A.D.A.R.
ASA DI AKHIR RAMADAN
Ades
bertekad mengikuti i’tikaf di masjid. Ia barusan membaca selebaran mengenai
i’tikaf di masjid depan pendopo pemkot. Meskipun sudah terlewatkan 2 malam,
Ades tetap ingin menghabiskan akhir ramadan di masjid ini. Dilipatnya brosur
itu kemudian disimpan dalam tas mukenanya. Ia mulai menenggelamkan diri dalam
lautan doa. Matanya beranjak mengatup. Tangannya menengadah ke atas. Mulutnya
mulai merapal doa-doa lembut dalam hati. Ketika bibirnya mulai melantun Bismillah, sekonyong-konyong ada beban
yang menimpanya. Bubar semua kekhusyukan yang mulai diciptakannya. Matanya
membelalak cepat. Dan kata astaghfirullah
mendadak keluar dari bibir merah tipisnya.
Seorang anak kecil berusia sekitar 3—4 tahunan menduduki
kedua pahanya yang bersila. Kedua tangan anak itu mendekap tubuhnya. Kepala
anak itu langsung membenam di dadanya yang debaran jantungnya mendadak cepat.
Otaknya blank sebelum bereaksi atas
kejadian tiba-tiba ini. Dan ketika Ades berniat menggeser duduk bersilanya, pelukan
erat ditubuhnya menjadi. Kedua tangan anak itu mendadak mengeratkan pelukannya.
Dan ketika kesadarannya mulai terasa, matanya bergerak cepat melihat siapa anak
kecil itu. Ia berkelamin pria. Rambutnya mengombak. Wajah tampannya agak bulat.
Dan kulitnya putih bersih. Dari bibirnya mengalun suara berisik yang tak
dimengerti Ades. Seperti seseorang mengerang, tapi bukan erangan kesakitan. Lebih
tepatnya bagai orang meracau tak jelas makna.
“Ziqi...,” terdengar suara panggilan. Dari arah depan,
dekat kain pembatas jama’ah pria dan wanita muncul seorang pria dewasa dan
seorang anak perempuan. Keduanya clingukan
mencari anak bernama Ziqi. Keduanya sempat terdiam sesaat begitu melihat
anak bernama Ziqi itu ada dalam pangkuan Ades. Anak perempuan yang kira-kira
berusia 6 tahunan itu dengan cepat menerobos kain pembatas. Mendekati Ades.
“Adek
Ziqi, ayo kita pulang,” ajak anak perempuan itu setelah minta maaf kepada Ades.
Bukannya melepas pegangan, anak laki-laki bernama Ziqi itu
justru mengencangkan pegangannya. Ades langsung sadar, kedua orang yang datang
adalah kerabat anak laki-laki bernama Ziqi. Ades coba mengulas senyum kepada
pria dewasa yang masih tampak mematung di dekat kain pembatas jama’ah. Pria itu
membalas senyuman Ades seraya kedua tangan menelungkup di depan dagunya yang
dekik membelah. Anak perempuan yang berada di dekat Ades lantas mengucapkan
maaf kedua kalinya. Ades mengangguk, menjawab permintaan maafnya seraya ia
membagikan senyuman juga.
“Sudah biarkan sama tante dulu, adeknya.” Kalimat itu
keluar spontan dari bibir Ades.
Saat itu, jama’ah wanita menyisakan Ades dan seorang lagi
yang berada di belakang. Agak jauh dari Ades duduk bersila. Pria dewasa yang
tak lain adalah ayah anak laki-laki itu, mendekati kain pembatas. Mendekat ke
arah Ades yang masih dipeluk erat Ziqi anak laki-lakinya.
“Maafkan anak saya,” ujar pria itu. Ades hanya mengangguk
lagi. Anak perempuan yang berada di dekat Ades, pastinya kakak si Ziqi. Ia
masih berada di dekat Ades, menunggu adeknya melepaskan pegangan dari tubuh
wanita yang baru dikenalnya.
Dari obrolan singkat mereka, tahulah Ades kalau Ziqi anak
berkebutuhan khusus. Ziqi anak autis. Pantas suaranya meracau tak jelas, batin
Ades sekelebat. Dan sebelum menjelaskan tentang Ziqi, pria dewasa itu sudah
memperkenalkan dirinya sebagai Ilyasa
Faiz Syahputera*. Ades lantas minta Ilyas menunggu sebentar. Ia hendak
melepaskan mukenanya dulu. Walau agak kesulitan melepaskan pegangan Ziqi, Ades
bisa meyakinkan Ziqi. Anehnya, sesudah Ades melepaskan mukena, Ziqi kembali
memeluk erat tubuhnya.
“Itu ayah dan kakak mau ajak Ziqi pulang,” bujuk Ades.
Tak ada reaksi dari Ziqi. Dengan tenang Ziqi tetap menenggelamkan kepalanya di
dada Ades. Kedua tangannya tetap memeluk Ades erat-erat. Perlahan-lahan Ades
berusaha berdiri, sementara Ziqi tetap dalam pelukannya. Sabilla Ramadhani, kakak Ziqi, melihat Ades
berdiri menggendong adiknya, langsung berinisiatif membereskan bawaan Ades.
“Makasih sayang,” spontan keluar ucapan terima kasih dari
bibir Ades. Billa mengangguk pelan. Setelah beres, Billa membawa tas Ades. Ia
mengikuti Ades yang keluar dari tempat salat jama’ah wanita. Ilyas tetap
berdiri menunggu di dekat kain pembatas. Dengan cepat Ilyas langsung bereaksi
begitu Ades sudah berada di dekatnya. Ia hendak merengkuh Ziqi. Namun Ades
menyambut rengkuhan Ilyas dengan gelengan kepala pelan.
“Biarkan Ziqi bersama saya dulu,” ujar Ades. Ia lalu
minta Ilyas mencari tempat supaya mereka bisa duduk. Di pelataran depan masjid
ada dudukan berpayung lebar. Ilyas mengajak Ades dan Billa ke sana. Pada saat
mereka sudah duduk, sekali lagi Ilyas minta maaf. Kembali Ades mengulas senyum
kepada Ilyas. Entah kenapa, ketenangan Ziqi dalam pelukannya juga menimbulkan
kedamaian dihati Ades. Sebuah perasaan nyaman yang baru kali ini ia rasakan.
Sekelebatan Ades mengingat apa yang baru saja terjadi. Akhir
bulan Sya’ban kemarin, mestinya menjadi hari membahagiakan. Ternyata
kebahagiaan dirinya mendadak pupus. Terhempas begitu saja. Lamaran Jamie yang
sudah direncakan jauh hari mendadak dibatalkan. Pertunangan mereka 6 bulan lalu
bagai tak bermakna. Ades juga tidak mengerti mengapa Jamie membatalkan
lamarannya. Ia pun enggan menanyakan apa penyebabnya. Hatinya kadung perih dan berduka.
Dua kali sudah hati Ades dikecewakan. Sebelum dengan
Jamie, ia pun telah mengalaminya kala lamaran Arafuddin, pria Makasar, ditolak
orang tuanya. Oleh karena pengalaman tak mengenakkan itu, di hari-hari terakhir
ramadan Ades bertekad membenamkan dirinya di haribaan Allah. Ia ingin
meleburkan hati dan perasaannya di masjid depan pendopo pemkot. Sebuah masjid tempatnya
berkeluh-kesah jika gundah melanda hidupnya. Apalagi usianya juga sudah
melewati angka 40 tahun. Tepatnya 42 tahun sudah ia mengenyam kesendirian dan
duka. Beruntungnya Ades bisa menyikapi perjalanan hidupnya dengan bijaksana.
Sesuai dengan namanya Adresia Hayatul
Hikam, yang artinya: perempuan yang
dapat membaca dan menyikapi fenomena kehidupan dengan bijaksana. Bahwa
semua kejadian selalu ada campur tangan Allah. Ia pun pasrah namun tetap berdoa
dan berikhtiar sesuai ketentuan Tuhannya.
Geliat pelan Ziqi mengagetkan lamunan Ades. Terlebih
Ilyas ternyata memperhatikannya terus. “Biarkan Ziqi saya gendong,” pinta
Ilyas. Geliat Ziqi ternyata sekaligus membuka matanya. Tahu ayahnya hendak
mengambil dari pelukan Ades, Ziqi berontak dan berteriak dengan suara
“anehnya”. Ilyas mengurungkan niatnya. Kedipan mata Ades juga menyurutkan niat
Ilyas merengkuh Ziqi. Billa duduk diam melihat semua tersaji di depan matanya.
Namun tak urung ia juga berucap, “Tante nggak
apa-apa menggendong Adek Ziqi?”
Ades menggeleng pelan, “Biar Adek Ziqi tenang dulu
ya....” Anggukan kepala Billa diikuti senyum keheranan. Pikiran Billa
berkecamuk dikepalanya. Bagaimana mungkin adeknya mau dipeluk orang asing!
Selama ini dengan kerabat saja Ziqi tidak mau digendong apalagi dipeluk.
Menyaksikan Ades dengan tenang menggendong dan memeluk Ziqi, itu sebuah
keajaiban untuknya dan ayahnya.
Kumandang azan isya bergema nyaring.
“Pak Ilyas, sebaiknya bapak dan Billa salat duluan. Kalau
diperkenankan, biarkan Ziqi saya yang menjaganya,” pinta Ades.
Melihat anak bungsunya tenang dalam pelukan Ades, Ilyas
tak berkomentar lagi. Ia hanya mengiyakan permintaan Ades dan bergegas menuju
masjid bersama Billa anak perempuannya. Tanpa mereka sadari, Ziqi melepas
pelukannya dari Ades. Meneriaki ayah dan kakaknya dengan suara “anehnya”
sekaligus tangannya melakukan gerakan melambai. Ilyas yang melihat kejadian itu
dadanya berguncang. Tanpa terasa ada yang merembes di ujung matanya. Ia
menangis.
Hingga Ilyas dan Billa selesai menunaikan salat isya,
Ziqi tak mau lepas dari pelukan Ades. Segala bujuk, rayuan Ilyas dan Billa tak
mempan pada Ziqi. Ades pun tidak mempermasalahkan waktu isyanya tertunda.
“Nggak apa-apa Pak Ilyas. Asal Ziqi tenang, saya tidak merasa direpotkan.”
“Maaf, sekali lagi maaf. Jadi merepotkan Mbak Ades yang
mau isya, tarawihan serta i’tikaf,” kata Ilyas mengulang-ulang. Ades hanya
membalas dengan senyuman. Batinnya yang mendadak nyaman dan tenang, membuatnya
tetap mempertahankan Ziqi dalam pelukannya.
“Maaf, kami sudah terlalu lama di sini. Ziqi belum makan,
juga Billa. Biarkan saya paksa menggendong Ziqi,” mohon Ilyas. Mendengar
kata-kata Ilyas, Ziqi berontak dan berteriak dengan rancauan anehnya lagi.
“Sepertinya Ziqi menolak Pak Ilyas. Kalau tidak
keberatan, izinkan saya ikut pulang ke rumah bapak.” Ades spontan menawarkan
diri. Mata Ilyas menatap Ades beberapa detik. Terdengar desahan nafas Ilyas
kemudian. Namun sebelum Ilyas menjawab, Billa sudah mendahului menjawab,
“Biarkan Tante Ades ikut kita pulang, Yah. Tampaknya Adek Ziqi tenang bersama
Tante Ades.” Ilyas memalingkan kepalanya, melihat ke arah Billa. Senyum anak
perempuannya itu memberikan setrum positif.
“Baiklah.... Semoga tidak merepotkan Mbak Ades.” Seperti
yang tadi-tadi, Ades hanya mengumbar senyum manisnya. Dalam hatinya ia bicara, alhamdulillah Engkau masih memberiku
kesempatan berbuat baik kepada anak kecil ini, aamiin.
Mau tidak mau Ades menerima tawaran Ilyas untuk makan
malam di rumahnya. Ades pun ikut menyuapi Ziqi meskipun ia tak banyak makan.
Agak susah menyuapi Ziqi karena polahnya yang tak mau diam sejenak. Ades sempat
menyelinap sebentar ke kamar mandi saat Ziqi bermain dengan Billa. Namun ketika
menengok ke arah sofa tak ada Ades, ia pun berteriak kencang kemudian menangis.
Walhasil, Ades tertahan beberapa jam di rumah Ilyas. Dan ketika Ziqi mau diajak
bermain Billah, Ades leluasa mengobrol dengan Ilyas. Dan dalam sekejap Ades
mengetahui kondisi Ziqi, termasuk cerita mendudanya Ilyas.
“Bundanya Ziqi dan Billa baru 2 bulan lalu meninggal. Jantung,
kecapekan dan stress berat. Ziqi sangat dekat dengan bundanya karena istri saya
itu sangat telaten mengurusi Ziqi. Termasuk menemaninya terapi ABK,” papar
Ilyas ketika mulai mengobrol dengan Ades. Berulang kali Ilyas harus minta maaf
pada Ades untuk situasi yang terjadi malam itu. Ades bersimpati dengan keluarga
Ilyas setelah mendengar ceritanya.
Oleh karena dirasa sudah cukup mendengar cerita dan
menemani Ziqi, dan Ziqi pun sudah tertidur, Ades berpamitan. Sudah hampir jam
11 malam. Ades sempat menolak tawaran Ilyas yang akan mengantarkannya pulang.
Akan tetapi karena Ilyas memaksa dan mengatakan tak baik seorang perempuan
pergi sendirian malam-malam, Ades mau diantarkan pulang. Ades lalu minta
diantarkan ke masjid depan pendopo pemkot.
“Saya memang mau menghabiskan sisa ramadan di sana.
Sekalian i’tikaf. Lagi pula saya sudah mengambil cuti tahunan. Jadi libur saya
lebih lama jika ditambah cuti bersama,” jawab Ades ketika Ilyas menanyakan
kenapa harus balik ke masjid.
Mobil Ilyas melaju meninggalkan rumahnya setelah Ades
memastikan Ziqi tidur pulas. Ilyas hanya mengantarkan sampai depan masjid
sesuai permintaan Ades. Seraya mengucapkan terima kasih sudah diantarkan, Ades
memberikan kartu namanya. Ilyas gantian memberikan kartu namanya juga. Semoga
Ziqi baik-baik saja ya, begitu harapan Ades kepada Ilyas.
“In
sha allah. Sekali lagi terima kasih,”
ucap Ilyas yang langsung berpamitan pulang. Mobil pun menghilang di belokan
ujung jalan. Mata Ades mengawasi mobil Ilyas hingga tak tampak lagi. Ia pun
bergegas masuk ke dalam masjid. Malam itu sudah jam 12 lebih 10 menit. Ades
sudah mengambil posisi yang menurutnya nyaman untuk melaksanakan i’tikaf.
***
Ades tak beranjak dari duduknya sesudah mendengarkan
kultum subuh. Tangannya masih memutar tasbih yang sejak semalam tak pernah
lepas dari tangannya. Nyaris semalaman Ades tak memejamkan matanya. Dan ketika
jari-jari tangannya masih memutar tasbih, kesadarannya mulai mengendur. Tasbih
pun berhenti berputar seiring matanya mengatup. Posisi duduknya setengah
menunduk. Membentuk huruf U. Entah kenapa muncul kelebatan-kelebatan bawah
sadarnya. Mulai dari Arafuddin, Jamie, perseteruan dengan ibunya, peristiwa
nyaris diperkosa, sampai ancaman bos temannya yang hendak menjadikannya istri
kedua. Bawah sadar akan muncul apabila ada pemicunya di alam sadar. Ades
seperti sedang mendengarkan cerita kerasulan Nabi Yusuf AS. Nabi tampan yang
digilai isteri pembesar kerajaan yang sengaja menjebaknya.
Ades tersentak kaget. Ponselnya bergetar keras
berulang-ulang penanda ada panggilan masuk. Ponsel ada dalam kantong bajunya
yang tertutup mukena. Panggilan masuk dari sebuah nomor yang tak dikenalnya.
Dengan suara perlahan Ades menerimanya, “Assaalamualaikum.”
“Walaikumsalam, saya Ilyas, ayahnya Ziqi. Maaf pagi-pagi menelpon Mbak
Ades,” suara di seberang terdengar agak terburu. Ades masih setengah sadar dari
bangun tidurnya, dan hanya menjawab pendek, “Ohya, iyaa...iya, tidak apa-apa.
Ziqi kenapa?” Entah kenapa Ades langsung menanyakan Ziqi begitu tadi
samar-samar mendengar nama Ziqi disebutkan.
“Agak rewel,” ujar Ilyas. Ades pun mendengar suara
tangisan dari ponselnya. “Saya mengganggu ya?” tanya Ilyas kemudian.
“Oh nggak. Ini saya baru bangun tidur. Tadi sempat
ketiduran sehabis subuhan. Saya juga masih di masjid.”
“Oh maaf, maaf banget,” kata Ilyas lagi. Namun
karena jawaban Ades ringan dan seperti tidak apa-apa, Ilyas berani melanjutkan
obrolannya.
“Apakah Mbak Ades nggak keberatan jika saya ajak ke rumah
lagi? Tampaknya Ziqi mencari-cari Mbak Ades.” Suara Ilyas terhenti sebentar.
“Tadi sewaktu Ziqi tantrum, saya buru-buru mengambil
kartu nama Mbak Ades. Namun ketika kartu nama Mbak Ades terlihat oleh Ziqi, ia
menangis keras sambil telunjuknya menunjuk kartu nama Mbak Ades. Buat kami ini
sebuah keajaiban.”
“Mbak orang asing, yang baru dikenal Ziqi, tapi entah
kenapa Ziqi bisa cepat akrab. Menunjuk kartu nama Mbak Ades juga sesuatu yang
ajaib menurut saya.” Ades tak mendengar suara tangisan lagi.
“Ini bukti yang lain. Ketika saya telpon Mbak Ades, dan
menyebut nama Mbak, Ziqi langsung berhenti menangis bahkan tantrumnya juga
berhenti.”
Tantrum, orang asing, berhenti menangis, semuanya
berkecamuk dalam otak Ades. Namun begitu kesadarannya pulih dan ia merasakan
terpaan matahari pagi, Ades langsung sigap menjawab, “Boleh kalau Pak Ilyas mau
ajak saya ke rumah lagi. Sekalian saya numpang mandi.” Ades bercanda sedikit
dengan mengatakan ingin menumpang mandi.
“Tentu boleh dong mandi di sini,” terdengar suara tertawa
riang Ilyas. “Setengah jam lagi saya jemput di masjid. Terima kasih sebelumnya.
Sekali lagi maaf telah merepotkan Mbak Ades lagi.”
“Pak Ilyas, boleh saya video call melihat Ziqi? Tapi maaf, muka saya masih kucel.” Tiba-tiba Ades ingin melihat
Ziqi yang semalam sempat menyamankan hatinya.
Tak berselang lama video
call muncul di ponsel Ades. Ada yang menyusup dalam batin Ades ketika
melihat Ziqi, apalagi saat Ziqi menyentuhkan jarinya di layar ponsel ayahnya. Ades
membalas sentuhan jari Ziqi dengan melambaikan tangannya. Ada kepuasaan
tersendiri dalam hati Ades melihat Ziqi tersenyum. Ades pun menyapa Ziqi. Dan
jawabannya barisan kata-kata “aneh” yang keluar dari mulutnya. Sebelum
mematikan sambungan video call, Ades
meletakkan dua jarinya di depan bibirnya sambil mengatakan, “Nanti tante ke
rumah ya.... Ziqi nggak boleh rewel ya....” Energi apa yang menyentuh Ziqi,
anak kecil 3 tahunan itu menganggukkan kepalanya, membalas ucapan Ades. Ponsel
pun dimatikan Ades.
Aneh,
sungguh aneh. Ziqi sama sekali tidak menangis atau rewel begitu Mbak Ades
mematikan video call tadi, begitu pesan
singkat yang dikirimkan Ilyas.
“Alhamdulillah
ya Allah....” Hanya kalimat itu
yang bisa Ades ucapkan. Ia pun membereskan perlengkapan salatnya dan bersiap dijemput
Ilyas.
Ziqi berlari riang menyambut kedatangan Ades di rumahnya.
Billa juga tersenyum berjumpa Ades lagi. “Selamat pagi, Tante,” sapa Billa
seraya mencium tangan Ades. Perasaan Ades pagi itu membuncah. Dadanya berdegub
kencang tiba-tiba. Duka laranya atas beberapa peristiwa yang sempat muncul
dalam tidur sesaatnya subuh tadi, sirna seketika. Justru menyisakn bongkahan
berkilauan yang menerangi dadanya. Ades hanya bisa mengucapkan syukur atas
nikmat yang tiba-tiba Allah berikan untuknya. Mustajabnya 10 hari terakhir
ramadan, barangkali sedang menjajah hati dan perasaan Ades. Dan, Ades
menikmatinya sesungguh-sungguhnya.
Puas menciumi Ziqi dan memeluk Billa, Ades izin untuk
mandi. “Badan tante pliket sekali,”
ujarnya kepada Billa. Ziqi mengelendot mesra di kaki Ades. Ilyas yang duduk di
sofa benar-benar tidak paham melihat fenomena di depan matanya. Sebagai orang
asing kenapa Ziqi tak menganggapnya asing? Ziqi pun tak memegangi Ades lagi ketika
ia mengatakan hendak mandi. Ilyas sekali lagi hanya menggaruk kepalanya yang
tak gatal. Aneh, luar biasa, menakjubkan,
batinnya. Dari ekor matanya, langkah Ades menuju kamar mandi ia perhatikan.
Mendadak Ilyas terdiam, matanya menerawang ke langit-langit rumahnya.
Diambilnya kartu nama Ades. Dibaca ulang nama lengkap
Ades: Adresia Hayatul Hikam. Mulutnya komat-kamit mengeja nama Ades. Dahinya
mengernyit seperti sedang mengingat sesuatu. Matanya mendadak terbelalak. “Billa,
tolong ambilkan ponsel bunda di kamar ayah!” perintahnya. Mendengar perintah
ayahnya, Billa bergegas ke kamar meninggalkan adiknya yang asyik bermain. Ilyas
langsung membuka sebuah catatan di ponsel isterinya. Semula ia tak mengerti
maksud catatan itu. Tampaknya, catatan itu ingin dikirimkan kepada Ilyas, namun
isterinya itu kadung comma sebelum
akhirnya meninggal karena sakit.
Mas,
aku punya kakak kelas SMA, namanya Adresia Hikam. Kata teman-teman, Mbak Adres
terapis anak berkebutuhan khusus. Coba Mas Ilyas tanya Wirda temanku SMA. Mas
Ilyas masih ingatkan? Wirda mengetahui keberadaan Mbak Adres. Kalau ada apa-apa
denganku, mintalah tolong Mbak Adres untuk menangani Ziqi. Orangnya baik dan
ramah. Sayangnya, kata teman-teman, dia belum menikah. Kasihan...
Ilyas membaca ulang catatan isterinya itu. Wasiat itu
belum dilaksanakannya. Ia juga belum menghubungi Wirda, teman isterinya, yang
mengetahui keberadaan Adres. Apa mungkin
Adres yang dimaksud Mira adalah Mbak Ades? Gumam Ilyas. Sosok yang sedang
dipikirkannya keluar dari kamar mandi. Selesai mandi. Ades tersenyum melihat
Ilyas yang duduk santai.
“Terima kasih kamar mandinya. Maaf merepotkan,” ucap Ades
seraya agak mematutkan hijabnya. Ia langsung duduk di hadapan Ilyas yang
memerhatikan seksama.
“Ada yang tidak pas dengan penampilan saya, Pak Ilyas?”
Kalimat itu spontan meluncur dari mulut Ades. Ilyas buru-buru menggeleng. Agak
malu, tatapannya ketahuan Ades.
Ades langsung memerhatikan Ziqi yang bermain ditemani
Billa. Tatapannya teduh, menyejukkan, sesekali terlihat tersenyum, dan melambaikan
tangannya ke arah Ziqi. “Saya boleh menanyakan sesuatu?” Ilyas menyela
konsentrasi Ades. Kepala Ades bergerak lalu matanya menatap Ilyas. Bersiap
mendengar pertanyaan Ilyas selanjutnya.
“Apakah Mbak Ades terapis ABK? Kenal sama Demira Anjana?” tanya Ilyas hati-hati.
Meskipun bibirnya tersenyum, wajahnya menujukkan keterkejutannya. Ia lalu menjelaskan
kalau dirinya bukan terapis ABK, melainkan fisioterapis.
“Pasien saya rata-rata orang dewasa yang mengalami
gangguan karena stroke. Demira?” Wajahnya seperti mengingat seseorang. Sebelum
akhirnya ia menjawab, “Demira yang sekolah di SMA Muhammadiyah V?” Ilyas
mengangguk pelan.
“Demira isteri saya. Bundanya Billa dan Ziqi.” Seraya
menjelaskan siapa Demira, Ilyas menunjukkan foto yang tergantung dekat
kamarnya.
“Pantas setelah selesai mandi dan melihat foto itu, saya
seperti mengenalinya. Mira adik kelas saya waktu SMA. Mira panggilannya, kan?” tanya Ades diikuti anggukan kepala
Ilyas. Keduanya sempat terdiam sebelum akhirnya Ilyas menunjukkan pesan isterinya
kepada Ades. Ades sontak takjub membaca pesan Mira tersebut. Namun yang menggelitik hatinya justru tulisan
Mira yang mengatakan ia belum menikah. Apa
maksudnya? Pikir Ades. Namun buru-buru ditepiskan pikiran itu dan
melanjutkan obrolan dengan Ilyas.
“Tapi Ziqi sudah menjalani terapi, kan, Pak Ilyas?” Ilyas hanya mengangguk pelan.
“Akan tetapi, saya tidak mengerti kenapa Ziqi bisa dekat
dengan Mbak tiba-tiba. Padahal selama ini betapa susahnya Ziqi dekat dengan
orang lain kecuali saya dan kakaknya. Dengan orang tua dan mertua juga dekat tapi langsung akrab dengan Mbak Ades, itu sesuatu banget.” Ades menyimak seksama
penuturan Ilyas. Matanya menatap Ilyas yang juga melihatnya.
Mata
yang teduh, menenangkan hati,
bisiknya sendiri. Setelah membatin begitu, ia merasakan denyut jantungnya
meningkat. Dan untuk mengenyahkan denyut itu Ades membuang nafasnya. Ilyas
diam-diam memerhatikan tingkah-laku Ades.
Ziqi datang mendekat, langsung mengelendot di pangkuan Ades tanpa canggung. Ilyas lagi-lagi
melihat sesuatu yang di luar kebiasaan Ziqi terhadap orang asing. Matanya
mengedip ke arah Ades. Kepala Ades mengangguk, menangkap maksud Ilyas. Tangan
kanannya kemudian mengelus kepala Ziqi perlahan. Billa ikut bergabung dan
langsung duduk di sebelah Ades. Dengan spontan tangan kiri Ades langsung
memeluk Billa. Anak pertama Ilyas ini meletakkan kepalanya. Ilyas tak bisa
menduga-duga apa yang sedang terjadi pada diri kedua anaknya itu.
“Kalau tak keberatan, bolehkah saya sering main ke sini,
Pak Ilyas?” Ilyas kalah cepat menjawab karena Billa sudah berteriak, “Boleh
tante!” Ziqi berteriak dengan suara anehnya ketika kakaknya menjawab pertanyaan
Ades.
“Tanya ayah dulu dong?” Bibir Ades tersenyum. Billa
berpaling kepalanya ke arah ayahnya, dan di sana ia mendapatkan senyum ayahnya
membentuk bulan sabit. Kepalanya mengangguk. Terdengar desahan nafas Ades lagi.
“Ada apa Mbak Ades?”
“Doa saya sepertinya dijawab Allah. Bisa membahagiakan orang
lain. Bukan suatu kebetulan bertemu keluarga adik kelas saya, Mira. Semoga silahturahmi
ini tetap langgeng adanya.” Ilyas mengamini ucapan Ades.
“Oh iya, nama Ziqi siapa, Pak Ilyas?”
Kali ini, Ades tak bisa menyembunyikan derai air matanya
begitu Ilyas menyebut nama Behzad Haziq
Shaquile dan menjelaskan artinya, “Seorang anak lelaki tampan yang memiliki
kecerdasan dan kejujuran hati.” Ades langsung teringat mimpi subuhnya tadi.
Mimpi tentang Nabi Yusuf AS yang tampan, cerdas, dan berhati jujur.
Melihat Ades menangis, Ilyas tak berani bertanya lebih
jauh. Namun dalam derai air mata itu, Ilyas melihat kebeningan hati yang akrab
dalam kesehariannya, sebelumnya.
“Tante Ades kenapa menangis?” Suara Billa menyeruak.
“Ndaaaa....” Suara berintonasi meninggi terdengar.
Mengagetkan ketiganya di sofa itu. Ilyas hanya terpana melihat suara itu keluar
dari mulut Ziqi. Spontan ia memeluk ketiganya.
H.A.B.I.S
Komentar
Posting Komentar