TLS
Tak Lagi Sama
Zion
melihat ponselnya lagi. Pesannya kepada Kyuri semalam, sampai siang hampir
zuhur belum juga dibalas. Contreng dua warna biru sudah tersematkan pada pesan
yang Zion tuliskan. Kyuri sudah membacanya sejak semalam. Entah kenapa menjadi
begitu sulit berkomunikasi dengannya, keluh Zion pelan. Ada perubahan yang
terjadi sejak beberapa bulan ini. Hubungan mereka tak sehangat pada awal mereka bertemu. Sekali lagi Zion
melihat ponselnya. Ingin sekali ia menghubungi Kyuri namun yang terngiang hanyalah
pesannya: Jangan telpon langsung aku. SMS
saja. Biar aku yang kontak. Zion
memasang mode diam kemudian mematikan ponsel dalam posisi menunggu dan layar
ponsel tidak aktif. Ia melanjutkan
pekerjaannya. Lebih tepatnya mengerjakan pekerjaan Kyuri.
Sudah
lama Zion membantu Kyuri.
Satu setengah tahun yang lalu, dari sebuah iklan baris di
koran Pijar Rakyat, Zion menemukan
iklan berbunyi: DICARI SEKRETARIS YANG
MENGERTI MS OFFICE DAN SUKA MEMBACA. GAJI
MENARIK BAGI YANG MEMENUHI SYARAT. SILAKAN KIRIM .... Pada iklan itu yang
tertera hanya alamat surat elektronik. Tanpa nama, tanpa nomor kontak. Zion tergelitik untuk mencobanya. Apalagi
statusnya yang sudah lama menganggur. Sementara asap dapur keluarganya harus
mengepul. Beruntung Klima Nehruta, isterinya, masih bekerja. Meskipun tak
berpengalaman menjadi sekretaris apapun dan dimana pun, Zion nekat mengirimkan
lamaran. Keyakinan dirinya hanya satu, ia suka membaca. Membaca apa saja.
Membacanya ini yang akan ia jual pada pemasang iklan tersebut.
***
Betapa terkejutnya Zion begitu berjumpa dengan pemasang
iklan tersebut. Pemilik iklan tak kalah terkejutnya juga melihat Zion. Sesaat
terjadi keheningan dalam ruangan Kyuri Rasplangi. Kyuri bahkan lupa
mempersilakan duduk pelamar yang sudah ada di hadapannya. Semenitan mematung, Kyuri
mempersilakan Zion duduk.
“Apa kabar?” Sapa pemilik ruangan. Tangannya menyodor.
Suaranya terdengar kikuk. Zion menyambut uluran tangan Kyuri seraya mengatakan
kabarnya baik-baik saja. Ruangan hening lagi. Mata Kyuri yang membulat, mulai
meredup. Sendu....
“Jadi kamu yang memasang iklan di Koran Pijar?” Zion
memberanikan diri bertanya. Pertanyaan Zion hanya dijawab desahan nafas
panjang. Kyuri merekatkan jari-jemarinya. Kepalanya kini menunduk.
Zion kehabisan kata-kata menghadapi wanita yang ada di
depannya. Ingatannya mendadak terdampar di suatu masa dan melihat gadis yang
dipacarinya duduk di pelaminan. Hatinya berdegub melihat pria yang ada di
sebelahnya. Tangannya mengepal menahan geram. Sejak itu mereka putus kontak.
Dan berakhir pula kisah cinta mereka yang terbangun sejak pertama kali
menjalani kuliah. Kini, 15 tahun terlewatkan, gadis impiannya itu, ada di
hadapannya. Keduanya hanya bisa terdiam.
Perlahan kepala Kyuri menaik. Matanya menatap lagi pria
di depannya. Ujung bibirnya menyungging senyum dipaksakan. Aku membutuhkan
sekretaris. Aku yang memasang iklan tanpa nama itu, ujar Kyuri, masih dengan
suara lirih nan kikuk. Zion menyimak kata-kata Kyuri sebelum membuat keputusan.
“Aku rasa, ini bukan keadaan yang mengenakkan buat kita,”
ucap Zion sembari berdiri dari duduknya, bersiap meninggalkan ruangan. Mata
Kyuri yang sendu menatap setiap ucapan dan gerakan Zion.
“Takdir kita sudah berakhir 15 tahun yang lalu,”
tambahnya. Zion membalikkan badan meskipun jantungnya berdebar-debar.
“Aku pamit....” Zion berjalan menuju pintu bersiap
memutar gagang pintu.
“Aku minta maaf untuk 15 tahun itu,” suara lirih Kyuri
memohon. Tidak terdengar suara kikuk lagi. Zion berhenti mendengar ucapan
Kyuri. Dengan jantung berdebar-debar ia membalikkan badan. Melihat langsung bola
matanya. Dan bola mata itu telah basah. Kyuri melepaskan kacamatanya. Ia
berdiri tegak melihat ke arah Zion.
“Ambillah tawaran iklanku itu. Aku akan lebih percaya
apabila kau yang membantuku. Juga sebagai penebusan rasa bersalahku 15 tahun
yang telah lewat. Bagaimana? Kau mau? Dan kau takkan percuma membantuku. Ada
uang lelah yang akan kau terima.”
Kyuri menjelaskan dengan tetap berdiri menghadap Zion.
Dan tanpa dikomando, mereka bergerak ke titik yang sama untuk menautkan tangan.
Kyuri keluar dari belakang mejanya, Zion berjalan mendekati meja Kyuri. Lalu
Kyuri mengajak Zion duduk di sofa tamu dekat pintu. Sebelum keduanya
menjatuhkan badan ke atas sofa, Kyuri mengulurkan tangan. Mengajak Zion
bersalaman. Dan kedua kalinya Zion
menyambut uluran tangan Kyuri. Zion terperangah tatkala tangannya dicium Kyuri.
Sebelum Zion menarik tangan, dengan cepat Kyuri menggenggamnya.
“Temani aku,” pinta Kyuri sambil mengulas senyum yang
sudah tidak terpaksa lagi. Zion tak langsung menjawab. Ia hanya merasakan
debaran jantungnya melaju di atas kecepatan 60 km/jam.
“Kau tak sendiri membantuku. Aku akan merekrut seorang
lagi untuk membantumu. Maksimal kesekretariatanku akan berisi 3 orang termasuk
dirimu. Untuk kau tahu saja. Aku lolos menjadi anggota dewan tahun ini sampai 5
tahun ke depan. Pastinya kesekretariatan menjadi perlu dan penting buatku. Tak
mungkin kukerjakan sendiri. Dan kebetulan kau yang kutemui pertama kali. Kenapa
tidak aku ajak saja dirimu, Mas? Kualitasmu sudah kukenal sejak kita berteman
dan ‘bersama’. Kau tahu maksudku, kan?”
Zion menyimak seksama perkataan Kyuri. Meskipun tadi ia
sudah sepakat menerima tawaran kerja dari Kyuri, masih ada yang mengganjal
dihatinya. Persoalan hati yang sudah lama tergilas waktu, mungkin saja suatu
saat akan semburat apabila mereka sering bertemu. Zion menatap lekat Kyuri.
Selain pancaran mata Kyuri, tiba-tiba ia teringat keadaannya sekarang dimana
isterinya berjuang mati-matian menghidupkan biduk rumah tangga mereka. Zion
terlalu lama tak memiliki pekerjaan tetap.
***
Zion kembali membaca berkas-berkas yang berserakan di
meja kerjanya. Satu per satu berkas dari Kyuri dilihat dan dibaca. Ia harus
mengumpulkan sebanyak mungkin materi sebelum nanti diketikkan oleh staf
kesekretariatan Kyuri yang lain.
Ini tahun kedua Kyuri menjadi anggota dewan yang
terhormat. Tiada hari tanpa kesibukan buatnya. Kyuri tak melupakan janjinya
dulu. Ia membuat kesekretariatan dengan Zion menjadi koordinatornya. Ada 2
staff lagi, pria dan wanita. Usia keduanya jauh di bawah Zion sehingga
memudahkan Zion untuk memerintahkan keduanya. Dengan membantu Kyuri, Zion
memiliki penghasilan tetap. Apalagi sudah ada omongan sampai kapan pun Kyuri
akan memperkerjakannya. Dan Zion ingin membuktikan ucapan Kyuri tersebut.
Materi dan berkas-berkas yang sudah dibaca dan dipilih
Zion langsung diketik oleh staf kesekretariatan lain. Selagi staf lain
mengetikkan materi yang sudah dipilih Zion, ia mencari materi dan bahan-bahan
lain melalui internet juga beberapa buku referensi. Ada beberapa perpustakaan
digital yang sudah diikutinya sehingga memudahkan pengumpulan materi-materi
yang diperlukan. Notasi canopus,
dering pesan masuk, penanda dari Kyuri, terdengar. Zion segera menyalakan
ponselnya.
Temui
aku di Hotel Barata setengah jam lagi dari sekarang... Zion menghela nafas seraya matanya melihat jam dinding
ruangan. Tiga lebih lima menit aku sudah harus sampai hotel, gumam Zion lirih.
Ternyata gumaman yang Zion anggap lirih terdengar oleh Sevi yang sedang
mengetik, “Pak Zion mau keluar kantor? Nanti kalau tidak bertemu bapak, saya
kirimkan lewat surel. Pasti saya
selesaikan sore ini!” Merasa suara lirihnya kedengaran, Zion hanya menjawab
Sevi dengan anggukan kepala.
“Saya harus menemui Bu Kyuri di Hotel Barata sore ini,”
ujar Zion. Gantian Sevi mengangguk dan tersenyum manis.
“Oh ya, tolong bilang Valdi kalau dia sudah kembali.”
“Carikan materi yang sekarang sedang saya kerjakan ini.
Coba kamu ke sini sebentar,” pinta Zion
kepada Sevi yang langsung beranjak dari tempat duduknya. Setelah paham apa yang
dimaui Zion, Sevi meneruskan pengetikannya. Dan Zion pun berpamitan untuk
segera meluncur ke Hotel Barata menemui Kyuri yang memanggilnya.
***
Pesan singkat Zion yang mengatakan hendak salat asar di musala
hotel dibalas Kyuri: Salat sini aja. Aku
juga belum asar. Temui aku di ruang kencana. Ruang Kencana adalah sebuah
ruangan pertemuan di Hotel Barata yang hanya bisa memuat 5 orang. Ruangannya
memang didesain tidak luas dan besar. Kyuri kerap memakainya jika berada di Hotel
Barata.
Pintu Ruang
Kencana tertutup rapat. Zion mengetuk perlahan. Suara Kyuri terdengar
mempersilakannya masuk. Di dalam ruangan hanya Kyuri yang ada. Ia menyuruh Zion
segera menutup pintu. “Ayo kita segera asar. Masih banyak pekerjaan yang harus
kuselesaikan,” ajak Kyuri. Zion mengeluarkan sajadah kecil yang selalu
dibawanya. Namun Kyuri menggelengkan kepalanya seraya mengangkat sebuah sajadah
besar. Mereka pun asar berjemaah.
“Aku sengaja pesan ruangan ini. Kabur dari hotel
sebelah,” ucap Kyuri selesai mereka salat.
“Aku tak mau orang lain tahu pertemuanku denganmu,”
lanjutnya. Zion terdiam. Matanya melihat Kyuri yang membetulkan dandanannya.
Merapikan baju yang dikenakan, juga merias kembali wajahnya. Selama Kyuri
berdandan mulutnya terus berceloteh. Zion tak sepatah kata pun menjawab. Ia
menjadi pendengar saja.
“Bisa habis aku apabila ketahuan menemuimu seperti ini.
Media massa bisa menghajarku dengan berita-beritanya.” Terdengar tawa Kyuri
kemudian. Ia lantas menanyakan kelanjutan tugas yang dikerjakan Zion. Barulah
Zion berucap setelah Kyuri bertanya tugasnya. Ia pun panjang lebar
menjelaskannya, termasuk tugas yang sedang dikerjakan Sevi sore ini.
“Selain tugas yang kuminta, ada hal lain yang ingin
kusampaikan padamu,” ujar Kyuri. Suaranya pelan terdengar. “Waktuku terbatas
karena selepas maghrib aku harus melanjutkan pertemuan di hotel sebelah.” Tiba-tiba
Kyuri berdiri. Ia berjalan menuju kulkas kecil dekat pintu. Mengambil minuman
dingin serta menawarkan kepada Zion apakah ingin minum. Zion mengangguk serta
membiarkan Kyuri memilih minuman apa pun.
“Ini soal 15 tahun kita.” Kyuri membuka kembali cerita
lama. Menjelaskan bagaimana ia merasa bersalah telah meninggalkan Zion.
Katanya, itu di luar kemampuannya saat secara sepihak, ayahnya, menjodohkannya
dengan pria berumur yang masih kerabat jauh ayahnya.
“Aku sudah katakan kepada ibu bahwa aku sudah punya
dirimu. Ibu tidak mempermasalahkannya. Namun tidak dengan ayah yang kukuh
menjodohkan aku dengan kerabatnya. Belakangan aku baru tahu. Ternyata suamiku
itu bukan kerabat ayah. Ia hanya rekan bisnis ayah yang usianya memang di bawah
usia ayahku. Ayah berhutang budi baik padanya. Ia yang menyelamatkan bisnis
ayah dari rongrongan pengusaha besar di kota ini. Kebetulan suamiku ini
memiliki jaringan bisnis lebih kuat dari ayahku. Keasyikan berbisnis, ia lupa
menikah. Perjaka tua begitu.” Kyuri menghentikan ceritanya. Ia meneguk minuman
dingin lagi. Zion dengan seksama menyimak semua cerita Kyuri. Hatinya yang
semula tenang, mulai agak bergemuruh.
“Rupanya cara lama, melandamu 15 tahun lalu. Dijodohkan,”
komentar Zion sesudah mendengarkan cerita Kyuri. Senyum terpaksa dibibir Zion
menampak. Dikomentari begitu, Kyuri diam saja. Tidak berkata apapun untuk
menangkis komentar Zion. Ia sadar sepenuhnya, posisinya lemah karena telah
mengkhianati Zion saat itu. Lantas membiarkan Zion mengudar isi hatinya.
Sesudah Zion membagi isi hatinya, Kyuri meneruskan
ceritanya. “Aku juga minta maaf padamu karena aku tak bisa terlalu dekat-dekat
denganmu. Sangat membahayakan pekerjaan dan karir politikku ke depan. Apalagi
suamiku. Makanya, aku pun membatasimu untuk sering-sering menghubungiku.”
“Tidakkah kamu sadari takdir mempertemukan kita lagi?
Iklan itu memang hanya sebuah pesan kecil namun bertemu denganmu lagi bahkan
sekarang ada dalam tim kerjaku, itu sesuatu yang sangat berarti bagiku. Aku
memang sengaja mengajakmu. Selain memang kamu punya kemampuan, aku jadi bisa
menebus semua kesalahanku di masa lalu. Kamu mengerti maksudku, kan?” Hanya
desah nafas menghela yang terdengar dari mulut Zion. Jantungnya berdebar
mendengar cerita Kyuri.
“Setelah ayah meninggal, aku baru mengetahui tentang
suamiku. Ibu sangat rapat menyimpan semua cerita ayah meskipun menurut
pengakuannya ia merasa tidak nyaman menyembunyikan cerita ini. Aku berharap
setelah kamu tahu semua cerita laluku, kamu tak meninggalkanku.” Kyuri diam,
menarik nafas sebelum melanjutkan omongannya.
“Jujur, aku membutuhkanmu meskipun bukan untuk merajut
benang merah muda kita dulu. Aku ingin kita tetap bersama, namun merajutnya
dalam suasana yang lebih positif dan produktif.” Entah sependapat atau memang bisa meredam
gejolak perasaannya, jantung Zion yang berdebar tadi melembut. Perlahan ia
mengangguk. Tiba-tiba Kyuri berdiri. Ia menyuruh Zion juga berdiri. Kyuri
kemudian mendekati Zion yang mematung. Tanpa diduga sama sekali olehnya, Kyuri
memeluk. Suara berbisik terdengar ditelinga Zion, “Janji tidak meninggalkanku
lagi, ya....”
Bisikan Kyuri dijawab lirih pula oleh Zion, “Bukan aku
yang meninggalkanmu, kan?” Kyuri melepaskan pelukannya sembari memukuli dada
Zion. Pipinya merona merah mendengar kata-kata Zion.
“Maafkan aku melakukan ini padamu. Dengan memelukmu
barusan, beban bersalahku sekian tahun lamanya plong. Legaaa rasanya.” Mereka
berdiri saling menatap satu sama lain. Kyuri tidak menduga ketika sebuah
kecupan mendarat di pipi kirinya. Namun ia membiarkan Zion melakukannya. Ketika
Zion menarik bibirnya dari pipi mulus Kyuri, untuk kedua kalinya lagi, Kyuri
memeluk Zion sambil berkata, “Deal
ya, membantu dan menemaniku!” Zion mengangguk setelah Kyuri melepas pelukannya.
“Oh ya, datanglah ke rumah ibu. Ibu pasti senang
melihatmu, menemuinya. Ibu juga masih mengingatmu dan mengenalimu.” Zion
mengangguk ringan, bersamaan Kyuri mengatakan segera kembali ke hotel sebelah
melanjutkan pertemuannya.
“Hampir aku lupa. Nanti ke ruanganku ya, Mas! Di meja
kerjaku ada bungkusan dalam kresek warna hitam. Itu oleh-oleh dari Manado waktu
aku kunjungan kerja ke sana. Tolong berikan ke Sevi dan Valdi. Yang untukmu,
dalam kresek warna putih. Spesial, hehehe.” Kyuri menyunggingkan senyuman saat
mengatakan itu. Zion pun sudah melemparkan senyuman balasan. Mereka berpisah.
Zion keluar dari Hotel Barata lebih dahulu, disusul Kyuri yang langsung
melangkah menuju Hotel Rasmaya yang ada di sebelah.
Sebelum sampai di ruangan Kyuri, Zion menyempatkan
menghubungi Sevi. Menanyakan tugas yang sedang dikerjakannya sekalian minta
mereka tidak pulang dulu. Setelah memperoleh izin, Zion bergegas masuk ke
ruangan Kyuri yang ada di lantai 3 Gedung Dewan. Ruangan agak temaram karena
Zion tiba di gedung tersebut menjelang petang. Setelah menyalakan lampu, Zion
langsung menghampiri meja kerja Kyuri. Ia sudah melihat kresek hitam dan kresek
putih di atas meja. Zion sempat menyapu matanya melihat meja kerja Kyuri. Di
atas meja selain telpon, ada agenda kerja besar, juga ada foto keluarga Kyuri.
Ia melihat kebersamaan keluarga Kyuri. Sempat ada perasaan jengkel melihat
suami Kyuri namun buru-buru ditepiskan. Apalagi setelah tadi Kyuri bercerita
panjang lebar mengenai hubungan mereka sekarang. “Sebaiknya aku memang harus
berpikir maju seperti kata Kyuri tadi. Itu lebih baik daripada sekedar
mengumbar masa lalu yang sudah digulung waktu. Siapa tahu ada berkah dalam
pertemuanku kali ini.” Zion mengangkat foto keluarga Kyuri. Memandangnya sekali
lagi kemudian meletakkan foto itu.
Matanya kini beralih pada sebuah pigura seukuran foto
keluarga Kyuri namun bukan berisi foto. Itu sebuah tulisan. Dahi Zion
mengernyit, mengingat kata-kata yang tertulis dalam pigura itu. Bibir Zion
melengkung bulan sabit, kemudian. Ia mendapati tulisan ONDE di bagian akhir.
Lengkapnya by ONDE_9300.
ONDE 9300
***
Zion tak menyangka sambutan ibu Kyuri, hangat. Padahal
mereka tak jumpa 15 tahun gegara pupusnya kisah cinta putrinya. “Apa kabar Nak
Onde?” Sapaan itu yang pertama kali terucap dari bibir Bu Endes Oharni. Selain Zion
menjawab keadaanya baik-baik dan sehat, ia juga merasa tersanjung. Bu Endes
masih mengingat panggilan kesayangannya: Onde. Jawaban normatif, baik dan
sehat, pasti takkan muncul apabila Zion masih menganggur. Beruntungnya, angin
nasib mujur masih mampir dalam kehidupannya. Bertemu Kyuri.
“Ibu sehat, kan bersama keluarga?” Gantian Zion yang
bertanya. Dari pengamatannya, Bu Endes terlihat sehat di usia senjanya.
“Maafkan saya tidak sempat melayat ketika bapak
meninggal.” Spontan Zion mengatakan hal itu. Wajah Bu Endes mendadak redup.
Melihat itu, Zion menjadi tidak enak hati. “Maaf, saya tak bermaksud ...,”
namun sebelum perkataan Zion selesai, Ibu Endes sudah memotongnya, “Justru ibu yang mau minta maaf pada Nak
Onde. Gara-gara bapak, kalian tidak bisa bersatu. Pasti sudah tahu cerita
sebenarnya, kan?” Zion terdiam sebentar, kemudian menganggukkan kepalanya pelan.
“Pokoknya, ibu betul-betul minta maaf pada Nak Onde. Maafkan
bapaknya Yuri, ya?” Mata Bu Endes menatap harap pada Zion. Tangan kanannya juga
menepuk-nepuk bahu Zion.
“Iya Bu, tidak apa-apa. Mungkin memang belum jodohnya,”
jawab Zion bohong. Dalam hatinya, ia merutuki tak jadi menikahi Kyuri. Supaya
Bu Endes tenang, Zion mengumbar senyuman sambil mengatakan, “Meskipun nggak
jadi menantu ibu, saya berharap kita tetap menjalin silahturahmi sampai nanti.”
Kalimat berani yang diucapkan Zion. Bu Endes tersenyum. Tangannya kembali
menepuk pundak Zion seraya mengatakan terima kasih atas kebesaran hati Zion.
Dari obrolan sore itu, Zion mengetahui kalau Bu Endes
sekarang tinggal bersama anak angkatnya. Ketiga anak kandung Bu Endes sudah
berumah tangga dan tinggal di rumah masing-masing. Suasana sore itu tenang.
Hanya ada si pemilik rumah dan seorang asisten rumah tangga yang terlihat
mondar-mandir di halaman depan sedang menyiram tanaman.
“Itu anak angkat saya datang!” tunjuk Bu Endes ke arah
luar. Zion sekilas melihat ada motor memasuki pekarangan rumah dan berhenti di
depan garasi. Seorang wanita muda tampaknya. “Nanti saya kenalkan pada Nak
Onde, anak angkat saya itu,” ujar Bu Endes sumringah.
“Sejak Yuri menikah, Philian tinggal bersama saya.
Kasihan dia. Keluarganya meninggal sewaktu ada gempa besar. Saya menemukannya
di tempat penampungan. Usianya waktu itu masih 12 tahun. Hidup sendiri,
ketakutan, dan tidak tahu mau kemana lagi. Bapaknya Yuri lantas mengambilnya. Alhamdulillah, anak kecil itu mau.
Jadilah sampai sekarang dia bersama saya. Tuh dia datang!” Setelah menyimak
cerita Bu Endes, Zion memalingkan mukanya ke arah pintu depan. Seorang
perempuan muda cantik, berkulit kuning langsat, mata agak sipit, masuk seraya
mengucapkan salam, “Assalamu’alaikum....”
Keduanya menjawab salam Philian. Bu Endes langsung mengajak
anak angkatnya itu duduk di sebelahnya seraya mengenalkan Zion. Tangan yang
menjulur dari Philian disambut hangat oleh Zion. Ia tersenyum sambil menjabat
tangan Philian. “Saya Zionda. Panggil saja Zion.” Philian menganggukkan kepala
tak lupa menyebutkan namanya: Lian. “Philian Lie Gwina.” Ia menyebutkan nama
lengkapnya. Zion sekilas melihat rupa Lian. Gadis cantik, manis, berkuning
langsat, pastinya berbeda dengan keluarga Bu Endes yang kulitnya sawo matang.
Otak Zion langsung merespon cepat bahwa anak angkat Bu Endes keturunan
Tionghoa. Namanya juga masih bernuansa Mandarin. Sungguh mulia hati keluarga
Kyuri yang mau mengadopsi anak keturunan ini.
Mata Philian masih menunjukkan ketidaktahuan tamu ibu
angkatnya itu. “Lian, Mas Onde ini....” Tiba-tiba Bu Endes menghentikan
kalimatnya. Menutup mulutnya. Pipinya terlihat menaik karena menahan senyuman.
“Maksud ibu, Bang Zion ini.... Ibu biasa panggil Bang Zion, Onde, jadi keterusan
deh!” Lian dan Zion tertawa mendengar penjelasan Bu Endes.
“Sudah Bu, panggil Onde saja seperti biasa,” timpal Zion.
“Maaf Dik Lian. Ibu sejak dulu biasa memanggil saya,
Onde. Kalau beliau panggil nama asli saya, malah terdengar aneh.” Ketiganya
tertawa kemudian.
Gegara nama Onde, molor pula Bu Endes hendak menjelaskan
siapa Zion kepada Philian. Setelah menyuruh asisten rumah tangganya membuat
minuman, Bu Endes menjelaskan siapa Zion. Lian mengangguk-angguk setelah
mengetahui jati diri Zion. Namun Bu Endes tidak menceritakan kalau Zion dulu
adalah kekasih Kyuri. Rasanya tidak etis saja.
“Jadi, Bang Onde ini seperti kakakmu juga karna sahabat
Kakakmu Yuri.” Philian mengangguk lagi. Sesudah mengobrol beberapa menit,
Philian pamit hendak mandi dan bebersih.
“Bang, saya mandi dulu. Gerah badannya. Nanti lanjut
ngobrolnya ya....” Zion hanya mengangguk pelan.
Zion melanjutkan obrolan. Dari cerita Bu Endes, ia tahu
kalau Philian diserahi mengurus usaha percetakan. Salah satu bisnis milik ayah
Kyuri. Sejak Zion pacaran dengan Kyuri, usaha percetakan ini sudah ada, diurus
oleh Pak Dermi Yantra dan anak keduanya, kakak Kyuri. Namun sejak kakak kedua
menikah dan Pak Dermi meninggal, Kyuri yang melanjutkan usaha keluarga itu,
dibantu Philian yang masih muda. Selanjutnya, karena Kyuri memutuskan terjun ke
dunia politik, maka usaha percetakan diurus sepenuhnya oleh Philian, si anak
angkat keluarga Dermi Yantra. Sesekali Kyuri masih membantu juga Bu Endes.
Perlahan-lahan Kyuri melepaskan Percetakan Kahuripan kepada adik angkatnya,
sementara Bu Endes hanya memantau dari rumah. Kesibukan Philian muda ternyata
semakin sibuk. Tak hanya usaha percetakan, tapi toko emas serta jasa penukaran uang asing,
juga harus diurus olehnya. Memang ada tenaga profesional yang membantu namun
bagi Bu Endes, usaha keluarga warisan suaminya ini, maunya diurus oleh
anak-anaknya saja. Seperti SPBU dan BPR yang diurus kedua kakak ipar Kyuri.
“Wah gadis semuda itu sudah diserahi tanggung jawab
banyak, ya Bu?” Mendengar pertanyaan Zion, Bu Endes mengangguk. Sebuah senyuman
tersemat sembari matanya menatap lama ke mata Zion.
“Ini baru saja, beberapa minggu kemarin, Lian bilang pada
ibu kalau dia pingin membuka konter bunga dan bakery. Tampaknya, keinginan kuat Lian ini ada hubungannya dengan
orang tuanya yang sudah nggak ada. Mungkin saat masih hidup, papa dan mama Lian
bisnis bunga dan bakery.”
“Benar banget itu, Bu! Darah bisnis anak keturunan macam Lian
pasti kuat, sehingga sering pingin berbisnis layaknya usaha orang tuanya,” ujar
Zion. Bu Endes tersenyum menanggapi omongan Zion.
Suasana mendadak hening. Kedua orang yang lama tak
berjumpa itu, terdiam. Hingga Philian datang menemui mereka lagi. Bergabung
ikutan ngobrol. Zion iseng bertanya
kepada Lian kuliah mengambil jurusan apa. Mata Zion agak terbelalak ketika
mendengar jawaban Lian yang mengatakan ia kuliah di jurusan Tata Boga. Spontan
mata Zion mengerling kepada Bu Endes yang ikutan tersenyum. “Cocoklah kalau
begitu, Bu!” Ujaran Zion membuat kepala Philian naik sedikit. Matanya melihat
ke ibu angkatnya itu.
“Tadi ibu bilang sama Bang Onde ini, kalau kamu pingin buka
usaha bunga dan bakery.” Philian
tersipu mendengarnya. “Trus, Bang Onde juga kagum. Gadis semuda kamu sudah
diberi tanggung jawab mengurusi 2 usaha warisan bapak.” Pipi Philian merona
semu kemerahan setelah mendengar cerita Bu Endes.
“Betul itu! Dik Lian hebat bisa mengurus 2 usaha
bersamaan.”
“Ahh, saya cuma meneruskan saja, Bang. Yang hebat, ayah
sama Mbak Yuri, juga ibu.” Dengan manja, Philian lantas mengelendot ke bahu Bu
Endes. Dengan penuh kasih-sayang, Bu Endes mengelus-elus kepala Philian. “Ibu
bangga dan sayang padamu.” Kali ini tangan Bu Endes membelai pipi putih mulus
Philian. Pipi yang bersih dari jerawat.
Zion merogoh ponselnya yang mendering canopus. Bu Endes mengangguk ketika Zion
minta izin membaca pesan masuknya. Selesai membaca, bibir Zion tampak
tersenyum. “Yuri mau mampir ke sini,” ucap Zion. Wajah Bu Endes memperlihatkan
kegembiraannya.
“Sudah lama kakakmu tak mampir ke sini, ya?” ujar Bu
Endes kepada Philian, yang langsung menjawab dengan anggukan.
“Sibuknya luar biasa sebagai anggota dewan!” timpal Zion.
“Sudah jadi pilihannya.” Bahu Bu Endes terangkat sedikit
namun wajahnya masih menampakkan kegembiraan Kyuri akan mampir.
Sejatinya Zion akan pamit. Gegara pesan dadakan Kyuri, ia
mengurungkan kepulangannya. Menunggu kedatangan Kyuri. Mungkin ada yang ingin
disampaikan karena dalam pesannya, Kyuri minta dirinya tetap di rumah Bu Endes.
“Nanti sekalian makan malam di sini saja, Nak Onde! Kalau
mau salat maghrib, kita jemaah saja,” ajak Bu Endes. Zion mengangguk.
Sayup-sayup terdengar suara azan maghrib menggema dari masjid yang tak jauh
dari rumah Bu Endes. Keinginan hatinya hendak berjemaah di masjid namun ia tak
enak menolak ajakan Bu Endes.
Obrolan bertiga petang itu pun berakhir sementara. Bu
Endes dan Lian berdiri. Tiba-tiba, “Ohya, sebaiknya Nak Onde jemaah di masjid. Pria
dianjurkan jemaah di masjid, kan? Silakan lho kalau Nak Onde mau ke masjid!”
Dalam hati Zion bersorak mendengar omongan Bu Endes barusan. Ia pun pamit
maghrib di masjid.
“Bu, aku ikut Bang Onde ke masjid ya!” Izin Phlian pada
ibunya. Bu Endes mengangguk setuju.
“Mumpung aku ada teman jalan ke sana! Bareng ya, Bang?
Tunggu, aku ambil mukena dulu,” pinta Philian pada Zion. Bibir Zion tersenyum
seraya menganggukkan kepalanya.
***
Pulang dari masjid, di depan garasi rumah Bu Endes sudah
terlihat mobil Kyuri. Sayup-sayup Zion sudah mendengar suara Kyuri yang renyah
sedang tertawa. Kedatangan Zion langsung disambut seruan, “Deuhhh.., langsung
akrab gituh yaa..!” Philian langsung menghambur ke arah kakak angkatnya.
Mencium dan merangkul penuh kehangatan. Dan sebelum Zion sempat duduk, Bu Endes
sudah mempersilakannya masuk ke ruang makan. “Yuk, makan dulu. Nanti ngobrolnya
dilanjutkan di dalam sambil makan.” Keempatnya lalu gegas masuk ke ruang makan.
Makan malam sudah tersaji rapi. Menggugah selera perut-perut lapar malam itu.
Kyuri asyik menyuap sop ayam sebagai menu akhir makannya.
Di tengah suapannya, ia berkata pada
Zion, “Aku dan ibu ada tawaran untukmu. Kami berharap tidak ditolak, sih!” Zion
yang juga sedang menikmati sop ayam, menghentikan suapannya, dan memandang
Kyuri. Bu Endes yang sedang mengunyah buah mangga hanya diam mendengarkan.
Philian masih menyuapi mulutnya dengan nasi bercampur sop ayam. Ia menyimak
ketiganya.
“Tawaran apa lagi?” tanya Zion pelan.
“Aku dan ibu pingin kamu mau mengurusi usaha percetakan
warisan bapak. Membantu Philian. Kasihan adikku itu.” Kepala Kyuri memaling ke
arah Philian. Sementara Philian yang dijadikan objek tampak tersenyum mendengar
ucapan kakaknya.
“Betul Bang, aku setuju kalau Abang mau bantuin aku! Tawaran Mbak Yuri, cocok!”
Kali ini Zion benar-benar menghentikan suapannya. Matanya menatap Kyuri, dalam.
Dan kedua sorot mata yang saling bertatapan itu bertemu.
“Benar Nak Onde. Ibu setuju kalau Nak Onde mau membantu
usaha warisan bapak. Ibu akan tenang dan ayem kalau Nak Onde yang mengurusnya,
sekaligus membantu Lian. Kayaknya, usaha bunga dan bakery-nya nggak bisa dihalangi lagi.” Bu Endes juga ikut-ikutan
melihat Philian yang tersenyum-senyum.
“Aku tahu yang kamu pikirkan!” sergah Kyuri yang masih
melihat Zion menatapnya terus. “Tak usah khawatir soal aku. Sevi dan Valdi,
pasti bisa melanjutkan pekerjaanmu. Nanti apabila diperlukan, aku akan merekrut
staf kesekretariatan lagi. Beres, kan?” Kepala Zion mengangguk-angguk. Mulutnya
belum bersuara.
“Mau ya Nak Onde?” Suara Bu Endes terdengar. “Biar
Philian mengurus toko emas, money changer,
sama usaha barunya. Kalau perlu, Nak Onde yang menjadi GM untuk ketiga
usaha warisan bapak. Bukan begitu, Yur?” Kyuri mengamini ucapan ibunya. Zion
masih terdiam belum bereaksi, belum bersuara. “Kami lebih memercayaimu untuk
mengurus usaha warisan ini.” Ucapan terakhir Bu Endes ini sangat menyanjung
Zion. Dalam hatinya ia masih menimbang-nimbang. Terima atau tidak.
“Sudah terima saja tawaran kami. Nggak usah banyak
dipikirkan. Kalau sudah siap, minggu ini bisa mulai kerja. Nanti aku kumpulkan
para karyawan untuk memberitahukan mereka perihal kehadiranmu.” Suara tegas
Kyuri kembali terdengar.
“Baiklah kalau memang Ibu dan dirimu memercayai aku mengurus
usaha ini.”
“Nah gitu dong, kan jadi lebih mudah semuanya.” Nada
bicara Kyuri terlihat senang mendengar jawaban Zion. Philian tampak tersenyum
seraya mengucapkan terima kasih kepada kakaknya. Ia juga tersenyum kepada Bu
Endes.
Tiba-tiba Philian berdiri dari duduknya. Ia bergeser
mendekati Zion. Mengulurkan tangannya. “Welcome
to our business,” ujarnya dengan wajah gembira. Entah kenapa Philian
merangkul bahu Zion. Kemudian mengepalkan kedua tangannya. Semua polah Philian
dilihat Kyuri. Matanya tak beranjak melihat keduanya yang masih saling
menautkan tangannya.
***
Jelang pukul 12 malam, mata Zion belum terpejam. Ia
berbaring di ranjang. Matanya menatap langit-langit kamarnya. Ia tak menyangka
kehidupannya berubah cepat sejak bertemu Kyuri. Dalam hatinya ia mensyukuri
rejeki yang Allah kirimkan. Sampai sekarang Zion belum menceritakan tawaran
terakhir keluarga Kyuri. Sementara itu, isterinya tampak sedang memasukkan
baju-baju yang sudah disetrika ke dalam lemari pakaian. Ia mengulaskan senyuman
ke arah Zion sebelum hilang ke dalam kamar mandi.
Gemericik air langsung terdengar. Sesaat kemudian, kamar
mandi terbuka. Ima isteri Zion keluar mengenakan baju tidur tipis yang
menggoda. Zion yang mendengar pintu kamar mandi dibuka melihat ke arah kamar
mandi. Mata najkalnya menari-nari melihat tubuh isterinya yang bersiluet dalam
baju tidur tipisnya. Bibirnya tersenyum. Ima berjalan ke arah ranjang sembari
mengucir rambut sepunggungnya. Ia langsung rebah di samping Zion yang memandanginya.
“Dek, aku dapat tawaran mengurusi percetakan keluarganya
Kyuri. Tadi aku ketemu ibunya juga Kyuri. Mereka berharap banget aku mau
mengurusi usaha warisan Pak Dermi Yantra. Dan aku gak perlu lagi membantu Kyuri
di gedung dewan. Selain ada percetakan, keluarga mereka juga punya usaha toko
emas dan money changer. Aku juga
diminta mengurusinya. Alhamdulillah,
rejeki Allah nggak berhenti datangnya.” Ima yang rebahan langsung duduk begitu
Zion bercerita. Ia menyimak cerita suaminya. Semburat senang terlukis di wajahnya.
Kepalanya sesekali mengangguk.
“Kalau aku minta Dek Ima hanya mengurus anak-anak sama
rumah, dan tetek-bengeknya untuk diriku, keberatan nggak?” tanya Zion pelan.
Zion harus menyampaikan secara hati-hati. Karena sejak memutuskan bekerja
gegara Zion menganggur, Ima sangat bersungguh-sungguh mencari perusahaan yang
bersedia menerimanya. Karena saat melamar bekerja, usia Ima juga sudah dewasa
matang.
“Dengan senang hati, Mas,” ujar Ima, pendek. Zion bangkit
dari rebahannya. Ia peluk isterinya sambil mengajaknya bersyukur.
Ima merasa sebuah sentuhan hangat mengenai area X-nya.
Bibirnya dimonyongkan ke arah Zion. Dan sentuhan hangat tadi mulai menjalar dan
merambah bagian tubuh lainnya.
***
Yuras (22.57): Makasih
sudah mau mengurusi percetakan warisan bapak. Kami titipkan usaha itu padamu. Seperti
janjiku, aku nggak mau jauh darimu. Awass, jangan nakali Philian hehehe....
Lian Lie Gwina (22.34): Terima kasih Bang Onde yang sudah mau menerima tawaran Mbak Yuri dan
ibu untuk membantu aku mengurusi usaha percetakan warisan bapak. Aku senang
banget ada yang menemaniku. Aku mau belajar banyak dari Abang. Ditunggu segera
di kantor, ya Abang..... Biar bunga dan bakery-ku juga cepat terealisir,
hihihihi ....Dan kita bisa sering bersama-sama.
Dua pesan itu
belum terbaca Zion yang barusan melemparkan baju tidur tipis isterinya ke bawah
ranjang. Hawa dingin di luar yang menyergap tengah malam tak mampu mengalahkan
kehangatan pasutri yang sedang menikmati surga dunia....
Di sebuah kamar yang tertata rapi dan apik, yang jauh dari
rumah Zion, seorang gadis 28 tahun tersenyum sendiri. Matanya melihat langit-langit
kamarnya yang sengaja dihiasai layaknya semesta berbintang-bintang. Menerawang
sambil menjalin sebuah kisah untuk dirinya, dalam benaknya....
Komentar
Posting Komentar