TM
Teror Malam
Tien setengah menggerutu saat melarikan motornya.
Penyebabnya, saat itu sudah jam 8 malam lebih beberapa menit. Belum malam
sekali, memang. Tetapi karena harus melewati 2 makam desa, tak urung
perasaannya ngeri. Bayangan kedua makam itu menggelayut di benaknya. “Semua
gegara ban motor pake bocor segala,”
keluhnya.
Sebelum melewati makam pertama, ia hentikan motornya dan
mencoba menelpon suaminya. Inginnya minta dijemput. Bukan jawaban langsung yang
didapatkannya melainkan hanya sebaris kalimat melalui pesan singkat yang
mengatakan bahwa suaminya masih mengikuti sebuah acara dan belum bisa segera
pulang. Desahan nafas Tien terdengar dikesenyapan jalan desa yang hendak
dilewatinya. Ia pun menyalakan mesin motornya dan bertekad memacu motornya
cepat-cepat. Perutnya yang melilit sejak tadi tak juga mau berkompromi lagi
dengannya. Jalan desa meskipun sudah berpenerangan cukup, tetap menyisakan
teror bagi Tien.
Satu-satunya jalan yang terdekat menuju rumahnya hanya
jalan yang harus melewati 2 makam desa itu. Ada jalan alternatif namun harus
memutar dan melewati desa tetangga. Hati Tien mendadak senang saat melihat NMAX
berplat putih keluar dari sebuah mulut gang. Arahnya sejalan menuju rumahnya.
Tien lantas memacu motornya tergesa. Berusaha mengejar NMAX yang barusan
dilihatnya. Seperti tahu dikejar seseorang, NMAX itu mengurangi lajunya. Hati
Tien tambah tenang melihatnya. Dari belakang terlihat olehnya 2 orang memakai
helm dan duduk ala pria. Sekilas mata Tien menangkap tatapan, pengendara motor
adalah pria dan wanita.
Entah kenapa nyali Tien menguat lagi. Bukannya sekarang bulan ramadan, ingatan
Tien menyeruak. Jadi segala setan pasti
dibelenggu. Takkan berkeliaran juga, omongnya dalam hati. Tien sengaja
tidak menyejajarkan motornya dengan NMAX yang dilihatnya. Ia hanya mengikuti
dari belakang. Sekali lagi NMAX itu terlihat mengurangi lajunya. Tien akhirnya
lega melihat belokan menuju rumahnya. Lampu sein
ke kanan sudah dinyalakan. Ia bersiap membelok. NMAX berhenti di sisi kiri
jalan, tepat saat Tien mau berbelok. Sekonyong-konyong terdengar teriakan dari
si pembonceng, “Hati-hati Mbak. Perhatikan jalanan di depan dan belakang.” Tien
balas berteriak mengucapkan terima kasih kepada pengendara NMAX. Ia juga
mendengar teriakan lagi, “Setan-setan terbelenggu takkan dilepas. Nggak usah takut, Mbak!” Batin Tien
kenapa sama dengan suara batinnya? Tien tak menggubris. Ia terus melajukan
motornya namun juga melihat ke belakang
lewat spion motornya. Tien terkejut melihat NMAX di belakangnya tiba-tiba
menghilang diikuti kemunculan kepulan asap putih. Buru-buru ia gas motornya
cepat-cepat.
Dan ketika melewati pos ronda hatinya menciut lagi.
Dilihatnya, suaminya bersama kedua temannya, sedang duduk di pos ronda. Melihat
Tien melintas, suaminya langsung memanggilnya. Tien tak menggubris panggilan
suaminya. Ia menggeber terus gas motornya menuju rumah.
“Dik Tien, Dik Tien....”
“Jangan, jangan, jangan dekati aku,” teriak Tien meronta,
tak mau didekati suaminya. Ia yakin sekali suaminya masih beracara dan belum
sampai rumah.
“Dik Tien, ini Mas Gik, suamimu. Kenapa Dik Tien?” Tangan
Gik berusaha memegang tangan Tien. Terdengar teriakan ‘jangaannnnn’ diikuti
isak tangis ketakutan. “Lepaskan aku, lepaskan aku...” Tien terus meronta.
Sebuah tepukan lembut mendarat di pipi Tien. Barulah Tien membuka matanya dan
mendapati suaminya ada di depannya.
“Jangaannnn...,” teriak Tien ketakutan. Suaminya
buru-buru memeluknya supaya Tien segera sadar dan terbangun dari mimpi buruknya.
Komentar
Posting Komentar