manis penuh kehangatan ia tampilkan. Aku menerima novel itu seraya menyodorkan tangan untuk berjabatan tangan. Sesudah berjabatan tangan aku bergegas berdiri dan mengucapkan terima kasih. Elsa berkata pelan, “Nggak mau foto dengan saya. Rugi lho… Mau saya berikan foto kita kepada Sekar.” Ajakannya membuatku agak tersipu. Baru kali ini seorang penulis mengajak foto penggemarnya. Biasa-biasanya, para penggemarlah yang selalu minta foto bersama. Seorang kru tobuk kumintai tolong untuk memotret aku dan Elsa.  
            “Terima kasih ya sudah mau datang ke sini,” ucap ramah Elsa sebelum aku kembali duduk ke kursiku. Anggukan kepalaku menyudahi pertemuan kami. Aku segera kembali ke kursiku dan segera membuka novel pemberiannya.
            Di kursiku, pengunjung yang duduk di sebelahku bertanya apakah aku memesan novel edisi khusus. Otakku merespon cepat pertanyaan pengunjung ini supaya tidak terlihat berbeda. Kataku, memang aku memesan edisi khusus itu kepada penulisnya langsung. Nanti edisi yang seperti ini bakal juga dicetak, kataku melanjutkan jawaban pengunjung sebelahku. Ia tampak puas serta menganggukkan kepalanya. Aku pun tak berlama-lama di kursiku karena tujuan bertemu Elsa dan menerima novelnya sudah terlaksana. Segera aku keluar dari barisan pengantri book signing.
            Ketika melangkah keluar dari antrian aku mencoba mencuri pandang ke arah Elsa. Tanpa sengaja kepala Elsa menengadah setelah menunduk. Melihat aku melemparkan senyuman ia mengangguk. Ahhhm senyuman itu indah nian, pikirku, sambil terus melangkah.
            Di luar toko ada Pojok Ngeteh milik sebuah produsen teh. Aku mampir ke situ. Penasaran pingin melihat yang dituliskan Elsa di halaman dalam novelnya. Setelah menuliskan pesanan, aku membuka novel itu.
            Salam hormat untuk sahabat medsosku, Firly. Terima kasih atas persahabatan yang tulus dan hangat yang sudah kau torehkan untukku. Jangan lepaskan persahabatan kita setelah pertemuan ini. SEKAR….
          Kalimat dalam balutan tulisan latin yang indah membuatku tertegun. Mengapa Elsa menuliskan nama SEKAR bukan namanya sebagai penulis novel. Aku memastikan lagi kata Sekar. Dan memang itu yang tampak. Tanda tangannya memang  membentuk tulisan T. Elsa Ryani. Aku masih agak bingung dengan peristiwa ini. Kebingunganku dikejutkan sapaan kru Pojok Ngeteh yang mengantarkan pesananku. Tegukan teh yang kupesan sudah membasahi kerongkonganku namun aku belum dapat menarik benang merah tulisan Elsa yang menamakan dirinya Sekar. Apapun itu, aku tetap akan berterima kasih kepada Sekar dengan mengiriminya pesan di facebook-nya.
            Cukup lama juga aku duduk di Pojok Ngeteh berharap Elsa keluar dari pintu masuk toko buku. Sayangnya sejam lebih di situ, sosok Elsa tidak tampak. Usut punya usut, aku mendengarkan celotehan petugas parkir yang mengatakan Elsa keluar lewat lift khusus tamu-tamu VIP toko buku menuju parkir basement. Kuselesaikan makan dan minumku kemudian membayar di kasir, dan pulang ke rumah.
            Malam hari, saat aku membuka laptop, mengerjakan tulisanku, sekaligus aku mengirimkan pesan messenger kepada Sekar. Ada yang aneh di akun fesbuk Sekar. Ia memasang fotoku dengan Elsa pada sampul akunnya. Tak ayal lagi banyak komentar yang muncul sesudahnya. Semua mengapresiasi foto sampul tersebut. Aku juga ikut menjempol tanda menyukai tayangan foto sampulnya. Meskipun di dalam hati bertanya-tanya kenapa Sekar memasang fotoku dengan Elsa. Kutuliskan komentar di situ: Kok fotoku dengan Elsa nampang ya?? hehehe….
            Pesan balasan dari Sekar masuk. Ia membalas pesan ucapan terima kasihku yang sudah mengenalkanku kepada Elsa dan mendapatkan novelnya.  “Semoga Mas Firly suka dengan novel ‘Dan Bila Waktunya’. Ayo dong kasih komentar kalau sudah membacanya. Ditunggu yaa….”
            Balasan yang super cepat dari Sekar benar-benar mengejutkanku. Iseng-iseng aku membalas pesannya dengan kalimat, “Five minutes message service nih yee…” Dan, tanpa jeda lagi, Sekar mengirimkan icon tertawa lebar.
            Selesai icon tertawa lebar, masuk lagi pesan dari Sekar. Tulisannya begini: Saya melihat lho Mas Firly yang terkejut saat Elsa memberikan novel edisi khususnya. Kok tegang gitu sih mau ketemu penulis novelnya, hehehehe …. Hah, dimana Sekar saat itu sampai dia bisa tahu situasi mukaku yang agak malu karena tidak membawa novel yang mau ditandatangani Elsa.
            “Sekar dimana sih?” tanyaku. “Kenapa tidak mau ketemuan denganku? Sombong sekali sih!” Kusertakan icon merengut pada kalimat balasanku pada Sekar.
            Icon tertawa lebar muncul lagi diikuti tulisan yang menyertainya. “Sudah mulai membaca novelnya Elsa? Cobalah baca dengan seksama.” Sekar memintaku segera membuka novel si Elsa. Sebelum aku membalas pesannya, buru-buru aku membuka novel edisi lux tersebut. Perlahan dari sejak halaman sampul, halaman dalam, daftar isinya sampai kata pengantarnya, aku baca perlahan. Tidak kutemukan sesuatu yang aneh maupun yang menyentuh tentang Sekar. Hanya tulisan tangan Elsa yang tadi sempat mengernyitkan jidatku. Itu pun kuabaikan dan terus mencari lagi sesuai maunya Sekar.
            “Kok nggak ada sih?” tanyaku.
            “Dah, bacalah dengan seksama novel Elsa itu, nanti pasti menemukan apa yang Mas Firly cari. Selamat membaca, selamat mencari, ya….” Lagi-lagi icon tertawa lebar muncul. Dan sejak itu, posisi messenger Sekar langsung offline. Hufffhhhhh, desahku agak kesal dikerjai Sekar. Malam itu aku bertekat membaca novel hingga tuntas. Hingga tamat sampai halaman paling belakang. Sebelum melanjutkan membaca, aku lihat sampul belakang novel. Tak ada petunjuk apapun mengenai Sekar. Di sampul belakang juga hanya berisi sinopsis berikut nama Trias Elsa Ryani.
            Di sampul belakang selain berisi sinopsis juga menjelaskan secara ringkas siapa Elsa. Trias Elsa Ryani lahir di Jogjakarta, 24 Januari 1975. Selama ini ia lebih banyak menuliskan karya-karyanya dalam bentuk cerita pendek. Cerpen-cerpennya banyak tersebar di koran nasional maupun lokal. Beberapa cerpennya masuk dalam antologi cerpen yang diterbitkan Koran Pedoman Berita. Novel “Dan Bila Waktunya” merupakan novel pertama yang ditulisnya selama setahun ini (2016-2017). Ia dapat dihubungi melalui surel sekarsmarati@gmail.com.
            Tepat jam 11 malam tulisan Elsa tuntas kubaca. Sampai di akhir tulisan, di bagian belakang novelnya, aku tetap tidak menjumpai hal-hal yang berkaitan dengan Sekar. Cerita yang dituliskan sungguh mengasyikan. Syahdu, romantis, galau, senang, gembira, duka, semuanya bercampur baur menjadi satu. Elsa pandai merangkai kalimat-kalimat cantiknya.
            Aku bertekad ingin belajar padanya supaya tulisanku semakin berbicara. Aku lantas mencari informasi mengenai Elsa. Biasanya pada bagian akhir novel selalu ada keterangan penulis. Sayangnya pada novel ini tidak menyertakan. Kubalik novel, mencari keterangan penulis disampul belakangnya. Mataku terbelalak tak percaya ketika membaca Elsa dapat dihubungi pada surel sekarsmarati@gmail.com.
            Buru-buru aku hendak mengirimkan pesan messenger kepada Sekar lewat fesbuknya. Aku ingin minta penjelasannya tentang hal ini. Namun sebelum aku menyalakan aplikasi messenger, sebuah pesan whatsapp ternyata sudah sedari tadi masuk di ponselku. Hanya aku tidak tahu pesan itu masuk. Dari nomor yang dini hari lalu menghubungiku, yang ketika aku hubungi balik nomor itu tak menyambung.
            Sudah menemukan apa yang dicari?? Maafkan aku tidak berterus terang padamu. Jujur aku minder dengan kondisiku, dengan keadaanku sejak peristiwa tabrakan kereta api itu. Jiwaku masih terguncang, rapuh, karena aku kehilangan suami dan anak keduaku. Maafkan juga kalau aku tidak terbuka, yang terkadang bikin Mas Firly jengkel. Namun jujur, aku merasakan sebuah kenyamanan melalui persahabatan yang Mas Firly bikin. Kini aku percaya padamu. Sebelumnya aku juga percaya, tapi trauma peristiwa kelam hidupku kadang menghantui selalu. Aku, seperti yang Mas Firly lihat di Cleo Bookstore. Aku sedang berusaha bangkit lagi, menyusun lagi puing-puing hidupku yang sempat hancur berkeping-keping. Masih mau bersahabat denganku, kan?
            Ingat tulisanku ini?? “Jangan lepaskan persahabatan kita setelah pertemuan ini.”
            Membaca pesan Sekar atau Elsa di ponsel, mengurungkan niatku untuk mengirimkan pesan messenger padanya. Tanpa terasa, mataku berair, merasakan kepedihan yang dialami Sekar. Nafasku naik-turun dalam keheningan malam itu. Saat mata terpejam, bayangan Sekar yang Elsa berkelebatan tiba-tiba.
            Aku tidak menyangka, cerpen Cintaku Terkubur Debu Rel Keretapi merupakan kisah nyata dirinya. Sungguh luar biasa Sekar meramu ceritanya itu hingga membuat pembaca cerpennya, termasuk aku, terlarut dalam kesedihan yang mendalam. Sebuah kedukaan yang menyayat hati.
            Jari-jariku bermain dilayar ponsel, membalas pesannya. Iya, nggak apa-apa Sekar. Aku mengerti, aku paham dengan keadaanmu. Aku sangat bersimpati. Jadi kapan kita kopdar lagi? Sekar yang Elsa tinggal di Jogja, kan? Langsung pesan itu kukirimkan balik ke nomor yang Sekar berikan. Responnya BELUM TERBACA. Setelah mendesah beberapa kali, aku menggeletakkan tubuhku di ranjang. Doaku teriring esok hari Sekar mengirimkan balasan lebih cepat dari biasanya.

            Tak sampai 5 menit aku langsung terbuai dalam alam mimpi. Alam mimpi yang tanpa impian apapun untukku malam itu. Dan aku tidak tahu juga kalau sebuah pesan masuk ke ponselku, malam itu juga. Gandok, Wedomartani, Ngemplak, Sleman. Denah menyusul setelah Mas Firly bangun nanti, hehehehe …. Aku juga tidak tahu apabila foto profil Sekar di fesbuk sudah menampakkan jati dirinya, bukan foto bunga lagi. Dan foto sampul fesbuknya tetap foto Elsa bersamaku. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PIYAMBAKAN

SENGAJA DATANG KE KOTAMU

KIRIMI AKU SURAT CINTA