SENGAJA AKU BERNYANYI UNTUK DIRIMU
Berbekal
alamat yang kudapatkan dari temannya temanku, aku menyusuri rumah Harnum.
Rumahnya agak masuk ke dalam. Dari jalan besar, aku harus masuk kira-kira 300
meter ke dalam. Kata temannya temanku itu, rumahnya mudah dicari dan
didapatkan. Rumah yang terasnya berjoglo. Tanyakan saja nama ibunya, semua
orang di situ, para tetangganya, pasti mengenalnya. Aku sudah bersepakat
sendiri tidak akan bertanya kepada siapa pun. Aku akan mencarinya sampai
ketemu.
Sejak kutinggalkan kotaku ini, 10 tahun yang lalu, aku tak pernah lagi berhubungan dengan Harnum. Sempat memang aku mencarinya, melalui teman-teman yang masih domisili di kota kelahiranku. Mereka menemukan dan memberikan alamat, tapi mengapa berbeda dengan alamat yang diberikan temannya temanku tadi. Sejak aku bertugas di perbatasan, aku jarang pulang. Apabila sedang tidak bertugas, aku lebih banyak menghabiskan waktu di asrama yang ada di ibukota kabupaten. Boleh dinamai ibukota kabupaten namun alat komunikasi masih sangat minim, nyaris susah untuk berhubungan dengan dunia luar. Akhirnya, waktu yang kumiliki kugunakan hanya untuk melakukan kegiatan yang mungkin. Kebetulan lingkunganku dikelilingi air, jadilah aku berlatih mendayung dan juga sering mancing ke laut atau sungai.
Kukeluarkan sebuah sobekan kertas
dari dompetku. Kertas yang nyaris hancur. Sudah kutempelkan di kertas lain
supaya tidak benar-benar hancur. Beruntungnya, tulisan dikertas itu masih
bersisa. Meski ada yang sudah terhapus, tapi yang masih membuatku tersenyum
adalah nama bioskop dan tanggal pertunjukkan, masih terlihat. Nomor tempat
duduk sudah terhapus. Itu sobekan tiket bioskop yang kusimpan selama 10 tahun.
Sebenarnya, tak ada niatan menyimpannya. Memperoleh kesempatan nonton film
bersama Harnum, itu kesempatan langka. Secara tidak sengaja aku memasukkan
sobekan tiket bioskop ke dalam dompet bersama uang kembalian yang kuterima.
Tiket itu bercokol lama di dompetku sampai akhirnya aku bisa menceritakan ini.
Tidak ada yang istimewa hubungan
kami sebetulnya. Yang kutahu, yang menyukai Harnum tidak cuma aku. Banyak pria
yang mendekatinya. Tapi jika pada akhirnya Harnum mau pergi berdua denganku, bahkan
sampai mau diajak nonton film, itu sebuah prestasi yang luar biasa untukku.
Dan, yang membuat jantungku berdegub hingga film usai adalah: selama
pertunjukan berlangsung, tangan Harnum melingkar hangat di tanganku. Dia tidak
minta izin, dia tidak harus bilang apa-apa. Begitu film mulai, aku merasakan
ada yang melingkar ditanganku. Ketika aku meliriknya, dia tersenyum. Sesekali
jari-jarinya meremas jari-jariku kalau dia gemas dengan si tokoh dalam film.
Tetap tidak melihatku, tapi tangannya terus bergelayut manja. Bahkan makanan
ringan dan minuman yang kusodorkan padanya, diambilnya dengan tangan satunya.
Ketika pertunjukan selesai, selesai juga pegangan tangannya. Kami keluar
berjalan beriringan menuju parkiran sepeda.
Kala
itu, bersepeda apalagi model jengki, terlihat berkelas. Aku meminjam sepeda ini
dari tetanggaku yang baik hati. Selama menikmati ayuhan kakiku, tangan Harnum
melingkar mesra di pinggangku. Aku tak menyuruhnya. Aku tak memintanya. Dia
lakukan sendiri sekenanya. Irama samba jantungku berlanjut setelah tadi di
dalam bioskop jantungku memainkan musik pop. Tanpa ucapan apa-apa, aku tahu dia
menerimaku. Apa adanya aku…..
***
Selama menyusuri gang mencari
rumahnya, penggalan demi penggalan kisah kami melintas begitu saja. Dan aku
menikmati itu semua. Aku berhenti di satu mulut gang kecil. Dari mulut gang
kecil itu aku melihat sebuah joglo, juga 3 motor parkir di depan joglo. Aku
melewati gang kecil itu, yang hanya cukup dilalui sepeda atau sepeda motor. Di
mulut gang kecil bagian dalam, ternyata rumah Harnum berhalaman luas. Terlihat
olehku motor yang parkir. Bukan 3 motor, tapi 6 motor sekaligus. Di kiri kanan
rumah Harnum, ada juga rumah tetangga yang lain.
Terdengar
suara ramai dari joglo yang tak berpintu. Ada yang khas terdengar olehku. Suara
Harnum. Sosoknya samar-samar terlihat dari tempatku berdiri. Dia ditemani 3
cowok di sana. Aku menarik nafas panjang melihat pemandangan itu. Kehadiranku
sama sekali tidak menarik perhatian orang-orang yang ada di joglo, juga Harnum.
Tanpa sengaja Harnum berdiri, sepertinya hendak masuk ke dalam rumah. Ah wajah itu?? Aku buru-buru memalingkan
tatapan untuk segera berlalu dari tempat itu.
Aku
sudah tahu dimana Harnum kini berada. Supaya tidak dicurigai siapa pun aku
berjalan perlahan, keluar melalui gang kecil yang tadi kulewati saat mencari
rumahnya. Tak kuduga, tak kusangka, seorang wanita tua berpapasan denganku.
Darahku terkesiap. Bu Marsilam,
gumamku. Mata kami saling tatap. Sekali lagi, supaya tidak mencurigakan, aku
melepaskan senyumanku kepadanya. Dia membalas senyumku. Ada kernyitan sedikit
di dahinya. Aku bergegas meninggalkannya.
Tiga
hari setelah mencari tahu rumah Harnum, aku kembali ke sana. Setelah mematutkan
diri di cermin aku berangkat menuju rumahnya. Sebetulnya, spekulasi juga aku ke
rumahnya. Tapi tekadku sudah bulat. Yakinku pasti banget. Ini momen yang tak
boleh aku lewatkan. Aku hanya ingin mengetahui apakah masih ada sisa penggalan
cerita 10 tahun yang lalu.
Motor
kuparkir di depan mini market depan gang besar menuju rumahnya. Dari mini
market itu aku berjalan, menyusuri gang seperti yang kulakukan saat mencari
rumahnya. Urutan menuju rumahnya, persis seperti ketika aku mencari awal-awal
kemarin. Kalau jodoh memang tak kemana. Di depan rumahnya aku melihat joglo
rumah Harnum ramai. Lebih ramai daripada saat aku ke situ pertama kali. Yang
pasti, sosok yang kucari ada di tengah keriuhan itu. Supaya tidak menimbulkan
kecurigaan, aku berjalan menuju rumah tetangga Harnum. Memulai aksiku:
mengamen.
Ada
6 rumah di kiri kanan rumah Harnum. Semua sudah kudatangi. Di semua rumah aku
bernyanyi. Beda-beda lagunya. Mantapnya, suaraku diupahi dengan benggolan, uang
logam. Ada yang memberi 500, ada juga 1000. Sambil bernyanyi di rumah tetangga Harnum,
mataku tetap awas ke rumahnya. Target yang kuinginkan masih tetap di joglonya.
Tampaknya mereka sedang mengerjakan sesuatu. Banyak buku berserakan di situ.
Topi
penutup kepala kuturunkan agar mataku sedikit tersamarkan. Aku berjalan ke arah
joglo. Hatiku gelisah, jantungku berdebar persis seperti saat tangan Harnum
melingkar ditanganku dalam gedung bioskop itu, 10 tahun yang lalu. Gitar yang
sudah tergantung didadaku terasa berat. Yang terlintas di kepalaku hanya: yakin
dan tarik nafas panjang. Momennya tepat,
jangan kau ragukan lagi, bisikku
sendiri.
Hari
ini, tepat di depan joglonya, selain misi pembuktian, aku ingin menyatakan sesuatu
untuk Harnum. Hari ini dia berulang tahun. Entah apakah cara yang kulakukan ini
mengingatnya atau tidak. Aku hanya berusaha siapa tahu tidak meleset.
Petikan
awal dari gitarku langsung kumainkan. Tak ada reaksi dari siapa pun di joglo.
Terkesan aku dicuekin saja. Namun begitu bait kedua aku nyanyikan, Harnum
bangkit, melihat ke arahku. Aku buru-buru menundukkan kepalaku. Bukan hanya
bangkit dan melihatku, dia berjalan ke arah luar, mendekatiku. Berdiri di anak
tangga joglo. Tiba-tiba dia menyuruhku berhenti. Menuruni tangga mendekatiku.
Dengan beraninya dia copot topiku lalu menatapku seksama. Bola mata indahnya membesar melihatku. Mulutnya tetap mengatup tertahan hendak mengatakan sesuatu.
Tahu
dong apa yang terjadi setelah itu??
Cerpen penghujung tahun. Sabtu, 31 Desember 2016.....
BalasHapus