PENTI


Peniti Hati

            Jalan Damar Raya sore itu tidak seramai biasanya. Meskipun bisa melajukan mobil di atas kecepatan 60 km/jam tapi hal itu tak dilakukan Mudrik. Masih ada cukup waktu sebelum ia sampai studio. Sore ini ia kebagian siaran menjelang buka puasa. Bertepatan kepalanya memaling ke kiri melihat deretan penjaja takjil, mendadak sebuah motor memotong jalur jalannya. Mudrik yang terkejut berusaha membanting kemudi ke arah kiri. Malangnya, refleks bagusnya tidak berbuah manis. Motor yang nyelonong itu tertabrak dan pengemudinya langsung jatuh. Suara derit rem terdengar. Beruntung tak ada motor atau mobil di belakang mobilnya. Mudrik menarik nafas ketika mobilnya berhenti. Orang-orang yang sedang melihat-lihat penjaja takjil buru-buru berlari menolong pengendara motor yang jatuh itu. Sesudah di depannya tak terhalang lagi, Mudrik segera menepikan mobil. Ia segera turun menemui si pengendara motor.
            Orang-orang yang menolong pengendara itu langsung menyongsong Mudrik. Dengan tetap tenang Mudrik mendekati pengendara motor yang ternyata seorang gadis. Wajahnya meringis menahan perih. Mudrik melihat besetan luka dan darah pada tangan kanan si gadis itu. “Saya antar ke dokter!” ajak Mudrik berinisiatif. Gadis tersebut melihat Mudrik. Sesaat kemudian kepalanya menggeleng.
            “Tidak usah. Saya tidak apa-apa. Hanya luka besetan kecil,” ujarnya dengan mimik meringis menahan perihnya luka.
            “Maaf saya yang salah,” lanjut si gadis kepada Mudrik. Orang-orang yang tadi menolong, yang hendak menutut pertanggungjawaban Mudrik, langsung berkomentar pendek, “Tapi Mbaknya terluka. Bodi samping kiri motor mbak juga pecah.”
            “Terima kasih bapak-bapak, saya yang salah.” Gadis itu berusaha meyakinkan para penolongnya. “Mas ini sama sekali tidak bersalah. Saya yang memotong jalannya.” Mudrik menatap gadis itu. Dilihatnya besetan luka agak lebar dan berdarah. Mudrik segera kembali ke mobil tanpa dicegah para penolong.
            “Kalau tidak mau dibawa ke dokter, lukanya dibersihkan dulu. Tampaknya memang tidak terlalu parah, tapi tetap harus dibersihkan,” ucap Mudrik sembari membuka perlengkapan P3K-nya. Ia tadi ke mobil mengambil kotak P3K.
            Setelah menjelaskan berulang kali kepada para penolongnya, berangsur-angsur para penolong itu meninggalkan si gadis. Salah satu dari mereka menyerahkan kunci motor serta meletakkan motor di dekatnya. Secepatnya juga Mudrik melakukan pembersihan luka.
            Setelah luka dibersihkan, Mudrik memasang perban pada tangan si gadis. “Maaf, plesternya kebetulan habis. Perban saya kait pakai peniti, nggak apa-apa, ya.” Gadis itu hanya mengangguk. Wajahnya sesekali masih meringis. Tak urung juga gadis itu memerhatikan peniti yang berbentuk hati. Mudrik melakukan dengan cepat dan sempurna. Meskipun bukan penyebab jatuhnya si gadis, Mudrik tetap mengurus semuanya.
            “Saya cek motornya sebentar,” Mudrik minta izin. Selagi ia memeriksa motor, pemilik warung tempat mereka mengaso, datang menyodorkan minuman hangat untuk si gadis. Mudrik berteriak mengucapkan terima kasih kepada pemilik warung.
               "Maaf Pak, saya masih puasa," kata gadis itu kepada pemilik warung. Merasa tawarannya salah, pemilik warung buru-buru mengatakan akan membungkus minuman hangat itu. Ia bergegas masuk ke warungnya. Mudrik melanjutkan memeriksa motor. Dan setelah merasa yakin motor masih bisa berjalan, Mudrik pun mengatakan kepada si gadis.
            Mudrik memastikan lagi semuanya beres. Dan setelah yakin ia berpamitan. Mudrik berani meninggalkan gadis itu setelah memperoleh kepastian ia tidak apa-apa dan bisa pulang sendiri.
“Rumah saya tak jauh dari sini,” kata si gadis. Mudrik mengangguk. Sebelum pergi ia menemui pemilik warung hendak membayar minuman si gadis. Ternyata pemilik warung tak mau dibayar. Ia memberikan cuma-cuma sebagai bentuk pertolongannya. Mudrik tersenyum dan berterima kasih. Mudrik sangat mengenal pemilik warung makan itu karena ia salah satu pelanggannya.
Biar pun tadi sempat mendapat halangan, Mudrik tidak terlambat siaran menjelang buka puasa. Sengaja ia tak cerita kepada teman-temannya. Setelah membuka siaran kemudian memutar lagu, Mudrik menemui Ustaz yang sore itu menjadi narasumber acaranya. Mereka berbincang-bincang sebelum mulai siaran. Disela-sela bincang-bincangnya sebelum on air barulah Mudrik ingat. Ia tidak menanyakan nama gadis yang ditolongnya tadi. Nanti aku kirimi lagu saja, batinnya, siapa tahu dia pendengar radio MonteraFM.
Kedatangan Siwi yang tertatih disambut tatapan heran teman-teman kos-nya. Begitu mereka melihat tangan Siwi diperban barulah mereka berebut tanya. Gema azan maghrib menyetop kerubutan teman-teman Siwi. Mereka kemudian sama-sama berbuka puasa. Siwi yang tak sempat membeli makanan buka, langsung disumbang makanan buka oleh teman-temannya. Tak lupa 1 mug teh manis panas juga tersaji. Dengan menahan perih dan cenut-cenut, Siwi menikmati bukanya. Dan saat menyeruput teh manisnya, barulah Siwi ingat. Ia lupa menanyakan nama pria yang menolongnya tadi. Dipandanginya perban ditangannya. Bibirnya mengulas senyum melihat peniti berbentuk hati. Matanya menerawang mengingat penolong yang baik hati. Lamunannya baru terhenti begitu mendengar ajakan teman-temannya, “Mau maghrib bareng nggak?”
***
Pulang kerja Siwi mampir ke warung makan tempat ia ditolong sewaktu kecelakaan. Pemilik warung masih mengenalinya. Tanpa bertele-tele ia memberitahukan dimana Mudrik berada. “Saya tidak tahu dimana tinggalnya, Mbak! Cuma Mas Mudrik kerja di radio MonteraFM. Dari sini ke arah barat. Nanti ketemu perempatan sama pasar. Mbak belok kanan. Kira-kira 1 km dari perempatan pasar itu Radio Montera, tempat Mas Mudrik kerja.” Wajah Siwi sumringah begitu mengetahui dimana Mudrik bekerja. Namanya Mudrik ternyata, gumam Siwi.
“Pak, bungkuskan kolak 5 yaa,” pinta Siwi. Pemilik warung mengangguk. Ia menyuruh karyawannya menyiapkan.
“Sekalian sama ramesan. Pakai ayam bakar, cah kakung, sambel sama tempe mendoannya 10.”  Pemilik warung tersenyum. Khusus nasi rames ini, ia sendiri yang menyiapkan. Kolak dan mendoan akan dibagikan Siwi untuk teman-teman kos-nya. Menunggu pesanan siap, Siwi mencoba mencari frekwensi Radio MonteraFM memakai smartphone. Dan ia menemukan siarannya. Terdengar lagu Menunggu Kamu yang pernah dipopulerkan Anji. Kini dinyanyikan Via Vallen.
“Pemiarsa Montera, baru saja Via Vallen membawakan lagu hits milik Anji, Menunggu Kamu. Masih bersama saya, Mudrik Syailendra dan lagu-lagu negeri sendiri semoga jadi teman menjelang buka puasa. Dan jangan lupa simak kultum jelang buka puasa bareng Ustaz Choizin, sesaat lagi.” Terdengar suara penyiar MonteraFM yang bertugas sore itu. Siwi samar-samar mendengar nama penyiarnya namun tak jelas betul.
“Itu suara Mas Mudrik, Mbak,” teriak pemilik warung dari dalam etalase makanannya. Mendengar teriakan itu, mata Siwi terbelalak namun ada sunggingan senyum di bibirnya.
“Jadi itu Mas Mudrik yang waktu itu menolong saya?” timpal Siwi. Pemilik warung mengangguk-angguk.
“Tanpa menyebut namanya pun, saya hapal suara Mas Mudrik!” Bibir Siwi tetap menyunggingkan senyum. Entah kenapa terlintas peniti berbentuk hati.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PIYAMBAKAN

SENGAJA DATANG KE KOTAMU

KIRIMI AKU SURAT CINTA