SP
Sang Pengiring
Onthel
tua milik Sang Kakek masih bisa melaju tanpa suara deritan layaknya sepeda-sepeda
tua kebanyakan. Dari jauh, sayup-sayup suara orang mengaji sudah terdengar.
Yudan setengah memacu onthel untuk mempercepat perjalanan. Ia berharap segera
berada di Musala Al Kahfi supaya bisa melaksanakan salat tahiyatul masjid sebelum
azan dan salat qobliyatul subuh setelah azan.
Lantunan
surat At Taubah sebentar lagi usai. Yudan kebetulan hafal beberapa ayat terakhir
surat itu. Musala Al Kahfi mulai tampak. Tak benderang cahaya di situ. Cenderung
malah temaram. Musala yang tak begitu luas itu sudah berisi jemaah subuh. Yudan
memberi salam. Walaikumsalam, jawab
serempak jemaah Al Kahfi. Beberapa di antaranya menengok melihat siapa yang
masuk. Mereka mengulas senyum kepada Yudan. Akhir surat At Taubah hampir
terdengar, Yudan bergegas melakukan salat tahiyatul masjid. Allahu Akbar. Terdengar suara takbirnya
memulai salat. Dan ketika Yudan membaca Al Fatihah di rakaat kedua, azan subuh
berkumandang nyaring oleh muazin.
Bertepatan
azan subuh selesai, tuntas juga Yudan bertahiyatul masjid. Ia lantas berdiam
diri sebentar, seraya mengucapkan istighfar 5x kemudian segera berdiri dan
melakukan salat qobliyatul subuh 2 rakaat. Salat sunnah ini lebih baik daripada
dunia dan seisinya. Begitu sebuah riwayat mengatakan. Yudan terlihat menikmati
salat sunnahnya. Hatinya merasa nyaman, pikirannya pun tenang. Saat ada jeda
menunggu iqomah, Yudan kembali ber-istighfar. Ia teringat ajakan Rasulullah SAW
yang rajin ber-istighfar, mohon ampunan-Nya. Tiba-tiba masuk seorang pria
berjubah putih dengan janggut putihnya, ke dalam musala.
Kedatangan
pria berjubah dan berjanggut putih ke Musala Al Kahfi membuat jemaah terkejut.
Spontan mereka berdiri dengan sikap hormat serta mencium tangannya. Yudan hanya
bisa melongo melihat pemandangan itu. Belum pernah ia melihat hal semacam ini
sebelumnya, di tempat tinggalnya. Orang tua yang duduk di sebelahnya menyolek,
menyuruh Yudan ikut mencium tangannya. Hati kecil Yudan enggan namun bagai ada
magnet yang menariknya untuk berdiri dan mendekati pria berjubah putih
tersebut. Tangan lembut Kyai Fathir, begitu para jemaah menyebut namanya,
terasa oleh Yudan. Raut wajah kyai itu tampak berkharisma.
Seorang
pria bersorban, mungkin seseorang yang dituakan di musala, mempersilakan Kyai
Fathir menuju mimbar imam. Pria tua itu membungkukkan badannya ketika kyai
berkharisma itu melewatinya. Kyai Fathir langsung menghadap kiblat, tak lama
berselang terdengar alunan iqomah Sang Muazin musala. Kyai Fathir tak menengok
ke belakang lagi. Para jemaah subuh bergerak sendiri mengatur shaf. Mayoritas
jemaah adalah para orang tua. Mereka merangsek ke shaf depan. Yudan sama sekali
tak berusaha maju. Walhasil, ia ada dalam shaf terakhir. Di barisan keempat.
Al
fatihah pada rakaat pertama ditutup ucapan ‘aamiin’ bersamaan. Alif laam mim.., terdengar suara Kyai
Fathir memulai sebuah surat. Dalam hati Yudan langsung tertuju kepada surat Al
Baqaroh. Bakal panjang ayat yang dibaca namun demi subuh dan fajar, Yudan ingin
menikmatinya dalam-dalam. Dan betul adanya, separuh lebih surat Al Baqaroh
dibaca Kyai Fathir. Ajaib lagi, tak ada desahan
kesal atau pun melakukan gerakan gelisah. Begitu ayat 152 selesai, Kyai Fathir
menyudahi rakaat pertamanya. Semua jemaah ruku dan sujud. Dan ketika sujud,
justru hati Yudan yang gelisah dan kaget. Sujud terasa lama karena ada bacaan
tambahan yang dilakukan Kyai Fathir. Namun yang benar-benar membuat Yudan terkejut
saat ia melihat bagian belakang dari sela-sela kaki.
Sebagai
jemaah di barisan akhir, shaf di belakang Yudan tak ada. Secara kebetulan tak
ada jemaah wanita di musala Al Kahfi, subuh itu. Dalam sujud dan rapalan
doa-doa, Yudan melihat di belakangnya banyak makhluk bercahya putih sedang ikut
bersujud pula. Wujudnya tak seperti dirinya. Shaf yang terbentuk di belakangnya
nyaris dipenuhi makhluk-makhluk bercahya tersebut. Lama-kelamaan karena melihat
terus cahaya putih yang menyala tersebut, Yudan merasa silau....
Yudan
terjaga gegara pipinya terasa hangat. Lirih ia mendengar lafaz ‘Laa Illaha Illalahu’
berulang-ulang. Pada saat kelopak matanya terbuka, ia hampir berteriak namun
suaranya tercekat. Ternyata di hadapannya Kyai Fathir sedang memegang pipinya.
Dan kali ini yang didengarnya lafaz ‘alhamdulillah’. Yudan terbaring.
“Tak seperti yang kau bayangkan, Nak!” ucap Kyai Fathir
lembut. Telapak tangan kanannya kini mengusap lembut kepala Yudan. Bibirnya
tersenyum. Janggut putihnya menjuntai mengenai wajah Yudan.
Rasa penasaran masih menggelayuti pikiran Yudan. Dengan
sedikit keberanian ia menanyakan kepada Kyai Fathir siapa makhluk bercahaya
yang dilihatnya. Tangan Sang Kyai masih mengusap kepala Yudan. Mulutnya
bergerak tipis, menguarkan doa-doa yang tak terdengar.
“Itu karna khusyukmu beribadah. Sehingga kau seperti
melihat makhluk bercahya,” Kyai Fathir coba menjelaskan. Sementara itu, jemaah
lain masih mengerubungi Yudan yang tadi sempat pingsan dan terbaring.
Tiba-tiba mata Yudan menyipit. Dari sela-sela jemaah yang
berjejer di dekatnya, ia melihat makhluk-makhluk bercahaya itu keluar satu per
satu melewati pintu depan musala. Pintu yang tadi dilewati Kyai Fathir. Mulut
Yudan mengatup tak bisa berkata-kata dan bertanya lagi. Usapan lembut Kyai
Fathir masih dirasakan Yudan juga senyumnya masih mengembang. Ada satu hal lagi
yang membuat Yudan tak bisa berkata-kata. Dari penglihatannya, ada makhluk
bercahya setinggi langit-langit musala. Dia berdiri dekat pintu musala.
Tampaknya dia sedang menunggu seseorang??
Komentar
Posting Komentar