LB40's
Life begins 40’s
“Life
begins 40’s”.
Itu ucapan anak indigo di pinggiran Malioboro yang
meramalku.
Malam itu aku berjalan-jalan bersama suami dan kedua anak
kami. Sengaja kami menyusuri pedestrian Malioboro yang sekarang terlihat cantik
dan rapi. Seorang anak yang sedang berjalan santai tanpa sengaja menabrakku. Dia langsung minta maaf. Namun
saat matanya menatapku justru keluar perkataan, “Bolehkah saya melihat tangan
Ibu?” Bagai kerbau dicocok hidungnya, aku langsung mengangguk memperbolehkannya
melihat tanganku. Suami dan kedua anakku sama saja. Mereka juga seperti
terhipnotis bahkan secara bersama-sama mengompori aku supaya mau diramal. Keluarlah
kalimat, “Life begins 40’s”.
***
Dengan penuh ketelitian, kuhitung kembali uang hasil
penjualan malam itu. Head cashier sudah
wira-wiri ke konter para kasir. Tanpa suara lantangnya lagi, para kasir segera mengemasi
laci cash register masing-masing. Terlebih pengunjung supermarket sudah mulai menyusut seiring
malam kian menyergap. Satu per satu, para kasir yang sudah selesai menghitung
uang penjualan, mulai berjalan menuju kantor. Ditangan masing-masing menjinjing
kantong uang setoran malam itu. Tinggal aku dan seorang teman yang masih
berkutat di konter. Sekali lagi head
cashier mendekat. “Sudah jam 10.15”, katanya. “Segera selesaikan hitungan
uang kalian,” lanjutnya lagi. Sudah kuduga, keterlambatanku menghitung uang
karena jelang usia 40 tahun. Kekhawatiran seorang perempuan yang usianya akan
berkepala 4. Aku sempat berpikir ini-itu, macam ini, macam itu, apalagi aku
terngiang ramalan si anak indigo di pinggiran Malioboro, malam itu.
Tujuh
belas tahun menjadi kasir supermarket
tanpa pernah berganti jabatan, benar-benar jenuh dan membosankan. Sepanjang
perjalanan mengurusi uang penjualan, dari waktu ke waktu, hanya itu yang
kumampui. Namun apa lagi yang bisa
kuperbuat selain menjalaninya dan bersyukur bisa ikut mengepulkan asap dapur
rumah tanggaku.
Lamunanku buyar tiba-tiba. Selain Head Cashier minta aku
menyegerakan hitungan uang penjualan, manager
ikutan bicara. Dia menyuruhku menjadi pengisi acara pada lomba yang akan
diadakan di pelataran supermarket, minggu
depan. Kebetulan pada saat lomba berlangsung tepat hari ulang tahunku. Aku diminta
manager untuk bernyanyi menghibur
para peserta lomba.
Pada
hari perlombaan, sedang berulang tahun pun aku bekerja. Beruntungnya, yang aku
lakukan merupakan kegemaranku. Selama bernyanyi mengiringi acara lomba aku
sangat menikmatinya. Di tengah-tengah acara ketika rehat, seseorang
mendekatiku. Ia merupakan pelanggan supermarket.
”Saya punya tawaran menarik untuk Mbak! Kalau berminat, silakan hubungi saya,”
kata pelanggan itu seraya menyerahkan kartu namanya. Dia manager Band Spring yang terkenal di kotaku.
“Vokalis
kami meninggal dunia minggu kemarin. Mendengar vokal mbak bernyanyi, saya
menemukan sesuatu yang asyik dan unik. Saya tawari mbak bergabung bersama band kami,” ucap Sang Manager ketika aku
menemuinya.
Dan begitu dia menyebutkan jam kerja yang fleksibel,
banyaknya job, serta kompensasi yang
menarik, aku langsung jatuh hati. Terbayangkan olehku kebosanan 17 tahun yang
akan hilang berganti keceriaan di setiap harinya. Aku bahkan berani menepiskan
izin suami sementara waktu untuk langsung menerima tawaran menjadi vokalis Spring Band.
“Bismillah”, lontaran kata pertama yang terucap saat aku
memutuskan bergabung.
“Tapi, saya harus mengurus surat keluar dari supermarket terlebih dulu.” Anggukan
kepala si manager diikuti senyum
kemenangan. Kurasa dia puas bisa menarikku menjadi bagian band-nya.
Namun demikian, ingatanku langsung mengelana kepada ramalan
anak indigo di pinggiran Malioboro, malam itu. Terlebih saat dia melihat garis tanganku
seraya mengatakan, “Hidup bermakna ibu berawal dari angka 40. Life begins 40’s”. Apakah peralihan
pekerjaan yang membuat hidupku berubah, gumamku....
Matahari menorehkan pendar cahya oranye kala senja itu. Hatiku
entah mengapa terasa plong dan lega pada saat membuat keputusan. Bismillah..,
bismillah.., bismillah.....
Komentar
Posting Komentar