BAGIAN DIRIKU YANG TAK PERNAH MATI ITU, KAMU .…
Aku sebetulnya lelah. Seminggu kemarin baru saja safari presentasi di beberapa kota di Sumatera. Inginnya ngaso di Vila. Namun pengundang berikut ini meminta aku yang harus mengisi presentasi, tak mau digantikan oleh siapa pun. Dengan setengah memaksakan diri, akhirnya aku berangkat ke Yogya juga. Kuhela nafas ….
Kupastikan lagi jam keberangkatan Citilink ke Bandara Yogya International Airport, Yogyakarta. Aku langsung merebahkan tubuhku pada tempat duduk dekat gate 1A, pintu menuju pesawat terbang. Menjelang siang, situasi bandara Soetta ramai. Mataku coba mengawasi sekeliling siapa tahu menemukan seseorang yang kukenal. Nihil …. Sasaranku laptop, memastikan materi presentasi yang akan aku bawakan di Hotel 101.
Di kejauhan tampak seorang wanita berjalan terburu. Tangan kirinya memegang tas tangan bermerek GUCCI, sedang tangan kanannya menggenggam erat paper cup . Aku menebak isi minumannya saking gabutnya. Kalau tidak kopi, mungkin teh. Minuman yang menurutku sudah tidak panas. Terlihat cara dia memegang paper cup.
Tetiba wanita itu membelok melewati tempat yang biasa untuk mengisi daya baterai ponsel. Sesaat lagi, dia pasti akan lewat di depanku. Gate 2 memang sudah memanggil calon penumpang untuk segera masuk ke pesawat. Wanita yang terburu itu, pasti akan terbang lewat gate 2. Namun, persis di depanku, tetiba dia mau terjatuh gegara high heels yang dipakainya patah mendadak. Meskipun bisa menyeimbangkan tubuhnya supaya tidak terjatuh, tapi tidak dengan paper cup yang dibawanya. Sedikit percikan air berwarna pekat, perkiraanku kopi, keluar dari sela-sela tempat sedotan. Wanita itu terkejut mengetahui minuman yang dibawanya memerciki aku. Setelah merasa aman, dengan gugup dia meminta maaf padaku dan berusaha membantu aku.
“Pesawat Anda sudah mau terbang, silakan saja, saya tidak apa-apa,” kataku menenangkan dirinya yang tampak tak enak hati melihat aku kebasahan, meski hanya sedikit.
“Saya minta maaf. Benar-benar minta maaf atas kejadian tak sengaja ini.” Ucapan maaf terus keluar dari bibir merahnya yang sesekali dia gigit. Dia bahkan sempat mau duduk hendak memastikan keadaan basahku, tapi kuminta dia segera masuk garbarata, karena panggilan boarding terus terdengar. Dia berdiri di hadapanku dan sekali lagi meminta maaf padaku.
“Kalau ada yang perlu saya ganti, tolong hubungi saya. Ini kartu nama saya,” seraya ia menyerahkan kartu namanya. Mungkin selain bajuku yang terpercik kopinya dia juga melihat laptopku agak basah.
“Pergilah ..,” kataku perlahan sambil tersenyum, “pesawat Mbak sudah mau berangkat. Tenang saja. Semua akan baik-baik saja.” Kalimat terakhirku semoga membuatnya tak terlalu merasa bersalah.
Wanita itu dengan cepat berlalu menuju pintu garbarata, tak lupa menenteng high heels-nya. Ia bertelanjang kaki menuju pesawat. Cuek saja ….
Sebelum hilang dalam lorong garbarata, dia masih sempat menengok ke belakang, melemparkan senyuman lalu menganggukkan kepala seraya menggerakkan bibirnya mengucapkan terima kasih.
Kubaca kartu nama pemberian wanita itu. Tertera namanya: Henidar Restu, S.H., M.Hum. Bekerja sebagai Legal Manager Bank OCBC. Kukantongi kartu nama pemberiannya dan bergegas menuju garbarata gate 1. Panggilan boarding sudah terdengar. Kubersihkan sedikit sisa tumpahan air kopi yang menempel di bajuku. Laptopku aman.
Menyusuri lorong garbarata menuju pesawat, kejadian ditumpahi air kopi mengingatkan aku pada cerita Tragedi Kopi Panas yang pernah aku baca dan edit. Kejadian yang mirip-mirip. Aku tersenyum sambil membatin, jangan-jangan aku akan bertemu Henidar di Yogya. Kupercepat langkahku menuju pesawat. Namun tak urung otakku berusaha mengingat si penulis cerita TKP. Dimana dia sekarang…?
***
Selesai check-in aku bergegas ke kamar mau beristirahat. Resepsionis hotel mengatakan padaku kalau besok malam akan ada live music di pinggir kolam renang.
“Jika tak ada acara di luar, monggo dipersilakan bersantai di sana,” ucap ramah si mbak resepsionis sambil ia menunjukkan arah kolam renang.
Aku mengangguk lalu segera berlalu dari meja situ. Sengaja aku memesan kamar di lantai 4 biar bisa puas memandangi Yogya yang lama kutinggalkan. Sekarang aku tinggal di kota padat, macet, berpolusi, tapi entah kenapa dirindui banyak orang. Jakarta, memang magnet bagi siapa pun. Bagiku, Jakarta bukan magnet, tapi sekedar tuntutan profesiku sekarang yang mengharuskan aku bekerja di kantor pusat sebuah grup penerbitan besar di Indonesia.
Tak sampai setengah jam setelah bebersih, aku rebahan. Ingin rasanya memejamkan mata tidur sesaat, dua saat, sebelum malam nanti bertemu panitia acara yang mengundangku. Aku memang melarang mereka menemuiku siang hari, karena benar-benar ingin beristirahat. Lelah, penat, capek, seminggu kemarin aku berkeliling beberapa kota di Sumatera.
Notif pesan singkat berbunyi sebelum aku sempat memasang mode-off. Aku segera menggeser layar Samsung Galaxy A-50 dan membaca pesan singkat dari Sinai, salah satu pengurus IKAPI Yogya.
[Merapatlah ke kopi Janji Jiwa Kotabaru kalau sudah mendarat di Yogya. Akeh konco yang kangen padamu. Ngobrol-ngobrollah sebentar, berbagi pengalaman wahai editor handal ….]
Aku tersenyum membaca pesan Sinai, sahabatku yang kini aktif di IKAPI. Mata yang sudah meredup, mau tak mau dipaksa untuk membelalak kembali. Mau menolak ajakan Sinai, sepertinya tak mungkin apalagi Sinai pasti mengajak teman-temannya yang sebagian besar juga aku mengenalinya.
[Jangan keburu pergi sebelum aku datang. Setengah jam lagi aku sampai sana] Pesan singkat itu segera aku kirimkan ke Sinai seraya mempersiapkan diri untuk segera ke kopi Janji Jiwa.
Seperti tadi di Soetta, ingatanku teringat TKP. Kenapa kini aku seperti diingatkan kembali pada cerita Kopi Janji Jiwa, Senja Berbisik. Cerita yang juga aku edit, sehingga dia, si penulisnya merasa bangga punya karya-karya yang kebetulan menjadi best seller di penerbit yang pernah aku besarkan. Aku malah terhenyak sesaat ketika berjalan menuju lobi hotel. Kopi Janji Jiwa Kotabaru? Bukannya itu ada di Jalan Suroto …. Kebetulan apa lagi yang akan terjadi, tanyaku dalam hati ….
Ssssst .., bukan kebetulan, tapi memang garis takdir Tuhan demikian adanya. Tak ada dalam kamus Tuhan kebetulan, karena Dia-lah pembikin takdir-takdir yang sering kita anggap kebetulan. Menunggu Gocar datang, aku mengingat semua hal yang terjadi bersama dia, pemilik TKP dan Sensik juga cerita-cerita lain yang pernah ditulisnya dan aku ikut andil mempercantiknya, seperti dia yang tetap cantik di mataku. Cantik, lembut, tenang pembawaannya, tapi pandai menyimpan banyak rahasia dalam dirinya. Katanya, ia tak mau merepotkan orang lain dengan problema hidupnya.
Di dalam Gocar yang mengantarkanku ke Janji Jiwa, aku hanya bisa tersenyum lagi. Dimana dia sekarang, ya ….? Pertanyaan yang sama, seperti yang kuucapkan di lorong garbarata Soetta, pagi tadi.
Aku terpaksa menjeda pertemuan dengan Sinai dan teman-teman penulis Yogya, karena belum salat Asar padahal nyaris pukul 5 sore. Selain mengatakan belum Asar, aku juga beralasan lain akan bertemu panitia acara yang mengundangku. Dengan naik Gojek, aku mendatangi masjid Syuhada untuk salat Asar di situ. Masjid ini tak jauh dari Kopi Janji Jiwa. Masjid kebanggaan warga Yogya sekaligus masjid perjuangan mengenang pertempuran Kotabaru. Konon, masjid ini pembangunannya atas inisiatif Bung Karno dan beliau juga yang meresmikannya.
Masih di Syuhada. Di anak tangga masjid, kembali aku mengingat kedai kopi Janji Jiwa tadi. Kini yang berkelebatan Senja Berbisik.
Aku diminta menunggu beberapa menit, begitu pesan pengemudi Gojek. Masih di anak tangga masjid, kembali kutanyakan lagi dalam hati, dimana dia sekarang …?
***
Presentasiku berjalan lancar. Acara yang diprakarsai oleh self-publishing Yogya benar-benar menguras energi dan memoriku. Bagaimana dulu aku juga pernah ikut membesarkan sebuah penerbitan indie, kami biasa menyebutnya begitu, dan kini penerbitan indie itu telah menjadi raksasa penerbitan di Indonesia. Aku pun diajak terus membesarkan penerbit yang tak bergelar self-publishing lagi. Kantor pusat pun “terpaksa” harus berpindah ke ibu kota untuk mengambil ceruk pasar buku dan penerbitan lebih luas. Itu hanya bisa terjadi di ibu kota bukan sekedar di ibu kota provinsi macam Yogya. Akhirnya, Yogya hanya menjadi kota selaksa makna seperti lirik lagu KLa, Yogyakarta.
Kelancaran acara, kesuksesan presentasiku, tetap saja tak menghilangkan pertanyaan yang berulang, dimana dia sekarang …? Dia seperti raib, hilang ditelan bumi atau mungkin dibawa arus pantai selatan Jawa, lalu dibenamkan oleh penguasa pantainya.
![]() |
menatap di kejauhan |
Isnur yang semula ragu-ragu, aku desak untuk mau merevisi cerita dengan memasukkan sentuhan lain, sehingga ketika kedua buku tersebut dituliskan ulang, Allah memberikan keajaibannya. Buku karya Isnur meledak dan terus dicetak ulang. Aku sendiri tak habis pikir apa sebenarnya kekuatan kedua cerita tersebut hingga pembaca-pembaca baru bermunculan dan terus mengapresiasi tulisan Isnur.
Menjadi terkenal memang tidak lantas membuat Isnur pongah dan sombong. Dia tetap penulis yang lembut, rendah hati, baik, dan bersahaja. Bukunya yang sempat merajai pasar buku pada waktu itu, tetap tidak menggoyahkan apa pun dari dirinya. Malah ketika harus diwawancarai, aku sering diminta menemaninya. Tentunya aku senang-senang saja. Pekerjaanku sebetulnya sama, orang belakang layar yang jarang berhubungan langsung dengan publik. Editor dan penulis memang orang dapur sebuah buku. Orang-orang tersembunyi yang tak harus menampakkan dirinya ke hadapan publik. Namun di antara kami berdua, aku mungkin yang lebih pede, karena sebelum menggeluti dunia kepenulisan dan editing, aku pernah menjadi sales sebuah perusahaan MLM. Di MLM, mulutku ditempa untuk berani ngoceh dan harus sering bertemu banyak orang menawarkan produk jualan. Sementara Isnur sejak dulu hanya menulis, menulis, dan menulis.
Terlalu sering berinteraksi: menggarap naskah, mengutak-atik naskah, merapikan naskah, membuat kami seperti tak berjarak. Tetiba banyak sekali hal-hal sepele muncul, sesuatu yang kata orang kebetulan-kebetulan. Namun menurut kami, kenapa terlalu banyak sekali kebetulan yang muncul. Ketika kutanyakan kepada kawan yang lulusan UIN dan kemudian menjadi pendakwah, dia hanya bilang, “Tak ada satu pun di dunia ini kebetulan. Itu sudah takdir-Nya. Kalau terlalu sering mengatakan kebetulan, itu sama saja tak memercayai takdir Allah.” Mendengar itu, kami hanya bisa terdiam lalu mengaminkan apa yang sudah dan sedang terjadi pada diri kami berdua.
Begitu penerbitan indie tempat aku bernaung menjadi besar dan mengharuskan aku ikut boyongan ke Jakarta, masa itu pun terjadi. Hampir saja aku mengatakan kebetulan aku dan penerbit indie boyongan, aku juga harus kehilangan Isnur yang entah kenapa tak pernah kulihat lagi tulisan-tulisannya bahkan sosoknya jadi sulit aku jumpai. Raib, hilang, tanpa seorang pun tahu keberadaannya. Dalam kesumpekan Jakarta, tak surut aku mencarinya, tapi Isnur seperti lenyap tak berbekas. Namun, kejadian di Soetta yang terjadi tiba-tiba dengan Henidar, wanita yang menumpahi aku dengan kopinya, kemudian ajakan hangout di kopi Janji Jiwa, seperti memunculkan harapan aku akan menjumpai Isnur entah benar atau tidak bisikan hatiku. Aku tak mau bilang kebetulan, karena itu tak memercayai takdir.
Segera kusimpan nomor Henidar yang sejak kemarin belum sempat aku simpan. Aku sudah mandi sore dan tak ada keinginan untuk berjalan-jalan. Jadi, seperti kata resepsionis kemarin, akan ada acara live music di pinggir kolam renang, maka aku putuskan untuk kongkow di pinggir kolam. Aku sudah mengajak Sinai datang. Dia pun berjanji akan datang, meskipun agak terlambat, karena harus menyelesaikan beberapa tugas administrasi IKAPI Yogya.
Selepas magrib, aku keluar hotel dan menuju Tugu Yogya. Nomor Henidar tidak aktif. Kutelepon beberapa kali tidak tersambung. Senja bersandikala membiaskan warnanya di atas langit Tugu Yogya. Banyak turis domestik yang sedang berswafoto di sekitaran Tugu. Di depan gerai tas rajut Dowa, mataku tak sengaja bertatapan dengan seseorang. Wanita yang menatapku juga tampak ragu-ragu lantas ia bergegas masuk ke dalam gerai Dowa. Melalui kaca tembus pandang yang terlihat, aku masih melihat wanita itu berbalik dan melihat ke arahku.
HENIDAR …. Tak salah. Itu Henidar yang kopinya tumpah di Soetta kemarin, meski bukan kesengajaan. Aku bergegas masuk ke gerai Dowa dan wanita itu juga ikut menuju pintu keluar. Mata kami kembali bertatapan.
“Mbak Henidar, kan?” sapaku.
Dia tertegun tak bisa balas menyebut namaku, karena pasti tak tahu siapa namaku. Dia berikan kartu nama, sementara aku tak memberikan apa-apa bahkan mengenalkan nama pun tidak.
“Aku Condro. Kita yang ketemu di Soetta kemarin itu. Kopi tumpah ….” Mendengar kata-kata kopi tumpah, Henidar langsung tertawa. Lagi-lagi permohonan maafnya terlontar lagi. Aku dengan sigap hanya menggelengkan kepala.
“High heels-nya, gimana tuh?”
Dengan spontan aku menanyakan sepatu tingginya yang patah dan yang menyebabkan kopinya tumpah, dan akhirnya ia memberikan kartu namanya padaku. Jawaban atas pertanyaan high-heels singkat, “Aku buang, Mas ….” Lalu dia cerita harus bertelanjang kaki sampai bandara YIA dan baru mencari sandal jepit ketika selesai mengurus bagasi. Kami lagi-lagi tertawa.
Aku iseng bertanya menginap dimana. “Tuh di situ,” sambil telunjuknya mengarah ke hotel 101. Kali ini gantian aku terkejut.
“Kamar nomor berapa?” tanyaku sekenanya yang bikin wajahnya mengerut. Mesti tak menyana aku akan menanyakan nomor kamarnya.
“412, Mas. Emang mau ngajak aku kencan kok tanya kamarku!” Perubahan wajahnya dari mengerut menuju datar agak lama, tapi kemudian dia tertawa.
Aku khawatir dia tersinggung, langsung ikutan lega, sekaligus merasa senang saja. “Kita tetanggaan kalau gitu.” Giliran dia kembali membelalakkan matanya.
“Loh, Mas Condro menginap di 101 juga?” tanyanya setengah tak percaya, tapi begitu anggukanku mantap, dia meninju lenganku pelan.
Kusebutkan saja kamarku, “416, Mbak ….”
Akhirnya, kami sepakat nanti malam akan kongkow di pinggir kolam renang menyaksikan live music.
Aku juga lantas tahu kalau kedatangannya ke Yogya ingin memberi dukungan pada adiknya yang akan tampil bersama band-nya.
“Dia adik bungsu saya. Baru selesai belajar piano di Belanda. Nanti saya kenalkan. Kami sekamar kok di 101. Dia jago bikin lagu sejak belajar piano, tapi memang dasarnya suka menulis lirik-lirik lagu sebelum berangkat ke Belanda.” Aku turut senang mendengar cerita adik Henidar.
“GM hotel ini kebetulan teman saya SMA, jadi saya coba tawarkan adik bisa perform di sini. Mudah-mudahan dia lolos, sehingga bisa terus tampil di sini. Saya ajak tinggal di Jakarta, nggak mau. Dia lebih senang tinggal di Yogya yang lebih nyaman baginya. Ya sudah, biarkan saja. Kan jadi alasan saya sering ke Yogya kalau begini.” Henidar tertawa renyah ….
***
Aku sempat ketiduran selesai salat Isya. Barangkali juga, Henidar mengetuk pintu kamarku. Ponselku juga menampakkan beberapa panggilan tak terjawab dari Henidar, serta ada pesan singkat beberapa kali. Setelah berpantas diri dengan kaus dan celana jeans, aku segera turun menuju kolam renang.
Dalam perjalanan menuju kolam renang, Sinai mengirimkan pesan yang minta maaf tidak bisa hadir ke 101, karena tugasnya belum selesai lalu tengah malam nanti langsung akan pergi ke Surabaya. Helaan nafasku mengiringi jawaban OK aku padanya. Aku senyum-senyum simpul, karena tak ada Sinai, ada Henidar dan akan dikenalkan pada adiknya si pemain piano sekaligus vokalis band yang tampil malam ini. Benar, ternyata perform adik Henidar sudah mulai. Mataku clingak-clinguk mencari Henidar. Ternyata dia duduk tak jauh dari tempat adiknya tampil. Kami saling menyapa ketika bertemu.
“Maaf aku tadi ketiduran,” pengakuanku cepat sebelum ditanyai.
Henidar hanya tertawa ringan. Lalu segera dia tunjukkan adiknya yang duduk di belakang piano. Mereka sedang bersiap membawakan lagu selanjutnya.
Mungkin merasa ditunjuk-tunjuk, adik Henidar melihat ke arah kami. Dia mendadak gugup, tapi kadung intro lagu sudah dimainkan. Lagu pun mengalun, tapi kenapa mendadak jantungku berdetak kencang mendengar lagu yang dibawakan adik Henidar, Always Remember Us This Way. Lagu lama milik Lady Gaga ini mengingatkan aku pada Isnur yang kala itu suka sekali bersenandung lagu ini.
Momen berikutnya, jantungku semakin berdebar manakala adik Henidar mengucapkan, “The part of me that’s you will never die,” dan ia menatap aku lekat. Tampak butiran air mata mengalir di pipinya.
Komentar
Posting Komentar