PENTI
Peniti ♥ Hati
Jalan
Damar Raya sore itu tidak seramai biasanya. Meskipun bisa melajukan mobil di
atas kecepatan 60 km/jam tapi hal itu tak dilakukan Mudrik. Masih ada cukup
waktu sebelum ia sampai studio. Sore ini ia kebagian siaran menjelang buka
puasa. Bertepatan kepalanya memaling ke kiri melihat deretan penjaja takjil,
mendadak sebuah motor memotong jalur jalannya. Mudrik yang terkejut berusaha
membanting kemudi ke arah kiri. Malangnya, refleks bagusnya tidak berbuah
manis. Motor yang nyelonong itu tertabrak
dan pengemudinya langsung jatuh. Suara derit rem terdengar. Beruntung tak ada
motor atau mobil di belakang mobilnya. Mudrik menarik nafas ketika mobilnya
berhenti. Orang-orang yang sedang melihat-lihat penjaja takjil buru-buru berlari
menolong pengendara motor yang jatuh itu. Sesudah di depannya tak terhalang
lagi, Mudrik segera menepikan mobil. Ia segera turun menemui si pengendara
motor.
Orang-orang
yang menolong pengendara itu langsung menyongsong Mudrik. Dengan tetap tenang Mudrik
mendekati pengendara motor yang ternyata seorang gadis. Wajahnya meringis
menahan perih. Mudrik melihat besetan luka dan darah pada tangan kanan si gadis
itu. “Saya antar ke dokter!” ajak Mudrik berinisiatif. Gadis tersebut melihat
Mudrik. Sesaat kemudian kepalanya menggeleng.
“Tidak
usah. Saya tidak apa-apa. Hanya luka besetan kecil,” ujarnya dengan mimik
meringis menahan perihnya luka.
“Maaf
saya yang salah,” lanjut si gadis kepada Mudrik. Orang-orang yang tadi
menolong, yang hendak menutut pertanggungjawaban Mudrik, langsung berkomentar
pendek, “Tapi Mbaknya terluka. Bodi samping kiri motor mbak juga pecah.”
“Terima
kasih bapak-bapak, saya yang salah.” Gadis itu berusaha meyakinkan para
penolongnya. “Mas ini sama sekali tidak bersalah. Saya yang memotong jalannya.”
Mudrik menatap gadis itu. Dilihatnya besetan luka agak lebar dan berdarah. Mudrik
segera kembali ke mobil tanpa dicegah para penolong.
“Kalau
tidak mau dibawa ke dokter, lukanya dibersihkan dulu. Tampaknya memang tidak
terlalu parah, tapi tetap harus dibersihkan,” ucap Mudrik sembari membuka
perlengkapan P3K-nya. Ia tadi ke mobil mengambil kotak P3K.
Setelah
menjelaskan berulang kali kepada para penolongnya, berangsur-angsur para
penolong itu meninggalkan si gadis. Salah satu dari mereka menyerahkan kunci
motor serta meletakkan motor di dekatnya. Secepatnya juga Mudrik melakukan
pembersihan luka.
Setelah
luka dibersihkan, Mudrik memasang perban pada tangan si gadis. “Maaf,
plesternya kebetulan habis. Perban saya kait pakai peniti, nggak apa-apa, ya.”
Gadis itu hanya mengangguk. Wajahnya sesekali masih meringis. Tak urung juga
gadis itu memerhatikan peniti yang berbentuk hati. Mudrik melakukan dengan
cepat dan sempurna. Meskipun bukan penyebab jatuhnya si gadis, Mudrik tetap
mengurus semuanya.
“Saya
cek motornya sebentar,” Mudrik minta izin. Selagi ia memeriksa motor, pemilik
warung tempat mereka mengaso, datang menyodorkan minuman hangat untuk si gadis.
Mudrik berteriak mengucapkan terima kasih kepada pemilik warung.
"Maaf Pak, saya masih puasa," kata gadis itu kepada pemilik warung. Merasa tawarannya salah, pemilik warung buru-buru mengatakan akan membungkus minuman hangat itu. Ia bergegas masuk ke warungnya. Mudrik melanjutkan memeriksa motor. Dan setelah merasa yakin
motor masih bisa berjalan, Mudrik pun mengatakan kepada si gadis.
Mudrik
memastikan lagi semuanya beres. Dan setelah yakin ia berpamitan. Mudrik berani
meninggalkan gadis itu setelah memperoleh kepastian ia tidak apa-apa dan bisa
pulang sendiri.
“Rumah saya tak jauh dari sini,” kata si gadis. Mudrik
mengangguk. Sebelum pergi ia menemui pemilik warung hendak
membayar minuman si gadis. Ternyata pemilik warung tak mau dibayar. Ia
memberikan cuma-cuma sebagai bentuk pertolongannya. Mudrik tersenyum dan
berterima kasih. Mudrik sangat mengenal pemilik warung makan itu karena ia
salah satu pelanggannya.
Biar pun tadi sempat mendapat halangan, Mudrik tidak
terlambat siaran menjelang buka puasa. Sengaja ia tak cerita kepada
teman-temannya. Setelah membuka siaran kemudian memutar lagu, Mudrik menemui
Ustaz yang sore itu menjadi narasumber acaranya. Mereka berbincang-bincang
sebelum mulai siaran. Disela-sela bincang-bincangnya sebelum on air barulah Mudrik ingat. Ia tidak menanyakan
nama gadis yang ditolongnya tadi. Nanti
aku kirimi lagu saja, batinnya, siapa
tahu dia pendengar radio MonteraFM.
Kedatangan Siwi yang tertatih disambut tatapan heran
teman-teman kos-nya. Begitu mereka melihat tangan Siwi diperban barulah mereka
berebut tanya. Gema azan maghrib menyetop kerubutan teman-teman Siwi. Mereka
kemudian sama-sama berbuka puasa. Siwi yang tak sempat membeli makanan buka,
langsung disumbang makanan buka oleh teman-temannya. Tak lupa 1 mug teh manis panas
juga tersaji. Dengan menahan perih dan cenut-cenut, Siwi menikmati bukanya. Dan
saat menyeruput teh manisnya, barulah Siwi ingat. Ia lupa menanyakan nama pria
yang menolongnya tadi. Dipandanginya perban ditangannya. Bibirnya mengulas
senyum melihat peniti berbentuk hati. Matanya menerawang mengingat penolong
yang baik hati. Lamunannya baru terhenti begitu mendengar ajakan teman-temannya,
“Mau maghrib bareng nggak?”
***
Pulang kerja Siwi mampir ke warung makan tempat ia
ditolong sewaktu kecelakaan. Pemilik warung masih mengenalinya. Tanpa
bertele-tele ia memberitahukan dimana Mudrik berada. “Saya tidak tahu dimana
tinggalnya, Mbak! Cuma Mas Mudrik kerja di radio MonteraFM. Dari sini ke arah
barat. Nanti ketemu perempatan sama pasar. Mbak belok kanan. Kira-kira 1 km
dari perempatan pasar itu Radio Montera, tempat Mas Mudrik kerja.” Wajah Siwi sumringah begitu mengetahui dimana
Mudrik bekerja. Namanya Mudrik ternyata,
gumam Siwi.
“Pak, bungkuskan kolak 5 yaa,” pinta Siwi. Pemilik warung
mengangguk. Ia menyuruh karyawannya menyiapkan.
“Sekalian sama ramesan. Pakai ayam bakar, cah kakung,
sambel sama tempe mendoannya 10.” Pemilik
warung tersenyum. Khusus nasi rames ini, ia sendiri yang menyiapkan. Kolak dan
mendoan akan dibagikan Siwi untuk teman-teman kos-nya. Menunggu pesanan siap,
Siwi mencoba mencari frekwensi Radio MonteraFM memakai smartphone. Dan ia menemukan siarannya. Terdengar lagu Menunggu Kamu yang pernah dipopulerkan
Anji. Kini dinyanyikan Via Vallen.
“Pemiarsa Montera,
baru saja Via Vallen membawakan lagu hits milik Anji, Menunggu Kamu. Masih bersama saya, Mudrik Syailendra dan lagu-lagu negeri
sendiri semoga jadi teman menjelang buka puasa. Dan jangan lupa simak kultum
jelang buka puasa bareng Ustaz Choizin, sesaat lagi.” Terdengar suara penyiar
MonteraFM yang bertugas sore itu. Siwi samar-samar mendengar nama penyiarnya
namun tak jelas betul.
“Itu suara Mas Mudrik, Mbak,” teriak pemilik warung dari
dalam etalase makanannya. Mendengar teriakan itu, mata Siwi terbelalak namun
ada sunggingan senyum di bibirnya.
“Jadi itu Mas Mudrik yang waktu itu menolong saya?”
timpal Siwi. Pemilik warung mengangguk-angguk.
“Tanpa menyebut namanya pun, saya hapal suara Mas Mudrik!”
Bibir Siwi tetap menyunggingkan senyum. Entah kenapa terlintas peniti
berbentuk hati.
Komentar
Posting Komentar