CETUSAN HATI

 

                  Bakmi godhog bikinan Mas Kawung benar-benar menggugah selera makanku.

Seharian tadi, entah kenapa selera makanku drop. Walhasil, masakanku hanya disantap oleh Masbojo siang tadi. Dan sebagai ganti, pada malam harinya, Masbojo mengajak ngiras Bakmi Mas Kawung. Sudah lama warung bakmi ini menjadi langganan keluargaku. Sayangnya, sejak anak-anak beranjak dewasa dan punya kehidupan sendiri-sendiri, aku hanya sering makan bersama belahan jiwaku.

           


VW Beetle kuning, hadiah ulang tahunku setahun yang lalu dari Masbojo, melaju tenang menuju rumah. Masbojo mengendarai si kodok dengan santai. Matanya fokus melihat jalan di depannya. Sementara dalam pikiranku, nikmatnya bakmi godhog tadi serasa masih membekas di dalam rongga mulut. Namun mendadak, nikmat bakmi godhog terlibas penglihatanku di warung Mas Kawung. Di warung yang tak luas itu, selain tempat untuk mencari rejeki, ternyata Mas Kawung juga tinggal bersama ketiga anaknya. Anak-anak yang masih kecil. Paling besar sekira usia 7 tahun. Selagi pikiranku mengelana ke warung bakmi, Masbojo yang kukira fokus mengendarai si kodok, tiba-tiba bicara, “Kasihan Mas Kawung. Istrinya kabur dan selingkuh. Terus pergi begitu saja meninggalkan mereka berempat.” Kepalaku berpaling ke arah Masbojo, ingin mendengar lebih jelas kata-katanya barusan.

            “Iya, istrinya selingkuh dan kabur,” Masbojo mempertegas penjelasannya karena pertanyaanku. “Gara-gara corona, keadaan ekonomi keluarga mereka morat-marit. Istri Mas Kawung sepertinya tidak kuat, lantas kabur bersama pacar gelapnya.” Mendengar cerita Masbojo aku hanya mampu menghela nafas, kemudian terdiam.

            “Benaran kalau anak pertamanya usia 7 tahun?” tanyaku lagi. Masbojo mengangguk. Ia kemudian menambahkan lagi informasi mengenai anak-anak Mas Kawung. “Yang tengah usia 3 tahun, sementara yang ragil umurnya 1 tahun.” Kupegangi kepala begitu tahu usia anak-anak Mas Kawung.

            “Keterlaluan sekali istrinya!” Mendadak tangan kiri Masbojo menepuk-nepuk pundakku. Mengelus perlahan. Kepalanya lantas menoleh, bibirnya mengembangkan senyuman.

            “Apa kira-kira yang bisa kita bantu untuknya, ya?” tanya Masbojo, namun kali ini matanya sudah mengarah ke depan lagi. Ia fokus menyetir membawa si kodok menuju rumah kami.

            Aku heran Masbojo tidak langsung menuju rumah. Juga belum tahu Masbojo mau mengarahkan si kodok kemana. “Mampir rumah kita di Soka, ya!” Suara Masbojo memecah kebisuaan kami di dalam mobil. Oleh karena tidak ada alasan menolak, aku mengangguk saja diajak melihat rumah Soka.

            Rumah Soka merupakan rumah pertama kami setelah menikah. Rumah kenangan yang kami beli secara patungan dan kredit. Di situlah kedua anak kami pernah merasakan kehidupan masa kecilnya. Bangunan permanen tipe 36 itu hanya memiliki 2 kamar tidur, ruang tamu merangkap ruang keluarga/ruang makan, dapur, dan 1 kamar mandi. Beruntungnya, rumah tersebut ada di pojokan, sehingga meskipun bangunan rumah tak luas, kami masih memiliki sisa halaman. Lokasinya juga di pinggir jalan, meskipun bukan jalan utama.  Selama ini, rumah Soka selalu dikontrakkan. Baru bulan kemarin penyewa mengembalikan kunci rumah. Sekarang, sambil menunggu penyewa selanjutnya, rumah Soka kami renovasi kecil-kecil saja. Menambal sana-sini yang ada.

            Beetle kuning berhenti tepat di pagar depan. Tak jauh dari rumah terdapat pos ronda. Melihat ada mobil berhenti, salah satu yang sedang berkumpul di pos ronda datang mendekati kami. Ternyata yang menjenguk Pak RT. Begitu melihat kami datang, senyumnya mengembang, tangannya pun ikut melambai. Mengingat situasi pandemi corona, kami hanya saling sapa dan menangkupkan kedua tangan. Sementara Masbojo bicara, aku masuk duluan ke rumah. Kunci rumah Soka selalu kubawa. Takut kalau sewaktu-waktu kami mampir, seperti malam ini.

            Penyewa terakhir orangnya apik. Jadi rumah kami di Soka juga dirawat layaknya rumah sendiri. Kalau pun harus ada renovasi kecil-kecilan, masih wajar dan masih terjangkau kantong kami sebagai pensiunan. Aku sengaja tidak membuka pintu rumah. Keadaan di dalam sudah kami lihat saat penyewa mengembalikan kunci dan beberapa perabot yang dipinjam. Aku sengaja melihat sekeliling halaman yang bersisa di samping rumah. Halaman ini berbatasan dengan jalan. Tanpa aku sadari Masbojo sudah ada di belakangku. Ia tiba-tiba berujar tanya yang bikin aku terkejut. “Kalau ulang tahun-mu minggu depan kita rayakan di sini, bagaimana? Nanti hidangannya bakmi Mas Kawung. Juga ronde Pak Keco yang sering mangkal di pos ronda situ.” Dengan masih memegang dada, karena kaget, aku mengangguk atas keinginan Masbojo.

            “Sebetulnya ada yang ingin aku tanyakan padamu,” aku mulai menyusun kata-kata. Dalam benakku, belum tentu usulanku diterima Masbojo begitu saja. “Katakan!” ujar Masbojo bersiap mendengarkan.

            “Aku kok trenyuh melihat keadaan Mas Kawung dengan anak-anaknya tadi. Tempat jualan sekaligus tempat tinggalnya, kan kelihatan kecil dan sempit.” Baru aku mau mengatakan selanjutnya, Masbojo sudah menyela, “Jangan sampai jalan pikiranmu sama denganku! Mau mengajak Mas Kawung jualan bakmi di sini!” Mataku terbelalak sekaligus tersenyum tak menyangka. “Kamu juga mikirin hal yang sama mengenai Mas Kawung?” Masbojo mengangguk lalu ikutan tersenyum.

            “Kalau kira-kira Mas Kawung jualan di sini, sekalian meninggali rumah Soka, kamu keberatan nggak, Mas?” Merasa sepemikiran, aku berani melontarkan pertanyaan ini kepada Masbojo.

            “Kalau menurutmu baik dan berkah, aku nggak keberatan tentunya.” Mendengar jawaban Masbojo hatiku bagai tersiram angin dingin menyegarkan. Dan aku hanya bisa mendesah lega.

            “Apa kira-kira Mas Kawung mau tinggal dan berjualam di sini, ya?” Aku masih sedikit ragu-ragu. “Ya harus optimis mau. Kalau nggak mau, dipaksa saja,” jawaban Masbojo terasa enteng mengalir.

            “Tadi aku juga iseng tanya Pak RT sekiranya yang tinggal di sini mau jualan bakmi, lingkungan mengijinkan tidak?” Kutatap lekat-lekat wajah Masbojo. Benar-benar tak menyangka kalau ternyata jalan pikiran kami sejalan soal Mas Kawung. “Terus gimana menurut Pak RT?” tanyaku tak sabar. Masbojo hanya mengatakan YES. “Nggak masalah,” tambahnya.

            “Kalau begitu, besok malam kita ngiras bakmi lagi sekalian menawarkan ide kita kepada Mas Kawung.” Masbojo mengangguk lantas dengan mesra ia memelukku. “Hatimu itu bagai hati malaikat,” bisik lembut Masbojo, “Selalu trenyuhan dan peduli kepada yang kekurangan.” Aku balas memegang erat pinggang menggelembung Masbojo.

Malam itu kami menyudahi keliling rumah Soka. Hatiku terdalam terasa plong. Aku merasa Tuhan telah membabarkan kasih sayang-Nya lewat aku.

Takkan aku siakan kasih-Mu, Tuhan, yang masih memperkenankan aku menjalani sisa hidupku dengan berbagi kasih dan kepedulian. Bimbing kami selalu di jalan-Mu...

Dalam Beetle kuning, kado termahal yang pernah diberikan Masbojo, aku terus mensyukuri nikmat Tuhan yang baru saja diguyurkan. Dengan lirih kukatakan kepada Masbojo bahwa kadonya tahun ini, -yang memberikan izin rumah Soka dipakai orang lain tanpa membayar-, merupakan kado terindah sepanjang hidupku.

“Kamu memang bidadari berhati malaikat. Dan bidadari itu selalu terbang mengitariku,” dengan lembut dan mesra Masbojo mencolek pipiku.

Suara derit rem mengusik jalan malam kami. Mobil berhenti mendadak. Aku terkejut. Mata Masbojo menatap lurus ke depan. Tangannya tampak erat menggenggam stir VW. Aku ikut-ikutan menatap ke depan. Sebuah gerakan menyergap dilakukan Masbojo. Ya Tuhan, dia menciumku seraya mengatakan I Love You.



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PIYAMBAKAN

SENGAJA DATANG KE KOTAMU

KIRIMI AKU SURAT CINTA