RASA ITU TAK PERNAH PADAM

Perasaanku gelisah. Padahal malam sudah hampir benar-benar melipat dirinya. Kubalikkan tubuhku, dengkuran halus terdengar dari bibir suamiku. Aku duduk bersandar di sandaran ranjang. Butir-butir halus keringat mulai menumpuk di leher dan beberapa bagian tubuhku. Ada yang basah di punggung, kurasakan begitu. Padahal lagi, pendingin ruangan kamarku terpasang dan semilir hembusannya terasa. Tapi entah kenapa, aku tetap merasa gerah. Apakah karena perasaan gelisahku yang tak bisa kutebak ada apanya?
Kutinggalkan ranjang dan suamiku, berjalan menuju kamar mandi. Sekedar ingin membasuh muka dan tubuh yang mulai basah oleh keringat "aneh". Kucomot kaos terusan dari lemari sebelum masuk ke dalam kamar mandi. Sudut mataku melihat korden jendela kamarku tersibak sedikit sebelum aku masuk kamar mandi. Aku dekati ingin merapikan sekaligus melihat situasi di luar. Gelap, namun samar-samar dari lantai 2 kamarku, aku mendengar deburan ombak Teluk Jakarta. Rumahku, terutama kamarku, memang ber-view pantai. Sudah sejak lama kuimpikan rumah seperti ini dan begitu kami memutuskan pindah, suamiku memberikan rumah ini sebagai kado pernikahan kami. Beberapa kerlip lampu di tengah laut tampak. Aku terpaku beberapa menit di situ sebelum akhirnya merapikan korden dan menuju kamar mandi. Begitu kaki menjejakkan lantai kamar mandi, tidak kusadari HP-ku yang kumode silent, lampu ungunya berpijar. Pastinya dia menandakan terus cahya ungunya selama aku berdiam diri dalam kamar mandi.
**) Kusapu wajahku begitu berdiri di depan washtafel, sambil memandangi wajahku di cermin. Tampak butiran-butiran keringat di leherku, sementara butiran di wajahku sudah larut bersama basuhan air kran. Merasakan segarnya air yang menyapu wajahku, tanpa berpikir lagi kutanggalkan kaos dan celana pendekku, dan langsung membasahi tubuhku dengan semburan air shower kamar mandi. Sembari terus mengguyur tubuh putihku, aku teringat lagu dangdut jadul yang bersyair ..."mandi kembang tengah malam." Mengingat lagu itu, tak urung membuat bibirku menyimpulkan sebuah senyuman. Senyuman di tengah perasaan yang sedang tak menentu. Tanpa ada yang mengusik, aku biarkan seluruh perasaan, hati, dan tubuhku bermanja dengan air shower. Barangkali hampir setengah jam aku menyirami tubuh polosku. Perlahan, rasa dingin mulai menyergap tubuhku. Aku bergegas mematikan air dan meraih handuk yang tergantung di sebelah kaos terusan yang tadi kucomot sebelum masuk kamar mandi. Untuk kedua kalinya, aku mematutkan diri di depan cermin. Aku mengamati bayangan tubuhku sendiri. Bayangan yang bergerak karena aku sedang mengeringkan tubuh dengan handuk.
Begitu kakiku melangkah ke luar kamar mandi, seketika tubuhku merespon hawa dingin kamarku. Padahal tadi, tubuhku digelontor keringat berbutir-butir. Kali ini malahan merasakan dinginnya suhu kamar. Kaos terusan yang kupakai agak tebal, lumayan membantu untuk mengurangi rasa dingin suhu kamar. Ranjang yang tadi kutinggalkan, kini seakan menggapai-gapai aku untuk segera menidurinya. Dan benar, aku buru-buru menenggelamkan tubuh segarku di situ. Malam itu, semakin melotot mataku.
Di dalam balutan selimut, serta suara dengkuran halus suamiku, aku iseng mengambil HP. Barulah aku menyadari jika ada pesan masuk melalui whatsapp-ku. Dari sebuah nomor bukan sebuah nama kontak. "Mama sudah nggak ada, Ni," begitu bunyi pesan japri itu kubaca. Dahiku mengernyit, berusaha mengingat nomor dan pesan yang menurutku aneh. Kutekan foto profil memperbesar gambarnya, mencari tahu siapa pemilik nomor tersebut. Sayangnya, foto profilnya tidak menunjukkan jati diri si pengirim. Tiba-tiba, "Aku besok ke Solo naik pesawat flight pagi," lanjut si pengirim pesan. 
"Doakan mama, ya...." Aku semakin penasaran membaca pesan beruntun ini. Otakku sama sekali tidak bisa mengingat siapa pengirimnya. Sengaja aku tidak mengembalikan ke mode stand by, ingin tahu apakah ada pesan susulan yang bakalan masuk. HP kupegang dengan mata terus mengawasi. Status nomor itu online. Baru lima menit kemudian nomor itu berstatus 'sedang mengetikkan' sesuatu kepadaku.
Muncullah tulisan 'KACIH', dan aku terkejut. Seperti ada energi besar yang menyedotku ketika membaca 'Kacih'. Entah kekuatan apa yang terjadi, mataku mulai membasah gara-gara membacanya.
"Tante gak nyangka, anak seusia kamu, masih SMP, trampil memasak olahan seperti ini." Kalimat ini muncul dari mulut Tante Delia, mamanya Kesuma. Saat itu, kami hendak belajar bersama di rumah Kesuma. Aku yang datang lebih awal melihat mamanya sedang sibuk di dapur. Karena sudah beberapa kali ke rumah Kesuma, mamanya kenal denganku. Cuma baru kali ini, saat ke rumah mereka aku melihat mamanya sedang sibuk di dapur, ingin membuatkan makanan untuk kami yang hendak belajar bersama. Begitu aku menyapanya dan langsung ikut membantu, mamanya nggak menyangka, justru exciting melihat aku biasa di dapur. Dan sejak ketahuan suka memasak itulah, mamanya kerap mengundangku. Tante Delia sering mengajak masak bareng. Ada atau tidak Kesuma, tidak masalah. Aku sudah dianggap seperti anaknya sendiri. Terlebih setelah tahu bahwa di antara kami akhirnya memang ada hubungan khusus. Beliau tak pernah menanyakan, namun kedekatan dan hubungan yang kian akrab sudah membuatku tahu bahwa dirinya sayang padaku.Aku pun merasa nyaman dengannya termasuk dengan papanya, juga adik-adiknya.
Malam itu, aku benar-benar terkejut membaca pesan singkat Kesuma. Kaget karena setelah lewat 30 tahun tidak pernah berhubungan, tiba-tiba dirinya menghubungi dan mengabarkan berita duka itu. Perasaanku campur aduk. Dan itu kusadari kemudian mengapa malam itu aku gelisah. Yang membuatku terkejut lagi, ternyata mamanya baru saja meninggal jam 11 malam kurang beberapa menit. Keadaan gelisah yang kurasakan sebelum memutuskan mandi tengah malam karena merasakan kegerahan. Hmmm, hanya itu yang keluar dari mulutku. Tengah malam itu, bendungan air mataku jebol, mengalirkan air di wajahku. Tiba-tiba saja melintas wajah mama Kesuma. Begitu jelas semuanya terlihat dalam padangan mataku.
Ni, mama udah nggak ada. Mama udah nggak ada, begitu pesan yang kembali Kesuma kirimkan. Perasaanku malam itu, jujur, penuh debaran sekaligus haru. Tumpang-tindih, bergantian muncul di rongga dadaku. Tak bisa kupungkiri bahwa di masa lalu, Kesuma sempat singgah di hatiku. Tak hanya singgah namun juga mengisi kebersamaan kami untuk bisa saling mengenal lebih dalam. Gara-gara membantu memasak di dapur, Mama Kesuma akrab denganku. Hampir di setiap kesempatan yang memungkinkan beliau selalu mengundangku. Kedekatan inilah yang meyakini aku bahwa hubungan kami direstui. Kami yang saat itu masih berseragam abu-abu benar-benar menjaga amanah mama, juga Papa Kesuma yang kemudian tahu.
Meskipun sudah berusaha menjaga sekuat tenaga, tetap menjaga amanah kedua orang tua Kesuma, akhirnya kami harus terpisahkan. Bukan karena saling menyakiti atau ada pihak lain yang bermain, tapi justru dari keluargakulah yang menentang hubungan kami. Selama berhubungan dengan Kesuma, aku memang tidak pernah bercerita kepada keluargaku, kecuali kepada mama. Pada mamalah aku bisa mengumbar cerita tentang Kesuma, tentang kebaikan keluarganya yang berharap hubungan kami bisa langgeng. Otoritas tunggal di keluargaku adalah papa. Ia masih memegang teguh ajaran leluhur. Tanpa kompromi sama sekali meski peradaban dan jaman sudah berubah. Larangan yang kutentang setengah mati, meski pada akhirnya aku pasrah karena tidak bisa melawan kehendak papaku. Tak ada pilihan bagiku untuk melawan. Papa sudah berbulat hati, sekali aku tetap berhubungan dengan Kesuma, maka ia akan mencoretku dari daftar keluarga besar Chan. Tak ada yang berani menentang kehendak papa, tak juga mamaku, yang secara moral ia sangat mendukung hubunganku dengan Kesuma. Dan untuk menghalangi aku tetap berhubungan secara sembunyi-sembunyi, begitu naik kelas 2 SMA, papa mengirimkan aku ke Hongkong. Aku disuruh meneruskan sekolah di sana dan tinggal bersama adik papa.
Tante Merry dan Om Chris mengetahui kisah cintaku dengan Kesuma. Ia justru sependapat denganku dan dengan mama, yang membiarkan aku memilih pasangan hidupku yang sesuai keinginan hatiku. Sudah tidak jaman membeda-bedakan status apalagi suku. Karena kita adalah orang Indonesia. Lahir, hidup, besar, dan pasti akan mati di tanah ini. Jarak ribuan kilometer akhirnya benar-benar memisahkan aku dengan Kesuma, juga dengan mamanya yang masih kusayangi hingga aku sudah bersuami dan berkeluarga.
Malam itu, aku hanya bisa sesenggukan kecil, menderaikan air mata mengingat semua kenangan bersama Mama Kesuma, juga sosok lelaki yang aku sayangi. Aku kemudian memilih bangkit dari ranjang, dan menuju ruang keluarga. Aku tidak mau suamiku terbangun dan melihatku berurai air mata. Sejauh pernikahanku dengannya, aku memang tidak pernah menceritakan masa laluku bersama Kesuma. Sambil menyeduh coklat panas, aku habiskan waktu malamku dengan hanya duduk di sofa depan televisi. Hanya lantunan doa yang bisa kukirimkan untuk Mama Delia. Setiap air mataku kering, secara otomatis mataku berurai lagi hanya gara-gara aku mengenang beliau.
HP tetap kubawa dan kupegang. Sejak Kesuma mengirimkan pesan, belum satu pun aku membalasnya. Ketika perasaanku lebih tenang, baru aku membalas pesan Kesuma. Lagi-lagi, pesan Kesuma datang. "Ni, seminggu terakhir, mama selalu menanyakanmu. Mama pingin banget bertemu denganmu." Membaca pesan itu, aku kembali berderai air mata. Mama sayang padamu, Hua Ni, pesan yang kembali hadir dalam obrolan whatsapp dari Kesuma. Aku hanya bisa menghela napas membaca semua pesan itu. Akhirnya, jari-jariku memberanikan diri membalas pesan-pesan itu. 
"Aku juga sayang Mama, sampai kapan pun."
Tak berapa lama setelah pesan aku kirimkan, terlihat Kesuma sedang mengetikkan balasan. Dan pesan yang dikirimkan kepadaku membuat aku menderaikan lagi air mataku. "Aku masih tetap sayang padamu, Hua Ni...." Berikutnya, muncul sebuah foto. Ya ampunnn, aku tidak menyangka. Kesuma mengirimkan foto dan objek yang difoto adalah sebuah stick es krim yang dibuat sedemikan rupa. Tertera tulisan KACIH dengan logo hati di kiri dan kanannya.
Mataku terpejam, suksmaku secepat kilat melesat kembali ke bangku SMP. Dan ketika terbuka, aku sudah berada di ruangan kriya di SMP kami dulu. Di situ, aku sedang melihat Kesuma sedang menuntaskan pekerjaan tangannya. Hasilnya, yang kemudian ditunjukkan kepadaku. Stick bekas es krim, yang sudah disulapnya menjadi sesuatu yang menjadi pengikat di antara kami. Stick bekas es krim bertuliskan KACIH dengan logo hati. "Ini buatmu," kalimat itu yang aku ingat begitu Kesuma selesai membuatnya. Kacih...Kata itu benar-benar mengikat kami, membuat kami saling ingat. Oleh karena itu, meski tadi saat Kesuma mengirimkan pesan tanpa nama kontak, dan begitu ia menyebutkan nama Kacih, aku langsung mengingatnya.
KACIH, Kesuma Cinta Hua Ni.
Stick bekas es krim pemberian Kesuma, sudah raib entah kemana. Tapi, Kesuma masih rapi menyimpannya. Prasasti ikatan cintaku dengannya, rupanya masih disimpannya dengan baik. Sementara aku, tidak menjaganya bukan karena enggan, tapi kepindahanku ke Hongkong, beberapa tahun yang lalu, yang membuat aku kehilangan simbol cinta kami. Namun yang terpenting, stick bekas es krim itu hingga kini masih melekat dihatiku. Rasaku padanya tak pernah padam meski aku sudah milik orang lain.
Dan malam itu, nun jauh dari Solo, aku hanya bisa termenung, menangisi kepergian Mama Delia. "Andai kamu tidak di Medan. Andaikata kamu dekat dengan Solo, pasti kamu mau menghadiri pemakaman mama. Bukan begitu, Ni?" Pesan Kesuma yang muncul di HP-ku.
"Besok pagi, dengan penerbangan pertama, aku ke Solo. Kirimkan doa tulusmua ya untuk mamaku. Mama yang tetap menyayangimu sampai akhir hayatnya." Aku tak menjawab pesan Kesuma, karena air mataku menderai lagi. Sedihku bertambah-tambah lagi.
Selamat jalan Mama Delia, Mamaku sayang.....



Komentar

Postingan populer dari blog ini

PIYAMBAKAN

SENGAJA DATANG KE KOTAMU

KIRIMI AKU SURAT CINTA