QORIN
Obrolan Vanessa dan Ramse kian hangat
menjelang tengah malam. Topik seperti tak pernah habis malam minggu itu. Ramse
sebetulnya sudah merasakan ibu jari dan telunjuknya penat. Namun hendak
menyudahi obrolan, rasanya sayang. Vanessa, sahabat barunya ini ternyata layak
jadi teman mengobrol yang asyik dan menyenangkan.
Mas, aku tinggal sebentar, tiba-tiba Vanessa
mengirimkan pesan mendadak kepada Ramse. Dan chatroom mereka pun senyap. Ramse hanya mengernyitkan dahi melihat chatroom yang menyisakan kursor
berkedip-kedip. Ramse masih belum tahu kenapa Vanessa berlalu mendadak begitu.
Sebelum Vanessa berpamitan, mereka sedang ‘sersan’
membahas novel Senyuman Berbisa tulisan
Erri dan Arimbi.
Novel ini menggantung akhir ceritanya,
tulis Vanessa ketika ditanyai Ramse. Komentar Vanessa langsung disetujui Ramse.
Ia pun sependapat dengan kesimpulan Vanessa.
Kasihan Ananta yang tidak menyadari kalau
Carla istrinya mati dibunuh Rachel. Padahal keduanya bersahabat. Carla memang
tulus bersahabat bahkan sayang kepada Rachel. Sementara Rachel diam-diam
menaruh perasaan cinta kepada Ananta suami sahabatnya sendiri dan menyusun
rencana jahat untuk Carla. Sekali lagi Vanessa menyampaikan pandangannya
tentang isi novel yang selesai dibacanya. Beruntungnya, Ramse juga sudah
membaca novel tersebut sehingga isi novel bisa jadi topik bahasan acara malam
minggu mereka. Dan karena membahas isi novel tersebut, ibu jari dan telunjuk
Ramse pegal-pegal dan penat. Apalagi sebelum mereka membahas novel, mereka
sudah mengobrol hal-hal lain di luar literasi. Apabila ditotal sejak mereka
mulai ngobrol, nyaris 3 jam sudah. Mendadaknya Vanessa pamitan membuat
Ramse bisa merehatkan jari-jari tangannya. Namun ia belum menyerah mengisi
malam minggunya bersama Vanessa, sahabat dumay-nya.
Tiba-tiba
terbesit sebuah ide melintas spontan. Meskipun tidak yakin berhasil Ramse tetap
mengetikkan pesan dalam chatroom.
Berharap Vanessa segera menjawab pesannya. Ness,
pegal nih jari-jariku…. Video calling yuk?? Chatroom dibiarkan tetap
menyala. Kursor tetap kedip-kedip seperti tadi. Sambil menunggu jawaban
Vanessa, Ramse mengambil novel Api Paderi
karya Mohammad Sholihin. “Novel ini
bukan pasar sejarah. Tapi hanyalah secabik imajinasi dari lempeng keingintahuan
akan rasa masa lalu yang dibingkai kembali”. Tulisan dalam kata pengantar oleh
pengarangnya, menggugah Ramse untuk mengetahui lebih detil isi novel tersebut.
Kemudian mendiskusikannya bersama Vanessa, nantinya. Matanya kembali melirik chatroom yang masih tetap sama. Belum
ada tanda-tanda Vanessa membalas pesannya yang mengajaknya video calling. Sebelumnya mereka belum pernah melakukan vical. Selalu chatting mengetikkan pesan-pesan. Ramse meneruskan membaca kata
pengantar yang ditulis Mohammad Sholihin.
Malam
rebah juga akhirnya. Awal hari minggu mulai merayap. Masih dini memang. Dan
Vanessa belum menampakkan dirinya hadir di chatroom.
Ramse beranjak dari meja laptopnya, mencari minuman untuk membasahi
kerongkongannya yang kering. Sekembalinya mengambil minuman, matanya melirik chatroom lagi. NIHIL... Belum ada balasan dari Vanessa. Novel Api Paderi kembali digenggam Ramse dan ia larut mengunyah
sejarah masa lalu Tuanku Imam Bonjol itu.
Berkali-kali
melirik chatroom yang ditunggu-tunggu
tidak juga menampak. Menit kelima dari pukul satu dini hari, chatroom memperlihatkan tulisan “Vanessa
mengetik”. Bibir Ramse mulai membentuk sudut indah. Tersenyum….
Maaf kelamaan nunggu aku yaa… Tulisan
pertama setelah chatroom sepi dari
Vanessa. Kemudian berlanjut tulisan kedua. Vical??
Sebuah emoticon senyum dan
tertawa lebar terlihat menyertai. Ramse sengaja belum membalas ketikan Vanessa.
Ia membiarkan Vanessa membalas semua ajakannya. Aku udah pakaian dinas tidur nih, Mas, tulisan ketiga Vanessa. Dan
tanpa memberikan kesempatan Vanessa melanjutkan, Ramse buru-buru berkomentar: kalau masih rapih dan nggenah, kan gpp,
Ness! Vical yaa….
Chatroom diam tak ada saling sahut-menyahut….
Hingga
kemudian tampak tulisan Vanessa mengetik.
Ramse menunggu apa yang akan disampaikan Vanessa. Muncullah tulisan: jari-jari tanganku juga pegal, seperti
jari-jarimu. Ayolah kita vical, Mas…. Jangan kaget lhoo…. Tak lama kemudian
icon video dinyalakan tampak dalam chatroom.
Sebuah panggilan yang harus Ramse jawab: ya atau tidak! Dengan senyuman
Ramse menekan tombol YA dan muncullah wajah Vanessa yang sedang melambaikan
tangannya.
Rambutnya
tergerai sebahu. Alisnya hitam menebal. Pipinya tirus namun tidak terlihat
tulang pipinya kurus. Matanya dibantu sebuah kacamata yang nangkring manis di
hidung yang bangir. Headset menempel di
telinga untuk memperjelas suara. Dialah Vanessa Wdiya, sahabat dumay yang baru kali ini Ramse lihat
sosoknya bergerak dan berbicara. Dengan senyuman pula Ramse membalas lambaian
tangan Vanessa. Mereka pun asyik mengobrol.
“Sejam
lebih tadi kemana, Ness?” tanya Ramse mengawali obrolan vical mereka. Tangannya berusaha menjauhkan layar ponsel dari wajah
supaya Vanessa bisa melihat lebih luas tidak hanya wajah Ramse saja. Hal
sebaliknya justru dilakukan Vanessa. Ia membiarkan ponsel tetap dalam posisi
‘potret’ yang hanya menampakkan wajahnya semata.
“Mengejar
seseorang!” Jawaban Vanessa membuat Ramse terperangah.
“Mengejar
siapa malam-malam begini?” tanya Ramse heran. Sejurus kemudian terdengar tawa
ringan dari mulut Vanessa.
“Mengejar
makhluk tuhan, Mas!” Sekali lagi jawaban Vanessa membuat dahi Ramse mengernyit.
“Makhluk
tuhan bukan manusia, gitu?” Di layar terlihat kepala Vanessa mengangguk ringan.
“Aku
belum cerita ya kalau aku bisa berkomunikasi dengan makhluk tuhan itu!”
Gilirian Ramse menggeleng. Tengkuknya sedikit meremang mendengar Vanessa
sanggup berkomunikasi dengan makhluk tuhan beda alam itu.
“Jadi
tadi, pas aku pamit, aku mengejar makhluk itu.” Ramse mendengarkan seksama
penuturan Vanessa perihal pengejarannya.
“Makhluk
itu rupanya sudah lama tinggal di rumah yang kukontrak ini. Entah kenapa aku
baru menjumpainya tadi. Mungkin dia plesiran jadi nggak pernah jumpa aku.
Nah.., tadi dia mau masuk rumah kebetulan aku melihatnya, lantas aku halangi.
Eh dianya agak marah kemudian berbuat iseng makanya aku kejar supaya dia
berhenti iseng”. Ramse terpana mendengar cerita Vanessa.
“Nggak
usah serius gitulah, Mas?” canda Vanessa gegara melihat wajah Ramse yang
tertegun setengah. Ditegur begitu Ramse hanya tersenyum kecut.
“Bukan
secara fisik aku mengejarnya. Tapi Qorin-ku
yang melakukannya”. Ramse semakin tidak mengerti dengan ucapan dan maksud
Vanessa.
Wajah
Ramse yang mengernyit dahinya, membuat Vanessa bercerita tentang Qarin. “Setiap manusia yang lahir ke
dunia selalu didampingi satu qarin. Pendamping
yang eksklusif. Dialah kembaran manusia yang tidak terlihat. Dalam bahasa awam,
qarin adalah jin yang diizinkan Tuhan
untuk menyesatkan, melenakan, dan membisikkan waswas pada diri ‘tuannya’. Dia
akan terus berada di sekitar manusia untuk menjalankan tugasnya”.*)
“Kalau
tiap manusia punya, artinya aku juga punya qarin,”
tanya Ramse kemudian. Kemudian terlihat kepala Vanessa mengangguk. “Aku
melihatnya!” Mendengar kata-kata Vanessa, spontan kepala Ramse bergoyang ke kiri
dan ke kanan. Terakhir, kepalanya menengok ke belakang.
“Hahahaha…”
Vanessa menertawai Ramse.
“Nggak
ada siapa-siapa?” ujar Ramse.
“Jelas
Mas nggak lihat. Kan Mas nggak peka dengan alam ini!” sahut Vanessa cepat
seraya tersenyum manis. Kepala Ramse kembali berputar-putar seperti semula
tadi.
“Qarin-mu berdiri di belakangmu, Mas!”
Lagi-lagi Ramse menengok ke belakang mencari yang disebutkan Vanessa barusan.
Sepi. Hening. Tak ada siapa-siapa dan apa-apa.
“Sudahlah
Mas, nggak usah dicari-cari. Kan qarin-mu
menemanimu, Mas!” Ramse kembali melihat ke layar ponsel. Melihat wajah Vanessa
yang sedang vicall dengannya. Vanessa
tersenyum melihat Ramse mengelus tengkuknya berulang kali.
“Masih
mau dengar ceritaku mengejar tadi, nggak?” Sambil bertanya begitu Ramse melihat
pergerakan pada ponsel Vanessa. Posisi potret wajah Vanessa sedikit berubah.
Leher yang semula tak tampak, kini bisa dilihat Ramse. Leher jenjang berwarna
putih. Yupsss, kulit Vanessa memang putih bersih. Ramse hanya diam tak
berkomentar melihat perubahan posisi yang dibuat Vanessa.
Setelah
mendengar ucapan Ramse supaya Vanessa meneruskan cerita pengejaran, mulailah
Vanessa melanjutkan ceritanya. Ramse mengubah posisi duduknya. Ia lantas
mengubah posisi ponsel sehingga Vanessa melihatnya seolah duduk miring. Sambil
mendengarkan cerita Vanessa, Ramse meminum air mineral yang ada di hadapannya.
…….
“Oh
begitu rupanya pengejaran yang kamu lakukan,” komentar Ramse sesudah Vanessa
bercerita kisahnya malam itu.
“Iya
Mas. Aku tidak mengejar jauh-jauh makhluk itu. Ia hanya memohon padaku boleh
tetap di rumah ini, tapi berjanji tidak akan masuk ke dalam. Sementara ini, ia
berdiam di atas pohon depan rumah kontrakanku.” Ramse takjub mendengar cerita
Vanessa. Tidak menyangka sama sekali ia memiliki kemampuan demikian.
Tiba-tiba
wajah Vanessa bergerak. Namun leher jenjangnya tetap tampak. Sepertinya Vanessa
berjalan ke suatu tempat di ruangan itu. Kepalanya sejurus kemudian berpaling
ke kanan dan kembali cepat menatap layar ponsel. Ia kemudian mengacungkan
sebuah buku agak tebal di depan wajahnya. Sebuah novel berjudul Jangan Sebut Mereka Hantu.
“Sudah
pernah baca novel ini?” Ramse menggeleng tentunya.
“Ceritanya
seru. Tentang keluarga nyata yang tinggal bersama ‘makhluk tak kasat mata’. Ramse
tersenyum, meskipun sekilas membayangkan cerita Vanessa, ia justru malahan ngeri. Seatap dengan makhluk tak kasat
mata. Ada namun tak tampak dan saling berinteraksi.
“Novel
kisah nyata ini menceritakan seorang Ibu bernama Kathleen yang mengenal,
mengasuh, dan kemudian merawat arwah tiga anak-anak yang mendiami kamar loteng
rumah mereka”. Ramse menyimak ketika Vanessa bercerita. Tak sedikit pun ia
menyela cerita Vanessa tentang makhluk tak kasat mata itu. **)
“Hampir
seluruh aktivitas mereka selalu bersama, Mas!” Vanessa memberi penjelasan lagi.
Ramse tetap menyimak tenang. **)
“Akhirnya,
sebuah keputusan mengharukan pun memicu terjadinya persitiwa yang dramatis dan
tak terduga: arwah anak-anak itu pun menghilang dan pergi tanpa pernah kembali
lagi. Ohya, makhluk tak kasat mata itu masih anak-anak. Ada bayi juga bahkan.” **)
Terlihat
Vanessa menarik nafas setelah menceritakan bagian akhir kisah nyata novel itu.
Mulutnya mengatup kecil. Bibirnya merapat tipis. Ramse pun ikut-ikutan terdiam.
Selama beberapa detik mereka tak berkomentar.
Baru
ketika suara Vanessa terdengar, “Mas mau ikutan baca nggak novel ini? Berani
nggak?” Sambil berucap begitu, bibir tipisnya membentuk sudut setengah
mengejek. Menantang nyali Ramse untuk membaca novel yang dipegangnya malam itu.
Dengan keberanian yang setengah dipaksakan Ramse mengangguk.
“Nanti
aku cari di toko buku dan membacanya kemudian,” kata Ramse buru-buru. Di layar
ponsel Ramse melihat Vanessa agak
tergelak.
“Beneranlah.
Aku pasti akan mencarinya di toko buku. Nanti aku pastikan kita
mendiskusikannya setelah aku selesai membaca. Akurr?” Jari-jari tangan Ramse
membentuk tanda lingkaran, menuntut Vanessa memercayai omongannya barusan. Dan
kepala Vanessa mengangguk pelan. Ada senyuman Vanessa yang tak disadari Ramse
saat itu.
“Mas,
aku haus. Mau ambil minum dulu yaa….” Meskipun sudah berpamitan hendak
mengambil minuman akan tetapi ponsel tetap dipegang Vanessa. Pose potret
wajahnya dengan leher jenjang yang putih mulus tetap terlihat Ramse.
Pergerakan
Vanessa berhenti. Kepalanya sesekali menghilang dari layar ponsel. Mungkin
menunduk mengambil air minum yang mau diteguknya. Dan ketika beberapa saat
kepala Vanessa tak terlihat barulah Ramse terkesima. Di layar ponsel, Ramse
melihat tubuh Vanessa yang hanya terbalut baju tidur tipis sepaha. Ada cermin
besar di belakang Vanessa saat mengambil air minumnya. Dan bayangan tubuhnya
terpantul jelas di cermin tanpa Vanessa sadari.
Kepala
Vanessa tampak lagi di layar ponsel. Kepalanya memenuhi layar ponsel. Namun
sesekali kepalanya masih bergoyang atau menghilang. Dan cermin di belakangnya
kembali memantulkan bentuk indah tubuh Vanessa. Lagi-lagi Vanessa tak menyadari
menurut pikiran Ramse. Senyuman mengembang dari bibir Ramse.
“Sudah
malam. Ngantuk juga nih…. Tidur yuk,” ajak Vanessa, yang secara halus ingin
menyudahi obrolannya malam itu. Ramse mengangguk setuju.
“Ness,
makasih ya sudah mau video calling-an
malam ini,” kata Ramse cepat. Sama-sama Mas, jawaban Vanessa terdengar. “Jangan
kapok lho.., vical denganku,
hihihihi….” Kembali Ramse tersenyum. Dalam hatinya ia bersorak gumbira karena
tanpa sengaja bisa melihat Vanessa meskipun hanya dari pantulan cermin.
***
Pagi
itu Ramse bangun kesiangan. Subuhnya pun saat matahari sudah mulai membagi
sinar cerahnya meski belum sempurna. Usai berdoa, melipat sarung, dan melipat
sajadahnya, Ramse bergegas menuju jendela hendak membuka daunnya. Matanya
mendadak terbelalak melihat sebuah buku dan selembar tulisan tangan di meja
kerjanya.
Novel
Jangan Sebut Mereka Hantu yang
tergeletak di mejanya, serta lembaran kertas bertuliskan: Selamat membaca ya…. Ihhh, jelek banget ternyata kamu mas saat tidur.
Masa mulut menganga gitu! Awass lho kemasukan kecoak, hahahaha…..
“Oh
iya, aku maluuuu banget ketahuan olehmu memakai baju tidur tipis sepaha tadi
malam. Hayo kenapa nggak bilang ke aku semalam?? Nakal deh matamu, Mas,
hehehehe….Duh.., yang bisa lihat tubuh molek gadis cantik, qiqiqiqi…. Gratis
pulak!! Hahahaha….” Tampaknya Vanessa tidak marah molek tubuhnya terlihat
Ramse.
Ramse
hanya bisa tertegun! Takjub! Tak percaya melihat dua benda yang tergeletak di
meja kerjanya itu. Novel dan lembaran kertas yang ditulis Vanessa. Ia percayai
karena di situ ada nama dan tanda tangan Vanessa juga. Masih belum bisa berkata
apa-apa, Ramse meraih ponsel yang ada di meja kerjanya. Ia hendak mengirim
pesan kepada Vanessa. Ada sebuah pesan masuk yang belum dibacanya.
SUDAH TERIMA NOVELNYA? Tertera nama
pengirimnya: Vanessa.
=TAMAT=
Catatan kaki
*) Cuplikan dari Novel Rahasia Sunyi karya Brahmanto Anindito halaman 329.
**) Cuplikan dari Novel Jangan Sebut Mereka Hantu karya
Kathleen McConnell, halaman sampul belakang.
Komentar
Posting Komentar