TAK TERDUGA, KEPASRAHAN BERBUAH MANIS
Empat
hari ke depan Idul Fitri akan bergema. Ardana memutuskan mudik bersama keluarga
kecilnya. Mobil yang disewa sudah tiba di rumah. Malam nanti selepas tarawih
mereka akan melakukan perjalanan menuju Jogja. Sudah sejak kemarin ia mengambil
cuti. Dyanti tampak sibuk menyiapkan bekal dan pernak-pernik kedua anak mereka.
Anjana tampak duduk di kursi sambil melihat adiknya, Anjani yang asyik bermain
dengan bonekanya. Sudah beberapa hari ini kondisi Anjana tidak fit. Meskipun
begitu Ardana tetap memutuskan mudik ke Jogja.
Perjalanan malam sengaja dilakukan
supaya tidak panas dan tidak terlalu ramai. Namun perkiraan Ardana meleset.
Justru kini perjalanan malam banyak diburu para “mudikers”. Oleh karena itu,
Ardana memutuskan untuk melakukan perjalanan santai. Tidak mengejar target
sekian jam harus sampai Jogja. Jikalau badan dan mata masih fit dan awas, ia
akan melajukan mobil. Jikalau badan sudah berteriak lelah, maka ia juga tak
segan menepikan mobil di tempat-tempat yang aman kemudian tidur….
Anjana dan Anjani duduk di tengah.
Mereka bebas di situ. Ardana bergantian menyetir mobil dengan istrinya.
Sepanjang perjalanan smarphone-nya
adalah kompas bagi mereka sekaligus saling berbagi informasi dengan
teman-temannya yang sedang melakukan perjalanan juga. Tang ting tung bunyi
pesan masuk silih berganti. Selain menginformasikan apa saja, Ardana juga wattsapp-an dengan grup-grup yang
diikutinya. Dari teman SD hingga teman kuliah. Istrinya juga tak kalah
dengannya jika kebetulan sedang tidak menyetir. Terkadang, mereka asyik
mengobrol berdua saling menguatkan selama menyetir. Anjana dan Anjani, anak
kembar mereka tidak susah diatur. Kini mereka sudah terlelap dalam mimpi indah
masing-masing dalam buaian mobil yang dikendara mama dan papanya.
Sebuah pesan di grup SD Ardana
mengabarkan akan reuni sekaligus syawalan di hari ketiga sesudah lebaran. Siapkan waktu dan sisihkan isi dompetmu
untuk kita kangen-kangenan sekaligus silahturahmi. Sssstt, silahturahmi
mendatangkan rejeki. Isi dompetmu yang sudah dibayarkan untuk reuni akan
tergantikan kembali. Sssst, silahturahmi juga memperpanjang usia, biar masih
sempat melihat anak cucu beranak pinak. Begitu pesan yang dibaca Ardana
dari penggagas reuni di bulan syawal, Dimas Setra. Ia pun hanya tersenyum
membaca pesan di grup SD-nya itu. Berapa
iurannya? Gantian Ardana menanyakan uang kumpulan yang harus disetorkan. Minimal seratus ribu, tapi kalau mau lebih,
tidak nolak. Jawaban dari Nabila penampung uang kumpulan sembari
mencantumkan nomor rekening penampungan uang kumpulan. Ardana tersenyum membaca
gojekan di grup SD-nya. Saat itu ia sedang off menyetir. Setelah mengatakan
kepada istrinya akan mengiur dua ratus ribu, ia segera mengirimkan uang
kumpulan ke rekening yang diberikan Nabila. Sreettt m-banking pun bekerja dengan sigap dan cepat. Tak berapa lama
kemudian, di wattsapp grup SD muncul
tulisan ‘semoga Gusti Allah segera memberikan rejeki lebih karena kamu sudah
mengiur’. Icon 2 jempol diberikan Nabila. “Masih kuat menyetir, Sayang?” tanya
Ardana kepada istrinya. Tak lupa tangannya didaratkan di pipi mulus istrinya.
Tak ada suara jawaban kecuali senyum manis dari bibir Dyanti.
“Nanti kita istirahat di tempat
biasa, ya Mas,” ucap Dyanti dengan mata masih fokus dan tajam setajam cutter. Pendar lampu-lampu dari mobil
yang lewat cukup menyilaukan mata mereka berdua. Butuh ekstra hati-hati dalam
memegang kemudi.
“Ok, nggak masalah, Sayang,” balas
Ardana. Mobil pun terus melaju membelah hutan jati yang mereka lewati. Tiba-tiba
keduanya mendengar suara erangan halus dari belakang. Dyanti sempat menengok ke
belakang sebelum akhirnya memutuskan berhenti begitu mendapatkan sisi jalan
yang agak lebar dan aman untuk menepikan mobil. Ia bergegas melompat ke
belakang melihat kedua buah hatinya. Terdengar erangan halus dari mulut Anjana.
Dan ketika memegang tubuhnya, ia merasakan hawa panas menyeruak di dalam sejuk
kabin mobil. Panasnya menyebar sekujur tubuh Anjana. Dyanti pun berpaling ke
arah suaminya.
Dari google map yang dibacanya, rumkit terdekat berjarak 30 km dari
tempat mereka berhenti. Ada RSUD Banjar di situ. Ardana buru-buru mengambil
alih kemudi dan segera melajukan kendaraan. Sementara Dyanti berusaha
membangunkan Anjani supaya pindah tidur ke belakang. Dengan perlahan, dengan
mata terpejam, Anjani berpindah ke belakang. Dyanti juga membangunkan Anjana.
Mata Anjana terbuka kecil memandang mata mamanya yang mengelus pelan rambutnya.
“Sehat ya Sayang, jangan sakit. Kita kan mau ketemu eyang di Jogja,” bisik
Dyanti ditelinga Anjana. Mendengarkan bisikan mamanya Anjana hanya berucap,
“Dingin, Ma!” Ardana yang mendengar suara pelan Anjana segera mengurangi penyejuk
di kabin mobilnya. “Sabar ya, anak papa
yang kuat, kita ke rumah sakit sebentar lagi,” suara Ardana berusaha menguatkan
anak lelakinya itu. Kali ini Ardana fokus menatap jalanan di depannya. Rasa
kantuk yang semula sempat menyergap, langsung hilang seketika. Dyanti kemudian
menutupi tubuh Anjana dengan selimut yang sudah disiapkan, sekaligus memberikan
bodrexin tablet rasa jeruk.
Perjalanan menuju RSUD Banjar tak
terkendala lalin. Ardana bisa melajukan mobilnya dengan kecepatan maksimal yang
aman. Jalanan juga terasa lengang ketika ia melajukan mobil yang disewanya dari
perusahaan rental milik temannya SMP. Ketika mobil berhenti di bangjo sebuah
perempatan, Ardana menengok kembali smartphone-nya,
kembali nimbrung di grup SD. Ia mengabarkan sedang menuju RSUD Banjar. Seketika
itu juga grup SD-nya ramai menanyakan siapa yang sakit? Hatinya sumringah
melihat begitu perhatian teman-teman SD-nya. “Doakan saja, nggak terjadi
apa-apa sama Anjana, mbarepku,”
begitu yang dituliskan Ardana. Sebelum Ardana melanjutkan perjalanan, sebuah
pesan muncul. Update Bro, ojo
sungkan-sungkan kalau butuh bantuan. Mobil pun dilarikan kencang kembali…
Hanya butuh setengah jam perjalanan
menuju RSUD Banjar. Rumkit ini ada di jalan utama sehingga tidak sulit
menemukannya. Mobil sudah terparkir. Ardana bergegas menggotong Anjana ke ruang
IGD. Dyanti menunggu di mobil bersama Anjani. Mungkin karena kembar, Anjani
seperti tersetrum. Ia menggeliat di jok belakang kemudian menegur mamanya,
menanyakan kenapa mobil berhenti. “Mamas Anjai nggak pa pa, kan Ma?” Wajah
mungilnya mencari kembarannya. Dyanti hanya menggeleng kemudian mengajak Anjani
keluar dari mobil.
Dyanti sudah tidak melihat suami dan
anaknya. Mungkin sedang diperiksa di kamar periksa. IGD sepi hanya ada
keluarganya yang datang dan 1 keluarga lain yang juga sedang berobat. Dyanti
tidak berusaha mencari dan mengajak Anjani duduk di kursi tunggu pasien. Mata
Anjani mengawasi setiap sudut ruangan. “Mamas di situ, Ma!” tunjuk Anjani. Dyanti
hanya menggeleng pelan dan tetap mengajak Anjani menunggu di situ. Tapi dalam
hatinya ia kagum kepada Anjani, yang tahu persis kembarannya sedang diperiksa
dimana. “Ma, kasihan Mamas, tubuhnya panas dan Mamas juga sulit nelan makanan.”
Dyanti kaget sekaligus takjub mendengar mulut mungil anak perempuannya itu.
“Dedek bisa lihat sakitnya Mamas?” iseng-iseng Dyanti menanyakan hal itu kepada
Anjani. Anjani mengangguk perlahan. Masya
Allah, ucap Dyanti kemudian.
Di dalam ruang periksa, seorang
dokter perempuan, berparas ayu khas wanita Jawa, berjilbab memeriksa Anjana.
Ardana duduk menunggu di kursi yang ada di situ. “Anak cakep,” ujar dokter itu.
“Siapa namanya?” Anjana menyebutkan namanya, ia kemudian mendapat senyuman
hangat serta tepukan di pipi. “Sudah selesai. Nggak apa-apa. Boleh meneruskan
perjalanan lagi. Mau lebaran ke rumah eyang ya?” Suara dokter ayu itu terdengar
lagi.
Ardana mendekat ingin lebih detil
mendapat penjelasan dari Sang Dokter. “Hanya peradangan di tenggorokan dan
sepertinya juga mau batuk,” papar Si Dokter itu kepada Ardana. Ketika keduanya
saling berhadapan terdengar ucapan yang membuat Ardana kaget.
“Kuncung, ya?” Kata kuncung yang
sudah raib sekian puluh tahun tiba-tiba terdengar kembali. Ardana menatap lekat-lekat
dokter yang barusan memeriksa anaknya. Ia tidak mengenalinya juga. Tapi kenapa
dia menyebutkan nama “Kuncung”? Merasa ditatap oleh ayah si anak yang barusan
diperiksanya, buru-buru dokter ayu itu hendak menarik ucapannya. “Maksud saya, Ardana
Wikrama, kan?” Semakin terperanjatlah Ardana begitu dokter ayu itu menyebutkan
nama lengkapnya. Akan tetapi tiba-tiba terdengar lagi ucapan, “Ah, iki Kuncung
to?” Lagi-lagi dokter itu menyebutkan kata kuncung.
Ardana masih ragu untuk menebak namun
gelagatnya itu diketahui si dokter. “Aku, Liana Dewi Setiadji.” Mendengar nama
itu, seketika itu juga Ardana memekik pelan, “Nanawiii”. Si dokter tersenyum
sembari menganggukkan kepalanya. Sejenak Ardana hanya bisa tertegun melihat
Liana Dewi alias Nanawiii. Merasa lawan bicaranya tertegun seperti itu, si
dokter ayu memanggil kembali, “Cung.., kamu ?” Gantian Ardana tersenyum. “Kamu
benar-benar mengagetkan aku.” Reuni singkat antara Ardana dan Liana pun
terjadi. Selfie di ruang periksa pun tak terelakkan. Saking asyiknya bereuni,
Ardana lupa anaknya yang masih terbaring di ranjang periksa, menyaksikan
tingkah polahnya. Hingga Anjana pun bersuara, “Papa, Bu Dokter ini teman papa?”
Hanya kata ‘astaga’ yang keluar dari mulut Ardana sebelum ia menjawab
pertanyaan anaknya. Keduanya lalu tertawa kecil, khawatir terdengar orang-orang
yang ada di luar sana. “Iya anak cakep, Bu Dokter teman papamu waktu SD….” Anjana
tersenyum kemudian berusaha bangkit. Setelah dijelaskan sekali lagi oleh Liana
mengenai panas Anjana, ketiganya keluar dari ruang periksa.
“Mamas….” Terdengar teriakan Anjani
begitu melihat kembarannya keluar. Anjana tidak digendong. Berjalan sendiri
dengan digandeng Ardana. Diikuti Liana di sampingnya.
Dyanti langsung bertanya mengenai
panasnya Anjana. Liana tersenyum ada wanita yang mendekati dan bertanya soal
sakitnya Anjana. Tanpa diperkenalkan pun, ia sudah tahu itu istri Ardana. Dan
memang, Ardana langsung memperkenalkan Liana kepada Dyanti. “Ma, ini Dokter
Liana. Ingat nggak waktu diperjalanan tadi aku sempat cerita mengenai
Nanawiii?” Wajah Liana berubah sedikit. Tidak menyangka dirinya menjadi topik
pembicaraan pasutri yang tak lain adalah teman SD-nya.
“Ohya, ingat Pa,” Dyanti langsung
mengiyakan. Ia pun buru-buru mengulurkan tangannya, mengajak Liana bersalaman.
Sambil memperkenalkan dirinya, Dyanti mengucapkan terima kasih atas pertolongan
Liana. Mereka langsung terlihat akrab. Momen pertemuan tak terduga itu langsung
diabadikan Ardana dan srettt.., foto-foto mereka di RSUD Banjar sudah menghiasi
wattsapp grup SD Ardana. Tak perlu
menunggu hitungan jam, komentar atas foto Ardana bersama Liana langsung menjadi
trending topic malam itu.
Liana lantas mengajak ke ruangan
dokter jaga IGD. Kebetulan tidak banyak pasien sehingga mereka leluasa untuk
mengobrol. Sebelum masuk ke ruangan dokter jaga, Liana menghampiri perawat yang
sedang berjaga di situ. Ardana hanya melihat perawat itu menganggukkan
kepalanya sebelum Liana menyusul masuk ke ruang dokter. Kalimat pertama yang
dikatakan Ardana adalah kemana aja kamu selama ini? Dengan bercanda Liana
menjawab, “Ya nggak kemana-mana. Dari kemarin-kemarin aku di sini aja mengurus
pasien-pasienku.” Ketiga orang dewasa itu tertawa. Pada waktu yang bersamaan
Ardana menunjukkan komentar-komentar dari grup wattsapp SD. “Teman-teman mencarimu sejak lama. Pantas saja tak
terendus. Ternyata sembunyi di sini.” Liana tertawa mendengar penuturan Ardana.
“Aku pernah diajak ikutan grup, sama….” Liana mengernitkan dahinya
mengingat-ingat siapa yang pernah mengajaknya gabung di grup. Karena masih blank siapa yang dulu mengajaknya, Liana
meneruskan cerita. “Lha kok ndilalah
HP-ku kecopetan pas di Jakarta. Aku ganti nomor jadi kehilangan banyak kontak
teman-teman termasuk teman-teman SD kita.” Ardana mengangguk-angguk.
“Kalau gitu sekarang aja namamu
dimasukkan grup. Njaluk nomormu!”
Ardana langsung menodong Liana. Keduanya lalu bertukar nomor serta Ardana
memasukkan Liana ke grup SD. Kebetulan juga ia sebagai salah satu admin. Begitu
Ardana memasukkan nomor Liana, tak berapa lama sudah terdengar suara di smarphone Liana. “Welcome to the jungle,” ujar Ardana sambil tertawa. Liana hanya
senyum. “Eh, kalau aku tidak sempat berkomentar, ojo do nesu yoooh. Pasienku akeh
artine kuiii.” Sebelum berpamitan kepada Liana, Ardana menanyakan apakah ia
bisa hadir di acara reuni sekaligus syawalan nanti. Ardana lantas menceritakan
sedikit kronologis acara reuni nanti. Insya Allah, jawaban itu yang keluar dari
mulut Liana. “Bapak ibu masih di Jogja, kan?” tanya Ardana. Liana mengangguk.
“Bapak sing wis ra ono, 2 tahun yang
lalu. Seda di Medan, di rumah adikku
ragil.”
Setelah mengucapkan terima kasih
yang kesekian kalinya, Ardana sekeluarga berpamitan kepada Liana. Begitu keluar
dari ruangan dokter jaga, Ardana langsung menuju ruang administrasi. Tapi
langkahnya terhenti gara-gara lengannya digamit Liana. “Wis rasah….” Ardana dan Dyanti saling berpandangan. Liana
mengangguk sambil tersenyum. Lesung pipitnya menyembul. Dyanti menghampiri
Liana, mengajaknya berpelukan sebelum mereka benar-benar berlalu dari ruang IGD
RSUD Banjar. “Makasih ya, Mbak,” kata Dyanti. Tangannya menggenggam erat tangan
Liana.
Seorang perawat datang membawakan
obat untuk Anjana. Liana kemudian berjongkok di hadapan si kembar. “Mereka
kembar ya, Cung?” tanya Liana. Dyanti yang menjawab pertanyaan Liana. “Kalian
mirip banget,” kata Liana lagi. Anjana yang merespon cepat. “Bu dokter terima
kasih, ya….” Tangan Liana mengusap lembut kepala kedua bocah itu. Sebelum akhirnya
mendaratkan ciuman ke kedua pipinya. Liana mengiringi kepergian temannya sampai
parkiran rumah sakit. “Nanawiii, sempatkan hadir ya di Jogja kalau pas mudik.”
Liana kembali menyembulkan lesung pipitnya sembari mengangguk. Entah kenapa
Ardana melihat tatapan mata Liana meredup melepas kepergian mereka.
Mobil sudah bergerak meninggalkan
parkiran rumah sakit. Tiba-tiba Liana melambaikan tangannya. Ardana mengerem.
Dari balik kaca jendela mobilnya, ia melihat Liana mendekat. “Iuran reuni
berapa, Cung? Dibayarkan kemana?” Ardana menggerak-gerakkan kepalanya kemudian
berucap, “Nanti aku japri yaah…. Daggg.”
Ardana langsung tancap gas begitu
pelataran rumah sakit mereka tinggalkan. Anak-anak tidak tidur, sepertinya
mereka asyik bercakap-cakap. Dyanti membiarkan keduanya. Sesekali saja
mengingatkan anak-anak untuk makan sesuatu yang ada di situ. Belum ada 10
menit, kepala Dyanti sudah lunglai ke arah jendela. Ardana menyaksikan wajah
istrinya yang tertidur. Tangannya mengusap
pipi mulus istrinya. Dyanti menggeliat kecil. “Sayang, turunkan tempat
dudukmu biar bisa tidur enak.” Tanpa banyak komentar Dyanti mengikuti perintah
suaminya. Mobil pun melaju tanpa protes dari co-pilot. Kalau Dyanti melek, sedikit saja Ardana menginjak gas
memacu mobil mendekati 100 km per jam, ia akan berteriak supaya mengurangi
kecepatan.
Ardana konsentrasi menyetir. Jika
berhenti di bangjo karena lampu lalin merah, disempatkannya membaca pesan-pesan
di wattsapp. Di sebuah perempatan
yang tidak ramai, Ardana tetap saja menghentikan mobilnya. Kalau pun melaju,
pasti tak akan terjadi apa-apa. Sambil membaca wattsapp, sayup-sayup ia mendengar obrolan anak kembarnya. Maksud
kedua anak kembarnya itu berbisik, tapi bisik-bisik mereka terlalu nyaring
ditelinga Ardana.
“Aku tadi sengaja membuat badanku
panas,” bisik Anjana kepada adiknya. Yang dibisiki tersenyum. Ardana terus
mendengarkan sekalian memperhatikan mereka dari kaca spion dalam. “Kenapa Mamas
begitu?” Adiknya gantian berbisik, menanyakan. “Supaya papa bisa bertemu dengan
Bu Dokter, teman SD papa yang katanya sudah lama tidak ketemu.” Mulut Anjani
membulat membentuk Ooowww. “Dan berhasil ya, Mas,” ujar Anjani pelan. Anjana
mengangguk. Ardana kaget mendengarkan percakapan kedua anak kembarnya itu. Ia
tidak menyangka, pertemuan itu dibentuk Anjana. Tapi bagaimana mungkin Anjana
tahu kalau Liana ada di RSUD Banjar? Ardana berusaha ingin tahu….
“Sssst, papa mikir tuh kenapa aku
bisa tahu?” Anjana membisiki adiknya lagi. Ardana yang sedari tadi mendengarkan
percakapan keduanya pura-pura berkonsentrasi menyetir. Hati, pikirannya masih
diliputi keheranan atas kemampuan Anjana tersebut. Namun secara tiba-tiba ia
ingat perkataan Dyanti, yang juga pernah merasa heran sekaligus takjub dengan
kemampuan Anjana. Sepertinya, Anjana memiliki indera keenam, Mas!! Itu ucapan
yang dikatakan Dyanti tempo hari dulu.
Sejak pertemuan Ardana dengan Liana,
Liana sering japri dengannya. Banyak cerita, banyak hal yang ditanyakan,
terutama soal teman-teman dan grup. Sesekali ia menyinggung keluarga kecil
Ardana, Dyanti, juga si kembar. “Insya Allah, aku pasti datang di acara reuni
SD kita,” begitu pesan yang Liana kirimkan saat malam takbiran bergema. Ardana
hanya membalas dengan icon jempol pesan Liana itu. “Ditunggu kehadirannya,
ya….” Tulis Ardana kemudian.
“Kalau butuh konsultasi kesehatan
anak, kontak aku ya? 24 jam asalkan aku nggak tidur ajah, hehehe….” Icon senyum
Ardana kirimkan. Ia kini tahu teman yang sering dipanggilnya Nanawiii adalah
dokter anak.
***
Reuni sekaligus syawalan Idul Fitri berlangsung
meriah. Ramai, sederhana tapi heboh. Selain mengundang semua teman, panitia
inti juga mengundang wali kelas mereka kelas 6. Hanya itu yang diundang karena
keterbatasan waktu.
Di sela-sela acara kangen-kangenan,
Ardana menyempatkan mengobrol berdua dengan Liana. Liana seperti mencari
sesuatu saat Ardana duduk mengobrol dengannya. “Anak kembarmu nggak diajak?”
Ungkap Liana mulai bicara. “Mereka diajak pergi sama eyangnya. Tapi nanti kalau
jemput aku, Dyanti akan membawa mereka ke sini.”
“Anak-anakmu tuh lucu dan kelihatan
beda dengan anak kebanyakan,” puji Liana. “Kelas berapa mereka?” tanya Liana lagi.
Ardana mengacungkan tiga jarinya. Liana hanya mengangguk perlahan….
“Anakmu piro, Na?” Ardana bertanya.
Senyum berlesung pipit menyembul di wajah Liana. “Alhamdulillah, belum punya….”
Mendengar jawaban Liana, Ardana buru-buru minta maaf. “Nggak pa pa, Cung.
Mungkin belum saatnya aku diberi titipan itu sama Allah.” Ardana mengangguk
perlahan. Ia menepuk bahu Liana pelan sembari mengucapkan kata sabar.
“Oh sangat sabar kok,” sahut Liana
cepat. “Aku tidak mau ngoyo mencari
solusinya karena Allah hanya meminta kita SALAT dan SABAR. Itu yang kini aku
lakukan bersama suamiku.” Ardana kagum dengan jawaban teman perempuannya ini.
Apalagi kemudian Liana memaparkan beberapa ayat yang makin memperkuat kekaguman
Ardana kepada Liana. “Aku tidak akan pernah berhenti untuk salat dan sabar,
Cung. Ada kekuatan pasti dari perintah keduanya itu. Kami hanya diminta
melakukan itu dengan sungguh-sungguh, serta ikhlas menjalani hidup yang sudah
diberikan-Nya.” Ardana makin merasa salut mendengarkannya. Selintas ia ingat
beberapa peristiwa yang pernah membuatnya bekerja keras mencari solusi atas
masalah yang dihadapinya. Padahal jelas-jelas Allah hanya meminta kita salat
dan sabar.
“Tapi bukannya kita juga harus tetap
berupaya, Na?” Ardana balik bertanya. Jawaban
Liana hanya menganggukkan kepala.
“Aku juga terus berusaha kok! Aku
terus honey moon setiap saat dengan
suamiku.” Terdengar tawa renyah dari mulut Liana. “Nggenjot, mompa terus tanpa
henti. Gempor-gempor deh….” Kali ini ketawanya mengundang teman lain ikut
nimbrung. Liana akhirnya menghentikan “curhatannya” dan mengganti topic pembicaraan
yang lain. Sambil memalingkan kepala, mata Liana mengerling pada Ardana. Dan Ardana
langsung tahu maksudnya.
Tiba-tiba Desinta berteriak,
“Wadeuhh, ini Pak Harto kok belum datang, ya? Acara udah mau mulai dan mau kita
beliau ada.” Pak Harto adalah wali kelas mereka sewaktu kelas 6. Ardana lantas
inisiatif menjemput wali kelasnya. Teman-teman setuju Ardana yang ke rumah Pak
Harto. Sebelum mencapai mobil, tiba-tiba Liana berteriak, “Cung, aku ikut
yaa….” Ia pun tanpa persetujuan teman-teman langsung mengejar Ardana. “Naik
mobilku ajah. Aku pakai sopir!” Ardana setuju. Mereka pun berlalu dari tempat
reuni pergi menjemput Pak Harto. “Curhatku belum selesai, kan?” Liana tersenyum
kepada Ardana. Ardana hanya menjawab ya ya ya ….. Lanjutttt!!!
Ardana sendiri tidak tahu kenapa
Liana begitu percaya, nyaris yakin bercerita tentang kisahnya. Mereka sudah
lama tak jumpa. Pertemuan di rumah sakit adalah kali pertamanya. Ketika itu Ardana
menanyakan untuk mengawali obrolan mereka selama dalam perjalanan menjemput Pak
Harto, Liana juga hanya menggeleng. “Entah ya Cung, aku juga nggak tahu kenapa
padamu aku bisa leluasa bercerita. Selama ini, aku tak pernah cerita kepada
siapa pun kecuali mereka bertanya. Aneh, aneh saja! Tapi sudahlah, nggak
terlalu penting! Yang pasti, aku merasa enjoy saja cerita dan ngobrol denganmu
kisahku ini.” Ardana harus omong apa lagi? Yang punya cerita sudah memasrahkan,
ya dia harus siap menjadi pendengar yang baik.
“Sudah berapa lama pernikahanmu?”
“15 tahun, kalau nggak salah,
hahaha….” Liana tertawa lagi. “Aku menikah muda. Saat aku masih semester 3, aku
diajak menikah. Calon suamiku saat itu mau ke luar negeri, melanjutkan S2-nya.”
“Kami, Alhamdulillah walafiat. Sehat
lahir batin tanpa keluhan berarti. Hanya mungkin Allah belum memberi kesempatan
kami menjaga titipan-Nya.” Ardana mengangguk. “Yang penting, kamu dan suamimu
menikmati hidup ini,” kata Ardana menegaskan.
“Sangat menikmati. Kami seperti
pengantin baru. Bulan madu terusss.” Kembali Liana tertawa gembira. Wajahnya
sama sekali tak menampakkan gurat sedih belum memiliki anak.
“Anakku sebetulnya banyak, Cung!”
Berapa banyak anak yang aku sayangi dan aku kasihi sejak aku praktek.”
Sebelumnya Ardana tidak mengerti maksud Liana. “Ohya, Liana kan dokter anak,
otomatis dia selalu bertemu anak-anak yang menjadi pasiennya,” gumam Ardana. “Benar banget ya…. Anakmu nggak hanya 2, nanging akeh banget. Ra kehitung malahan.
Kalah Gandari ibune para Kurawa.”
Mereka berdua tertawa lepas.
“Aku sekarang pasrah, berserah saja
pada-Nya, Cung! Semua upaya, keadaan kami juga fine, sudah menjadi modal. Aku dan suami tidak mau berpayah-payah
secara berlebihan dalam memiliki anak. Aku hanya berpegang pada janji-Nya,
salat dan sabar, dalam menghadapi masalah, problema atau apapun dalam hidupku.
Aku sudah terhibur dengan anak-anak yang menjadi pasienku setiap hari. Meskipun
aku nggak pernah bisa mendekap mereka sepanjang hari. Tapi, aku bisa merasakan
kehangatan sebagai seorang ibu melalui mereka semua.” Mata Liana agak memerah.
Ujung matanya kini berair. Ardana menepuk ujung lututnya, menguatkan, dan minta
maaf karena mengguncangkan perasaan terdalamnya tentang anak-anak.
“Nggak pa pa, Cung…. Ini tangisan
bahagiaku. Hanya kamu dan suamiku yang
tahu air mataku ini. Aku yakin dan percaya, Allah pasti akan memberikan
yang terbaik padaku dan suamiku, apapun nanti yang akan Dia berikan. Aku sudah
siap lahir batin.” Kini mata Liana bukan berair di ujung, tapi benar-benar
meleleh membasahi pipinya. Sesekali dia menyeka dengan tissue, air matanya yang
mengalir.
Tanpa terasa mereka hampir mencapai
kediaman Pak Harto. “Hapus air matamu,” perintah Ardana pada Liana. Dan Liana
buru-buru menghapus sisa air matanya. Ia pun mengeluarkan kaca rias kecil dari
tas tangannya. Berusaha meyakinkan wajah dan penampilannya. “Uwis.., uwis ayu
maneh,” kata Ardana mencandainya.
***
Menjelang maghrib, setelah semua
teman berpamitan, tapi juga masih menyisakan beberapa di tempat acara reuni,
Dyanti dan anak-anak datang menjemput Ardana. Liana juga belum pulang. Begitu
melihat Anjana dan Anjani datang menjemput, rona wajahnya terlihat gembira. Ia
menyambut istri dan anak-anak Ardana.
“Tante Dokterrr…,” teriak Anjana
begitu melihat Liana. Anjana tak memanggil Bu Dokter seperti ketika ia berada
di RSUD Banjar. Begitu tahu dokter itu teman papanya, ia memanggil Tante,
seperti ia biasa memanggil teman-teman perempuan papanya. Liana langsung
memeluk hangat kedua kembaran Ardana. Setelah beberapa saat memeluk keduanya,
Liana gantian memeluk Dyanti. Mereka lantas duduk di bangku yang masih belum
dibereskan. Sepanjang duduk di situ,
Liana diapit Anjana dan Anjani. Pelukannya hangat, persis ceritanya ketika di
mobil tadi. Liana selalu menciptakan kehangatan bak seorang ibu memeluk
anak-anak kandungnya.
Tiba-tiba entah bagaimana muasalnya,
Anjana yang duduk di samping kanan Liana memegang perut Liana. Sekilas perut
Liana memang agak besar, mungkin karena badannya yang besar. Posisi duduk
tentunya membuat perut membesar karena tertekan. Itu yang teramati oleh Ardana.
“Dedek Tante Dokter cantik.” Sambil
berkata begitu Anjana mengelus pelan perut Liana. Ardana, Dyanti, dan Liana
terkejut. Ardana spontan langsung menegur Anjana. Namun teguran papanya tidak
digubris Anjana. Ia terus mengelus perut Liana sambil mengatakan, “Dedek Tante
Dokter cantik”. Berulang kali Anjana mengulang kalimat itu. Liana yang semula
terkejut karena ucapan Anjanga, langsung mengelus kepala Anjana. “Doakan yang
anak ganteng…. Biar di perut Tante ada dedeknya beneran.” Mendengar kata-kata
Liana, Ardana trenyuh. Ketika untuk kedua kalinya ia akan menegur Anjana, Liana
melarangnya.
“Dedeknya kayak aku sama Anjani.”
Kembali Anjana berkata-kata. Dyanti ikut-ikutan bersuara supaya Anjana tidak berkata-kata.
Sama seperti pada Ardana, Liana juga meminta Dyanti membiarkan Anjana mengelus
perutnya.
“Terima kasih sayang untuk doanya,”
ucap Liana sambil mencium kepala Anjana. “Tapi ini perut Tante memang endut
kok, jadi kayak ada dedeknya,” lanjut Liana berkata.
Entah kenapa Anjana terus berkata,
“Dedeknya kayak aku sama Anjani.” Kali ini giliran Liana merengkuh Anjani dan
memeluknya juga mencium pipinya. “Kalian anak-anak yang beruntung bersama mama
dan papa kalian,” ucap Liana lagi. Dan kini, Liana merangkul lebih hangat kedua
anak Ardana dan Dyanti. Lasma dan Isma, teman-teman SD yang masih ada di tempat
acara, ikutan nimbrung duduk bersama mereka. Keduanya tidak bicara, namun hanya
tersenyum. Mereka juga sudah tahu kalau Liana amat merindukan hadirnya buah
hati.
Azan maghrib berkumandang, semua
yang masih bersisa kemudian melaksanakan salat berjama’ah, sebelum akhirnya
pulang ke rumah masing-masing. Ketika semua sudah di dalam mobil, Liana
mendekati mobil Ardana. “Sebelum kalian pulang ke Purwakarta, Tante akan mampir
ke rumah eyang kalian, ya…” Liana kemudian melambaikan tangannya.
***
3 bulan setelah reuni dan syawalan
SD, selama itu juga Ardana jarang menerima kontak japri maupun guyonan Liana di
grup SD. Beberapa kali kontak langsung juga tidak ada jawaban. Nada teleponnya
sambung tapi tidak diangkat. Semua teman di grup berusaha mencari….
Malam hari kala gema takbir Idul
Adha bergema, smartphone Ardana berbunyi. Ada pemberitahuan japri dan dari grup
SD. Ya Allah, ya Allah, ya Allah…, kata-kata t uterus terucap dari mulut
Ardana. Dyanti yang kebetulan sedang menyiapkan makan malam menghampiri
suaminya. “Ada apa, Mas?” Ardana menyodorkan smartphone-nya kepada Dyanti. Matanya berkaca-kaca karena terharu…
Bagai sedang mengupas bawang merah,
air mata Dyanti meleleh. Bahkan pipinya penuh air mata. Masya Allah, Masya
Allah, Laa Illahaillah…. kalimat-kalimat pujian terus melatun dari mulut
Dyanti.
Teman-teman
semua, mohon doanya dari kalian. Mohon maaf sebelumnya aku tidak berkabar, juga
tidak berhahahihi di grup kita. Saat ini aku sedang bed rest. Harus istirahat
total. Meskipun harus bed rest, namun aku merasa sehat dan bahagia. Sangat
bahagia. Bahagia luar biasaaa. YA ALLAH….., sembah sujud dan terima kasihku
untuk segala karunia-Mu.
Teman-teman,
aku HAMILLLLLL…. Dari keterangan dokter yang merawatku, kehamilanku agak lemah sehingga
aku harus istirahat total bahkan untuk ber-wattsapp saja nggak boleh. Tahukah
kalian? Aku hamil anak kembar. Aku mau diberi titipan langsung 2 anak oleh
Allah. Ya Allah, Ya Allah…..
“tuk
Ardana dan Dyanti, juga Anjana dan Anjani, aku tidak pernah tahu mengapa Allah
harus mengirimkan Anjana yang sakit ke rumah sakit tempat aku bekerja. Aku juga
tidak pernah mengerti mengapa Anjana harus mengelus perutku dan mengatakan,
“Dedeknya kaya aku sama Anjani!” Miracle, sebuah keajaiban yang Allah tampilkan
untuk kita semua. Tidak ada yang kebetulan bagiku. Tapi, aku percaya, salat dan
sabarku berbuah kedatangan keluarga Ardana ke rumah sakit tempo hari. Dan aku
mengenal bocah ‘unik’ bernama Anjana, yang memberikan doa dan keyakinan
tambahan untukku.
Aku
cinta kalian semuaaaaa. Muaaachhhh. Sekarang aku sudah bisa wattsapp-an lagi.
Dokter sudah mengijinkan. Namun aku harus bed rest selama beberapa bulan ke
depan. Salam sayangku untuk kalian semua.
Anjanaaaaa,
Tante sayang kamu. Anjani juga kesayangan Tante. Ardana, Dyanti, titip kedua
ponakan itu baik-baik. Awass kalau sampai mereka kenapa-kenapa, kalian yang
pertama kali aku jitak, hahahaha …..
Ardana dan Dyanti tak bisa
berkata-kata lagi. Tanpa mereka sadari, ada yang menyelinap masuk ke dalam
kamar setelah mendengar keriuhan di ruang keluarga rumahnya. Dia masuk kamar
mandi dalam kamarnya, berwudhu, kemudian melakukan salat bersama makmum yang
mirip dengannya.
SELESAI...
Komentar
Posting Komentar