MK-26


MALAM KEDUA PULUH ENAM

“Idiih, ayah menangis. Ayah cengeng...,” anakku memergoki aku sedang menangis. Menjelang berbuka puasa di suatu ramadhan, saat itu aku sedang memegang dan membaca buku berjudul Dahaga. Sebelumnya kulihat anakku sedang asyik di depan komputer, browsing tentang lailatul qodar. Istriku sedang di belakang menyiapkan menu berbuka untuk kami sekeluarga.
Aku jelas kaget tiba-tiba dia mengatakan aku sedang menangis. Kukatakan padanya aku tidak menangis namun terharu. “Kalau ayah menangis tentu air matanya mengalir deras. Emang Abel lihat air mata ayah banyak yang keluar?” tanyaku padanya. Anakku hanya menggelengkan kepalanya. “Tapi benar kan, ayah menangis walaupun air matanya cuma dikit?” Pertanyaannya hanya ingin mempertegas keadaanku saat itu. Aku memeluknya dengan hangat, kemudian mengajaknya bicara.
Hari itu hari minggu. Setelah seharian kami disibukkan tugas masing-masing, sore itu sekitar jam setengah lima aku sengaja bersantai sambil membaca buku Dahaga. Dua hari lagi lebaran akan tiba. Setiap tahun, setiap menjelang dua hari lebaran, aku selalu ingat peristiwa yang mengubah diriku hingga aku menjadi seperti sekarang ini. Sudah sejak minggu kemarin  Abel menanyakan tentang lailatul qodar. Tema ini pun selalu jadi materi “rohani” para pengisi ceramah tarawih diberbagai masjid menjelang 10 hari terakhir. Mereka semua berlomba-lomba menjelaskan makna lailatul qodar ini. Intinya, rugi jika kita sebagai umat Muhammad tidak memanfaatkan 10 hari terakhir ramadhan. Hal ini disebabkan selain pahala dan pengampunan dosa, Allah juga menjanjikan sesuatu yang besar bagi kehidupan manusia di dunia. Selama tiga minggu ramadhan aku sengaja berkeliling dari satu masjid ke masjid lain. Selalu berusaha mencari suasana lain disetiap masjid agar mendapatkan pencerahan lain dari banyak penceramah. Begitu menginjak hari kedua puluh, biasanya aku sudah mulai melaksanakan salat tarawih di masjid dalam perumahanku. Masjid ini belum lama diresmikan, bahkan takmir masjid pun belum terbentuk utuh. Tapi semangat warga muslim memakmurkannya sungguh sangat menggembirakan kami semua. Ini adalah kali kedua ramadhan digelar di masjid perumahan. Sebelumnya selama bertahun-tahun, kami melakukan salat tarawih memanfaatkan gedung serba guna yang ada.
 “Yah, aku sih udah paham tentang lailatul qodar. Dari hasil browsing diinternet juga penjelasan guru agamaku, sedikit banyak aku ngerti. Kali aja ayah punya penjelasan lain,” anakku membuka pembicaraan setelah melihat aku menangis tadi.
Kusampaikan padanya bahwa mengalami lailatul qodar bagi tiap individu berbeda-beda. Tidak ada yang sama satu sama lain. Juga belum tentu orang yang selama sepuluh hari i’tikaf di masjid otomatis langsung mendapatkan malam seribu bulan. Itu semua rahasia Allah. Hanya Allah yang berkenan memberikan hidayah-Nya kepada siapa pun yang dianggap sudah pantas menerima. “Bisa jadi, ada orang yang dalam sepuluh hari terakhir, secara tidak sengaja memperolehnya. Padahal dia tidak pernah berlama-lama i’tikaf dan hadir terus-menerus di masjid setiap malamnya,” kujelaskan pada anakku begitu.
Sekarang anakku duduk di kelas 2 SMP. Beberapa kisahku mungkin dapat diterima melalui olah pikiran, namun tidak jarang harus menggunakan keimanan yang mutlak.  
“Aku sudah berkali-kali i’tikaf  tapi rasa-rasanya belum mengalami lailatul qodar. Kalau ayah sendiri bagaimana?” Dia ingin mengetahui pengalaman spiritualku memperoleh lailatul qodar.
“Ayah tidak pernah tahu apakah ini lailatul qodar atau bukan? Yang terjadi hingga sekarang pada diri ayah, ayah anggap sebagai berkah malam seribu bulan itu.”
“Apaan tuh, Yah? Kayaknya ayah biasa-biasa aja menjalaninya,” anakku mulai tak sabar mendengar ceritaku.
*****
Setelah sempat menganggur dan hanya menjadi agen pemasaran sebuah asuransi, aku akhirnya diterima disebuah perusahaan penerbitan. Sebagai seorang insinyur sipil, berkecimpung diusaha penerbitan jelas nyeleneh. Aku bisa masuk ke sini karena pemilik penerbitan ini adalah temanku semasa kuliah. Dia merasa kasihan padaku. Sementara usaha yang dirintisnya juga belum berkembang seperti sekarang. Meskipun sama-sama insinyur, temanku seorang aktivis kampus yang punya track record  bagus. Kemampuannya berorasi dan menuliskan ide, gagasan dalam koran yang mereka terbitkan, saat itu sangat brilyan dan menarik pembaca muda. Dukungan keluarganya memutuskan dia menekuni bisnis tulis-menulis dan penerbitan. 
Aku sesungguhnya tidak buta sama sekali tentang penulisan. Kebiasaanku membaca dijadikannya alasan menerimaku bekerja di perusahaannya. Pertama kali tugasku adalah membaca naskah-naskah yang masuk. Pekerjaan ini kulakukan bertahun-tahun hingga kacamataku pun tebal. Pada dasarnya aku adalah orang yang penyendiri, tidak suka bergaul, agak anti sosial, emosian, dan cepat merasa puas. Hal ini yang sering disampaikannya supaya aku mau berubah. Lebih membumi, katanya, supaya hidupku lebih punya arti luas.
Aku juga kurang mendalami agamaku secara maksimal. Salat lima waktu memang kujalani sebagai suatu kewajiban. Kadang ingat, kadang lupa. Bukan salat sebagai sebuah kebutuhan kepada Allah. Salat sunnah, nyaris tidak pernah kukerjakan.  Bulan ramadhan aku berpuasa, juga salat tarawih namun tidak pernah melakukan salat malam apalagi melakukan i’tikaf disepuluh hari terakhir ramadhan. Aku sempat merasa sendirian karena bangun kekeluargaan yang ada di perusahaan temanku diletakkan dalam kerangka islam. Dia menginginkan tegaknya islam melalui usahanya ini.
Tengah malam disuatu ramadhan, aku terbangun karena ingin ke kamar mandi. Selesai menuntaskan hajat aku langsung kembali tidur. Kulihat istriku juga masih pulas belum mempersiapkan sahur. Di tempat tidur aku sulit memejamkan mata. Mataku terbuka dan sepertinya jadi sulit dipejamkan lagi. Istri kubangunkan untuk menyiapkan sahur. Kugoyang-goyang, kutepuk-tepuk badannya, diam saja. Aku bangkit dan berjalan ke kamar anakku. Kulihat Abel pun masih nyenyak. Sejak kecil dia sudah kubiasakan tidur sendiri, saat itu usianya 7 tahun. Akhirnya aku hanya duduk-duduk di ruang makan, mengunyah sisa gorengan semalam. Malam itu merupakan malam ke dua puluh enam ramadhan. Artinya merupakan malam yang termasuk sepuluh hari terakhir ramadhan. Entah dari mana tiba-tiba berhembus udara dingin yang menyergap di belakangku. Hembusan yang cepat dan dingin membuatku terkejut, kemudian aku berdiri memastikan sumber hembusan dari jendela sebelah mana. Kuperiksa semuanya tertutup bahkan korden pun tidak bergerak-gerak. Bulu kudukku pun tidak berdiri, pertanda tidak ada makhluk alam gaib yang bersamaku. Namun seiring hembusan itu pula, aku dipaksa melangkah menuju pintu depan. Aku ikuti, kubuka pintu depan, dan terus melangkah merasakan hembusan itu. Aku sadar, aku berhenti di masjid tempatku bekerja. Rumah kontrakanku memang tidak jauh dari kantorku. Itu tahun ketiga aku bekerja di perusahaan temanku.
Di dalam masjid sudah banyak orang yang melakukan i’tikaf. Kulihat ada yang tadarus, berzikir, salat sunnah, atau sekedar membaca buku agama. Semuanya khusyuk melakukan sendiri-sendiri. “Assalamu’alaikum”, sahutku ketika masuk masjid. Beberapa orang menjawab salamku kemudian meneruskan lakunya. Ada sekitar dua puluhan orang di dalam masjid. Aku mengambil salah satu sudut masjid yang agak longgar dan langsung salat sunnah tahiyatul masjid. Pada saat aku takbir, baru teringat jika aku belum berwudhu. Aku keluar untuk berwudhu. Ini semua gara-gara aku terbawa hembusan udara dingin tadi. Singkatnya, malam itu aku melakukan ibadah sunnahku selama beberapa jam. Sesuatu yang tidak pernah kulakukan selama bulan ramadhan. Aku hanya melakukan salat sunnah tahajud berulang-ulang dan kuakhiri berzikir. Lafal yang tiba-tiba keluar dalam kepalaku hanya astagfirullah dan subhanallah.
Sudah berapa kalinya aku melafalkan astagfirullah tiba-tiba aku merasakan dorongan yang kuat dari dalam. Mulai dari perut, naik ke rongga dada, lafal itu menggemuruhkan seluruh dadaku. Jantungku terasa memburu, berdetak lebih cepat dari detakan normal. Seperti ada sinyal yang maha dashyat, kuat menuju kepalaku dan seketika itu juga langsung menghujam kantong-kantong air mata yang berada dimataku. Aku menangis. Diawali tangis yang terisak-isak hingga tangis yang tersedu-sedu. Aku tidak dapat menguasai perasaan, emosi didadaku dan meledaklah tangisku. Aku sesenggukan menangis. Pipiku sudah dibasahi air mata yang bertubi-tubi keluar dan jatuh ke alas salatku. Dalam posisi duduk bersila badanku terkulai jatuh doyong ke depan. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku yang semula masih sempat mendengar sekelilingku tadarus atau berzikir, kehilangan suara-suara itu. Aku hanya ada dalam suasana sendiri dan menangis entah kepada siapa saat itu menangisnya. Lamat-lamat aku mendengar dan merasakan sentuhan dipundakku. Dia memanggilku, “Mas, mas ...,” sambil membangunkan aku dari duduk bersilaku. Aku lantas terjaga dan tampak dihadapanku lima orang mengelilingiku. Dengan masih sesenggukan, aku berusaha menghapus air mata diwajahku. Sisi manusiaku seketika keluar. Aku merasa malu, tidak enak hati kepada orang-orang yang terganggu, yang ada di sekitarku.
Dari dua puluhan orang, hanya tersisa lima orang di masjid, dan merekalah yang menggugah kesadaranku dari zikir penuh tangisan. Satu yang kukenal di situ, beliau sesepuh kampung yang rajin beribadah di masjid tempatku bekerja.
“Subhanallah, nak.... Alhamdulillah, nak. Apa yang baru saja kau rasakan?” dia menanyaiku mewakili orang-orang yang mengerubutiku. Terus-terang aku bingung, aku tidak tahu apa yang sedang terjadi padaku. Mengapa aku menangis begitu hebatnya hingga membuyarkan zikir orang-orang di masjid? Aku cuma menggelengkan kepala, berterima kasih pada mereka, dan segera pamit pulang ke rumah. Ketika melangkah keluar masjid sudah menunjukkan pukul 03.30. Aku bergegas ke rumah untuk bersahur. Di jalan menuju rumah, terpaan udara pagi menyegarkan aku, menyadarkan aku lebih-lebih. Kupegang tanganku, kupegang pipiku yang basah. “Ini nyata, ini benar-benar terjadi padaku,” desahku sambil melangkah menuju rumah. Di kejauhan tampak istriku menunggu di depan pintu rumah. Dia menyongsongku dan langsung menghambur begitu melihat aku datang. Rupanya salah satu dari peserta i’tikaf, tetanggaku, mengabarkan keadaanku pada istriku. Aku tersenyum dan merangkulnya meskipun dia terus memberondongiku pertanyaan-pertanyaan.
Keesokan harinya berita menangisnya aku di masjid kantor tersebar. Pada saat doa pagi sebelum memulai pekerjaan, aku diminta oleh temanku, si pemilik perusahaan, untuk menceritakan kejadian semalam. Jelas aku malu, tersipu-sipu dibuatnya. Anehnya, aku begitu lancar menyampaikan peristiwa semalam tanpa bermaksud menggurui ataupun menyombongkan diri. Doa pagi yang seharusnya berlangsung lima belas menit molor hingga satu jam khusus mendengarkan pengalamanku semalam. Oleh teman-teman aku diminta bercerita hingga tuntas. Sesekali disela-sela aku bercerita ada yang menanyakan. Buatku tidak ada yang spesial karena semalam aku hanya menangis mengikuti dorongan hatiku yang begitu kuat ketika melafalkan astagfirullah .
“Kau tahu, Abel? Seminggu kemudian ayah begitu mudahnya menulis, menuangkan ide, gagasan, dan mengumpulkan banyak tulisan,” kusampaikan hal itu kepada anakku yang asyik mendengarkan ceritaku.
Aku juga mengatakan kepada anakku betapa hatiku lega luar biasa, dada rasanya dapat bernafas lebih segar dari biasanya, seperti sebuah kehidupan baru yang hadir. Dimata teman-temanku aku juga dianggap berubah, menjadi lebih terbuka, tidak gampang marah dan tidak emosian. Gampang bergaul dan menjadi pribadi yang menyenangkan. Seiring perkembangan usaha penerbitan tempatku bekerja, melaju juga karirku di situ. Aku kemudian dipercaya menjadi ketua redaksi dan senior editor. Aku sering diundang menjadi pembicara, menjadi trainer motivasi dan penulisan, juga mengisi ceramah tarawih dibulan ramadhan. Semuanya kuyakini karena kejadian pada malam kedua puluh enam beberapa tahun yang lalu.
“Ayah kali aja memperoleh lailatul qodar,” kata anakku menyela ceritaku. Aku hanya menggelengkan kepala. Kukatakan padanya, aku tidak tahu persis apakah tangisku itu pertanda Allah menurunkan hidayah-Nya padaku? Lagi pula itu bukan malam ganjil, seperti yang selama ini kita yakini akan datangnya lailatul qodar. Allah punya kuasa yang tidak pernah bisa dimengerti siapapun termasuk seseorang menerima lailatul qodar dimalam ganjil atau genap disepuluh hari akhir bulan ramadhan. Aku hanya menekankan itu kepada anakku. Kukatakan padanya, jadikan ibadah kita kebutuhan bukan kewajiban. Butuh pada Allah akan membuat diri kita lebih ikhlas dan tunduk pada ketentuan-Nya.
Kutunjukkan buku yang kubaca, Dahaga . “Ini karya pertama ayah yang diterbitkan. Isinya kumpulan cerita spiritual yang sempat ayah kumpulkan. Sumbernya dari berbagai masukan. Ada dari ayah sendiri, teman-teman di kantor, sahabat-sahabat ayah, pengalaman orang lain, juga naskah-naskah yang masuk,” aku menjelaskan tentang buku Dahaga. Untukku buku ini menjadi tonggak kebangkitanku. Bangkit dari kubangan ego dan kepandiran diri sendiri menjadi pribadi yang lebih manusiawi karena kuasa Allah Swt.

TAMAT ..... THE END .... SELESAI ......

Komentar

  1. Cerita ritual di tiap Ramadhan dikemas dgn apik ahirnya mjd inspirasi untuk meraih makna lailatul qadr ...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PIYAMBAKAN

SENGAJA DATANG KE KOTAMU

KIRIMI AKU SURAT CINTA