KULTUMLAH SECUKUPNYA !!
Seperti
biasa, aku selalu terkantuk saja setiap kultum dimulai. Mungkin karena hawa
adem yang menyelimuti masjid dimana aku akan mengikuti tarawih atau memang
dasarnya aku yang pengantuk, penidur, atau hoahhh….. Bahkan kantukkku kian menyergap
saat ingin menceritakan apa yang barusan kulihat di masjid tadi.
Waktu
si pembawa kultum diperkenalkan, kepalaku sudah setengah menunduk jadi belum
tahu siapa dan bagaimana rupa si kultum-er’s. Aku hanya sempat mendengar kalimat
“secukupnya” dari takmir masjid yang memperkenalkannya. Masih dengan setengah
menunduk, otakku merespon cepat kata “secukupnya.” Barangkali karena kultum, janganlah terlalu
panjang materinya. Karena kultum adalah kuliah tujuh menit. Namun kini kultum
sudah bermetamorfosis menjadi “kuliah tujuh belas menit” atau bisa saja “kuliah
tujuh puluh menit”. Mungkin juga saja, takmir masjid tempat dimana aku mampir
kala isya itu, hendak menegakkan kultum yang sebenarnya, “kuliah tujuh menit.”
Kuliahi kami dengan singkat dan padat, maunya.
Kepalaku tetap menunduk meski sudah
merespon “secukupnya” tadi. Bahkan ketika pembawa kultum mengucapkan salam, “Walaikumsalam”pun
kujawab masih sambil menundukkan kepala dengan mata sedikit terpejam. Semilir
angin dari penyejuk ruangan dalam masjid benar-benar melenakanku.
Sayup-sayup aku mendengar pertanyaan
itu dari pendengaran tipisku. Ughh, mengantuk itu benar-benar menyergapku.
Suasana tetap hening, tenang, karena tak satu pun dari jama’ah masjid yang
menjawab pertanyaan itu. Ketika pertanyaan yang sama ditanyakan kembali, mataku
bergerak sedikit, berusaha merespon pertanyaan itu. Dalam hati aku membatin,
kasihan amat si pembawa kultum ini. Bertanya sudah dua kali, tetap saja tidak
ada respon apalagi jawaban dari para jama’ah. Atau jangan-jangan yang lain juga
berposisi sama denganku. Tertunduk dan terkantuk-kantuk menikmati hawa adem
ruangan masjid. Dan ketika si pembawa kultum bertanya sekali lagi, total dia
menanyakan pertanyaan yang sama 3x, mataku ‘makbyar’ mulai menguap. Kemudian
berusaha melirik kiri dan kanan. Shaf-ku samping kiri, kanan, depan, belakang
jama’ahnya banyak. Mata mereka melek bahkan ada kepala jama’ah yang menengadah
ke atas melihat si pembawa kultum. Aku tetap belum melihat rupa si pembawa
kultum. Tapi, aku sempat merasakan atmosfir yang hening dan damai siapa pun
pembawa kultumnya. Sudah tujuh kali tarawih kulewatkan di masjid ini, sehingga
aku mengeerti kebiasaan para jama’ah di sini. Malam-malam sebelumnya juga demikian.
Ada pertanyaan atau tidak, tanggapan para jama’ah datar-datar saja. Mungkin
dalam benak mereka sudah dibenamkan kalimat, “berkultumlah sesuai makna kultum.
Jangan lebih dari tum-nya.” Aku pun menengadahkan kepala hendak melihat pembawa
kultum malam ini. Responku dengan mata setengah terbuka langsung kaget, serta
keluar komentar, “Ngapain dia memberi kultum? Memang sudah mumpuni ilmu
agamanya?” Mataku kemudian menatap tajam ke arah pembawa kultum.
“Mengapa bapak, ibu, percaya apabila
mendatangi masjid Al-Kalam itu baik?” Dia mengulangi lagi pertanyaannya. Ini
pertanyaan keempatnya dan masih tetap tidak ada jawaban. Dengan mata setengah
terbuka aku berusaha ingin tahu bagaimana posisi para jama’ah yang lain.
Ternyata semua duduk, menyimak, mata terbuka lebar, tapi mulut terkunci. Tak
ada kata yang terucap apalagi berusaha menjawab pertanyaan pembawa kultum
tersebut.
YAKIN!! Itu yang akhirnya terdengar
dari ruangan masjid yang sedari tadi hening saja. Tiba-tiba saja semua mata
mengarah kepadaku, termasuk si pembawa kultum. Aku lantas buru-buru mengubah
posisi dudukku dan merapatkan bibirku yang baru saja mengeluarkan kata “yakin”.
“Alhamdulillah, akhirnya ada juga
yang menjawab pertanyaan saya ini,” ucap si pembawa kultum dengan agak sedikit
melucu. Tangannya menjulur ke depan, ke arahku.
“Maaf, dengan bapak siapa?” tanyanya
kemudian. Sebelum aku menjawab, si pembawa kultum menambahkan omongan lagi. “Karena
bapak menjawab pertanyaan saya, maka bapak berhak mendapatkan ini.” Dia
memperlihatkan tasbih ditangannya. “Ini tasbih pemberian Yang Mulia Maulana
Malik Ibrahim ketika saya mengikuti pengajiannya. Tasbih ini sudah lama berada
ditangan saya sebagai kenang-kenangan. Meskipun tasbih kesayangan saya, namun
saya ikhlas memberikan tasbih ini kepada bapak karena bapak sudah menjawab
pertanyaan saya. Silakan diambil ketikan selesai tarawih, ya… Alhamdulillah,”
ucapnya lagi.
Kalian tahu siapa Maulama Malik
Ibrahim? Beliau adalah Imam Besar Masjid Agung di kotaku. Orang sering
menyebutnya Imam Maulibra. Sepertinya berkah banget jika bisa menjabat
tangannnya apalagi sampai bisa memiliki tasbih pemberiannya. Hmm, entah mimpi
apa aku semalam bakal memperoleh tasbih pemberian Beliau. Yaaah, meskipun
tasbih itu pernah mampir dulu ke tangan si pembawa kultum di masjid yang
sekarang kudatangi. Tak apalah…..
Setelah seremoni kecil yang akhirnya
memancing timbulnya suara-suara dalam masjid, si pembawa kultum dengan lugas
dan bersemangat mulai membawakan materi kultumnya. Ia lantas mengeluarkan smartphone dari saku baju kokonya. Aku
yakin, para jama’ah dalam benaknya mulai bertanya-tanya, mau ngapain lagi?
Ternyata, ia memperlihatkan sebuah gambar. Samar-samar, dengan sedikit
memicingkan mata, aku melihat itu gambar sebuah gunung es. Dan memang benar,
itu adalah gunung es yang ada di lautan di daerah kutub. Si pembawa kultum
berusaha menjelaskan bahwa meskipun gunung es ini di permukaan terlihat kecil
saja, sesungguhnya di bawah permukaan laut terdapat bagian yang sangat besar.
Lebih besar dari yang di atas permukaan. “Kalau diprosentasekan kira-kira 80%--90%
bagian bawah gunung es ini,” jelasnya kemudian. Sementara bagian yang atas
hanya berkisar 10%--20% saja.
Kalau diperumpamakan otak manusia,
maka yang atas adalah otak sadar sedangkan yang bawah adalah otak bawah sadar.
Jelas si pembawa kultum lagi. Dan ternyata, otak bawah sadar tersebut merupakan
pusat intusi, pusat kepercayaan/keyakinan manusia. Segala informasi yang baik
maupun yang buruk langsung masuk ke dalam alam bawah sadar tanpa terkecuali. Hmm,
cerdas juga si pembawa kultum menjelaskan soal YAKIN tadi dengan perumpamaan
gunung es kemudian menyamakan dengan otak manusia yang ada otak sadar dan otak
bawah sadarnya. Artinya, selama ini kita memang selalu dijejali banyak informasi
termasuk pemberitahuan bahwa kalau ke masjid itu baik dan akan membawa
keberkahan, pahala yang banyak, ketenangan, dan lain-lain. Semua hal-hal yang
baik meluncur deras ke dalam otak bawah sadar kita dan kelak itulah yang kemudian
muncul di alam sadar kita. Bahwasannya, karena memercayai Allah akibat kita
memperoleh informasi Allah adalah pengendali kita, pemberi rahmat, pemberi
rejeki, yang menghukum kita, timbullah keyakinan yang dalam mengenai-Nya.
Karena yakin itu, kita lantas percaya bahwa semua yang terjadi karena kehendak
Dia bukan kehendak yang lainnya.
Lantas bagaimana dengan orang
atheis? Orang tidak bertuhan. Orang komunis. Mereka tidak memiliki tuhan tapi
bisa hidup enak, mewah, kaya-raya, bergelimpang harta, dll. Padahal kita tahu,
bahwa pemberi semua itu adalah Allah. Lantas mengapa orang yang tidak percaya
tuhan macam begitu terpenuhi kebutuhannya.
“Karena yakin yang seyakin-yakinnya,”
sahut si pembawa kultum seakan tahu isi hatiku. Rupanya, orang atheis, komunis,
tidak bertuhan, memercayai materi, benda, adalah tuhannya. Ilahnya. Mereka
merasa yakin, dengan uang yang banyak, mereka bisa melakukan apa saja. Kalau
ditanya apakah mereka bertuhan? Iya, mereka bertuhan, namun Ilah mereka adalah
benda atau materi atau mungkin roh-roh orang yang sudah mati. Dulu kala, jaman
islam belum masuk Nusantara, di Nusantara dikenal kepercayaan anismisme
(percaya kepada benda-benda) dan dinamisme (percaya kepada roh-roh leluhur atau
roh-roh yang kuat). Kepercayaan mengakar kuat. Mereka yakin bahwa kesemuanya
itulah yang memberikan mereka “kebahagiaan hidup”.
Itulah yang membedakan kita, orang
yang beragama (terutama beragama islam). Kita diyakinkan, dari omongan alim
ulama, ustadz atau mungkin guru spriritual kita kalau tuhan orang islam bernama
Allah Swt. Kita juga diyakinkan bahwa Allah itu Maha segalanya, karena Dia-lah
pemilik hidup dan kehidupan seluruh makhluk di alam semesta. Kita juga diajarkan
konsep syahadat, “Tiada tuhan selain Allah”. Kita diyakinkan seyakin-yakinnya
bahwa Dia-lah tuhan kita, tuhan umat islam: ALLAH SWT. Otak bawah sadar lantas
menangkap informasi itu dan membenamkan di dasar bawah sadar kita. Otomatis
itulah yang kemudian keluar di alam sadar kita bahwa pemberi segalanya dalam
kehidupan ini (bagi umat islam) Allah Swt bukan yang lainnya. Yakin kita adalah
yakin yang benar. Yakin yang tiada bandingnya dengan yakin-yakin yang lain.
Seperti Ilah-Ilah orang yang tidak bertuhan, yang yakin kepada kebendaan yang
bisa sirna, hilang, hancur, rusak bahkan binasa. Sementara yakin kita pada
Allah Swt adalah abadi dan terus akan memberikan kita pelita yang terbaik.
Seperti sifat pikiran bawah sadar. “Mengubah
apa yang sudah tertanam dalam pikiran bawah sadar bukanlah perkara mudah.
Sekali tertanam ia akan mengakar dengan kuat,” lanjut si pembawa kultum. “Apakah
dengan begitu orang-orang yang tidak beragama lantas tidak bisa memiliki tuhan
yang sebenarnya?” tanya si pembawa kultum. Lagi-lagi tak ada jawaban dari jama’ah.
Hanya hening, memandang si pembawa kultum bertanya. Untungnya, si pembawa
kultum tidak mengulang pertanyaannya. Mungkin sudah paham kalau jama’ah masjid
Al-Kalam tidak mau ditanya-tanya. Ia lantas menjawab pertanyaannya sendiri.
HIDAYAH. Kata itu yang keluar dari
mulut si pembawa kultum. Seberapa besar para ahli psikologi mengatakan alam
bawah sadar tidak bisa diubah karena mengakar kuat, tapi kalau Allah menurunkan
hidayah-Nya, maka dengan mudah Ia mengubah yang tidak mungkin menjadi mungkin.
Itulah tuhan umat islam, Allah Swt. Dan itu kita yakini bisa terjadi. Karena
Allah adalah pemilik hak hidup, hak meminjamkan, hak untuk mengubah, dan
bermacam hak-hak yang lain. Kurasa hanya aku yang mengangguk-angguk
mendengarkan penjelasan pembawa kultum di masjid Al-Kalam, malam itu. Sementara
yang lain, entah mengapa hanya diam, kepala menengadah memandang si pembawa
kultum tapi semuanya seperti patung.
“Jadi, yakin itu ada di alam bawah
sadar kita, bapak-bapak, ibu-ibu. Yakin kita adalah keyakinan berdasarkan wahyu
Allah Swt yang diajarkan Nabi Muhammad SAW sebagai junjungan dan panutan kita
dalam beribadah dan berperilaku. Beruntungnya kita sebagai umat islam, karena
mendapat keyakinan yang tepat dan benar kepada Ilah yang benar, yang tunggal.
Allah Swt.” Kalimat itu menutup kultum si pembawa kultum yang tidak tujuh menit
lagi tapi tujuh belas menit. Itulah kultum masa kini. KULIAH TUJUH BELAS MENIT.
“Dari saya cukup sekian, wassalamu’alaikum
wr. wb”, ucap pembawa kultum menutup kultumnya tepat tujuh belas menit
berkultum.
Spontan aku menjawab, “Walaikumsalam…..”
Dan ternyata jawaban salamku paling keras di antara para jama’ah.
“Masss..,” tubuhku serasa ada yang mengguncang-guncang. Ada yang hangat menjalar di pipiku kemudian.
Ketika mataku terbuka perlahan, samar-samar kulihat wajah istriku tepat di
depanku. “Dari tadi ngomong yakin, ngomong bawah sadar, emang mau kebagian
ngisi kultum?” Pertanyaan istriku langsung menyadarkan kesadaranku. Aku bangun
dan duduk. Hmmm, rupanya ada pesan dari alam bawah sadarku yang mengingatkanku
dalam berkultum kelak.
“Mas nggak mau cerita mimpi barusan?’
tanya istriku. Aku hanya bisa memeluknya kemudian mencium keningnya lantas
menanyakan sahur apa pagi itu.
Komentar
Posting Komentar