PERSEMBAHAN UNTUKMU

Vilicia mulai mengurangi kecepatan mobilnya begitu GMS, Gita Music Studio, terlihat dari ujung Jalan Tamborin. Sekolah musik milik Pranada Gita Nanda memang terletak di jalan ini. Keberadaannya di kota ini memang belum lama, namun murid-muridnya sudah bejibun.
            Sebelum Vilicia berbelok ke parkiran sekolah musik tersebut, Sandrina, anaknya, kembali mempertanyakan kapan grand piano yang dijanjikan papanya akan dibelikan. Sambil menarik nafas kemudian menghembuskannya cepat-cepat, Vilicia segera memarkirkan grand livina metaliknya. Mobilnya tepat berada di tengah-tengah, di antara dua mobil yang sudah terparkir lebih dulu. Mata Sandrina menatap mata mamanya. Berharap jawaban pasti. Kali ini yang dilihat, justru mamanya sibuk membetulkan letak rambutnya yang agak berantakan melalui kaca spion dalam. Sebelum mematikan mesin mobil, mata Vilicia kini beralih melihat putri semata wayangnya dengan tatapan teduh.
            “Nanti malam, mama tanyakan papa lagi, ya! Atau, barangkali Sansan mau tanyakan sendiri ke papa,” Vilicia balik menyuruh anaknya bertanya sendiri. Dengan mimik agak bersungut, Sandrina hanya menggelengkan kepala. Badannya berbalik mengambil tas berisi buku latihan piano di tempat duduk belakang. Mesin mobil pun tak terdengar lagi. Kedua ibu dan anak itu lantas bergegas turun menuju tempat berlatih.
            “Sansan, sesudah mama bayar iuran, mama nggak pulang. Mama tunggu kamu di kafe depan, ya...! Lagian latihanmu hari ini hanya satu jam, kan?” Wajah Sandrina hanya berpaling sedikit, mengangguk pelan, dan segera berjalan menyusuri lorong sekolah musik tersebut.
            Seperti kata Vilicia tadi, begitu selesai membayarkan iuran di bagian administrasi, ia bergegas menuju kafe di depan sekolah musik itu. Jalanan di depan sekolah musik, sore itu terasa lengang. Padahal biasanya, Jalan Tamborin selalu ramai karena jalan ini menjadi penghubung dua jalan raya, yaitu Jalan Tendean dan Jalan Nusantara. Sapaan kru kafe dibalas senyuman manis Vilicia, yang langsung menuju tempat favoritnya. Sebuah pojokan, agak melekuk tempatnya. Hanya ada sebuah meja kecil dan dua bangku. Penerangan di pojokan itu agak terang, meski jika ingin agak temaram, pengunjung dapat mengaturnya melalui saklar yang terpasang. Dari pojokan itu pula, pengunjung leluasa melihat ke arah luar. Vilicia selalu duduk di situ, apabila ia tak pulang saat mengantarkan anaknya berlatih piano di GMS.
            Ketika ia masuk kafe, suasana agak sepi. Hanya beberapa orang yang berkunjung. Tak lebih dari 10 orang. Memang jam ramai kafe selalu terjadi malam hari. Vilicia mengeluarkan novel Cerita Cinta Enrico dari dalam tas, bersamaan kru kafe datang mendekatinya. Seperti yang sudah-sudah, ia langsung memesan french fries, chicken crispy, dan green tea. Kru kafe langsung mencatat dan kembali ke dapur. Novel yang dipegang dibukanya perlahan dan mulai membacanya. Ketika pesanan datang pun, Vilicia hanya menganggukkan kepala tanda terima kasih. Ia justru kaget ketika dering whatsapp berbunyi dari smartphone yang diletakkan di meja. Buru-buru dibacanya pesan itu. Terdengar desisan bernada tak suka, sesudahnya.
            Senin, 12 Desember aku ada pertemuan bisnis di Semarang, begitu pesan yang dibaca Vilicia. Pesan itu dikirimkan Gio, suaminya. Vilicia meletakkan novel, mengangkat green tea-nya, dan menyeruput perlahan minuman hangat itu. Tampak sedikit wajah kesalnya terpampang, meski kalau orang melihat, kekesalan itu tak akan tampak kentara. Orang-orang selalu melihat wajah Vilicia yang cantik, murah senyum, dan welas-asih.

Meskipun hatinya diliputi perasaan kecewa, tak urung jemari-jemari lentiknya langsung memainkan kipad smartphone, memberikan jawaban OK kepada suaminya. Setelah menambahkan ikon kecewa di belakang “OK”, ia juga menambahkan kalimat, “sepi deh melewati jumat besok tanpamu, hanya bersama Sansan sepanjang hari itu”. Selesai menekan “kirim”, Vilicia meraih kembali novelnya. Pada saat Vilicia menerima pesan itu, suaminya sedang berada di Jakarta, untuk urusan bisnis.
Kesibukan mengurus bisnis, seakan tidak pernah berhenti. Tujuh hari seminggu, bahkan nyaris 24 jam sehari, suaminya disibukkan mengurus bisnis peninggalan papanya. Sebagai anak tertua, Gio memang harus mengendalikan perusahaan keluarga mendampingi ketiga adiknya. Perusahaan warisan papanya, sudah bukan kelas lokalan melainkan sudah merambah nasional dan internasional. Walaupun sudah menembus pasar luar negeri, Gio tetap tidak pernah mau memindahkan “kerajaan bisnisnya” ke Jakarta. Ia saja, bergantian dengan adik-adiknya yang selalu blebar-bleber ke Jakarta maupun ke luar negeri.
Mata Vilicia boleh saja menatap kata demi kata novel yang dibacanya. Meskipun begitu, pesan suaminya tadi, terus menghantui pikirannya. Dan akhirnya, halaman novel yang dibacanya pun tak beranjak banyak. Vilicia sangat ingin ulang tahunnya senin mendatang bisa dirayakan bersama suami dan anak semata wayangnya, di suatu tempat. Hanya bertiga. Bahkan, ia sudah merancang izin tidak masuk sekolah bagi Sandrina. Terdengar kembali desahan panjang nafasnya, berusaha menentramkan batinnya yang masih merasakan kecewa. Ia sampai tidak menyadari anaknya sudah memasuki kafe dan berjalan mendekati mejanya.
              “Hayo.., mama ngelamun,” kejut Sandrina keras. Vilicia benar-benar kaget dikejutkan begitu.
            “Ya ampun Sansan...,” pekik Vilicia sembari memegangi dadanya.
Tangannya reflek hendak memukul kepala anaknya pelan. Melihat pergerakan tangan mamanya, Sansan langsung menghindar dan langsung duduk di kursi di depan mamanya. Ia tertawa, menertawakan mamanya yang masih memegangi dadanya. Nafas mamanya terlihat naik-turun. Dan selagi mamanya masih mengatur nafas, tangan gesit Sansan langsung menyambar kentang goreng yang tergeletak rapi di meja. Masih utuh karena kentang itu memang belum disentuh Vilicia sedari tadi. Melihat kelakuan putri semata wayangnya, Vilicia hanya bisa tersenyum. Betapa ia sayang sekali kepada putri yang lama dinantikan kehadirannya. Ia dan suaminya harus menunggu 10 tahun lamanya sejak mereka menikah. Putri cantiknya, yang kini sedang menggodanya, sekarang kelas 3 SMP. Tahun depan, Sansan akan berseragam putih abu-abu.
“Aku akan memiliki anak ABG tahun depan,” desah Vilicia perlahan.
Begitu dada dan nafasnya sudah tidak naik-turun, Vilicia menceritakan pesan yang diterimanya. Kali ini, yang bermuka masam jadi 2 orang. Sansan menampakkan wajah tidak sukanya, gara-gara papanya tidak bisa merayakan ulang tahun mamanya. 
“Papa payah, papa payah,” berulang kali Sansan berucap begitu. Tangannya memukul-mukuli meja. Mamanya bahkan sampai harus menghentikannya.
Tak ada kata-kata lain di antara keduanya. Mereka diam, sedangkan mulut tetap goyang mengunyah, menghabiskan makanan yang masih ada. Menjelang magrib, keduanya bergegas menuju mobil hendak pulang ke rumah.
***** 
Tanggal 10 sore, dengan diantar sopir kantor, Gio pergi ke Semarang. Sengaja ia pulang lebih cepat dari kantor supaya dapat berpamitan kepada Vilicia dan Sandrina secara langsung. Lambaian kedua orang yang dicintai Gio mengiringi kepergiannya sore itu. Senyum Vilicia mengembang di bibirnya. Wajah cantiknya tetap terpancar. Walau hatinya sedikit kecewa, namun ia mengantarkan orang terkasihnya hingga mobil yang ditumpangi berbelok di ujung jalan rumahnya.
Rumah besar itu kembali sepi. Hanya Pak Radji dan anaknya yang masih hilir-mudik di taman, membersihkan taman yang sore itu mulai tampak asri kembali. Sebelum masuk rumah, Vilicia masih sempat menyuruh Pak Radji untuk tidak membereskan bunga-bunga yang baru dibelinya siang tadi. Sejak masih gadis, Vilicia memang mencintai bunga. Semua bunga disukainya, sehingga wajar saja, taman di sekeliling rumahnya terlihat asri dan rapi karena sentuhannya. Pak Radji dan anaknya hanya mengikuti perintah majikan perempuannya itu untuk membersihkan dan merawat bunga-bunga kesukaannya. 
“Semua bunga itu diberi air biar tidak layu,” sekali lagi perintah Vilicia pada Pak Radji. Mendengar perintah itu, Pak Radji hanya mengangguk dan tersenyum sopan. Ia segera menyuruh anaknya mengumpulkan semua bunga yang baru dibeli Vilicia dan meletakkan di payon, tempat biasanya jika harus membersihkan pot-pot bunga.
Malam itu, Vilicia minta Sandrina tidur sekamar dengannya. Mereka bercengkerama. Ketika film The Entrapment ditayangkan sebuah stasiun tivi swasta, Vilicia memperbolehkan anaknya menonton. Film itu pernah ditontonnya beberapa tahun yang lalu dan tidak banyak adegan dewasa yang tak senonoh. Akan tetapi, entah kelelahan atau mungkin memang sudah mengantuk, tanpa sadar Vilicia pulas duluan daripada Sandrina. Melihat mamanya tertidur lebih dulu, Sandrina langsung membetulkan selimut mamanya, menyetel suhu udara kamar, dan mematikan tivi. Ia kemudian tenggelam bersama smartphone-nya, mengutak-atik FB, instagram, dan twitter. Sansan tak berani memutar musik, seperti kalau ia berada di kamarnya, khawatir membangunkan mamanya yang sudah pulas. Tak berapa lama matanya berkerjap-kerjap. Sansan mulai mengantuk. Dan sebelum menarik selimut, ia membaca sebuah pesan yang masuk melalui bbm-nya. Bibirnya mengulum sebuah senyuman berarti. Jari-jarinya dengan cepat membalas pesan itu. Dan, send.., pesan terkirim kepada pengirim pesan tadi.  
“Maafkan Sansan, Ma,” suara lirihnya terdengar. Tangannya langsung membelai pipi mamanya. Mendapatkan sentuhan itu, mamanya menggerakkan kepala dan tubuhnya, kemudian desisan halus terdengar oleh Sansan. Tiba-tiba kantong mata Sansan sudah tak mampu menahan belalak matanya. Zzzzzz, gantian desisan halus keluar dari mulut Sansan. Semuanya melayang dalam alam keheningan yang damai. Mimpi.....
*****  
Ma, pas ulang tahun mama, aku tetap mau izin yaa. Nggak usah masuk sekolah. Begitu bunyi pesan Sansan yang diterima Vilicia. Dilihatnya, pesan itu diterima pukul 07.20, artinya Sansan mengirimkan pesan itu sebelum ia mengikuti pelajaran jam pertama. Oleh karena tak ada suaminya saat ulang tahun nanti, Vilicia tak memperbolehkan putrinya tidak masuk sekolah.
Sansan tetap masuk aja, toh papa juga nggak ada pada saat mama ulang tahun, jawaban Vilicia segera. Tanpa menunggu hitungan menit, Vilicia langsung menerima balasan dari Sansan.
Tanggal 12, aku tetap akan izin nggak masuk sekolah. Aku tetap mau merayakan ulang tahun mama meskipun papa sedang di Semarang. Sudah ya, Ma, aku belajar dulu. Dadaggg mama, muaaccchhhh. Vilicia hanya bisa menggelengkan kepala membaca jawaban putrinya itu. Ia pun langsung menuju taman untuk mengurus bunga-bunga yang kemarin dibelinya. Di taman, Dadik, putra Pak Radji, sudah menunggu untuk membantu menanam bunga-bunga barunya. Vilicia tersenyum melihat arah luar. Tersenyum hendak berkebun bunga baru.
***** 
Sansan mendapati mamanya tidak ada ketika ia pulang sekolah. Biasanya ia langsung heboh apabila tak melihat wujud mamanya. Tak biasa siang ini, Sansan terlihat lebih kalem dan santai. Apalagi saat Parti, kakak dari Dadik, mengabarkan mamanya pergi dengan tantenya, ia hanya mengangguk-angguk. Segera Sansan masuk ke dalam kamarnya dan menyiapkan beberapa baju yang akan dibawa, menyusul mamanya yang sudah terlebih dulu pergi bersama tantenya. Tak lupa ia membawa HP mamanya yang tertinggal di meja rias.
“Sempurna,” ucap Sansan tenang. Senyum mengembang di wajahnya, yang cantiknya nyaris sama dengan mamanya.
Setyo, sopir keluarga Sansan, mengangguk, mengerti yang dimaui anak majikannya itu. Alamat sebuah villa di daerah utara. Setyo langsung melesatkan Avanza silver menuju villa sesuai alamat yang diberikan Sansan. Dalam perjalanan menuju villa, HP Sansan berdering. Terbaca nomor tantenya, Tante Triane. Suara yang berbeda yang menyapanya kemudian. Ternyata mamanya yang menelpon dan bertanya apakah ia sudah pulang sekolah dan sudah menyusul mereka. Hanya tawa renyah sebagai jawaban serta mengatakan supaya mamanya tenang saja. Sebelum mematikan telepon, terdengar nada gembira Vilicia, “San, papa nanti malam akan berkumpul di villa bersama kita.”
“Ohya? Bener, Ma?” Pekik Sansan tak percaya. Kemudian terdengar perintah supaya mobil dilarikan cepat-cepat.
“Ayo, Bang Setyo. Cepat-cepat....”
“Maaf Mbak Sansan. Kata mama, kita nggak usah buru-buru. Tadi sebelum Mbak Sansan pulang dari sekolah, mama sudah ngebel saya,” ucap Setyo santun. Matanya langsung berpaling ke depan dan langsung fokus melihat jalanan.
Senyum menghiasi wajah Sansan sepanjang perjalanan menuju villa. Setyo sesekali memperhatikan anak majikannya ini. Ia pun tenang saat mengendarai mobil avanza milik keluarga Giorgie. Sebuah senyuman penuh arti menghiasi wajah Setyo yang mirip aktor Dude Harlino.
*****
Ternyata Tante Triane tidak menginap di villa. Ia harus segera kembali ke kota karena besok pagi-pagi sekali harus terbang ke Singapura. Ada pertemuan bisnis di sana dan Tante Triane harus mewakili kakaknya, papanya Sansan. “Mbak, aku pamit, ya?” Ucapan pamit Triane langsung membuat telinga Vilicia dan Sansan nguing-nguing. Mereka menyangka Tante Triane akan menemani malam mereka di villa menunggu kedatangan Gio. Dengan perasaan berat, mereka melepas kepergian Triane kembali ke kota. Begitu mobil Triane menghilang di kegelapan malam, suasana villa yang semula ceria tampak muram. Semuram malam yang tanpa bintang bahkan angin yang dingin terus berhembus. Tiba-tiba titik-titik air mulai mengetuk-ngetuk kaca jendela villa. Hujan mulai turun. Kian malam kian deras guyuran dari langit.
Puncak kekecewaan Vilicia terjadi. Satu jam menjelang peralihan tanggal, dari 11 ke 12, HP-nya berbunyi. Gio menelpon, mengabarkan tidak bisa datang malam itu. Pertemuan bisnis dengan relasi dari Jepang dan Korea, ternyata belum selesai dan berlanjut hingga besok. Bertepatan dengan ulang tahun Vilicia.  Andaikata dipaksakan ke villa, khawatir besok kelelahan saat menjamu dan presentasi.
“Sayang, aku betul-betul minta maaf,” suara Gio agak tersendat. Sementara mulut Vilicia hanya terkatup, tidak berkata-kata sama sekali. Hanya buliran halus mengalir dari kedua ujung matanya. Vilicia menangis, namun tidak mengeluarkan sesenggukannya. Bahkan ketika Gio mengucapkan selamat ulang tahun, Vilicia bisa mengucapkan terima kasih. Suaranya lirih, terdengar pelan sambil menahan resah hatinya. Ia buru-buru mematikan sambungan telepon. Duduk mematung di ruang tengah yang luas dalam villa itu. Sansan mendekat begitu melihat mamanya berlinangan air mata.
“Sudah, Ma, jangan bersedih. Ada Sansan malam ini yang menemani mama.” Dengan hangat Sansan memeluk mamanya serta mencium kedua pipinya.
“Mama, selamat ulang tahun, ya....Tetap jadi mama Sansan yang terbaik. Sansan sayang mama. I love you...” Keduanya kemudian saling berpelukan lama. Mereka tidak sadar Setyo datang menghampiri.
“Maaf Bu, pizza yang tadi dibawa Bu Triane mau disimpan atau mau dimakan? Juga makanan lainnya?” Keduanya melepas rangkulan dan bersama-sama melihat ke arah Setyo. Dengan senyum tertahan, Vilicia meminta Setyo menyimpan makanan yang sudah terlanjur dibelikan Triane.
“Suruh Silah mengurusnya,” perintah Vilicia, meralat ucapannya. “Beri tahu Silah biar dia yang urus semua makanan tadi.” Vilicia berdiri hendak masuk kamar. Setyo hanya mengangguk pelan. Sebelum pamit ke belakang, Setyo mengucapkan selamat kepada Vilicia. Tangannya dijulurkan berusaha menjabat tangan majikan perempuannya.
“Terima kasih Setyo. Maafkan juga saya, kalau selama kamu kerja di sini, barangkali saya banyak membuat hatimu tidak nyaman. Doakan saya beserta keluarga di sini diberi banyak kemudahan dan kebahagiaan.”
“Aamiin.” Hanya jawaban singkat yang keluar dari mulut Setyo, sebelum betul-betul pamit ke belakang. Melihat mamanya berdiri, Sansan ikut-ikutan berdiri. Ia berusaha menghalangi mamanya masuk ke kamar.
“Lihat Ma, itu grand piano idamanku, yang aku minta ke papa. Ternyata pemilik villa ini punya juga. Mama jangan masuk kamar dong, please..... Duduk di situ aja. Duduk yang manis dan dengarkan aku mainkan lagu-lagu untuk hadiah ulang tahun mama, malam ini.” Sansan berjalan ke arah piano, mulai mengelus-elus piano idamannya. Ia menatap serius piano idamannya sebelum duduk pada bangku yang tersedia.
Piano itu menempel di tembok. Di kiri kanan piano ada dua lemari pajang yang tinggi menjulang ke atas. Kedua lemari itu berbahan kayu jati halus dan berisi pajangan dan buku. Sebelah kiri piano berisi pajangan barang-barang unik dan lucu-lucu, sedangkan sebelah kanan berisi koleksi buku-buku. Setelah mengamati semuanya, Sansan duduk membuka penutup piano itu. Mamanya, yang tadi hampir masuk ke kamar, duduk santai di sofa ruang tengah villa itu. Bersiap mendengarkan alunan musik yang akan dimainkan putri tunggalnya.
Ketika Sansan memainkan Tonight I Celebrate My Life sekonyong-konyong Setyo masuk ke ruang tengah, melintas sambil melirik ke arah Sansan. Melihat lirikan Setyo, Sansan balas memberikan senyuman. Sayup-sayup Sansan juga mendengar Setyo mohon ijin menutup pembatas ruang tamu dengan ruang tengah kepada mamanya, kemudian pamit pergi tidur di kamar belakang. Sebuah lagu lama, yang biasa dimainkan para pianis, dimainkan Sansan malam itu, yakni Autumn Leaves. Setyo sudah menghilang menuju kamar belakang.
Sambil menikmati dentingan piano Sansan, Vilicia mengedarkan pandangan ke segala penjuru ruang tengah villa. Bagian tengah ini lebih luas dibandingkan ruang tamu. Selain pintu penghubung antara ruang tamu dan ruang tengah, ada dua pintu lagi. Satu mengarah ke belakang, satunya lagi pintu samping ke arah taman dan kolam renang mini. Ada juga 3 kamar di lantai atas, yang bisa dicapai melalui sebuah tangga permanen. Tangga ini terletak dekat pintu samping. Menempel di dinding tembok.
Di setiap ruangan terpasang kamera CCTV juga ada beberapa speaker. Sebuah TV layar lebar juga ada di ruang tengah. Tidak ada perabot berlebihan di setiap ruangan, sehingga, ruangan terasa luas dan lega. Sejak tiba sore tadi, Vilicia belum menjelajah semua ruangan. Bagian atas salah satunya yang belum ditengok. Ia hanya beristirahat di sofa atau kamar yang ada di lantai bawah dan belum kemana-mana. Cuaca siang dan sore memang tak menentu. Hujan bergantian dengan terpaan sinar malu matahari.
Kini sambil menahan sedih, Vilicia coba menikmati alunan lagu-lagu yang dimainkan putri tunggalnya. Dentingan piano Sansan terdengar nyaring. Mengalahkan suara hujan yang turun kian deras. Nyaris tak terdengar dari ruang tengah. Vilicia hanya tahu di luar hujan deras dari kecipak-kecipak air yang jatuh memenuhi kolam renang. Ia duduk persis menghadap pintu samping. Pintu yang terbuat dari kaca, keseluruhan, membuatnya leluasa melihat ke luar. Apalagi tak ada tirai yang menghalangi pandangannya ke arah kolam renang. Di luar, hujan terlihat jelas karena di seputaran kolam renang disoroti lampu-lampu dari keempat penjurunya. Terlihat juga taman yang asri dengan bunga-bunga yang bergoyang ditimpa cucuran air hujan. Bagian samping villa ditembok tinggi. Di atasnya dipasang kawat berduri. Vilicia hanya bisa menarik nafas panjang menyaksikan semua keindahan yang terpampang. Sisi hatinya merasa nyaman, tapi belahan hati satunya sedih tak mendapatkan sosok tersayangnya hadir di hari kelahirannya. Bulir-bulir halus kembali membasahi pipinya yang mulus. Vilicia menangis.
"Sudahlah, Ma...." Suara Sansan terdengar bersama dentingan pianonya. "Bukannya sudah ada aku yang menemani mama, malam ini...." Sekonyong-konyong pintu dari arah belakang terbuka. Setyo masuk sembari mengucapkan permisi. Ia menuju ke ruang tamu karena merasa belum mengunci pintu dengan sempurna. Matanya menatap ke arah Sansan ketika Sansan masih memainkan pianonya. Sansan hanya tersenyum kepada Setyo. Vilicia tidak memperhatikan semua.
Sesudah memastikan pintu depan terkunci sempurna, Setyo kembali ke belakang. Lagi-lagi dia mengangguk pelan ke arah Sansan yang terus asyik memainkan piano. Sebelum Setyo melewati pintu belakang, Silah masuk membawa nampan berisi dua minuman hangat. Tanpa banyak omong, diletakkan kedua minuman itu di meja depan Vilicia duduk. Silakan Bu, hanya ucapan itu yang keluar. Anak gadis itu langsung berlalu ke belakang lagi.
"Ma, kata papa, aku harus mainkan lagu ini untuk mama," kata Sansan begitu mengakhiri instrumen Speak Softly Love. Vilicia menoleh ke arah Sansan. Tatapannya menyiratkan sesuatu.
"Kapan papa memberitahukanmu?" ucap Vilicia.
"Tadi, dalam perjalanan ke sini, papa bbm aku." Dan sebelum mamanya bertanya lagi, Sansan mulai memainkan intro lagu Untukmu. Sebuah lagu jadul yang pernah ngehits dibawakan oleh Tito Soemarsono. Untung Sansan sudah mendengarkan lagu itu lewat you tube beberapa waktu yang lalu. Dua kali mendengar lagu itu, Sansan langsung bisa memainkannya.
Vilicia terdiam ketika Sansan memainkan intro lagu itu. Tubuhnya baru menggeliat mendengar suara seseorang yang menyanyikannya. Kali ini Sansan mengiringi seseorang bernyanyi. Kepala Vilicia meninggi, mencari sumber suara yang menyanyikan Untukmu.Tanpa dicari pun suara itu menggema dalam ruang tengah villa. Vilicia baru tersadarkan, suara itu keluar dari beberapa speaker yang terpasang di banyak tempat. Di tengah kebingungan Vilicia mencari siapa yang sedang menyanyikan Untukmu, pintu belakang terbuka dan keluarlah Setyo bersama Silah. Ditangannya tampak nampan berisi kue tart berhiaskan lilin angka. Setyo sudah menyalakan lilin angka tersebut sejak dari belakang. Melihat situasi seperti ini, Vilicia akhirnya bangkit dari duduknya dan menyambut kedatangan Setyo dan Silah. Kepala Vilicia menggeleng-geleng tanda tidak mempercayai apa yang sedang terjadi di ruang tengah villa. Namun tak urung, senyum manisnya tetap muncul di bibirnya.   
Terdengar refrain ~di antara kita t’lah terjalin sudah, benang-benang asmara, tak mungkin lagi kan terpisah, semoga tuhan mendengar pinta kitaaa~ Sampai refrain ini habis dan lagu beserta liriknya diulang dari awal, Vilicia tetap tidak menemukan sosok yang menyanyikannya. ~kupersembahkan lagu ini, s’bagai tanda cinta kasihku, padamu setulus hati ini untukmu, kau permata hatiii.... adakah rindu kian melanda, di saat jauh dari sisiku, cintaku kuingin selalu bersamamu, sampai roda dunia tak berputar~ Sekonyong-konyong, dari sebuah pintu kecil yang terletak di bawah tangga menuju lantai atas, terbuka pintunya. Seorang pria keluar memegangi mic. Gerak bibir masih mempertontonkan dirinya bernyanyi. Mengikuti setiap dentingan piano yang dimainkan Sansan.
“Papa??” Pekik Vilicia. Air matanya seketika tumpah membanjiri pipinya yang mulus. Dirinya hanya bisa mematung mendapatkan surprise yang tidak dinyana-nyana. Giorgie mendekati istrinya yang berulang tahun. Memeluk dengan hangat serta menghujani ciuman mesranya. ~di antara kita t’lah terjalin sudah, benang-benang asmara, tak mungkin lagi kan terpisah, semoga tuhan mendengar pinta kitaaa~
Silah yang sedari tadi memegangi kue tart ulang tahun, bersama Setyo, hanya bisa tersenyum menyaksikan kemesraan kedua majikannya itu. Dan ketika Sansan usai memainkan pianonya dan ikut bergabung, ia hanya bisa terharu dan bahagia menyaksikan pesta kejutan ulang tahun mamanya.
“Kalian memang nakal,” ujar Vilicia setelah tahu bahwa semua ini di-setting. Giorgie tidak mau dijadikan dalang, terlebih Sansan. Setyo dan Silah, juga mundur ke belakang ketika Vilicia menatap mereka. “Kalian juga sekongkol, kan?” Tanya Vilicia kepada Setyo dan Silah. Keduanya hanya tersenyum dituduh sebagai bagian dari kejutan ini. Pintu di bawah tangga, tempat Giorgie keluar tadi, kembali terbuka. Muncullah Triane sambil tersenyum. Vilicia jelas kaget mendapatkan adik iparnya hadir di antara mereka. Seingatnya, Triane sudah pamit karena hendak pergi ke Singapura besok pagi.
“Ini dia dalangnya,” teriak Giorgie. Jari telunjuknya mengarah kepada Triane. Tanpa melakukan pembelaan, Triane mendekati kakak iparnya. Dipeluknya dengan hangat sang kakak, mengecup pipinya seraya mengatakan, “Selamat ulang tahun ya, Mbak.... Jangan jantungan terima kejutan dari kami.” Semua yang ada dalam ruangan itu tertawa lepas.
Kejutan berikut, benar-benar membuat air mata Vilicia tidak berhenti mengalir. Giorgie memberikan sebuah stopmaf berwarna merah. Dia menyuruh Vilicia melihat isinya. Sebuah sertifikat kepemilikan villa yang malam itu jadi tempat kejutan ulang tahunnya. Mereka bertiga berpelukan. Sebuah bisikan halus mengalun ditelinga Vilicia, “Ada taman bunga di samping yang rindu sentuhanmu.” Vilicia menatap mesra suaminya, kemudian mencium dengan takjim tangannya. Giorgie pun membalas memberikan ciuman hangatnya kembali....
Malam itu, malam penuh peluk dan ciuman ......

“Ohya, piano itu milikmu, San... bukan punya mama.” Sansan gantian mencium tangan papanya dan memberikan ciuman terima kasihnya. (121216)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PIYAMBAKAN

SENGAJA DATANG KE KOTAMU

KIRIMI AKU SURAT CINTA