SAAT KAU DATANG

Wajah Rochma terlihat sendu ketika kukatakan tidak akan melanjutkan sekolah. Alasan ketiadaan biaya menjadi alasan paling utamaku. Kesenduan Rochma berganti linangan air mata di tepian kedua matanya yang bulat. Kedua alisnya yang tebal mengerut ke tengah. Wajahnya kini sendu-sedan dengan linangan air mata justru saat kukatakan hendak merantau ke Malaysia. 
            "Lik Marsan mengajakku ke sana. Dia yang sementara menanggung biaya pemberangkatanku. Juragan tempatnya bekerja memang membutuhkan orang di perkebunan sawitnya. Katanya, biaya pemberangkatanku akan potong gaji. Aku sih manut, yang penting bisa kerja untuk meringankan beban bapak." Rochma diam mendengarkan penjelasanku.
            "Jadi anak laki-laki memang harusnya begitu! Berani menerima tantangan. Berani melalang buana kemana saja." Sebuah suara mengagetkan kami. Serempak kami memalingkan muka ke belakang. Di pintu beranda  ayah Rochma berdiri. Senyum Pak Sonodya terlihat nyinyir. Aku menghela nafas dan langsung berhenti berkata. 
            "Bagus Bud! Dengan kamu bekerja di Malaysia, kamu bakal dapat gaji gede. Jadi bisa bantu-bantu bapakmu. Sudah waktunya kamu menyenangkan ibu bapakmu. Masa harus mereka terus yang cari uang?" Pak Sonodya menjentik-jentikkan jari tengah dan ibu jarinya. Aku tersenyum kecut sambil mengangguk-angguk patuh. 
            "Kapan kamu berangkat ke Malaysia?" tanya Pak Sonodya. Matanya menatap Rochma yang langsung ikutan diam begitu ayahnya bicara. 
            "Nanti...," suaraku terhenti karena tiba-tiba Rochma memotong bicaraku. 
            "Ujian sekolah sama ujian negara belum! Masa sudah mau pergi?"  ucap Rochma cepat. "Tadi kita sudah kerjakan nomor berapa ya?" Entah kenapa Rochma mengatakan hal itu. Padahal sedari tadi kami belum mengerjakan soal apapun. Buku latihan soal memang terhampar di hadapan kami berdua tapi sejak tadi juga belum kami sentuh apalagi mempelajarinya.
            Kedatanganku ke rumah Rochma memang ingin belajar bareng. Selain itu juga ingin mengatakan keputusanku tidak melanjutkan sekolah setelah lulus SMA. Meskipun tidak pernah memproklamirkan berpacaran tapi  sejak kelas 2 kami saling menjaga jarak kepada lawan jenis. Dan itu berlangsung hingga di penghujung kelas 3. Sebetulnya aku minder menjalin kasih dengan Rochma. Persoalan status sosial kamilah yang membuat aku selalu tidak percaya diri. Pak Sonodya adalah Kades di desaku. Keluarganya terhormat dan terpandang menurut pandangan para warga desa. Aku tahu, Pak Sonodya tidak setuju Rochma dekat denganku. Setiap bertandang ke rumahnya selalu saja ada kata-kata sengak hingga tak enak di telingaku. Penyebabnya tak lain dan tak bukan karena status bapakku yang hanya buruh tani serabutan dengan anak 4 dan istri 1. Rochma hanya 2 bersaudara. Kakaknya perempuan yang sekarang kuliah di kota Jogja.
            Begitu Rochma bertanya soal pengerjaan dan langsung mengajakku mengerjakan latihan soal  ayahnya langsung ngeloyor masuk ke dalam. Terlebih ada bunyi dering handphone. "Maafkan sikap ayahku, ya?" kata Rochma begitu ayahnya masuk ke dalam rumah. 
            "Apapun yang terjadi aku tetap ingin kamu jadi teman dekatku." Aku agak terkejut dan bereaksi saat secara mendadak Rochma memegang tanganku. 
             "Jangan tinggalkan aku, bisakan?" Kali ini sorot mata Rochma menghiba. Sorot mata yang minta supaya aku mengurungkan niat merantau ke Malaysia. Aku hanya tersenyum tanpa berkata apapun.
***
            Semakin mendekati ujian dan akhir sekolah, pikiranku juga semakin gelisah. Antara tetap harus pergi mengikuti Lik Marsan, adik ibuku, atau tetap bertahan di desa, tidak meneruskan sekolah dan hanya menjadi buruh tani seperti bapak. Bayangan Pak Sonodya setiap saat bergelayutan di depan mataku. Terlebih sikap dan kata-katanya yang terus melecehkan aku dan keluargaku. Semua gegara hubungan dekatku dengan anaknya, Rochma.
            Permintaan Rochma yang menghiba supaya aku tidak ke Malaysia, juga membuatku tidak tenang. Kenapa anak sama ayah berbeda perilaku? Kenapa Rochma tidak memasalahkan statusku sebagai anak buruh tani semata, sementara ayahnya selalu memandang sebelah mata. Jika mengingat hal ini, dadaku terasa sesak dan sebagai pelampiasannya aku hanya bisa menghela nafas setiap saat.   
            Aku mengurangi belajar bersama Rochma di rumahnya. Setiap ia mengajakku, aku menolak secara halus. Biar bagaimana pun aku tidak ingin Rochma sedih. Sebagai gantinya, aku selalu mengajak Rochma belajar bersama di sekolah. Kebetulan menjelang ujian akhir, murid-murid kelas 3 boleh memanfaatkan area di sekitaran sekolah untuk belajar. Meskipun di desa, sekolah kami sudah dipasangi wi fi sehingga peradaban modern dibalut teknologi canggih selalu bisa kami perbaharui. Pihak sekolah bahkan memberi kesempatan seluas-luasnya untuk murid-murid kelas 3 memanfaatkan jaringan internet gratis ini.
            “Kamu sudah siap ujian?” tanya Rochma padaku. Sore itu kami belajar bersama di taman sekolah yang asri, di bawah pohon mangga  yang selalu berbuah jika musimnya tiba. In sha allah kataku, menjawab pertanyaan Rochma. Aku tak perlu bertanya balik kepada Rochma, karena selain belajar bersama, sebagai alasan bisa ketemuan denganku, Rochma juga mendapat pengajaran dari guru privat yang sengaja dipanggil ayahnya ke rumah. Seminggu 3x.
            Lusa kami sudah mulai ujian.
            “Kamu tetap akan pergi ke Malaysia, Bud?” Pertanyaan itu ditanyakan Rochma selagi aku membereskan buku-buku ke tas sekolah. Aku hanya menjawab lirih, “Belum tahu! Sebaiknya kita hadapi saja dulu ujian kita? Soal aku ke Malaysia, apapun keputusanku kamu orang pertama yang kuberi tahu.” Ada segurat rasa kecewa di wajah Rochma, namun ia tetap tersenyum dan mengangguk.
            “Aku sayang kamu, Bud! Kamu gimana?” Jleg, tak dinyana sama sekali olehku Rochma mengatakan rasa sayangnya. Padahal selama ini, sepanjang kami dekat, tak ada kata-kata sayang dan cinta yang kami obral. Kami mengalir saja dalam menjalani hubungan. Kami hanya saling menjaga jarak untuk tidak mengumbar perasaan lebih kepada lawan jenis.
            “Kok diam ?” Rochma bertanya lagi karena aku tidak menjawab pertanyaannya tadi. Dengan sedikit kikuk aku menganggukkan kepala.
            “Maksudnya apa anggukan itu?” Rochma meraih tanganku dan kemudian memeganginya. “Maksudnya apa, Bud?” Ditodong dan dipaksa seperti itu, membuatku makin kikuk. Minderku tiba-tiba menyeruak. Kini mata Rochma menatap mataku. Tajam namun penuh kelembutan. Bud, katanya lagi. Genggaman tangannya terasa erat.
            “Aku memang sayang padamu,” kuberanikan diri mengatakan perasaanku, “Tapi aku….” Tiba-tiba tangan Rochma menutup mulutku.
            “Aku nggak mau dengar kata ‘tapi’. Makasih ya..,” Rochma melepaskan tanganya dari mulutku. Ia juga melepaskan genggamannya karena melihat beberapa teman berjalan ke arah kami. Sayup-sayup aku mendengar cekikikan dari arah teman-teman kami, juga ucapan cuit-cuit-cuit…. Aku setengah menunduk. Tidak dengan Rochma. Ia malah melambaikan tangannya ke arah mereka.
            “Bud, aku duluan ya,” ucap Rochma yang sudah duduk di atas Honda Vario merahnya. “Takut ayahku menyuruh orang menyusul aku ke sekolahan.” Bibirnya tersenyum mengatakan hal itu. Aku ikutan senyum seraya menganggukkan kepala tanda mengizinkan ia duluan pulang. Kamu hati-hati ya bawa motornya, kataku kemudian.
            Duhh, senyum itu yang selalu terbayang setiap saat. Senyum Rochma yang baik, santun, dan tidak pilih-pilih dalam berkawan. Aku membiarkan Rochma pergi duluan baru aku mendorong sepeda onthel bapak keluar dari parkiran sekolah. Kukayuh perlahan sepedaku menikmati udara yang sore itu sangat menyegarkan. Teringat lagi kata-kata Rochma yang menyatakan sayang padaku tadi.
            Aku juga sayang padamu, gumamku, dan aku tak meneruskan lagi dengan kata ‘tapi’. Aku akan membuktikan padamu bahwa aku pantas menjadi pria pilihanmu. Entah kenapa aku berani berkata begitu. Maafkan aku, Rochma, aku harus pergi meninggalkanmu nanti, ucapku lirih. Aku sudah bertekad pergi ke Malaysia selesai ujian akhir nanti. Aku akan buktikan ucapanku barusan padamu, terlebih kepada Pak Sonodya, ayahmu. Semilir angin sore menerpa wajahku dan aku terus mengayuh onthel menuju rumah. Lembayung senja dengan semburat matahari yang mau ke peraduan tampak menyala lembut.
***
            Pagi hingga siang itu acara pelepasan murid-murid kelas 3. Sebagai tamu kehormatan, semua murid-murid kelas 3 diletakkan di barisan depan. Adapun orang tua ada di belakangnya. Satu per satu nama dipanggil ke atas panggung untuk menerima ijasah juga tanda kelulusan. Meskipun aku tidak meraih kejuaraan apa pun, nilai-nilaiku tak ada yang merah. Cukuplah sebagai bekal untuk melamar pekerjaan. Aku justru bangga kepada Rochma yang diterima di Fak. Sastra Inggris UNY di Jogja tanpa tes. Walaupun tak sekali pun Rochma menjadi juara kelas. Ia hanya berbekal nilai-nilai mata pelajaran yang selalu stabil di setiap semesternya. Bahkan katanya, nilai-nilainya selalu naik dari kelas 1 hingga kelas 3. Alhamdulillah… Dari bangku aku mengacungkan jempol untuknya ketika namanya dipanggil ke atas panggung. Dan siang itu, aku akan mengatakan kepada Rochma mengenai keputusanku pergi ke Malaysia. Sengaja aku tidak bercerita karena benar-benar tidak ingin menganggu konsentrasi belajar Rochma menghadapi ujian.
            Aku melihat Rochma sedang berfoto bersama ayah dan ibunya di beberapa sudut sekolah. Tak lupa juga ia berfoto bersama guru-guru. Bapak sudah berpamitan padaku. Beliau hendak menggarap sawah Pak Sunu, katanya. Dari tempatku menunggu terlihat Rochma mengumbar senyum kepada siapa pun yang mengucapkan selamat. Tidak kulihat lagi kedua orang tuanya bersamanya. Dan begitu ia melihat aku, ia pun menyudahi seremoni kebahagiaan bersama teman-temannya. Ia bergegas mendekati tempatku menunggu. Entah dari mana asalnya, tiba-tiba ayah Rochma sudah ada di belakangku, bersamaan Rochma sampai di tempatku berdiri.
            “Kapan berangkat Bud? Jadi berangkat ke Malaysia, kan? Tadi aku ketemu bapakmu. Kata bapakmu, kamu jadi kerja di Malaysia bareng Paklik-mu.” Seperti biasa senyum nyinyir terbentuk dibibir Pak Sonodya. Rochma yang barusan mendekat dan berada di dekatku seketika menunjukkan wajah tak senang. Sesudah bertanya tanpa kujawab, Pak Sonodya langsung berpamitan. Rochma hanya mengangguk dipamiti ayahnya pulang duluan.
            “Kok kamu gitu sih Bud? Mau pergi jauh dan lama tidak cerita. Kayaknya pernah ada yang bilang aku akan jadi orang pertama yang diberi tahu kalau ada yang mau pergi ke Malaysia,” sindir Rochma sambil membuang muka ke arah lapangan sekolah. Mendengar kata-kata Rochma aku tidak membantah sedikit pun. Kami berdiam diri tanpa berkata-kata. Tiba-tiba Rochma membalikkan badannya, hendak berlalu dari situ. Aku buru-buru meraih pundaknya. Menahan Rochma pergi. Langkahnya memang terhenti, namun aku mendengar sesenggukan lirih keluar dari mulut Rochma. Aku sudah membuat Rochma sedih.
            “Maafkan aku. Aku tidak bermaksud begitu, Rochma,” aku berdiri menghalangi Rochma pergi dari situ, “Aku hanya tidak ingin ujian kita terganggu gara-gara keinginanku pergi ke Malaysia.” Sembari memberi penjelasan kupegang pundak Rochma dan menatap wajahnya yang bersimbah air mata tipis. Rochma hanya diam kutatap begitu. “Sekali lagi maafkan aku. Tidak ada niatanku begitu.” Terdengar desahan nafas ditarik kemudian dihembuskan perlahan. Rochma kemudian mengeringkan air matanya dengan tissue yang dipegangnya.
            “Jadi kamu tetap akan pergi ?” Suara Rochma mulai terdengar. Aku tidak langsung menjawab. Sedang memikirkan jawaban yang tidak membuat Rochma sedih. Namun dalam waktu sempit berpikir tetap tidak ada jawaban jitu selain harus mengangguk dan bilang ‘ya, aku pergi’.
            “Hari ini, siang ini, dengan izinmu, aku pamit ingin mengadu peruntungan di Malaysia. Banyak yang bisa kuperbuat dengan aku di sana. Untuk keluargaku, juga pasti untuk kelangsungan hubungan kita.” Rochma dengan seksama mendengarkan. Mata bulatnya yang sudah kering kembali tergenangi air mata yang mendadak ruah.
            “Benar untuk hubungan kita juga?” Rochma menegaskan pernyataanku barusan.
            “Tentu… Itu janjiku! Rochma boleh pegang janjiku.” Seulas senyuman tersungging dibibir Rochma. Ia kembali menyeka air matanya. Siang itu aku lega bisa mengatakan pada Rochma, meskipun sempat ada sedikit gundah dihati.
***
            Tak ada tangisan atas kepergianku ke Malaysia. Aku sudah melarang Rochma untuk meneteskan air mata. Kukatakan padanya ini untuk kelangsungan hubungan kita nanti. “Izinkan aku pergi untuk memberikan kebahagiaan bagi keluargaku juga kamu kelak.” Setiap air mata yang akan menetes aku berusaha menyeka dari pojok mata Rochma.
            “Aku pergi ya, aku pamit darimu.” Di ujung desa aku menggenggam tangan Rochma. Lik Marsan, paklik-ku, berulang kali mengajakku segera pergi. “Kuliah yang baik dan kejar cita-citamu di UNY.” Lambaian tangan kami saling terlepaskan. Aku menggeleng setiap terlihat Rochma hendak meneteskan air matanya. Rerimbunan batang bamboo akhirnya menghalangi pandanganku pada Rochma. Bismillah….
***
            Setiba di Bandara KLIA, aku langsung dibawa menuju barak perkebunan sawit milik Datok Sri Mohammad. Waktu sudah sore ketika kami tiba di barak perkebunan. Aku langsung diminta bebersih oleh Lik Man. Pertemuan dengan mandor perkebunan akan dilakukan besok pagi sebelum pekerjaan dimulai. Belum hitungan hari, aku sudah teringat desaku. Ingat bapak dan ibu serta adik-adik, juga Rochma yang melepaskan tadi pagi di ujung desa. Ada 2 foto pemberiannya yang kusimpan di dompet. Kupandangi dan kuusap permukaan foto itu. Andaikan aku punya handphone, gumamku.
            “Perkebunan ini di pedalaman. Jadi sinyal handphoe susah diperoleh, Bud,” kata Lik Man yang seakan mengerti isi kepalaku saat bergumam. “Kerja saja yang baik, sopan, dan patuh. Kalau kerjamu bagus, upahmu juga akan bagus,” lanjut Lik Man sambil merebahkan tubuhnya. Hawa malam di barak, malam itu terasa dingin. Kipas angin yang berdiri tegak untuk sementara tidak bergoyang.
            “Cuaca tidak jauh beda dengan desa kita, jadi kamu tidak akan kaget.” Terdengar Lik Man menguap setelah mengatakan perihal cuaca yang kebetulan sedang adem. Tidak sampai lima menit dengkuran halusnya menjadi seruling pengantar tidur di kamar. Sementara aku perlu menyesuaikan diri, tubuh, dan pikiran dengan suasana barak perkebunan.
            Sewaktu Lik Man bilang aku akan tinggal di barak, sudah kubayangkan sebuah barak yang kumuh, kotor, ala kadarnya, dan bayangan-bayangan barak seperti yang pernah kuketahui. Tapi barak milik perkebunan sawit Datok Sri Mohammad, tertata rapi, bersih serta tampak terawat. Di barak juga terdapat musala. Rata-rata pekerja di perkebunan beragama islam. Bahkan ranjang yang kutiduri lebih bagus daripada kasur alas tidur di rumahku di desa. Lebih empuk untuk ditiduri. Namun demikian, seempuk apapun ranjang tidurku, mataku sulit terpejam. Setiap memaksakan terpejam selalu saja hadir bayangan orang-orang tersayangku. Hmmm Rochma, sedang ngapain kamu, gumamku. Kukeluarkan fotonya dari dompetku dan memandanginya. Dan aku seperti berada di taman sekolah SMA, di bawah pohon mangga bersama Rochma…
            Azan subuh menggugah kesadaranku. Lik Man sudah tak ada di ranjangnya. Mungkin pergi berwudhu ke kamar mandi. Tapi dimana letaknya? Aku belum beringsut dari ranjang menunggu Lik Man masuk kamar dulu. Muazin mengakhiri azannya namun Lik Man belum masuk kamar. Aku pun memaksa bangun dan berusaha melihat suasana subuh di barak. Dari celah jendela terlihat suasana mulai riuh orang yang lalu-lalang. Musala ada di tengah-tengah barak. Kamar-kamar para pekerja mengelilingi musala. Kamar-kamar pekerja ada di lantai bawah dan atas. Entah berapa banyak pekerja di sini. Lingkungan barak benar-benar rapi dan tertata. Aku membatin semoga kerasan bekerja di perkebunan ini. Sebuah tepukan ringan di pundak mengagetkan aku. Lik Man masuk kamar tanpa kusadari. “Ayo buruan wudhu. Sebentar lagi subuh berjama’ah di musala. Kamar mandi arah kiri dari kamar kita. Cepatlah sana,” perintah Lik Man. Aku bergegas berdiri tegak dan keluar kamar. Lik Man sudah memakai sarungnya dan baju kokonya.
            Jam 6 pagi, kala di desaku sudah menerima pancaran sinar matahari, di sini, di barak perkebunan, suasana belum benderang dicahayai matahari. Semburat cahya dari ufuk memang sudah mulai menerangi langit pagi perkebunan. Aku diajak berjalan-jalan Lik Man. Ia ingin mengenalkan aku dengan lingkungan perkebunan, tempat dimana aku akan berlama-lama menampung ringgit Malaysia. Terlihat luas hamparan perkebunan sawit ini. Sepanjang mata memandang sepertinya tiada habisnya perkebunan sawit yang terhampar. Aku melihat ada lapangan bola berukuran mini. Ada sungai berair jernih yang tidak lebar yang ada di dekat barak. Kami berjalan menuju sungai itu dan menyusurinya. Lingkungan yang asri batinku. Semoga aku kerasan bekerja di sini. Rochma tunggu aku, ya… bisikku lirih, khawatir Lik Man mendengar.
            Di kantor perkebunan, aku bertemu Mandor Syafi beberapa karyawan kantor, juga akhirnya bertemu dengan Datok Sri Mohammad, Sang Pemilik. Orangnya hangat, kebapakan, dan baik, menurutku. Lik Man pun sependapat ketika kutanyai sesudah kami dari kantor. Datok Sri berpesan supaya aku mengikuti semua aturan di perkebunan juga di barak. Langsung bekerja dan nanti apa-apa yang harus dilakukan dipersilakannya aku bertanya pada Lik Man, mandor perkebunan maupun para pekerja lain yang sudah ada. Bismillah….
***
            Bekerja di pedalaman membuat aku seperti jauh dari peradaban. Kalau ingin melakukan kontak harus bepergian keluar area perkebunan menuju kota terdekat. Di situlah sinyal handphone baru bisa menyala. Terkadang, di perkebunan jika beruntung, aku bisa memperoleh sinyal sehingga bisa menghubungi bapak, ibu, dan adik-adik. Setelah setahun di perkebunan aku baru beberapa kali bisa menghubungi Rochma. Dari suaranya ketika kuhubungi memakai HP Lik Man, Rochma terdengar gembira. Ia semakin gembira ketika aku bisa menyalakan video call HP Lik Man. Rochma sekarang terlihat cantik apalagi sejak berhijab. Aku semakin merindukannya. Ia pun tak pernah putus mengirimkan ‘sayangnya’.
            Pada tahun kedua di perkebunan, di suatu siang, Datok Sri memanggilku. Hatiku sempat gentar dan takut, khawatir ada kesalahan yang kuperbuat namun tak kusadari. Aku berjalan pelan ketika memasuki kantor. Di ruang tunggu kantor, ruang kaca tembus pandang tempat Datok Sri duduk aku melihatnya sedang membaca sesuatu. Perlahan aku mengetuk pintu ruangannya. ‘Assalamu’alaikum…’ Sesudah mendengar jawaban dari Datok aku bergegas masuk. Jantungku tak berhenti berdetak. Takuutttt sekali aku telah melakukan kesalahan.
            “Duduk,” perintah Datok Sri, tangannya masih memegang kertas yang sedari tadi dibolak-baliknya.
            Aku mendengar seksama apa yang dikatakan Datok Sri. Ternyata ia menawarkan padaku untuk pindah kerja dari perkebunan ke sebuah supermarket ternama di Kuala Lumpur. Datok Sri merupakan salah satu pemegang saham di Giant, supermarket ternama di Malaysia. Gara-garanya, secara tidak sengaja ia melihat CV yang kuserahkan ke kantor perkebunan. Dari banyak pekerja Indonesia yang bekerja di perkebunan, aku satu-satunya yang tamatan SMA. Dan nilai-nilaiku tidak terlalu mengecewakan. Mengetahui nilai ekonomiku bagus, ia menanyakan apakah aku mampu mengurusi administrasi. Meskipun sedikit ragu-ragu aku menjawab mampu. Datok Sri pun mengangguk. Ia berjanji kalau waktunya tiba, ia akan memindahkan aku ke supermarket Giant. Ada gerai baru yang akan dibuka. Tapi ia juga minta padaku seandainya ternyata bukan mengurusi administrasi, aku tetap dimintanya mau bekerja di supermarket. Aku menyalami tangannya seraya mengucapkan terima kasih diberi kesempatan bekerja di supermarket miliknya. Sudah terbayang dibenakku, akan sangat mudah aku menghubungi Rochma dan kedua orang tuaku apabila aku jadi pindah ke Kuala Lumpur.
            Sebelum aku keluar dari ruang kerja Datok Sri, ia sempat mengatakan suka sekali dengan kota Jogja. Aku sempat disuruhnya bercerita. Dengan malu-malu aku mengatakan yang sebenarnya kalau aku berasal dari desa yang jauh dari Jogja. Aku pun jarang pergi ke kota Jogja, karena harus ikut membantu bapak mengurusi sawah orang. Datok Sri memahami ceritaku dan hanya menganggukkan kepalanya. Aku pun keluar dari ruangannya.
***
            Tiga bulan sejak pertemuanku, Datok Sri benar-benar memindahkan aku ke supermarket-nya. Lik Man turut senang dan gembira mengetahui aku dipindahkan ke Kuala Lumpur. Ia berpesan supaya aku benar-benar menjaga kepercayaan Datok Sri Mohammad. Aku juga tidak perlu khawatir karena Datok Sri sudah menyediakan pondokan untukku. Lokasinya tak jauh dari Giant tempatku bekerja. Seperti kata Datok Sri tempo hari, aku memang akhirnya tidak mengurusi administrasi tapi lebih banyak mengurusi supermarket. Aku tidak berkeberatan sama sekali. Keluar dari pedalaman, keluar dari perkebunan sudah merupakan anugerah luar biasa. Aku bisa melihat gemerlapnya kota Kuala Lumpur meskipun tidak semua tempat bisa kujelajahi. Waktuku habis di supermarket yang tak pernah sepi pengunjung. Yang paling penting, pikirku, aku jadi gampang berhubungan dengan Rochma. Namun sesuatu terjadi di luar dugaanku. Rochma bukannya mudah dihubungi malahan aku kehilangan nomor kontaknya. Sepertinya, ia berganti nomor handphone. Beberapa kali aku minta bapak atau adik-adikku menanyakan, mereka selalu tidak pernah berani bertanya kepada keluarga Sonodya.
            Selama bekerja di Malaysia, aku belum pernah pulang. Aku hanya menelpon dan video call terutama sejak bekerja di supermarket. Aku benar-benar menabung untuk keperluanku dan juga mengirimkan untuk keluarga di desa. Ibu yang sangat menanggung rindu, ingin aku bisa pulang barang sehari dua hari. Namun setelah aku bisa melakukan video call, ibu terobati rindunya. Aku hanya mengatakan supaya ibu bersabar hati dulu. Meskipun jarang melakukan kontak dengan Rochma, aku masih berharapan besar memilikinya. Aku masih memegang omongannya bahwa kelangsungan hubungan kami pasti akan terjadi apa pun kendalanya. Dan aku sudah berjanji padanya.
            Tak terasa aku sudah 4 tahun di Giant Supermarket. Dari bagian HR, aku mendengar kabar bahwa perluasan Giant supermarket di Indonesia hampir merata ke seluruh kota besar. Siang itu, aku selesai zuhur lanjut makan siang. Aku satu meja dengan Cik Rahman, staf HR. Ia bercerita kalau Giant akan membuka gerai di Jogja. Sejak sukses membuka banyak gerai di Jakarta, Giant langsung berekspansi membuka banyak gerai. Dan salah satunya Jogja. Ahhh, aku mulai berangan-angan lagi seperti saat aku di perkebunan. Kira-kira, kalau aku minta mutasi ke Jogja, akan diberikan tidak yaa?? Iseng-iseng aku bertanya kepada Cik Rahman. Jawabannya, “bisa saja Bud!” Dalam hati, ada harapan aku pulang ke Jogja.
            Mungkin karena doa ibuku yang deras dan kuat, juga doaku setiap selesai salat, kejadian lama berulang lagi. Secara mendadak dan tiba-tiba, Datok Sri Mohammad datang ke gerai Giant tempatku bekerja. Ia mengadakan meeting dengan seluruh pekerja. Aku yang mewakili divisiku sehingga bertemu kembali dengan Datok Sri. Hubungan personal dengannya, membuat aku dipanggil kembali olehnya. Di sebuah ruangan tertutup milik Store Manager, aku diajak bicara Datok Sri. Isi pembicaraan dengannya benar-benar membuatku melonjak girang. Aku ditawarinya langsung untuk mengisi tim Giant di Jogja. Tapi sebelum gerai dibuka, aku diminta beradaptasi di gerai-gerai Giant yang ada di Jakarta. Datok Sri tertawa lebar ketika aku menjawab ‘bersedia Datok’. Ya Allah, semakin dekat saja keinginanku untuk bisa berkumpul bersama keluargaku. Rochma, aku akan datang kembali, bisikku lirih.
            Ya Allah, begitu besar karuania-Mu padaku, aamiin. Aku menutup doa siang itu sesudah salat zuhur.
***
            Akhirnya, setelah hampir 6 tahun di Malaysia, aku bisa merasakan udara negaraku sendiri. Merasakan hingar-bingarnya kota Jakarta yang baru pertama kali kujejakkan. Kota besar yang padat, rapat, dan macet. Semrawut dan membuat kepala pening. Jauh dengan Kuala Lumpur tempatku mengadu peruntungan sebelumnya. Tapi biarlah. Sebentar lagi gagahnya Merapi dan Merbabu, aroma Pantai Selatan, gemericik air sungai dekat rumahku di desa akan kurasakan lagi. Aku hanya perlu bersabar beberapa bulan sebelum benar-benar pindah ke Jogja. Mengurusi gerai baru Giant supermarket Jogja. Dan menjumpai lagi Rochma, gadis SMA yang kusimpan rapat dihatiku.
            Aku benar-benar ibarat bola pingpong yang memantul kesana-kemari. Selama 2 bulan di Jakarta, aku berpindah-pindah gerai demi memahami karakter tiap gerai beserta para pengunjung gerai. Tak lain supaya saat aku ada di gerai baru Jogja, aku sudah mempunyai bekal dan pengalaman lebih baik. Besar di gerai Kuala Lumpur, belajar sesaat di gerai-gerai Jakarta, mudah-mudahan bisa memperkuat tim Giant Supermarket Jogja. Dan waktunya pun tiba. Aku benar-benar kembali ke Jogja. Sambutan yang luar biasa gembira, sudah pasti dari ibuku. Bapak dan adik-adik juga mensyukuri kembalinya aku ke Jogja. Berkumpul lagi dengan mereka.
            “Pak, rumah Pak Sonodya kok sepi?” Bapak terkejut ketika tiba-tiba aku bertanya soal rumah Rochma yang sepi.
            Dengan agak gelagapan bapak menjelaskan perihal rumah Rochma. Kata bapak, sejak Pak Sonodya tidak menjabat Kades lagi, mereka sekeluarga keluar dari desa ini dan pindah ke kota. “Dengar-dengar, Bapak e Rochma menjadi anggota partai di kota kemudian mereka memperoleh rumah dinas di sana.” Hmmm, pantas saja selama ini bapak atau ibu, juga adik-adik susah banget kalau ditanyai mengenai Rochma. Ternyata keluarga ini sudah pindah dari desaku. Sejak itu, aku mulai berburu mencari tahu keberadaan keluarga Rochma. Meskipun dekat dengan desa, aku tidak hapal menyeluruh kota Jogja. Kota yang tidak besar namun sudut-sudutnya selalu menimbulkan banyak nostalgi bagi siapa saja yang mendatanginya. Dari beberapa perangkat desa yang kutemui, aku memperoleh informasi Pak Sonodya menjadi anggota partai yang saat ini sedang berkuasa.
            Sebenarnya tidak sulit menemukan rumah Rochma apalagi ayahnya menjadi anggota partai yang sedang naik daun, menjadi anggota partai yang berkuasa. Datangi saja kantor partainya kemudian bertanya. Namun ada keengganan bagiku mencari tahu lebih tentang Pak Sonodya. Meskipun merasakan kecamuk hati ingin menjumpai Rochma, tapi setiap ingat betapa nyinyirnya Pak Sonodya, aku berpikir kembali. Apakah memang aku tidak pantas bersama Rochma?
            Pagi itu aku berangkat lebih awal. Rencananya, siang itu, Giant Supermarket Jogja akan pembukaan sekaligus peresmian gerai baru. Semua kru tanpa terkecuali diminta datang lebih awal ke toko. Persiapan pembukaan dan perdana penjualan barang-barang. Selain ada seremoni, juga ada hiburan serta pembagian door prize. Di tengah perjalanan menuju gerai, handphone bergetar di saku jaketku. Sebuah panggilan masuk, rupanya. Motor kutepikan, buru-buru menerima panggilan masuk  itu. Nomor asing yang tak kukenal karena tak muncul nama kontaknya. Tetap harus diterima siapa tahu perlu denganku. Suara pria dewasa menyapaku langsung. Menyebutkan namaku setelah ia mengucapkan ‘assalamu’alaikum’.
            “Walaikumsalam. Maaf dengan siapa ini?” balasku kemudian. Terdengar suara tertawa menjurus terkekeh. Aku diam berusaha mengingat suara di seberang sana.
            “Janganlah engkau lupakan aku, anak Jogja?”  Suara di seberang berkata begitu. Aku semakin bingung. Benar-benar tidak mengenalinya.
            Sebelum aku bertanya, sebelum aku bertambah bingung, suara di seberang berlanjut menegaskan siapa dirinya. “Ini Mohammad, Budi…. Datok Mohammad!” Astaga…. Ya ampunnn, bisikku dalam hati. Aku tak berani mengeluarkan suara keterkejutanku.
            “Maafkan aku Datok Sri.” Aku biasa menyapanya dengan sebutan Datok Sri daripada Datok Mohammad. Sementara yang punya nama lebih suka mengenalkan dirinya sebagai Mohammad.
            “Ya, ya, ya… tak apa,” ucap Datok Mohammad kemudian. “Saya nii di Jogja sekarang. Mau datangi pembukaan Gerai Giant Jogja. Nanti kita nak bertemu yaa di gerai. Jangan lupa temui aku. Ada yang mau kuberitahukan padamu, Budi.”
            Perasaanku pagi itu luar biasa senang. Bahagia dan bangga. Tak menyangka Datok Mohammad masih mau menyapaku bahkan memintaku secara khusus bertemu. Jika mau dirunut siapa aku dan siapa dia? Jauh sekali jarak status sosial kami. Aku hanya orang desa yang bekerja di salah satu perusahaan miliknya. Datok Mohammad adalah salah satu pemilik Giant Supermarket Malaysia.  Sesudah berbicara beberapa menit Datok Mohammad mengakhiri sambungan teleponnya. Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih dan berjanji akan menemuinya. Ia juga mengatakan hotel tempatnya menginap. Kalau ada waktu dan sempat, aku juga dimintanya berkunjung ke hotel.
            “Saya akan beberapa hari di Jogja. Saya juga ada rencana membeli rumah di sini. Kau tahu Bud, saya cinta dan suka dengan kota Jogja. Saya masih punya hubungan darah dengan Indonesia, dengan orang Jawa. Kapan-kapan saya cerita padamu.” Mendengar katanya, aku terkejut. Ternyata pemilik Giant masih ada darah jawanya. Aku semakin bangga padanya.
            “Nanti saya akan sering ke Jogja untuk tengok-tengok Giant sekaligus ingin jalan-jalan menikmati semua wisatanya. Kalau perlu, saya akan minta kamu menemani saya untuk keliling berjalan-jalan. Soal izin dengan bos-mu, nanti saja diurusnya.” Sesudah mengatakan itu Datok Mohammad tertawa. Dan langsung mengakhiri obrolan paginya denganku. Dengan senyum tersungging aku memacu motorku menuju gerai. Perasaanku pagi itu berbunga-bunga. Sangat tersanjung luar biasa.
            “Datok Sri Mohammad….”
***
            Motor sudah terparkir rapi di tempatnya. Aku bergegas bergabung dengan kru lain mempersiapkan acara peresmian. Sudah ada tenda besar dan luas di halaman depan. Kursi-kursi lipat juga sudah tersedia. Pemain band sedang check sound sesekali mereka mencoba memainkan lagu-lagu. Aku masuk ke dalam area gerai ikut memastikan semua sudah tertata rapi dan siap menyambut para pembeli nanti siang. Setiap sudut yang sempat aku telisik aku pastikan semuanya sudah tertata rapi. Meskipun nanti saat pengunjung sudah datang toh juga penataan akan lebur dan morat-marit. Namun demikian, kesan pertama harus dibuat sebaik mungkin, Bismillah.
            Pak Rama Maryoto, Store Manager datang mendekatiku. Ia setengah berbisik mengatakan kalau Datok Sri Mohammad berkenan hadir ke acara peresmian. Dan aku diminta olehnya untuk mengawal dan menemani selama beliau berada di sini. Ya ampun, berbunga-bunga dan tersanjungku kembali menyeruak lagi. Aku lantas ingat bagaimana pagi tadi sudah diberikan perasaan bungah langsung dari Sang Pemilik Giant, dan kini oleh Store Manager-ku aku diminta menemani pemilik supermarket ini. Alhamdulillah, ya Allah… Terima kasih atas karunia-Mu, aamiin. Aku langsung menyapu mukaku begitu ‘aamiin’ terucapkan dan ketika Pak Rama sudah pergi dari dekatku.
            Acara belum mulai namun pengunjung dan tamu undangan sudah mulai memadati halaman depan supermarket. Aku memasang mata jeli, mengawasi kalau-kalau Datok Mohammad datang. Aku juga sudah mendapatkan informasi Datok akan naik mobil yang sudah disewakan pihak supermarket. Menurut security supermarket, Datok akan naik mobil Pajero hitam ber-nopol AB 614 NT. Aku terus mengawasi pintu masuk supermarket. Selagi aku mengawasi, handphone-ku berdering kencang. Sengaja kusetel dering kencang supaya terdengar, mengingat suasana di area peresmian sangat ramai dan bising. Begitu handphone aku klik, suara di seberang langsung memberi salam dan langsung berkata, “Bud, aku hampir sampai…. Cukup ya, tunggu masuk.” Sebelum aku sempat menjawab, telepon sudah dimatikan.
            Aku bergegas mendekati pagar pintu masuk setelah mengatakan kepada security akan ada tamu kehormatan yang datang. Pak Rama Maryoto juga terlihat menyambut. Tampaknya ia juga sudah mendapat informasi kalau Datok Sri Mohammad segera tiba. Tak berselang lama terlihat Pajero AB 614 NT masuk ke halaman depan. Security yang berjaga di pagar depan langsung mengarahkan mobil Pajero ke tempat parkir yang sudah disediakan. Aku ikut menyongsong kedatangan Datok Mohammad bersama Pak Rama Maryoto. Ketika aku hendak membuka pintu mobil, Pak Rama agak menepis tanganku. Ia lalu berusaha membukakan pintu mobil. Terlihat kaki Datok Mohammad turun ke tanah. Sekilas aku melihat ada seseorang yang duduk di sebelah Datok Mohammad. Hanya karena kaca mobil gelap, sangat riben, aku tidak jelas siapa yang bersama Datok. Aku berinisiatif memutari mobil menuju pintu sebelahnya, berusaha membukakan pintu untuk seseorang yang ada di sebelah Datok Mohammad.             Sayup-sayup home band mulai memainkan lagu-lagunya. Pengunjung makin ramai dan riuh. Kursi-kursi sudah terisi, menyisakan pengunjung yang tak kebagian kursi. Tapi semuanya aman karena terpayungi tenda jadi tidak langsung terpanggang matahari yang siang itu mulai terik. Pintu mobil sebelah ternyata masih terkunci. Aku menunggu beberapa detik sebelum pintu terbuka. Aku lega ketika pintu sudah unlock dan tanganku berhasil membukanya. Ternyata sosok yang turun dari mobil seorang wanita berhijab dan memakai gamis panjang. Wajahnya tanpa riasan tebal. sapuan make-up tipis dan ia memakai kacamata minus. Selain terlihat cantik, wanita itu anggun. Aku tersenyum seraya menundukkan kepala menghormati wanita itu. Cantik dan muda istri Datok Mohammad, ucapku lirih dalam hati.
            “Selamat pagi Ibu, selamat datang di Jogja,” sapaku kepada wanita yang baru turun dari mobil. Ia membalas senyumanku. Namun anehnya, senyuman itu seperti sebuah senyuman tertahan. Senyuman yang sesungguhnya tidak mau ditampakkan. Ah, peduli apa aku dengan semuanya? Tiba-tiba saja aku menggumam begitu. Yang kupikirkan adalah menemui Datok Sri Mohammad. Menemani beliau selama di supermarket, sesuai tugas yang diberikan Pak Rama Maryoto. Wanita itu juga tampak bergegas mendekat Datok Mohammad. Tak salah lagi, itu memang istri Datok Mohammad. Pak Rama Maryoto langsung mengantar Datok dan istrinya menuju tempat yang sudah disediakan. Aku bersiaga lagi di halaman.
            Sebuah mobil Honda Genio masuk ke halaman supermarket dengan tergesa. Security langsung menyetop. Sopir mobil itu turun mengatakan sesuatu kepada security. Terlihat kepala security mengangguk-angguk tanda mengerti. Ia lalu mempersilakan Honda Genio itu parkir disebelah mobil Pajero yang tadi ditumpangi Datok Mohammad. Dari mobil keluar pasangan pria dan wanita, yang menurutku mungkin suami istri. Melihat pasangan suami istri itu, aku terkejut. Mereka tidak memperhatikan keterkejutanku. Supaya tidak memendam penasaran, aku mendekati mereka. Merasa ada yang mendekati, pria itu berkata, “Kami kerabat Datok Sri Mohammad.” Ia lantas menunjuk ke arah Datok dan istrinya yang sedang berjalan menuju tempat duduknya.
            “Pak Sonodya,” sapaku dengan sopan. Pria dan wanita itu berhenti melangkah. Menatapku dengan tatapan agak tajam dan curiga. Bisa kuketahui ia berusaha membaca name-tag yang tergantung di dadaku. Wajah pria itu mengernyitkan alisnya sebelum berkata lebih lanjut.
            “Bu Windarti,” sapaku kepada wanita itu. Wanita yang tadi ikut menatapku seperti suaminya berkata, “Budi? Kamu Budi putranya Pak Dullah Hasyim dari Desa Wonotirto?” Aku mengangguk dan menyorongkan tanganku untuk bersalaman dengan keduanya.
            “Ngapain kamu di sini?” Hmm, tampang nyinyir itu kembali kulihat lagi. Orang ini tak pernah berhenti menunjukkan tampang nyinyirnya kepadaku.
            “Saya bekerja di sini, Pak, Bu,” jawabku tetap sopan meskipun hatiku ingin berteriak. Terdengar ucapan ‘ohhh’ dari mulut Pak Sonodya. Mulutnya tetap memperlihatkan nyinyirnya.
            “Maaf kami harus masuk ke dalam.” Keduanya lantas berlalu dari hadapanku. Bu Windarti masih sempat menengok dan melemparkan senyumnya kepadaku.
            Aku hanya bisa menghela nafas. Dadaku bergemuruh, jantungku berdetak kencang, keringat tubuhku langsung mengucur deras. Aku merasakan bumi bergoyang dan lututku lemas menahan getarannya. Mataku menatap sendu ke arah tamu kehormatan. Melihat wanita yang duduk di sebelah Datok Sri Mohammad yang sangat kuhormati dan kubanggakan. Dari kejauhan aku melihat wanita itu berdiri ketika Pak Sonodya dan istrinya tiba. Ia melihat ke belakang mengikuti arah telunjuk ayahnya. Sepertinya, ayahnya sedang menunjuk aku yang terpaku di belakang. Sayup-sayup home band menyanyikan lagu legend milik Koes Plus, Andaikan Kau Datang. Mata wanita berhijab, berbaju gamis panjang terus melihatku hingga ayahnya menyuruhnya duduk.
            Andaikan kau datang kembali, jawaban apa yang kan kuberi, adakah jalan yang kau temui, untuk kita kembali lagiiii ……

            Rochmaaaa, teriakku lirih dengan dada yang masih bergemuruh. Aku cepat-cepat menyingkir ke pantry supermarket tidak kuat melihat pemandangan nyata di hadapanku. Ya Allah…, Ya Allah …..





Komentar

  1. Best slots - Dr.MCD
    The best slots · The Ultimate Guide to slot machines · The 10 Best 전라북도 출장마사지 Pragmatic Play 서귀포 출장안마 Games · The Fastest 군산 출장마사지 Payout melbet Slots · 1. Wild West 용인 출장마사지 Gold.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PIYAMBAKAN

SENGAJA DATANG KE KOTAMU

KIRIMI AKU SURAT CINTA