DICEKAM MIMPI
Juniar
terbangun. Tubuhnya berkeringat. Kamarnya terasa hangat karena pancaran sang
baskara yang menyusup dari celah-celah genting kamarnya yang tidak rapat.
Matanya menyorot ke arah genting yang menyala. Dan ketika hendak beranjak dari
ranjangnya, ia mendapati guling yang biasa menjadi teman tidurnya, masih
teronggok membujur. Balutan warna putih sebagai penutupnya langsung membuatnya
terperanjat. Sesaat Juniar sempat heran dan berpikir. Ia selalu memeluk
gulingnya sebagai penghangat tidurnya. Akan tetapi kali ini, malam ini, entah
mengapa guling itu hanya teronggok rapi di sebelahnya. Juniar mengurungkan niatnya untuk bangun
meskipun sinar matahari kian tajam menerobos celah-celah genting kamarnya yang
tak bereternit. Matanya memejam lagi mengingat kejadian semalam yang
dialaminya.
Sebelum tidur semalam, Juniar sempat
membaca sebuah cerpen berjudul Pengantar
Malaikat karya Ken Hanggara yang ada di harian Suara Merdeka Minggu. Ia
memperoleh koran itu pun tanpa sengaja. Dan itu pun hanya lembaran berisi
cerpen dan beberapa artikel. Benar-benar hanya koran selembar saja. Lembaran
koran itu ada di warung nasi Mak Wawi tempatnya biasa membeli makan. Biasanya Juniar
selalu makan malam di warung itu, tapi semalam ia ingin makan di kamar kosnya.
“Nggak biasanya kamu minta
dibungkuskan kalau makan malam, Jun?” begitu tanya Mak Wawi malam itu. Juniar
hanya tersenyum sambil mengatakan ingin menikmatinya di kamar kos. Mungkin
karena sudah lama kenal dan sering makan di situ, Mak Wawi menambahkan lauk dan
sayur untuk Juniar.
“Biar tambah beda suasana makanmu di
kos, Mak tambahkan tempe kemul sama tumis slada air, maukan?” Mendapat tawaran
begitu, jelas Juniar mengangguk. Suatu yang tak diduga sama sekali oleh Juniar
apalagi uangnya didompet bersisa lembaran warna biru satu-satunya. Orang tuanya
belum mentransfer uang bulanan lagi. Setelah membayar dan mengucapkan terima
kasih atas pemberian tambahan Mak Wawi, Juniar berpamitan. Matanya melihat
lembaran koran yang hanya selembar. Entah mengapa hatinya terusik untuk melihat
dan membaca sekilas.
“Mak, koran ini aku minta, boleh?”
tanya Juniar setelah membaca judul sebuah cerpen yang tiba-tiba membuatnya
tertarik. Kepala Mak Wawi mendongak sedikit sebelum keluar kata ‘ambillah’. Juniar
kembali mengucapkan terima kasih lagi. “Itu sepertinya koran pembeli sebelum
kamu datang, Jun,” teriak Mak Wawi sebelum Juniar melangkah meninggalkan
warungnya. Juniar menengok ke belakang sambil mengangguk. Malam itu hampir jam
9, warung nasi Mak Wawi masih menyisakan pembeli 4 orang yang makan di tempat.
Malam itu, perut Juniar terasa
kenyang. Ia duduk di ranjang sambil memegang lembaran koran yang dibawanya dari
warung nasi Mak Wawi. Selain ada cerpen yang menarik hatinya, ada juga foto
masjid. Si penulis artikel memberi judul Enam
Masjid Terbesar di Dunia.Juniar takjub dengan kemegahan Masjidilharam di
Makkah serta Masjid Nabawi di Madinah. Ia juga melihat Ka’bah yang berada di
tengah-tengah yang menjadi poros seluruh umat muslim sedunia. Foto dalam
artikel itu juga memperlihatkan begitu banyak orang yang berada di sekitar
Masjidilharam dan Ka’bah.
Puas melihat dan membaca artikel
tentang kemegahan masjid-masjid terbesar di dunia, barulah Juniar membaca
cerpen Pengantar Malaikat. Juniar
bukan penikmat cerpen, namun malam itu ia bagai ditarik oleh sebuah kekuatan
magis supaya mau membaca. Cerpen yang dibacanya, sepertinya berisi sebuah
pesan. Ada kalimat dalam cerpen yang tertulis: Namaku Sapono. Aku malaikat yang tersesat ke bumi dan tidak bisa balik
ke surga. Jadi antarkan aku pulang. Ada bayaran yang pantas untuk kamu. Tidak
usah khawatir tentang hal itu. Kamu hanya cukup mengikuti petunjuk-petunjuk
dariku. Tuntun saja aku. Kita pergi sama-sama ke tujuan. Dan kamu tidak akan
menyesal mengantarkan aku.
Membaca penggalan kalimat-kalimat
itu, Juniar agak bergidik. Dalam benaknya, disuruh mengantarkan malaikat
pastinya itu malaikat pencabut nyawa. Namun mengapa si malaikat harus
diantarkan? Bukannya para malaikat bersayap sehingga bisa terbang sendiri,
pulang ke surga?
Juniar melanjutkan membaca cerpen
itu. Matanya lekat membaca kalimat berikut: Sesudah
mandi dan makan, Sapono mengajakku kembali berjalan hingga kami tiba di tepi
jalan raya. Sebuah bus berhenti dan Sapono naik. Bus itu hitam kelam dan Sapono
memberi isyarat padaku untuk ikut naik. Tengkuk Juniar meremang,
membayangkan tokoh yang bersama malaikat itu dibawa serta. Terdengar desah Juniar
setelah mengetahui yang dinaiki pengantar malaikat itu adalah bus hitam kelam.
Bukannya itu simbol kematian, gumam Juniar. Perlahan jantung Juniar berdetak
melebihi normalnya. Hampir saja dilemparkan lembaran koran itu. Namun begitu,
seperti tadi juga, ada kekuatan magis yang memaksa Juniar untuk meneruskan
membaca.
Ternyata dalam bus tersebut sudah
banyak pria seperti si tokoh. Mereka semua mengantarkan malaikat-malaikat yang
tak bersayap serta tak berkepala. Tokoh yang mengantar malaikat tiba-tiba
disapa seseorang yang duduk di belakangnya. Menurut pengakuan pria yang menyapa
itu, ia adalah tukang jagal yang sudah membunuh puluhan manusia. Dan hingga
berada dalam bus itu, ia tak pernah tertangkap aparat keamanan. Si tukang jagal
juga mengenalkan malaikat yang diantarkannya. Saat memperkenalkan diri,
malaikat itu mengaku bernama Saidah. Tiba-tiba si pria penjagal itu mendekat
sambil berbisik, “Kita tidak bisa pulang. Bus ini tidak kembali.” Juniar
spontan melemparkan lembaran koran berisi cerpen Pengantar Malaikat itu. Lembaran itu mengayun sebentar kemudian
tergolek begitu saja di lantai di bawah ranjang Juniar. Buru-buru Juniar
menarik selimut dan mendekap gulingnya erat-erat.
***
Hari masih malam. Desisan angin
malam sempat menyeruak melalui genting-genting yang terlihat jarang dari
bawah. Juniar terpana menyaksikan ada
wanita bergaun putih terbujur kaku di sebelahnya. Kira-kira 2 meteran dari
tempatnya berdiri. Mata wanita itu terpejam. Parasnya cantik namun agak pucat.
Alisnya tebal, hidungnya bangir, serta mulutnya terkatup. Bibirnya terlihat
membiru meskipun tidak biru sama sekali. Juniar tidak mengenali siapa wanita
yang terbujur kaku di sebelahnya. Tiba-tiba, ketika ia asyik memperhatikan
wajah si wanita, masuklah wanita paruh baya.
Kepalanya ditutupi kerundung.
Matanya agak sembab seperti habis menangis. Ruangan itu agak temaram sehingga Juniar
hanya mengira-mengira wajah wanita paruh baya yang datang itu. Saat wanita
paruh baya itu mendekat ke wanita yang terbujur kaku, barulah Juniar bisa
melihat jelas wajahnya. Otak Juniar langsung merespon. Ia seperti mengenali
wajah itu. Setelah mengingat sebentar, tahulah ia kalau itu adalah Mak Wawi, si
pemilik warung nasi langganannya.
“Mak,” ucap lirih Juniar, berusaha
menyapa Mak Wawi. Wanita paruh baya itu hanya diam. Ia duduk di sebelah wanita
muda yang terbujur kaku itu. Tangannya membelai-belai wajah si wanita muda.
Gumaman lirihnya bernada kesedihan. Juniar memperhatikan seksama dada wanita
muda yang menyembul indah itu. Matanya sengaja melihat sungguh-sungguh.
Tiba-tiba tenggorokan Juniar seperti tercekat. Dada wanita muda itu tidak
bergerak naik-turun. Wanita itu tidak bernafas. Juniar membuang nafasnya
buru-buru. Lebih terkejut lagi ia, ternyata ia berada dalam kamarnya sendiri.
Tapi mengapa kamarnya seperti berubah?? Spontan Juniar memukul wajahnya. Sakit
yang dirasakan. Anehnya, kakinya bagai terpaku di lantai, tak bisa digerakkan.
Dan berulang kali memanggil Mak Wawi yang ada di hadapannya, tak juga
ditanggapi. Sepanjang malam Juniar hanya menyaksikan dua wanita; yang satu muda,
tak bernafas, dan yang satu lagi paruh baya, meneteskan air matanya. Juniar
terus terpaku berdiri di lantai dalam kamarnya.
***
Juniar membuka kembali matanya.
Sinar matahari langsung menerpa matanya yang terbuka. Ia menengok kembali ke
samping, mendapati gulingnya tetap terbujur kaku. Hmmm, suara desahan terdengar
dari mulut Juniar, rupanya aku bermimpi
tentang kematian. Juniar bergegas bangun dari ranjang, segera juga masuk ke
kamar mandi untuk bebersih tubuhnya yang kuyup. Sayup-sayup terdengar
pengumuman dari masjid kampung yang mengundang umat muslim untuk menghadiri
pengajian dhuha pukul 9. Saat gebyuran pertama, Juniar mendengar pengumuman itu.
Semula ia lupa hari gegara mimpi kematian. Tapi mendengar pengumuman pengajian
dhuha, ia ingat kalau saat itu hari minggu.
Tak dinyana, tema pengajian dhuha
tentang kematian yang dikaitkan dengan mimpi. Dari situ Juniar mengerti bahwa
menurut islam, mimpi terbagi menjadi 3 yaitu mimpi yang datang dari Allah,
setan, dan pikiran sendiri. Ustadz yang memaparkan juga mengatakan mimpi
melihat orang meninggal merupakan pengalaman tidur yang datang dari setan.
Setan suka sekali mengganggu manusia dalam bentuk mimpi buruk, menyeramkan, dan
menakutkan.
“Jamaah yang dimuliakan Allah.
Apabila bapak, ibu, saudara, mengalami mimpi buruk, janganlah menceritakan
mimpi tersebut kepada orang lain.
Simpanlah sendiri dan berdoa kepada Allah Swt mohon perlindungan dari keburukan
mimpi tersebut.” Ustadz itu menambahkan. Juniar teringat bagaimana semalam ia
tidak berdoa sebelum tidur apalagi setelah membaca cerpen Pengantar Malaikat. Selepas pengajian Juniar langsung pulang ke kos
bersama Pak Banowo, Sang Pemilik Kos.
Selama perjalanan pulang, Juniar
mendengar ocehan Pak Banowo tentang mimpi melihat orang meninggal. “Kalau saya
malah merasa mujur mimpi melihat orang meninggal. Banyak peruntungan yang
terjadi setelah mimpi itu,” tegas Pak Banowo.
Juniar mulai terpengaruh ucapan Pak
Banowo. Tapi berulang kali juga ia istighfar. Pikirannya mendua antara
mengikuti omongan Ustadz atau omongan Pak Banowo….. Begitu masuk dalam kamar kos, Juniar melihat
kembali guling yang terbujur kaku, belum berubah seperti saat dia tinggalkan
pergi pengajian. Pikirannya berkecamuk, macam-macam. Tiba-tiba gara-gara
melihat guling, ia seperti melihat wanita muda yang dadanya menyembul namun tak
ada gerakan naik-turun didadanya. Sekelebat ia melihat Mak Wawi juga. Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa pada keluarga
Mak Wawi, ujar lirih Juniar. Ia hanya teringat peristiwa-peristiwa sedih di
kampungnya gara-gara seseorang mimpi orang meninggal dalam tidurnya. Juniar juga mengingat-ingat, sepertinya Mak
Wawi tidak memiliki anak perempuan yang masih muda. Anak-anak Mak Wawi sudah
dewasa dan sudah menikah semua.
Hari itu, Juniar sengaja tidak
kemana-mana. Siang yang panas, ia hanya menggeletakkan tubuhnya di ranjang,
tangannya memainkan HP. Meskipun perut sudah minta diisi, tetap ia mendekam di
kamar saja. Terpaksa ia harus menghemat pengeluaran. Hingga azan asar
berkumandang, Juniar belum beranjak dari kamarnya kecuali salat. Mendekati
magrib barulah Juniar keluar kamar. Menuju masjid untuk salat jama’ah baru
setelah itu menuju warung nasi Mak Wawi.
Ada pemandangan yang berbeda di
warung Mak Wawi. Ada gadis yang ikut membantu Mak Wawi melayani para pembeli.
Gadis muda yang cantik, menurut penglihatan Juniar. Sebetulnya, selain mau
makan, Juniar juga ingin menanyakan perihal mimpinya semalam. Tapi pertanyaan
itu akhirnya belum jadi terucap gegara paras cantik gadis yang sedang membantu
Mak Wawi. Melihat pelanggan setianya datang, Mak Wawi menyapa hangat. “Habis
makan, jangan langsung pulang ya! Ada yang mau Mak omongkan,” senyum mengembang
di wajahnya. Ia kemudian langsung menyuruh Juniar makan sementara dirinya
kembali meladeni para pembeli yang mulai ramai memenuhi warungnya. Sambil
menyantap makan siang sekaligus makan malamnya, Juniar tak mau menyiakan
menatap gadis cantik yang membantu Mak Wawi. Otaknya menebak-nebak siapa gadis
itu…. Mak Wawi mau omong apa, ya? Kok
sepertinya agak serius, batin Juniar seraya menyuap makanannya.
Tegukan es teh manis mengakhiri
makan malam Juniar. Ia bergegas mendekati meja kasir hendak mengatakan sesuatu
kepada Mak Wawi. Juniar mau berhutang makan malamnya. Namun sebelum
keinginannya terucap, suara Mak Wawi menyuruh ia menuju teras rumah Mak Wawi
yang ada di samping warung. “Tunggulah di sana, nanti Mak ke situ.” Juniar pun
menurut segera berjalan menuju teras.
Tak sampai 5 menit, Mak Wawi sudah
mendatangi teras. Tak sendirian si Mak. Ia mengajak gadis cantik yang tadi
menemaninya jualan. Sebelum Mak Wawi berkata, Juniar berinisiatif berkata
duluan. Ia hendak berhutang makan malam, juga mungkin makan-makan berikutnya
sebelum orang tuanya mengirimi uang bulan tambahan. Namun gelagat Juniar
ketahuan Mak Wawi sehingga kata-kata Juniar dihentikan. “Ya, Mak sudah tahu,
kau mau berhutang, kan?” Kemudian terdengar kekehan Mak Wawi. Sambil
tersipu-sipu Juniar hanya bisa mengangguk. Apalagi di hadapannya ada gadis cantik.
Mak Wawi langsung mengenalkan gadis
yang bersamanya. “Ini Warda. Nama lengkapnya Warda Lurensiah. Dia keponakan Mak
yang baru datang dari Pontianak.” Warda tersenyum malu bibinya mengenalkan
begitu. Meskipun malu, ia menyambut uluran tangan Juniar yang mengajak kenalan.
“Warda mau ikutan tes masuk ke universitas tempatmu kuliah. Dia sempat
menganggur setahun. Tahun kemarin Warda tak lolos. Tahun ini ia ingin mencoba
lagi peruntungannya,” jelas Mak Wawi. Juniar mengangguk-angguk, namun tetap
belum mengerti mengapa ia harus terlibat dalam urusan tes masuk Warda. Sebelum
melanjutkan kata-katanya, Mak Wawi menyuruh Warda mengambilkan minuman di
dalam. “Buatkan es untuk Juniar. Kulihat dari tadi keringatnya nempel terus di
jidatnya.” Ah, tahu saja si Mak Wawi. Cuaca malam itu memang terasa panas.
“Buatkan aku sekalian, Da,” teriak Mak Wawi.
Sepeninggal Warda membuatkan
minuman, Mak Wawi melanjutkan omongannya. “Mak mau minta tolong padamu Juniar.
Ajarilah Warda supaya dia bisa diterima di universitas tempatmu kuliah. Kamu
kan pintar!” Juniar terperanjat Mak Wawi mengatakan ia pintar. IPK aja tak
pernah menyentuh 3,00 bagaimana bisa dibilang pintar. Mungkin Mak Wawi hanya
berpikir mudah karena tahunya Juniar kuliah di universitas negeri ternama.
Melihat Juniar tidak langsung menjawab, Mak Wawi bertanya lagi, “Bisa nggak
ajari Warda?” Juniar masih terdiam. Ia berpikir keras bagaimana kalau setelah
diajar olehnya Warda tetap tak lolos?
“Hei, kenapa kau diam? Bisa nggak?”
tanya Mak Wawi sambil matanya melihat Juniar.
Baru setelah dipandangi seperti itu,
Juniar menjawab, “Aku coba Mak, tapi kalau nanti Dik Warda tidak lolos tes, aku
yang nggak enak hati.” Mak Wawi tertawa. Tangannya mengepal ke arah Juniar. “Ya
nggak apa-apalah….” Juniar menghela nafas begitu Mak Wawi berkata demikian.
“Satu lagi. Kamu juga akan Mak
bayar! Bagaimana?” Wajah Mak Wawi tampak serius. Mata Juniar melebar sedikit.
Sebuah ide gila melintas dikepalanya.
“Mak….,” ucap Juniar lirih.
“Ada apa?”
“Aku boleh usul tidak?” Juniar
terdiam selesai mengatakan begitu. Melihat Mak Wawi mengangguk, Juniar
melanjutkan omongannya. “Begini Mak. Kalau tidak keberatan dan Mak setuju, aku
tidak usah dibayar, tapi aku bisa makan saja di warung Mak.” Mata Mak Wawi
terbelalak. Juniar langsung menunduk melihat belalak mata si Mak.
“Ohya…. Usulanmu jitu! Aku setuju
kalau kamu minta bayaranmu diganti makan. Kenapa aku tidak mikir begitu, ya?”
Spontan Mak Wawi menepuk jidatnya.
“Daripada kamu ngutang, kan
mendingan kamu dibayar dengan makan, ya..” Mak Wawi tertawa. Tangannya menjulur
ke arah Juniar, menandakan ia ‘deal’. “Selama kamu mengajari Warda, makanlah
sesuka hatimu. Makan dan minum di warungku, silakan.” Juniar senang mendengar
usulannya diterima. Setidaknya, setahun ke depan, ia tak perlu pusing
memikirkan soal makan dan minum. Mak Wawi membolehkan ia makan sesukanya. Tapi aku harus tahu diri, batin Juniar.
Warda datang membawa nampan berisi 3
gelas juga sepiring tahu goreng isi. Juniar yang sudah ‘deal’ urusan
ajar-mengajar, memandangi calon muridnya. Hmmm,
memang cantik keponakan Mak Wawi ini, suara dalam hati Juniar menjerit.
Ketika Warda sudah meletakkan isi nampannya, tiba-tiba ada wanita seusia Mak
Wawi datang menghampiri mereka. Dan terperanjatlah Juniar melihatnya.
“Ohya, kenalkan Jun. Ini ibunya Warda.
Ini saudara kembar Mak. Kamu bisa panggil Mak Wiwik,” ucap Mak Wawi. Masih
dengan wajah terperanjat, Juniar mengulurkan tangannya. Mirip banget, gumamnya. Mereka akhirnya duduk berempat dan
berbincang-bincang.
Sambil mengunyah tahu goreng isi, Juniar
teringat mimpinya. Berulang kali ia memandangi Warda. Memandangi Mak Wiwik,
juga Mak Wawi. Mata Juniar tertuju sebuah tanda di pergelangan tangan kanan Warda.
Ada semacam noktah berwarna biru. Juniar ingat, wajah yang meninggal yang ada
dalam mimpinya, memang tak tampak olehnya. Akan tetapi, Juniar melihat
persamaan noktah di pergelangan tangan antara Warda dengan gadis yang meninggal
dalam mimpinya. Apakah mungkin itu Warda?
Batin Juniar cemas. Seketika itu juga Juniar gelisah, sampai-sampai
kegelisahannya diketahui Mak Wawi. Juniar pun tidak jadi menanyakan perihal
mimpinya kepada kedua Mak itu. Ia takut sesuatu terjadi pada mereka, terutama
pada Warda. Padahal baru saja hatinya melambung dan senang berkenalan dengan gadis
yang akan diajarinya.
Setelah membincangkan secukupnya soal
mengajar, Mak Wawi dan Mak Wiwik pamit kembali ke warung. Tinggallah Juniar
dengan Warda di teras itu. Kecemasan masih melanda hati Juniar. Ia masih
terbayang-bayang mimpinya semalam. Ia berharap kemesraan yang baru akan
dimulainya tidak cepat berlalu.
“Kamu sehat-sehat saja?” Tiba-tiba
saja Juniar menanyakan itu kepada Warda. Ditanya begitu, jelas-jelas Warda
mengangguk sambil mengatakan ‘sehat tentu saja’. Warda tersenyum sembari
mengatakan ‘ada apa sih’? Giliran Juniar gelagapan ditanya begitu. Hanya
gelengan kepala yang bisa dilakukan Juniar.
Dan meskipun di teras itu Warda
menanyakan banyak hal tentang universitas, mata pelajaran, serta soal-soal yang
akan dipelajari, pikiran Juniar masih tetap mengingat mimpinya. Ia tetap cemas
dan takut sesuatu bakal menimpa Warda dan ibunya atau Mak Wawi. Jangan, jangan, jangan, jangan sampaiiii ada
apa-apa, teriak Juniar dalam hati lagi.
Setelah dirasa cukup, Juniar berpamitan kepada Warda. Sepanjang jalan menuju
kos, hatinya tetap gelisah, tidak tenang karena terus-terusan mengingat
mimpinya, wajah Warda, dan wajah kedua Mak.
Ya Allah, lindungi orang-orang yang aku kenal ini…..
Di
ranjang, Juniar mengingat noktah di pergelangan kanan tangan Warda. Bayangan
gadis yang meninggal dalam mimpinya muncul lagi. Juniar sudah berkesimpulan
gadis itu adalah gambaran Warda, karena ada Mak Wiwik, ibunya. Dalam mimpinya, Juniar
memanggil Mak Wawi, tidak menengok, artinya yang hadir dalam mimpinya merupakan
ibu dan anak: Warda dan Mak Wiwik. Mengingat hal itu, Juniar kembali merinding
lagi. Dipejamkan matanya dan berdoa memohon keselamatan untuk keduanya.
Sebisanya, Juniar berzikir dan mengucapkan istighfar berulang-ulang.
“Mas.., Mas.., bangun yuk! Sahur….
Sebentar lagi imsak,” bisikan halus menggema ditelinga Juniar. Bisikan halus
yang didengar Juniar bagai siraman menyegarkan ke tubuhnya yang sempat merasa
gerah ketakutan. Perlahan Juniar menggeliat. Ia terkejut mendapatkan wajah
istrinya persis di hadapannya dan hanya berjarak beberapa senti. Dan senyum
dibibir itu telah menemani hari-harinya selama 15 tahun.
“Nunggu apalagi sih?” Istri Juniar
berusaha menarik. Juniar bangun dan duduk di tepian ranjang. Matanya mengawasi
sekeliling kamarnya. Satu per satu dalam kamar diperhatikan bahkan istrinya
juga dilihatnya lagi dengan seksama.
“Kamu nggak kenapa-kenapa?” tanya Juniar
sembari menatap istrinya.
“Ya jelas nggak kenapa-kenapa. Kamu sendiri
kenapa, Mas?” Wajah istri Juniar bingung. Kedua kalinya istri Juniar
mengajaknya keluar kamar untuk segera bersantap sahur bersama. Mereka pun
keluar kamar.
Di meja makan sudah terlihat ramai.
Kedua anak Juniar juga sudah bangun, sudah bersiap untuk sahur. Dari arah dapur
keluar wanita tua membawa nampan. Mangkok di atas nampan terlihat mengepulkan
asap. Aroma sop ayam menyeruak di ruangan. Hidung Juniar pun merasakan aroma
lezatnya.
“Kok lama sekali bangunnya, Jun?”
tanya wanita tua itu begitu melihat Juniar keluar dari kamar. Mata Juniar agak
terbelalak setelah melihat jelas wanita yang menyapanya. yang sedang membawa
sop ayam mengepul. Ajakan segera makan darinya ditanggapi Juniar dengan anggukan
kepala.
“Iya Mak, aku cuci muka dulu.” Juniar
segera berjalan ke arah pancuran dekat saung yang biasa digunakan keluarganya
untuk salah berjama’ah. Saung tempat salat berada di halaman belakang yang
terlihat dari ruang makan keluarga. Basuhan air yang mengenai wajah Juniar
seketika menyegarkan jiwa dan raganya. Juniar memperhatikan sekitar saung
hingga terdengar panggilan dari istrinya yang mengingatkan untuk segera makan
sahur.
“Hanya mimpi rupanya,” desis Juniar.
Ia melihat di meja makan ada Mak Wiwik, Warda, kedua anaknya juga kedua adik
kandung Warda. Hatinya terasa lebih tenang sejak guyuran air menerpa wajahnya
tadi. Juniar pun lantas duduk bergabung di meja makan segera menikmati makan
sahurnya bersama-sama.
Sambil makan sahur bersama,
terdengar tawa renyah dari Mak Wiwik yang tlah menjadi mertua Juniar. “Ohhh…
rupanya, kamu tuh masih teringat mimpi Warda meninggal. Trus juga melihat Mak
bersedih, hahahaha. Juniar, Juniar…. Itukah sudah berapa tahun yang lalu!
Nyatanya, mimpi meninggal itu buat Mak justru malah memanjangkan usia kami. Dan
kalau memang benar mimpi buruk karena bisikan setan, kita masih punya Allah.
Berdoa saja pada-Nya. Segala ketentuan tentang hidup dan kehidupan kita, Dia
yang mengatur dan menyelenggarakan.” Juniar hanya manggut-manggut mendengarkan
paparan mertuanya itu.
“Bukannya kamu juga memperoleh
keberuntungan, Juniar?” tambah Mak Wiwik. Mata Juniar agak menerawang mendengar
ucapan mertuanya. Juniar tidak menjawab. Akan tetapi dalam hatinya mengiyakan
apa yang barusan dikatakan mertuanya.
Mimpinya melihat Warda meninggal
justru berbuah manis. Ia memutar ulang memori di kamar kos Pak Banowo. Uang saku
yang selalu minim membuat Juniar sering kali berhutang di warung nasi Mak Wawi.
Namun siapa sangka, sesuatu terjadi tanpa disangka-sangka olehnya. Ia diminta
mengajari Warda, keponakan Mak Wawi, dengan imbalan makan gratis. Makan gratis
ini sebelumnya tidak ada. Mak Wawi, awalnya tetap akan membayar jasa mengajar kepada
Juniar. Dengan sedikit negosiasi, Juniar minta bayaran mengajarnya berupa kesempatan
makan dan minum gratis di warung nasi Mak Wawi. Gayung bersambut, Mak Wawi
setuju.
Adapun kabar gembira lainnya, Juniar
setiap saat bisa bertemu Warda, kala itu. Bahkan ia bisa mempersunting Warda
menjadi pendamping hidupnya. Sesuatu yang tidak pernah diangankan sebelumnya. Nikmat mana lagi yang bisa kamu ingkari? Juniar
lantas tersenyum mengingat tafsir mimpi yang
pernah dibacanya. Dalam tafsir itu dikatakan, seseorang yang bermimpi melihat
orang mati atau orang yang telah mati,
ia akan mendapatkan bantuan yang tidak disangka-sangka ketika keadaan sulit atau akan datang berita baik dari orang yang tidak disangka-sangka. Apapun artinya, Juniar hanya mengaminkan keterangan itu. Ia hanya terus berdoa sesuai petunjuk ustadz yang didengarkannya melalui pengajian dhuha, kala itu.
ia akan mendapatkan bantuan yang tidak disangka-sangka ketika keadaan sulit atau akan datang berita baik dari orang yang tidak disangka-sangka. Apapun artinya, Juniar hanya mengaminkan keterangan itu. Ia hanya terus berdoa sesuai petunjuk ustadz yang didengarkannya melalui pengajian dhuha, kala itu.
“Ngapa senyum-senyum gitu, Jun?”
suara Mak Wiwik mengagetkan Juniar. “Buruan
sahurnya, sudah mau imsak.”
“Iya nih ayah, dari tadi makannya
pelan, diam, terus senyum-senyum ajah,” timpal Delia putri pertama Juniar
dengan Warda.
Pancaran
sinar bulan malam menerobos kaca-kaca rumahnya. Rumah yang sengaja dibangun dengan
nuansa kaca dimana-mana supaya keadaan rumah selalu trang dan bercahya layaknya
cahaya matahari yang menerobos sela-sela genting yang tak rapat.
*)Cerpen "DICEKAM MIMPI", selain imajinasi penulis juga terinspirasi cerpen Ken Hanggara, Pengantar Malaikat, yang terbit di harian Suara Merdeka edisi Minggu, 26 Juni 2016
*)Cerpen "DICEKAM MIMPI", selain imajinasi penulis juga terinspirasi cerpen Ken Hanggara, Pengantar Malaikat, yang terbit di harian Suara Merdeka edisi Minggu, 26 Juni 2016
Komentar
Posting Komentar