PENGHUJUNG RAMADAN 'TUK HESTI


Tahun ini merupakan lebaran ketiga bagi Hesti dan keluarganya tinggal di Unique Paradise Huniyan. Sebuah perumahan mewah yang ada di pinggiran kota namun tak pernah sepi peminat untuk menghuni dan tinggal di dalamnya. Perumahan ini juga menjadi incaran kaum berpunya dari luar kota. Sekedar untuk dijadikan asset investasi masa depan semata.
            Keberadaan Hesti dan Rohurmurrie suaminya, serta kedua anak mereka, Thio dan Thia, di Unique Paradise Huniyan, juga bukan karena keinginan mereka. Adalah Dr. Cyruss Roharmarin, si pemilik rumah yang rumahnya kini mereka tempati. Cyrus masih kerabat Rohurmurrie suami Hesti. Kedua kakek mereka bersaudara kandung, kakak beradik. Karena perintah kantor tempatnya bekerja, Cyruss harus menetap di Brussel sebagai atase kebudayaan di KBRI. Semua anggota keluarga Roharmarin ikut ke sana. Daripada rumah kosong, Marin minta tolong saudaranya Murrie untuk tinggal sekaligus menitipkan rumah kepadanya.
            Hesti dan suaminya memang belum memiliki rumah sendiri. Mereka selalu berpindah-pindah karena mengontrak rumah. Sebagai karyawan biasa pada sebuah perusahaan jasa pengiriman, Murrie belum mampu menabung untuk membeli rumah. Maka dari itu, ketika Marin mengundangnya ke rumah dan minta supaya keluarganya tinggal sementara di rumah Marin, mereka mau-mau saja.
            “Dik Murrie, aku dapat tugas ke luar negeri. Berapa lamanya di luar negeri, aku juga belum tahu. Mungkin 5 tahun, mungkin lebih dari 5 tahun. Semua anggota keluarga, kuajak ke sana. Otomatis rumah kosong. Aku tidak berencana mengontrakkan rumah kepada siapa pun. Tapi, juga tidak mau rumah dibiarkan kosong. Aku lantas ingat Dik Murrie yang belum punya rumah sendiri. Maaf ya, bukan masuk meremehkan kalian,” ucap Marin kala ia menerangkan perihal tugasnya 3 tahun yang lalu. Murrie dan Hesti yang mendengarkan paparan Marin tersenyum dan mengangguk santun.
            “Nggak apa-apa kok, Mas! Memang kenyataannya kami belum punya rumah sendiri. Masih sebagai kontraktor terus.” Marin tertawa ketika Murrie menyatakan dirinya sebagai kontraktor.
            “Insya Allah, suatu saat kalian pasti dapat rejeki dan bakalan punya rumah sendiri,” tukas Marin memompa kepercayaan diri Hesti dan Murrie. Hanya ucapan ‘aamiin’ yang keluar dari mulut Hesti dan Murrie.
            Akhirnya, setelah disepakati ini dan itunya, semuanya sepakat rumah dititipkan kepada keluarga Murrie dan Hesti. “Lagi pula, mbakmu juga yang mengusulkan supaya kalian yang tinggal di sini. Mbakmu lebih percaya dan yakin, rumah akan terawat kalau kalian yang mengurusnya.”
            Tiba-tiba ada suara menyela dari dalam. “Benar kata Mas-mu, Dik Hesti dan Dik Murrie, rumah kami pasti aman dan terawat ditangan kalian.” Ketiganya bersamaan menengok ke arah dalam tempat sumber suara terdengar. Dari situ keluar Johana istri Marin sambil tersenyum ke arah mereka. Johana kemudian duduk bergabung dan berembug mengenai penitipan rumah.
            Setelah semua sepakat, mereka berempat kemudian memutuskan kapan keluarga Murrie bisa segera masuk. Marin sangat detail menjelaskan pernak-pernik perabot rumah kepada kerabatnya “Ohya, kalau kalian punya barang-barang di rumah kontrakan, jangan dijual. Bawa saja ke sini. Nanti taruh saja di garasi atau gudang. Aturlah sendiri sesuka kalian. Sementara kalian tinggal di sini, pakai saja perabot dan barang-barang yang ada di rumah ini. Kan kalau diletakkan di dalam rumah tidak memungkinkan…. Jangan tersinggung ya,” kata Marin lagi.
            “Iyalah Dik, daripada malah susah kalau harus bongkar pasang, lebih baik semua perabot kalian disimpan dan diamankan. Kelak pasti berguna kalau kalian punya rumah sendiri,” timpal Johana. Bibirnya tersenyum sambil matanya melihat ke arah Hesti yang agak malu-malu.
            “Satu hal lagi. Nanti tiap bulan kami akan kirimkan uang operasional rumah ini. Jangan ditolak! Aku tidak mau gaji Dik Murrie habis karena harus membayar biaya operasional rumah ini. Kalau ada kurang sedikit, tolong kalian bayarkan,” sambil mengatakan begitu, Marin tersenyum. Ia menepuk pundak Murrie yang duduk di sebelahnya. Murrie merasa tidak enak hati diperlakukan begitu istimewa oleh Marin. Ia pun mohon supaya kiriman uang itu tidak usah. Meskipun sudah dikemukakan begitu, Marin tetap dengan keputusannya. Setiap bulan akan transfer biaya operasional rumahnya.
            “Sudahlah Dik Murrie, ikuti saja kata Mas-mu itu,” Johana kembali menegaskan keputusan suaminya.
***
            Pergaulan di Paradishu, sebutan untuk Unique Paradise Huniyan, ternyata tidak sehangat yang Hesti dan Murrie bayangkan. Mereka selalu terkenang, terbayang kehangatan pergaulan justru saat mereka tinggal di rumah kontrakan mereka. Pikiran Hesti dan Murrie selalu terusik karena mereka tidak setara, tidak sederajat dengan tetangga-tetangga yang memang orang-orang kaya. Para tetangga juga tahu mereka hanya kerabat Dr. Cyruss yang dititipi rumah dan diminta menjaga rumah selama keluarga Dr. Cyrus bertugas ke luar negeri.
            Begitu inginnya Hesti supaya bisa dekat dengan para tetangganya, ia selalu berusaha ikut dalam kumpulan di lingkungan Paradishu seperti arisan lingkungan, pengajian di masjid, sampai kegiatan baksos yang sering diadakan. Hesti terpaksa mewakili Murrie, karena suaminya itu selalu pulang malam bahkan di hari Minggu atau hari libur pun ia harus masuk kerja. Sekali dua kali dalam sebulan, Hesti sering minta Murrie hadir dalam pengajian yang diadakan takmir Masjid At Taqwa di perumahan mereka. Semua mereka lakukan supaya hubungan mereka selama tinggal di situ bisa lebih hangat. Tapi ternyata, harta, jabatan, pangkat, menjadi ukuran dan kriteria para penghuni Paradishu.
            Tidak semua berperilaku menyimpang, namun ada saja segelintir orang yang sering kasak-kusuk kesana-kemari, yang justru omongan mereka menjadi acuan bagi yang lain. Hesti hanya bisa mengelus dada melihatnya. Kebanyakan para penghuni Paradishu sudah bergelar haji dan hajjah, tapi dalam penglihatan Hesti, kelakuan mereka sangat tidak mencerminkan seorang hajjah. Ibu-ibunya suka ghibah. Bergunjing bak santapan lezat yang tak boleh terlewatkan. Para ustadz yang mengisi pengajian mulutnya sampai berbusa-busa menjelaskan balasan apa yang akan diberikan kepada orang-orang yang gemar ghibah, gemar bergunjing. Akan tetapi, tetap saja aroma ghibah, bisik-bisik tetangga mengemuka. Hesti muak. Sudah berulang kali ia sampaikan kepada suaminya untuk angkat kaki dari Paradishu. “Kita kontrak rumah saja sendiri. Tak usah lagi tinggal di sini. Capek aku menghadapi ibu-ibu di masjid yang selalu saja berperilaku tak mengenakkan.” Berulang kali juga Murrie mengatakan supaya sabar dan mengingat kebaikan Marin dan Johana yang sudah menitipkan rumah mereka. Kalau sudah begitu, Hesti hanya diam dan patuh mengikuti kata-kata suaminya.
            Murrie selalu mengusahakan supaya setiap Ramadan ia berbuka dan tarawih di Masjid At Taqwa. Beruntungnya, selama Ramadan, tempatnya bekerja selalu memulangkan karyawan lebih awal. Murrie selalu bisa melakukan buka bersama dan maghrib sampai tarawih di masjid. Ia sangat mensyukuri hal itu. Dengan begitu, ia bisa bersilahturahmi dengan para tetangga yang memadati masjid selama bulan Ramadan. Murrie, Hesti, Thio, dan Thia selalu tak pernah melewatkan kegiatan Ramadan, terutama berbuka puasa, salat maghrib, isya, dan tarawih berjama’ah. BahkanThio dan Thia ikut terlibat dalam kepanitiaan masjid. Adapun Hesti ikut menyumbang takjil berbuka puasa dengan kemampuan yang ada. Meskipun keluarganya sudah ikut terlibat, namun tetap saja keluarganya tak dianggap oleh beberapa penghuni perumahan. Murrie sebagai imam dan kepala keluarga justru semakin memompakan semangat bersabar dan tetap tawakal kepada istri dan anak-anaknya.
            Dua hari menjelang 10 hari terakhir ramadan,  Hesti bertekad akan beri’tikaf di masjid. Suami dan anaknya Thio, juga akan melakukan hal yang sama. Hesti sudah berjanji akan berdoa lebih khusyuk. Bahwa janji Allah akan menurunkan Lailatul Qodar dicamkannya dalam hati. Hesti bertekad hanya akan memburu Allah sebagai pemilik Lailatul Qodar. Hesti memantapkan keyakinannya setelah mendengar kultum subuh yang ustadz-nya berkata, “Kejarlah pemilik Lailatul Qodar. Jika tercapai, tidak hanya Lailatul Qodar saja yang kau dapatkan, tapi juga keberkahan yang lainnya.”
Dalam hati Hesti membatin, akan mendoakan warga Paradishu yang menurutnya menyimpang. Ia akan berdoa khusyuk kepada si Pemilik Hidup, agar semua yang ada didekatnya diberi kelimpahan berkah, rahmat, serta ketulusan hati yang dalam.
            Menjelang berbuka, rumah Murrie kedatangan anggota takmir masjid. Mereka mencari Thio yang akan diajak ikut membantu pengumpulan zakat fitrah dari para warga dan menghitung kotak infak yang akan disalurkan ke para penerima yang berhak. Hesti tahu, selama ramadan Thio sering membantu takmir masjid. Ia membantu membereskan masjid, ikut membantu menyiapkan buka puasa, mengajari anak-anak belajar Quran, dan kadang-kadang ikut mengumumkan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan ramadan masjid termasuk setiap hari membacakan hasil infak yang diterima. Walaupun kadang Hesti tak merasakan kehangatan ‘keluarga’ jika berada di masjid, namun melihat keterlibatan Thio dalam ketakmiran selama ramadan, hati Hesti agak membiru haru. Niat dan tujuan ke masjid semata memperoleh ridha Allah Swt semata.   Sudah menjadi kebiasaan masjid-masjid dimana pun, setiap menjelang akhir ramadan, jama’ah berangsur-angsur berkurang. Kebanyakan sudah ada yang mudik. Shaf yang semula penuh mulai menyisakan paling banyak 2 shaf saja. Hal itu juga berlaku di masjid yang ada di Paradishu. Shaf-nya juga tinggal 2 saja. Seseorang yang biasa mengimami salat juga sudah pamit duluan.
            Anehnya, di Paradishu yang bergelar haji bejibun, tapi setiap diminta menjadi imam, susah banget. Pada akhirnya, memang takmir masjid-lah yang berperan aktif dalam semua urusan ibadah termasuk mengimami salat dan berdoa. Malam itu hari kedua puluh delapan. Salat isya dan tarawih tidak diimami Mas Barhen, yang sudah mudik lebih awal, melainkan oleh Pak Syarbani seorang haji yang jarang tinggal di Paradise. Pak Syarbani memang warga Unique Paradise Huniyan, tapi beliau bekerja di luar kota. Setiap menjelang Idul Fitri dirinya selalu mengambil cuti dan selalu merayakan Idul Fitri di Paradise Huniyan.
            Selain mengimami salat, Pak Syarbani juga mengisi kultum tarawih. Malam itu, jama’ah yang masih bersisa di Masjid Paradishu, menikmati sisi lain ceramah yang penuh pencerahan. Ceramahnya menggugah kesadaran, membuat kepala para jama’ah manggut-manggut menyetujui materi ceramahnya yang memang memikat hati. Ketika mengimami salat tarawih bacaan surat-suratnya terdengar syahdu. Pelan dan mendalam cara melagukan ayat-ayat Quran. Suasana hening justru terjadi usai salat tarawih. Mas Barhen, imam abadi setiap ramadan di Paradishu, selalu melatunkan doa-doa setiap selesai salat tarawih. Malam itu, lantunan doa-doa tidak muncul ketika Pak Syarbani menjadi imam. Barangkali Pak Syarbani tidak mempunyai hapalan doa-doa sehingga tidak melantunkannya selesai mengimami salat tarawih.
            Tanpa ada yang menduga, Thio yang salat persis di belakang imam langsung meraih mic yang ada di depannya. Dimulai membaca Al Fatihah, Thio murid kelas 1 SMA melantunkan doa-doa yang sering dilakukan Mas Barhen. Sekilas doa-doa yang terlantun sama persis, tapi jika menyimak lebih seksama, ada tambahan doa yang dilantunkan Thio. Walhasil, malam itu, lantunan doa yang terdengar adalah doa-doa khas Mas Barhen yang ditambahkan doa-doa lain sebagai permohonan kepada Allah Swt. Semua jama’ah terkesima mendengarkan doa-doa yang keluar dari mulut Thio. Begitu Thio menyelesaikan doanya, koor panjang alhamdulillah terdengar.  
            Di shaf perempuan terlihat masing-masing dari mereka berbisik-bisik menyatakan kekaguman. Mereka tidak menyangka ada anak muda, yang sering mereka lihat membantu takmir masjid, baru saja melantunkan doa sebagai permohonan kepada Allah Swt. Doa dengan bacaan yang terdengar pelan, runtut, jelas, serta panjang namun tidak membosankan. Sesuatu yang berbeda yang justru terjadi di penghujung ramadan.
            Hesti tahu itu suara Thio. Ia tahu persis anaknya itu memang belajar Quran dengan baik dan benar. Ia juga tahu, Thio menghapal banyak surat dari Quran termasuk doa-doa mustajab yang bagus jika dilantunkan saat ramadan. Hatinya bergetar mendengarkan setiap lantunan doa yang dipanjatkan Thio. Tak terasa butiran-butiran halus membasahi pipinya. Ia buru-buru menyeka air matanya supaya orang lain tidak curiga.
            “Masya Allah Bu Hesti.., bersyukur sekali ibu mempunyai anak sholeh seperti Thio itu,” suara Bu Sekar terdengar. Ia mendekati Hesti yang berada di shaf belakang pojok kanan. Menyalaminya dan saling berciuman pipi. Bu Triasih dan Bu Halimah yang ada di kiri dan kanan Hesti juga ikut menyalaminya. Ketiga ibu ini, di perumahan Paradise yang masih mau menyapa dan ngobrol dengan Hesti. Mendapat perlakuan demikian, Hesti hanya mengucapkan terima kasih. Tak putus dalam hati ia berucap hamdalah berulang kali. Hesti juga bisa melihat, beberapa ibu yang sering bergunjing, menatap ke arahnya. Wajahnya tetap tidak bersahabat tapi Hesti menampaki rona lain di wajah-wajah mereka. Rona yang tak percaya bahwa yang baru saja melatunkan doa adalah anaknya. Meski diperlakukan demikian, Hesti tetap rendah hati, bersabar mengikuti petuah suaminya, Murrie. Hesti bangkit begitu Bu Sekar mengajaknya pulang bareng. Di pintu keluar, Thio mendekati Hesti, menyalami tangan ibunya dengan santun. Tak lupa juga menyalami para ibu yang bersama ibunya. “Bu, aku masih mau di masjid dulu mengurusi infak dan uang zakat fitrah warga.” Hesti mengangguk. Tanpa diketahui siapa pun, hatinya merasa bungah dengan kejadian barusan. Di luar masjid, Murrie suami Hesti sudah menunggunya.
            Sisa hari di penghunjung ramadan tidak berubah. Tetap seperti hari-hari kemarin. Ibu-ibu yang sering ber-ghibah tetap saja dengan kelakukannya. Entah sampai kapan Allah baru akan membukakan hati mereka. Hesti tidak peduli. Yang ada dalam pikirannya tetap beribadah di masjid untuk mohon segala berkah dan karunia Allah Swt. Dan terus mendoakan untuk semua yang berada di Unique Paradise Huniyan. Ia ingin merampungkan ramadan dan I’tikaf penuh ketertundukan pada-Nya. Biarkan saja Allah yang menggerakkan hati-hati orang pilhan-Nya menjadi pribadi yang lebih baik dan menghargai.
            Ufuk pagi mulai menyemburat, mengiringi pagi hari kedua puluh sembilan di bulan ramadan. Hesti merasa hatinya lebih tentram, lebih tertata di dalam dadanya. Kejadian semalam begitu membekas dihatinya. Doa-doa panjang Thio yang terlantun sangat menguatkan hatinya luar biasa. Suasana rumah masih hening. Senyap, meskipun bias-bias cahaya matahari mulai gemebyar dari ufuk timur yang sempat Hesti lihat dari celah korden yang tersibak sedikit. Selesai subuhan tadi, semua anggota keluarganya tidur kembali. Suaminya mulai libur hari ini. Ia sudah minta izin ingin menikmati hari liburnya dengan tidur beberapa jam. Semalam mereka I’tikaf sangat panjang di masjid. Hesti memakluminya. Ia biarkan semua dibuai mimpi sesudah menunaikan subuhnya. Sementara Hesti, tidak biasa tidur lagi setelah subuh. Ada saja yang bisa dikerjakannya setiap pagi.
            Ruang keluarga di tengah rumah tampak masih temaram. Lampu-lampu kecil yang jumlahnya 5 buah masih menyala redup. Korden yang menutup jendela tampak mulai diterangi cahaya dari luar. Hesti bergegas ke jendela hendak menyibakkan korden dan membuka jendela supaya udara pagi menyeruak masuk. Ia harus melewati tivi berukuran besar untuk sampai ke jendela. Saat melewati tivi tersebut jantungnya nyaris copot. Tivi yang semula gelap tidak menyala, sekonyong-konyong menyala sendiri. Dalam hitungan detik, tivi langsung menyala menampilkan sebuah video musik. Hesti membaca judul di situ, SELAMAT ULANG TAHUN CINTA. Hesti tertegun menyaksikan video musik itu. Selagi ia terpaku di depan tivi, dari arah belakangnya terdengar teriakan nyaring, “SELAMAT ULANG TAHUN IBUUUU.” Belum sempat hilang rasa kagetnya, kedua anaknya langsung menubruknya kemudian memeluk. Pipinya habis dihujani ciuman sayang kedua anaknya. Murrie mendekat ikut memberikan pelukan hangat untuk istrinya. Berempat, penunggu rumah Cyruss Roharmarin, saling berpelukan. Saling berbagi rasa sayang dan kasih di penghujung ramadan yang indah bagi mereka.

           


            

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PIYAMBAKAN

SENGAJA DATANG KE KOTAMU

KIRIMI AKU SURAT CINTA