C.T.M.
CINTA TELAH MEMILIHMU
Jihan antusias saat diminta bertugas ke Salatiga.
“Bu Jihan nggak keberatan kalau tugas sosialisasi dipindahkan ke Universitas Satya Wacana Salatiga?” tanya Pak John Pambudi, Sang Koordinator Tim Sosialisasi Universitas. Sebelum perubahan skedul ini, sedianya Jihan akan bertugas di Universitas Muhammadiyah Solo.
“Tak keberatan sama sekali, Pak John! Malah senang dan berterima kasih bisa tugas ke Satya Wacana” jawab Jihan dengan wajah sumringah serta senyum terkembang. Sebagai anggota tim sosialisasi universitas Dikti Kemenristek, ia harus siap ditugaskan keliling universitas seluruh nusantara.
“Kok kelihatan bahagia dan sumringah gitu, Ji?” Ditanya Mirna, teman satu timnya, membuat Jihan terkejut namun sisa senyuman di bibirnya masih tampak. Itu juga yang membuat Mirna merasa aneh melihat teman satu ruangannya tersenyum seraya menerawang matanya.
“Nggak ada apa-apa kok! Cuma senang aja ditugaskan ke Satya Wacana. Seumur-umur kerja di Dikti belum pernah kebagian tugas ke sana. Surprise..,” tukas Jihan tetap tersenyum.
Mirna mengangguk ringan. Memang teman satu ruangannya ini belum pernah bertugas ke Universitas Satya Wacana Salatiga. Sementara dirinya sudah beberapa kali ke sana.
“Kebetulan ada saudara yang jadi dosen di sana. Aku belum pernah bertemu. Mumpung ditugaskan ke sana, aku jadi bisa menemuinya.”
“Cowok ya saudaramu? Dimana tinggalnya?” Mirna mendadak ingin tahu.
“Cowoklah…. Sudah punya istri dan 2 anak.” Terdengar derai tawa Jihan kemudian. Mirna hanya terdiam.
“Rumah saudaraku di daerah Kepondang, dekat Stasiun Tuntang, Ambarawa. Dia saben hari, wira-wiri Tuntang—Salatiga,” lanjut Jihan saat melihat Mirna mau menanyakan perihal rumah dan tempat kerja saudaranya.
Mirna yang seruangan dengan Jihan, usianya 40 tahun namun belum menikah. Belum ada seseorang yang spesial dihatinya. Mirna masih terus mencari. Sementara itu, Jihan yang lebih muda daripada Mirna sudah memiliki 3 anak. Ia berpisah dengan suaminya karena KDRT. Kini, ia tinggal bersama ketiga anaknya.
***
Garuda Indonesia yang ditumpangi Jihan beserta tim sosialisasi untuk Universitas Satya Wacana, menjelang maghrib, mendarat mulus di landasan pacu Bandara Achmad Yani Semarang. Mirna, yang seharusnya pergi bersama Jihan, terpaksa batal ke Salatiga. Ia harus menggantikan teman lain yang sakit, untuk sosialisasi di Universitas Padjajaran Bandung.
Dalam perjalanan menuju Salatiga, Jihan mengirimkan pesan kepada Van Danu. Aku ada tugas di Universitas Satya Wacana selama 2 hari, besok dan lusa. Ketemuan yuk, Mas…! Nanti aku kabari jam senggangku. Senang aku akhirnya akan bertemu denganmu. Sampai nanti ….
Jihan tersenyum sesudah mengirimkan pesannya. Ia teringat belum memberitahukan alamat hotel tempatnya menginap. Diketiknya lagi pesan keduanya. Oh ya Mas. Aku menginap di Hotel Grand Wahid, Jln. Jend. Sudirman No. 2, bareng teman-teman. Kami berlima di hotel ini. Senyum Jihan tak putus setelah mengirimkan pesan keduanya itu. Sudah ia bayangkan pertemuan dengan Van Danu yang pasti menyenangkan. Akankah Van Danu sehangat yang aku bayangkan, gumam Jihan.
Selama ini keduanya memang belum pernah bertemu. Kecanggihan teknologi yang mengakrabkan mereka satu sama lain. Bahkan Jihan merasa begitu nyaman “dekat” dengan Van Danu meskipun hanya bermain kata-kata maupun candaan dalam video yang mereka tampilkan.
Wah ‘surprise’ banget baca pesanmu Ji…. Pasti, pasti, aku akan menemuimu nanti. Kabari kalau sudah sampai hotel yaa…. Nggak sabar pingin lihat ‘Hanji’ dari dekat. ‘Close up’, hahahaha …. Jihan agak tersentak ketika HP yang dikantongi di jaket, bergetar. Ia memang tertidur selama perjalanan menuju Salatiga, sesudah mengirimkan pesan untuk Van Danu. Bibirnya menyembulkan senyuman senang membaca balasan Van Danu.
“Sepertinya ini sudah masuk kota Salatiga, Mas!” tulis Jihan. Dan memang, hanya lima menit berikutnya, mobil Hotel Grand Wahid yang menjemputnya, memasuki area hotel.
“Aku sudah sampai, Mas. Malam ini kami ada briefing untuk acara besok. Tidak lama, karena semua bahan sudah dibawa dari Jakarta. Nanti paling hanya membicarakan hal-hal teknis saat di Satya Wacana. Sesudah itu kami bebas. Aku mau istirahat saja di kamar. Ambarawa ke Salatiga kan lumayan jaraknya, jadi nggak bisa memaksamu ke sini. Kamarku 201, ya Mas. Aku sekamar bareng temanku.”
Pesan panjang Jihan langsung terkirim ke Van Danu. Namun hingga Jihan selesai mandi dan bersiap menuju ruang makan, Van Danu belum membaca pesannya. Jihan lantas menikmati makan malam bersama teman-temannya dilanjutkan briefing di lobby hotel. Ada pojokan lobby yang agak tertutup oleh hiasan pepohonan buatan. Di situlah mereka berlima melakukan diskusi ringan untuk acara besok di Universitas Satya Wacana.
“OK. Kamar 201, ya….” Pesan dari Van Danu masuk namun Jihan tak menyadari. Keasyikan menikmati makan malam dan briefing membuat Jihan tidak sempat melongok pesan masuk. Pada saat ia teringat dan melihat HP, senyumnya mengembang tipis saja di bibirnya. Ia pun hanya memberi jawabam pendek: betullll, mas-ku!!
“Ini aku kembali ke kamar. Mau ngamar sambil nonton siaran tivi trus tidur. Biarin teman-teman karaokean.” Jihan menyampaikan pesannya lagi kepada Danu setibanya di kamar. Ia pun menampik halus ajakan teman sekamarnya untuk karaokean dengan alasan mengantuk.
Jihan rebahan di ranjang kamarnya sesudah mengganti bajunya. Kaos terusan favoritnya sudah menempel ditubuhnya. Rambutnya ia biarkan tergerai tanpa kucir. Sambil menyandarkan tubuhnya, tangannya mencari channel tivi yang menayangkan film barat. Pilihannya tertuju pada film lama The Entrapment yang dibintangi Sean Connery dan Catherine Zeta Jones. Namun baru beberapa menit bersandar, sandaran tubuhnya mulai mengendur. Bantal bertumpuk menyangga kepalanya, kini.
Deringan pesan masuk sedikit menyentak Jihan. Tubuhnya beringsut bangun untuk meraih HP yang diletakkan di meja samping ranjang. Ia tersenyum melihat pesan yang masuk. Pasti sudah di kamar, tiduran yaa… Atau masih melebarkan mata nonton tivi? Tulis pesan dari Van Danu.
“Betullll…. Ihh, kok tahu sih?” Jihan membalas pesan Van Danu itu. Masih juga tersenyum saat membalas pesan itu.
Tiba-tiba, bel kamar berbunyi nyaring, mengagetkan Jihan yang asyik memainkan HP. Ngapain si Nela balik lagi ke kamar, pikir Jihan ketika bel kamarnya berbunyi. Nela adalah teman sekamarnya di hotel Grand Wahid. Perlahan Jihan bangun berjalan mendekati pintu kamar.
“Bentar Mas, aku bukankan pintu dulu. Kayaknya teman sekamarku balik lagi nih!” Jihan sempatkan mengirimkan pesan susulan kepada Van Danu supaya tidak menunggu.
Tanpa mengintip lubang penglihat di pintu kamar, Jihan membuka pintu kamarnya. Ia yakin Nela yang memencet bel kamar tadi. Pintu kamar langsung dibukanya lebar. Jihan terkejut. Bukan sosok Nela yang berada di depan pintu kamar. Kadung sudah melebarkan pintu kamar, Jihan tak mungkin menutup cepat-cepat. Ia khawatir orang yang datang itu akan tersinggung. Yang tidak mengenakkan Jihan saat itu ia hanya berkaos terusan untuk tidur.
“Maaf, malam-malam menggangu istirahatnya,” ucap sopan tamu itu. Tampaknya, tamu itu menyadari keterkejutan si pemilik kamar. Tamu itu juga tidak menyangka disambut pemilik kamar dengan busana tidur.
Lanjut si tamu itu, “Apakah benar ini kamar yang ditempati Ibu Jihan Syadika dari Dikti Jakarta?” Ucapan sopan nan lembut masih terdengar. Namun kali ini ia seraya melepas topi dari kepalanya. Keterkejutan kedua Jihan terjadi. Mulutnya agak ternganga sedikit.
“Kamuu…,” kata itu meluncur spontan dari mulut Jihan.
“Mass Danuuu….” Spontan Jihan memeluk Van Danu erat. Van Danu yang ditubruk Jihan juga kaget. Terdorong ke belakang sedikit. Lantas tak berkutik menerima pelukan Jihan.
“Jii…,” bisik Van Danu di telinga Jihan, “Nggak enak kalau dilihat orang lain.” Ada sentakan ringan di tubuh Van Danu. Pelukan Jihan mengendur dan kemudian lepas. Rona malu-malu langsung berhias di wajah Jihan.
"Aduhhh, maaf… maaf….” Rona wajah Jihan semakin bersemu warna tomat matang. Merah ranum. Van Danu tersenyum mendengar permintaan maaf berulang kali dari Jihan.
“Aku nggak ngira, nggak menyangka mas bakal datang malam ini,” tukas Jihan namun kali ini selain merona merah tomat di wajahnya, bibirnya berhias senyuman. Mereka masih berdiri di depan kamar.
“Ayo mas, masuk…!” Jihan menarik tangan Van Danu yang masih terdiam memandanginya. Setelah keduanya berada di dalam Jihan menutup rapat pintu kamarnya.
“Aku kira Nela, teman sekamarku yang datang,” Jihan berkata demikian sambil berjalan duluan menuju kursi dekat jendela kamar.
Tanpa membalikkan badannya ia mempersilakan Van Danu duduk. Seketika itu, baru ia tersadar hanya mengenakkan kaos terusan menemui Van Danu. Sesudah mempersilakan Van Danu duduk, Jihan bergegas menuju lemari pakaian. Ia jumput jaket yang tadi siang dipakainya. Langsung dikenakan untuk menutupi tubuh indahnya.
“Kok nggak ngabari kalau mau datang malam ini sih?” tanya Jihan merapikan jaketnya dan duduk di kursi sebelah Van Danu. Ditanya begitu, Van Danu hanya tersenyum.
“Aku lihat kok Jii tadi makan juga briefing. Aku tadi duduk kok di sebelah tempat kalian berdiskusi.” Bukan jawaban yang keluar dari mulut Jihan, melainkan sebuah cubitan di lengan Van Danu. Cubitan mesra karena dilakukan tidak keras-keras. Hal itu yang dirasakan Van Danu. Suara mengaduh pura-pura dilontarkan Van Danu. Keduanya lalu tertawa bareng. Mata Jihan memandang lekat-lekat wajah Van Danu.
“Aku nggak sedang bermimpi, kan?”
Kepala Van Danu menggeleng pelan. Sebuah sapuan lembut mengelus rambut Jihan, lalu terdengar ucapan lirih, “Ternyata aku tidak bermimpi.” Van Danu menambahkan sebuah tepukan pada lengan Jihan.
“Terasa nggak?” Jihan kembali tersenyum.
“Mau dong dipeluk lagi…,” suara dimanja-manjakan keluar dari mulut Van Danu. Rona merah ranum yang sudah menghilang dari wajah Jihan, sontak muncul kembali. Bukannya terdiam di kursinya, Jihan malahan berdiri. Tangannya terbentang lebar seolah menyambut kehadiran seseorang. Van Danu masih duduk. Matanya memandangi Jihan, teduh. Sebuah anggukan pelan dilakukan Jihan. Keduanya larut dalam pelukan hangat di kamar 201, malam itu.
***
Aku minta maaf, Mas.... Tiba-tiba suara lirih Jihan terdengar. Maaf untuk apa, tanya balik Van Danu. Kali ini hanya desahan nafas Jihan yang meramaikan perjumpaan mereka.
"Karena aku telah jatuh cinta padamu." Wajah Jihan tertunduk ketika mengucapkan kalimat itu. Van Danu yang terkejut berusaha menanggapi setenang mungkin situasi itu.
"Entah kenapa aku menemukan sesuatu yang nyaman pada dirimu sejak kita berkenalan," ucap lanjut Jihan. Kali ini ia meremas kedua tangannya sendiri. Gugup pastinya. Giliran Van Danu menarik nafas.
"Aku melanggar omonganku sendiri yang tidak akan jatuh cinta pada pria berkeluarga." Sekali lagi Jihan mendesahkan nafasnya. Van Danu terdiam.
"Tapi tenang Mas, aku tidak akan mengganggu keluargamu dan dirimu. Aku hanya butuh teman bicara kala aku suntuk menghadapi kehidupanku yang harus mengurusi 3 anak. Hanya, aku berjanji tidak akan menikah lagi apalagi mencari pria lain, seperti saranmu. Ada kebahagiaan bisa mengenalmu. Dan itu, cukup bagiku. Bantu aku ya...." Van Danu hanya terdiam mendengar penuturan Jihan. Bibirnya kemudian tersenyum. Kepalanya mengangguk pelan.
"Bagiku, pria terhebat hanya ayahku! Dan kini aku beruntung bisa mengenalmu serta memilihmu!” Jihan menambahkan.
“Aku yakin, aku tak salah pilih dengan jalan yang kutempuh ini. Ada kebahagiaan terasa di dadaku, bersamamu.”
“Aku juga yakin. Allah pasti menguatkan diriku. Takkan membiarkan aku tanpa kekuatan dalam membesarkan ketiga harta berhargaku.”
"Namun, yang tak pernah terbayangkan olehku, ternyata pertemanan kita telah mengajarkan aku untuk terus bersyukur. Termasuk secara tak sengaja muncul perasaan cinta ini. Tak perlu khawatir untukmu, mas..., karena aku takkan minta lebih darimu!”
“Boleh aku memelukmu sekali lagi, Mas?,” mohon Jihan pada Van Danu.
Dan kamar 201 malam itu kembali menghangat. Dada Van Danu merasakan detak jantung yang berdetak cepat saat pelukan keduanya kian erat.
***
Van Danu masih sempat menemui Jihan yang akan berangkat ke bandara, sore itu, dari hotel Grand Wahid. Di depan teman-teman se-tim, Jihan mengenalkan Van Danu sebagai saudaranya yang tinggal di Ambarawa. Kami sudah lama nggak ketemu, hal itu yang dikatakan Jihan. Teman-teman se-tim tidak pernah tahu apabila ke Mirna, Jihan mengaku saudaranya adalah dosen USW. Dan atas nama saudara yang disebutkan tadi, Jihan bisa sesaat memisahkan diri dari tim kerjanya. Ia bisa berduaan dengan Van Danu.
Selepas asar, rombongan Jihan diantarkan lagi oleh mobil milik hotel menuju bandara. Van Danu langsung tancap gas menuju stokis yang letaknya tak jauh dari Hotel Grand Wahid.
“Sebentar lagi aku boarding. Terima kasih atas perjamuan yang indah kemarin, dan tadi sebelum ke bandara. Aku pamit yaa... Love you, Mas…." Van Danu membaca pesan Jihan. Detak jantungnya sekonyong-konyong menderap, teringat kebersamaan mereka yang intim selama 2 hari.
Dipandangi istrinya bersama kru yang sedang sibuk melayani pembeli di stokis mereka. Van Danu memandanginya melalui kaca tembus pandang dari ruangan dimana ia duduk membaca pesan Jihan.
Tiga bulan yang lalu, Van Danu memindahkan stokisnya dari Ambarawa ke Salatiga. Bisnisnya akan lebih maju pesat jika berada di Salatiga. Stokis ini adalah impian Van Danu dan istrinya.
Kesuksesan bisnis mandiri BOM21 ini, semata-mata karena keuletan Van Danu yang bergerak tanpa kenal lelah hingga bisa memiliki stokis sendiri. Urusan administrasi ia serahkan kepada istrinya. Adapun pengembangan usaha serta pemasaran, tetap ia yang mengerjakan dibantu tim binaannya.
Sebuah pesan masuk lagi di HP Van Danu, “Aku sudah duduk di dalam pesawat. HP mau kumatikan selama terbang. Sampai nanti ya, Mas…. Love you….”
Tak ada senyuman di wajah Van Danu membaca pesan Jihan itu. Hanya jantung yang berkederapan di dadanya. Dari kaca tembus pandang ia menyaksikan senyuman istrinya yang sibuk melayani pembeli yang datang ke stokis mereka, sore itu.
Komentar
Posting Komentar