PERSEMBAHAN UNTUKMU
Vilicia mulai mengurangi kecepatan mobilnya begitu GMS,
Gita Music Studio, terlihat dari
ujung Jalan Tamborin. Sekolah musik milik Pranada
Gita Nanda memang terletak di jalan ini. Keberadaannya di kota ini memang
belum lama, namun murid-muridnya sudah bejibun.
Sebelum Vilicia berbelok ke parkiran
sekolah musik tersebut, Sandrina, anaknya, kembali mempertanyakan kapan grand
piano yang dijanjikan papanya akan dibelikan. Sambil menarik nafas kemudian
menghembuskannya cepat-cepat, Vilicia segera memarkirkan grand livina metaliknya. Mobilnya tepat berada di tengah-tengah, di
antara dua mobil yang sudah terparkir lebih dulu. Mata Sandrina menatap mata
mamanya. Berharap jawaban pasti. Kali ini yang dilihat, justru mamanya sibuk membetulkan
letak rambutnya yang agak berantakan melalui kaca spion dalam. Sebelum
mematikan mesin mobil, mata Vilicia kini beralih melihat putri semata wayangnya
dengan tatapan teduh.
“Nanti malam, mama tanyakan papa
lagi, ya! Atau, barangkali Sansan mau tanyakan sendiri ke papa,” Vilicia balik
menyuruh anaknya bertanya sendiri. Dengan mimik agak bersungut, Sandrina hanya
menggelengkan kepala. Badannya berbalik mengambil tas berisi buku latihan piano
di tempat duduk belakang. Mesin mobil pun tak terdengar lagi. Kedua ibu dan
anak itu lantas bergegas turun menuju tempat berlatih.
“Sansan, sesudah mama bayar iuran,
mama nggak pulang. Mama tunggu kamu di kafe depan, ya...! Lagian latihanmu hari
ini hanya satu jam, kan?” Wajah Sandrina hanya berpaling sedikit, mengangguk
pelan, dan segera berjalan menyusuri lorong sekolah musik tersebut.
Seperti kata Vilicia tadi, begitu
selesai membayarkan iuran di bagian administrasi, ia bergegas menuju kafe di
depan sekolah musik itu. Jalanan di depan sekolah musik, sore itu terasa
lengang. Padahal biasanya, Jalan Tamborin selalu ramai karena jalan ini menjadi
penghubung dua jalan raya, yaitu Jalan Tendean dan Jalan Nusantara. Sapaan kru
kafe dibalas senyuman manis Vilicia, yang langsung menuju tempat favoritnya.
Sebuah pojokan, agak melekuk tempatnya. Hanya ada sebuah meja kecil dan dua
bangku. Penerangan di pojokan itu agak terang, meski jika ingin agak temaram,
pengunjung dapat mengaturnya melalui saklar yang terpasang. Dari pojokan itu
pula, pengunjung leluasa melihat ke arah luar. Vilicia selalu duduk di situ,
apabila ia tak pulang saat mengantarkan anaknya berlatih piano di GMS.
Ketika ia masuk kafe, suasana agak
sepi. Hanya beberapa orang yang berkunjung. Tak lebih dari 10 orang. Memang jam
ramai kafe selalu terjadi malam hari. Vilicia mengeluarkan novel Cerita Cinta Enrico dari dalam tas, bersamaan
kru kafe datang mendekatinya. Seperti yang sudah-sudah, ia langsung memesan french fries, chicken crispy, dan green tea. Kru kafe langsung mencatat
dan kembali ke dapur. Novel yang dipegang dibukanya perlahan dan mulai
membacanya. Ketika pesanan datang pun, Vilicia hanya menganggukkan kepala tanda
terima kasih. Ia justru kaget ketika dering whatsapp
berbunyi dari smartphone yang
diletakkan di meja. Buru-buru dibacanya pesan itu. Terdengar desisan bernada
tak suka, sesudahnya.
Senin,
12 Desember aku ada pertemuan bisnis di Semarang, begitu pesan yang dibaca Vilicia.
Pesan itu dikirimkan Gio, suaminya. Vilicia meletakkan novel, mengangkat green tea-nya, dan menyeruput perlahan
minuman hangat itu. Tampak sedikit wajah kesalnya terpampang, meski kalau orang
melihat, kekesalan itu tak akan tampak kentara. Orang-orang selalu melihat
wajah Vilicia yang cantik, murah senyum, dan welas-asih.
Meskipun hatinya diliputi perasaan kecewa, tak urung
jemari-jemari lentiknya langsung memainkan kipad smartphone, memberikan jawaban OK kepada suaminya. Setelah
menambahkan ikon kecewa di belakang “OK”, ia juga menambahkan kalimat, “sepi
deh melewati jumat besok tanpamu, hanya bersama Sansan sepanjang hari itu”.
Selesai menekan “kirim”, Vilicia meraih kembali novelnya. Pada saat Vilicia
menerima pesan itu, suaminya sedang berada di Jakarta, untuk urusan bisnis.
Kesibukan mengurus bisnis, seakan tidak pernah
berhenti. Tujuh hari seminggu, bahkan nyaris 24 jam sehari, suaminya disibukkan
mengurus bisnis peninggalan papanya. Sebagai anak tertua, Gio memang harus
mengendalikan perusahaan keluarga mendampingi ketiga adiknya. Perusahaan
warisan papanya, sudah bukan kelas lokalan melainkan sudah merambah nasional
dan internasional. Walaupun sudah menembus pasar luar negeri, Gio tetap tidak
pernah mau memindahkan “kerajaan bisnisnya” ke Jakarta. Ia saja, bergantian
dengan adik-adiknya yang selalu blebar-bleber
ke Jakarta maupun ke luar negeri.
Mata Vilicia boleh saja menatap kata demi kata novel
yang dibacanya. Meskipun begitu, pesan suaminya tadi, terus menghantui
pikirannya. Dan akhirnya, halaman novel yang dibacanya pun tak beranjak banyak.
Vilicia sangat ingin ulang tahunnya senin mendatang bisa dirayakan bersama
suami dan anak semata wayangnya, di suatu tempat. Hanya bertiga. Bahkan, ia
sudah merancang izin tidak masuk sekolah bagi Sandrina. Terdengar kembali
desahan panjang nafasnya, berusaha menentramkan batinnya yang masih merasakan
kecewa. Ia sampai tidak menyadari anaknya sudah memasuki kafe dan berjalan
mendekati mejanya.
“Hayo..,
mama ngelamun,” kejut Sandrina keras.
Vilicia benar-benar kaget dikejutkan begitu.
“Ya ampun Sansan...,” pekik Vilicia
sembari memegangi dadanya.
Tangannya reflek hendak memukul kepala anaknya
pelan. Melihat pergerakan tangan mamanya, Sansan langsung menghindar dan
langsung duduk di kursi di depan mamanya. Ia tertawa, menertawakan mamanya yang
masih memegangi dadanya. Nafas mamanya terlihat naik-turun. Dan selagi mamanya
masih mengatur nafas, tangan gesit Sansan langsung menyambar kentang goreng
yang tergeletak rapi di meja. Masih utuh karena kentang itu memang belum
disentuh Vilicia sedari tadi. Melihat kelakuan putri semata wayangnya, Vilicia
hanya bisa tersenyum. Betapa ia sayang sekali kepada putri yang lama dinantikan
kehadirannya. Ia dan suaminya harus menunggu 10 tahun lamanya sejak mereka
menikah. Putri cantiknya, yang kini sedang menggodanya, sekarang kelas 3 SMP.
Tahun depan, Sansan akan berseragam putih abu-abu.
“Aku akan memiliki anak ABG tahun depan,” desah Vilicia
perlahan.
Begitu dada dan nafasnya sudah tidak naik-turun, Vilicia
menceritakan pesan yang diterimanya. Kali ini, yang bermuka masam jadi 2 orang.
Sansan menampakkan wajah tidak sukanya, gara-gara papanya tidak bisa merayakan
ulang tahun mamanya.
“Papa payah, papa payah,” berulang kali Sansan
berucap begitu. Tangannya memukul-mukuli meja. Mamanya bahkan sampai harus menghentikannya.
Tak ada kata-kata lain di antara keduanya. Mereka
diam, sedangkan mulut tetap goyang mengunyah, menghabiskan makanan yang masih
ada. Menjelang magrib, keduanya bergegas menuju mobil hendak pulang ke rumah.
*****
Tanggal 10 sore, dengan diantar sopir kantor, Gio
pergi ke Semarang. Sengaja ia pulang lebih cepat dari kantor supaya dapat
berpamitan kepada Vilicia dan Sandrina secara langsung. Lambaian kedua orang
yang dicintai Gio mengiringi kepergiannya sore itu. Senyum Vilicia mengembang
di bibirnya. Wajah cantiknya tetap terpancar. Walau hatinya sedikit kecewa,
namun ia mengantarkan orang terkasihnya hingga mobil yang ditumpangi berbelok
di ujung jalan rumahnya.
Rumah besar itu kembali sepi. Hanya Pak Radji dan
anaknya yang masih hilir-mudik di taman, membersihkan taman yang sore itu mulai
tampak asri kembali. Sebelum masuk rumah, Vilicia masih sempat menyuruh Pak
Radji untuk tidak membereskan bunga-bunga yang baru dibelinya siang tadi. Sejak
masih gadis, Vilicia memang mencintai bunga. Semua bunga disukainya, sehingga
wajar saja, taman di sekeliling rumahnya terlihat asri dan rapi karena sentuhannya.
Pak Radji dan anaknya hanya mengikuti perintah majikan perempuannya itu untuk
membersihkan dan merawat bunga-bunga kesukaannya.
“Semua bunga itu diberi air biar tidak layu,” sekali
lagi perintah Vilicia pada Pak Radji. Mendengar perintah itu, Pak Radji hanya
mengangguk dan tersenyum sopan. Ia segera menyuruh anaknya mengumpulkan semua
bunga yang baru dibeli Vilicia dan meletakkan di payon, tempat biasanya jika harus membersihkan pot-pot bunga.
Malam itu, Vilicia minta Sandrina tidur
sekamar dengannya. Mereka bercengkerama. Ketika film The Entrapment ditayangkan sebuah stasiun tivi swasta, Vilicia
memperbolehkan anaknya menonton. Film itu pernah ditontonnya beberapa tahun
yang lalu dan tidak banyak adegan dewasa yang tak senonoh. Akan tetapi, entah
kelelahan atau mungkin memang sudah mengantuk, tanpa sadar Vilicia pulas duluan
daripada Sandrina. Melihat mamanya tertidur lebih dulu, Sandrina langsung
membetulkan selimut mamanya, menyetel suhu udara kamar, dan mematikan tivi. Ia
kemudian tenggelam bersama smartphone-nya,
mengutak-atik FB, instagram, dan twitter.
Sansan tak berani memutar musik, seperti kalau ia berada di kamarnya, khawatir
membangunkan mamanya yang sudah pulas. Tak berapa lama matanya
berkerjap-kerjap. Sansan mulai mengantuk. Dan sebelum menarik selimut, ia
membaca sebuah pesan yang masuk melalui bbm-nya.
Bibirnya mengulum sebuah senyuman berarti. Jari-jarinya dengan cepat membalas
pesan itu. Dan, send.., pesan
terkirim kepada pengirim pesan tadi.
“Maafkan Sansan, Ma,” suara lirihnya
terdengar. Tangannya langsung membelai pipi mamanya. Mendapatkan sentuhan itu,
mamanya menggerakkan kepala dan tubuhnya, kemudian desisan halus terdengar oleh
Sansan. Tiba-tiba kantong mata Sansan sudah tak mampu menahan belalak matanya.
Zzzzzz, gantian desisan halus keluar dari mulut Sansan. Semuanya melayang dalam
alam keheningan yang damai. Mimpi.....
*****
Ma,
pas ulang tahun mama, aku tetap mau izin yaa. Nggak usah masuk sekolah.
Begitu bunyi pesan Sansan yang diterima Vilicia. Dilihatnya, pesan itu diterima
pukul 07.20, artinya Sansan mengirimkan pesan itu sebelum ia mengikuti
pelajaran jam pertama. Oleh karena tak ada suaminya saat ulang tahun nanti, Vilicia
tak memperbolehkan putrinya tidak masuk sekolah.
Sansan
tetap masuk aja, toh papa juga nggak ada pada saat mama ulang tahun, jawaban
Vilicia segera. Tanpa menunggu hitungan menit, Vilicia langsung menerima
balasan dari Sansan.
Tanggal
12, aku tetap akan izin nggak masuk sekolah. Aku tetap mau merayakan ulang
tahun mama meskipun papa sedang di Semarang. Sudah ya, Ma, aku belajar dulu.
Dadaggg mama, muaaccchhhh. Vilicia hanya bisa menggelengkan
kepala membaca jawaban putrinya itu. Ia pun langsung menuju taman untuk
mengurus bunga-bunga yang kemarin dibelinya. Di taman, Dadik, putra Pak Radji,
sudah menunggu untuk membantu menanam bunga-bunga barunya. Vilicia tersenyum
melihat arah luar. Tersenyum hendak berkebun bunga baru.
*****
Sansan mendapati mamanya tidak ada
ketika ia pulang sekolah. Biasanya ia langsung heboh apabila tak melihat wujud
mamanya. Tak biasa siang ini, Sansan terlihat lebih kalem dan santai. Apalagi saat
Parti, kakak dari Dadik, mengabarkan mamanya pergi dengan tantenya, ia hanya
mengangguk-angguk. Segera Sansan masuk ke dalam kamarnya dan menyiapkan
beberapa baju yang akan dibawa, menyusul mamanya yang sudah terlebih dulu pergi
bersama tantenya. Tak lupa ia membawa HP mamanya yang tertinggal di meja rias.
“Sempurna,” ucap Sansan tenang. Senyum
mengembang di wajahnya, yang cantiknya nyaris sama dengan mamanya.
Setyo, sopir keluarga Sansan, mengangguk,
mengerti yang dimaui anak majikannya itu. Alamat sebuah villa di daerah utara.
Setyo langsung melesatkan Avanza silver menuju villa sesuai alamat yang
diberikan Sansan. Dalam perjalanan menuju villa, HP Sansan berdering. Terbaca
nomor tantenya, Tante Triane. Suara yang berbeda yang menyapanya kemudian.
Ternyata mamanya yang menelpon dan bertanya apakah ia sudah pulang sekolah dan
sudah menyusul mereka. Hanya tawa renyah sebagai jawaban serta mengatakan
supaya mamanya tenang saja. Sebelum mematikan telepon, terdengar nada gembira Vilicia,
“San, papa nanti malam akan berkumpul di villa bersama kita.”
“Ohya? Bener, Ma?” Pekik Sansan tak
percaya. Kemudian terdengar perintah supaya mobil dilarikan cepat-cepat.
“Ayo, Bang Setyo. Cepat-cepat....”
“Maaf Mbak Sansan. Kata mama, kita nggak
usah buru-buru. Tadi sebelum Mbak Sansan pulang dari sekolah, mama sudah ngebel saya,” ucap Setyo santun. Matanya
langsung berpaling ke depan dan langsung fokus melihat jalanan.
Senyum menghiasi wajah Sansan sepanjang
perjalanan menuju villa. Setyo sesekali memperhatikan anak majikannya ini. Ia
pun tenang saat mengendarai mobil avanza milik keluarga Giorgie. Sebuah
senyuman penuh arti menghiasi wajah Setyo yang mirip aktor Dude Harlino.
*****
Ternyata Tante Triane tidak menginap di
villa. Ia harus segera kembali ke kota karena besok pagi-pagi sekali harus
terbang ke Singapura. Ada pertemuan bisnis di sana dan Tante Triane harus
mewakili kakaknya, papanya Sansan. “Mbak, aku pamit, ya?” Ucapan pamit Triane
langsung membuat telinga Vilicia dan Sansan nguing-nguing.
Mereka menyangka Tante Triane akan menemani malam mereka di villa menunggu
kedatangan Gio. Dengan perasaan berat, mereka melepas kepergian Triane kembali
ke kota. Begitu mobil Triane menghilang di kegelapan malam, suasana villa yang
semula ceria tampak muram. Semuram malam yang tanpa bintang bahkan angin yang
dingin terus berhembus. Tiba-tiba titik-titik air mulai mengetuk-ngetuk kaca
jendela villa. Hujan mulai turun. Kian malam kian deras guyuran dari langit.
Puncak kekecewaan Vilicia terjadi. Satu
jam menjelang peralihan tanggal, dari 11 ke 12, HP-nya berbunyi. Gio menelpon,
mengabarkan tidak bisa datang malam itu. Pertemuan bisnis dengan relasi dari
Jepang dan Korea, ternyata belum selesai dan berlanjut hingga besok. Bertepatan
dengan ulang tahun Vilicia. Andaikata
dipaksakan ke villa, khawatir besok kelelahan saat menjamu dan presentasi.
“Sayang, aku betul-betul minta maaf,”
suara Gio agak tersendat. Sementara mulut Vilicia hanya terkatup, tidak
berkata-kata sama sekali. Hanya buliran halus mengalir dari kedua ujung
matanya. Vilicia menangis, namun tidak mengeluarkan sesenggukannya. Bahkan
ketika Gio mengucapkan selamat ulang tahun, Vilicia bisa mengucapkan terima
kasih. Suaranya lirih, terdengar pelan sambil menahan resah hatinya. Ia
buru-buru mematikan sambungan telepon. Duduk mematung di ruang tengah yang luas
dalam villa itu. Sansan mendekat begitu melihat mamanya berlinangan air mata.
“Sudah, Ma, jangan bersedih. Ada Sansan
malam ini yang menemani mama.” Dengan hangat Sansan memeluk mamanya serta
mencium kedua pipinya.
“Mama, selamat ulang tahun, ya....Tetap
jadi mama Sansan yang terbaik. Sansan sayang mama. I love you...” Keduanya kemudian saling berpelukan lama. Mereka
tidak sadar Setyo datang menghampiri.
“Maaf Bu, pizza yang tadi dibawa Bu Triane
mau disimpan atau mau dimakan? Juga makanan lainnya?” Keduanya melepas
rangkulan dan bersama-sama melihat ke arah Setyo. Dengan senyum tertahan, Vilicia
meminta Setyo menyimpan makanan yang sudah terlanjur dibelikan Triane.
“Suruh Silah mengurusnya,” perintah Vilicia,
meralat ucapannya. “Beri tahu Silah biar dia yang urus semua makanan tadi.” Vilicia
berdiri hendak masuk kamar. Setyo hanya mengangguk pelan. Sebelum pamit ke
belakang, Setyo mengucapkan selamat kepada Vilicia. Tangannya dijulurkan
berusaha menjabat tangan majikan perempuannya.
“Terima kasih Setyo. Maafkan juga saya,
kalau selama kamu kerja di sini, barangkali saya banyak membuat hatimu tidak
nyaman. Doakan saya beserta keluarga di sini diberi banyak kemudahan dan
kebahagiaan.”
“Aamiin.” Hanya jawaban singkat yang
keluar dari mulut Setyo, sebelum betul-betul pamit ke belakang. Melihat mamanya
berdiri, Sansan ikut-ikutan berdiri. Ia berusaha menghalangi mamanya masuk ke
kamar.
“Lihat Ma, itu grand piano idamanku, yang aku minta ke papa. Ternyata pemilik villa
ini punya juga. Mama jangan masuk kamar dong, please..... Duduk di situ aja. Duduk yang manis dan dengarkan aku
mainkan lagu-lagu untuk hadiah ulang tahun mama, malam ini.” Sansan berjalan ke
arah piano, mulai mengelus-elus piano idamannya. Ia menatap serius piano
idamannya sebelum duduk pada bangku yang tersedia.
Piano itu menempel di tembok. Di kiri
kanan piano ada dua lemari pajang yang tinggi menjulang ke atas. Kedua lemari
itu berbahan kayu jati halus dan berisi pajangan dan buku. Sebelah kiri piano
berisi pajangan barang-barang unik dan lucu-lucu, sedangkan sebelah kanan
berisi koleksi buku-buku. Setelah mengamati semuanya, Sansan duduk membuka
penutup piano itu. Mamanya, yang tadi hampir masuk ke kamar, duduk santai di
sofa ruang tengah villa itu. Bersiap mendengarkan alunan musik yang akan
dimainkan putri tunggalnya.
Ketika Sansan memainkan Tonight I Celebrate My Life sekonyong-konyong
Setyo masuk ke ruang tengah, melintas sambil melirik ke arah Sansan. Melihat lirikan
Setyo, Sansan balas memberikan senyuman. Sayup-sayup Sansan juga mendengar
Setyo mohon ijin menutup pembatas ruang tamu dengan ruang tengah kepada mamanya,
kemudian pamit pergi tidur di kamar belakang. Sebuah lagu lama, yang biasa
dimainkan para pianis, dimainkan Sansan malam itu, yakni Autumn Leaves. Setyo sudah menghilang menuju kamar belakang.
Sambil menikmati dentingan piano Sansan, Vilicia mengedarkan pandangan ke
segala penjuru ruang tengah villa. Bagian tengah ini lebih luas dibandingkan
ruang tamu. Selain pintu penghubung antara ruang tamu dan ruang tengah, ada dua
pintu lagi. Satu mengarah ke belakang, satunya lagi pintu samping ke arah taman
dan kolam renang mini. Ada juga 3 kamar di lantai atas, yang bisa dicapai
melalui sebuah tangga permanen. Tangga ini terletak dekat pintu samping.
Menempel di dinding tembok.
Di setiap ruangan terpasang kamera CCTV juga ada beberapa speaker. Sebuah TV layar lebar juga ada
di ruang tengah. Tidak ada perabot berlebihan di setiap ruangan, sehingga, ruangan terasa luas dan lega. Sejak tiba sore
tadi, Vilicia belum menjelajah semua ruangan. Bagian atas salah satunya yang
belum ditengok. Ia hanya beristirahat di sofa atau kamar yang ada di lantai
bawah dan belum kemana-mana. Cuaca siang
dan sore memang
tak menentu. Hujan bergantian dengan terpaan sinar malu matahari.
Kini sambil menahan sedih, Vilicia coba menikmati alunan lagu-lagu yang
dimainkan putri tunggalnya. Dentingan piano Sansan terdengar nyaring.
Mengalahkan suara hujan yang turun kian deras. Nyaris tak terdengar dari ruang
tengah. Vilicia hanya tahu di luar hujan deras dari kecipak-kecipak air yang
jatuh memenuhi kolam renang. Ia duduk persis menghadap pintu samping. Pintu
yang terbuat dari kaca, keseluruhan, membuatnya leluasa melihat ke luar. Apalagi tak ada tirai yang menghalangi
pandangannya ke arah kolam renang. Di luar, hujan terlihat jelas karena di
seputaran kolam renang disoroti lampu-lampu dari keempat
penjurunya. Terlihat juga taman yang asri dengan bunga-bunga yang bergoyang
ditimpa cucuran air hujan. Bagian samping villa ditembok tinggi. Di atasnya
dipasang kawat berduri. Vilicia hanya bisa menarik nafas panjang menyaksikan
semua keindahan yang terpampang. Sisi hatinya merasa nyaman, tapi belahan hati
satunya sedih tak mendapatkan sosok tersayangnya hadir di hari kelahirannya.
Bulir-bulir halus kembali membasahi pipinya yang mulus. Vilicia menangis.
"Sudahlah, Ma...." Suara Sansan terdengar bersama dentingan
pianonya. "Bukannya sudah ada aku yang menemani mama, malam ini...."
Sekonyong-konyong pintu dari arah belakang terbuka. Setyo masuk sembari
mengucapkan permisi. Ia menuju ke ruang tamu karena merasa belum mengunci pintu
dengan sempurna. Matanya menatap ke arah Sansan ketika Sansan masih memainkan
pianonya. Sansan hanya tersenyum kepada Setyo. Vilicia tidak memperhatikan
semua.
Sesudah memastikan pintu depan terkunci sempurna, Setyo kembali ke
belakang. Lagi-lagi dia mengangguk pelan ke arah Sansan yang terus asyik
memainkan piano. Sebelum Setyo melewati pintu belakang, Silah masuk membawa nampan
berisi dua minuman hangat. Tanpa banyak omong, diletakkan kedua minuman itu di
meja depan Vilicia duduk. Silakan Bu, hanya ucapan itu yang keluar. Anak gadis
itu langsung berlalu ke belakang lagi.
"Ma, kata papa, aku harus mainkan lagu ini untuk mama," kata Sansan begitu mengakhiri
instrumen Speak Softly Love. Vilicia
menoleh ke arah Sansan. Tatapannya menyiratkan sesuatu.
"Kapan papa memberitahukanmu?" ucap Vilicia.
"Tadi, dalam perjalanan ke sini, papa bbm aku." Dan sebelum
mamanya bertanya lagi, Sansan mulai memainkan intro lagu Untukmu. Sebuah lagu
jadul yang pernah ngehits dibawakan
oleh Tito Soemarsono. Untung Sansan
sudah mendengarkan lagu itu lewat you
tube beberapa waktu yang lalu. Dua kali mendengar lagu itu, Sansan langsung
bisa memainkannya.
Vilicia terdiam ketika Sansan memainkan
intro lagu itu. Tubuhnya baru menggeliat mendengar suara seseorang yang
menyanyikannya. Kali ini Sansan mengiringi seseorang bernyanyi. Kepala Vilicia
meninggi, mencari sumber suara yang menyanyikan Untukmu.Tanpa dicari pun suara itu menggema dalam ruang tengah
villa. Vilicia baru tersadarkan, suara itu keluar dari beberapa speaker yang terpasang di banyak tempat.
Di tengah kebingungan Vilicia mencari siapa yang sedang menyanyikan Untukmu, pintu belakang terbuka dan keluarlah
Setyo bersama Silah. Ditangannya tampak nampan berisi kue tart berhiaskan lilin
angka. Setyo sudah menyalakan lilin angka tersebut sejak dari belakang. Melihat
situasi seperti ini, Vilicia akhirnya bangkit dari duduknya dan menyambut kedatangan
Setyo dan Silah. Kepala Vilicia menggeleng-geleng tanda tidak mempercayai apa
yang sedang terjadi di ruang tengah villa. Namun tak urung, senyum manisnya
tetap muncul di bibirnya.
Terdengar refrain ~di antara kita t’lah terjalin sudah, benang-benang asmara, tak
mungkin lagi kan terpisah, semoga tuhan mendengar pinta kitaaa~ Sampai refrain ini habis dan lagu beserta
liriknya diulang dari awal, Vilicia tetap tidak menemukan sosok yang
menyanyikannya. ~kupersembahkan lagu ini,
s’bagai tanda cinta kasihku, padamu setulus hati ini untukmu, kau permata
hatiii.... adakah rindu kian melanda, di saat jauh dari sisiku, cintaku kuingin
selalu bersamamu, sampai roda dunia tak berputar~ Sekonyong-konyong, dari
sebuah pintu kecil yang terletak di bawah tangga menuju lantai atas, terbuka pintunya.
Seorang pria keluar memegangi mic.
Gerak bibir masih mempertontonkan dirinya bernyanyi. Mengikuti setiap dentingan
piano yang dimainkan Sansan.
“Papa??” Pekik Vilicia. Air matanya
seketika tumpah membanjiri pipinya yang mulus. Dirinya hanya bisa mematung
mendapatkan surprise yang tidak
dinyana-nyana. Giorgie mendekati istrinya yang berulang tahun. Memeluk dengan
hangat serta menghujani ciuman mesranya. ~di
antara kita t’lah terjalin sudah, benang-benang asmara, tak mungkin lagi kan
terpisah, semoga tuhan mendengar pinta kitaaa~
Silah yang sedari tadi memegangi kue
tart ulang tahun, bersama Setyo, hanya bisa tersenyum menyaksikan kemesraan
kedua majikannya itu. Dan ketika Sansan usai memainkan pianonya dan ikut
bergabung, ia hanya bisa terharu dan bahagia menyaksikan pesta kejutan ulang
tahun mamanya.
“Kalian memang nakal,” ujar Vilicia
setelah tahu bahwa semua ini di-setting. Giorgie
tidak mau dijadikan dalang, terlebih Sansan. Setyo dan Silah, juga mundur ke
belakang ketika Vilicia menatap mereka. “Kalian juga sekongkol, kan?” Tanya Vilicia
kepada Setyo dan Silah. Keduanya hanya tersenyum dituduh sebagai bagian dari
kejutan ini. Pintu di bawah tangga, tempat Giorgie keluar tadi, kembali
terbuka. Muncullah Triane sambil tersenyum. Vilicia jelas kaget mendapatkan
adik iparnya hadir di antara mereka. Seingatnya, Triane sudah pamit karena
hendak pergi ke Singapura besok pagi.
“Ini dia dalangnya,” teriak Giorgie.
Jari telunjuknya mengarah kepada Triane. Tanpa melakukan pembelaan, Triane
mendekati kakak iparnya. Dipeluknya dengan hangat sang kakak, mengecup pipinya
seraya mengatakan, “Selamat ulang tahun ya, Mbak.... Jangan jantungan terima
kejutan dari kami.” Semua yang ada dalam ruangan itu tertawa lepas.
Kejutan berikut, benar-benar membuat air
mata Vilicia tidak berhenti mengalir. Giorgie memberikan sebuah stopmaf berwarna merah. Dia menyuruh Vilicia
melihat isinya. Sebuah sertifikat kepemilikan villa yang malam itu jadi tempat
kejutan ulang tahunnya. Mereka bertiga berpelukan. Sebuah bisikan halus mengalun
ditelinga Vilicia, “Ada taman bunga di samping yang rindu sentuhanmu.” Vilicia
menatap mesra suaminya, kemudian mencium dengan takjim tangannya. Giorgie pun
membalas memberikan ciuman hangatnya kembali....
Malam itu, malam penuh peluk dan ciuman
......
“Ohya, piano itu milikmu, San... bukan
punya mama.” Sansan gantian mencium tangan papanya dan memberikan ciuman terima
kasihnya. (121216)
Komentar
Posting Komentar